Monday, June 29, 2009

Kritiklah Daku, Kau Kucueki

Oleh Udo Z. Karzi

BACALAH koran, tontonlah televisi, dengarlah radio, atau ngobrollah dengan siapa saja, ngerumpi juga boleh; maka segera saja kita akan mendapatkan suguhan kritik dan analisis atas berbagai kejadian.

Orang yang memang memiliki latar belakang paralel dengan topik yang dikritik atau dianalis, pengamat, atau malah orang yang hanya sebatas "tahu" (kadang-kadang sok tahu) memang suku mengkritik.

Tak perlu heran. Kritik memang sudah menjadi tradisi sejak zaman waw. Bergunakah kritik? Ada kritik atas kritikus (komentator) sepak bola.

Sehebat-hebatnya komentator sepak bola, tetap tak akan bisa mengubah skor sebuah pertandingan sepak bola. Sebuah pertandingan tetap tidak bisa diprediksi. Selalu saja yang tidak sesuai harapan dan kejutan.

Masalahnya, kita selalu saja butuh komentator sepak bola.

Hari-hari ini menjelang pemilihan presiden, 8 Juli 2009. Kritik dan analisis (sebuah analisis terkadang sulit menghindari kritik) semakin banyak memenuhi media massa, bahkan hingga ruang-ruang publik di berbagai tempat, berbagai berbagai kesempatan.

Ya, kritik atas kebobrokan negara-bangsa bernama Indonesia semakin banyak. Tapi, semakin banyak kritik, semakin banyak bahan yang harus dikritik. Walau sebuah kritik tak mesti disertai solusi, tak urung banyak tawaran penyelesaian diajukan demi perbaikan. Tapi, kebobrokan tetap kebobrokan, keburukan tetap keburukan, kesalahan tetap kesalahan. Terlampau sedikit upaya pembenahan.

Kritik dan solusi tak ubahnya kritik atas sepak bola dari ruang berbeda. Tidak jelas entah di mana kelirunya penawar, sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, sangat sedikit sekali (untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali) bekerja di wilayah kebobrokan tersebut. Tidak ada efek jera atas kebobrokan yang sudah diketahui, dikritisi, dan diberikan solusi oleh khalayak dunia.

Padahal, dalam sebuah peradaban, bagaimanapun, kritik adalah sebuah jalan keluar yang dikenal ampuh untuk pencerahan. Banyak perubahan telah terjadi sebagai efek langsung dari kritik. Pada tingkat yang paling sederhana, kritik orang tua terhadap anaknya yang tidak pada aturan agama dan moral lalu disertai dengan solusi dalam bentuk pengajaran dan nasihat-nasihat kebaikan, adalah sebuah bangunan awal yang kokoh untuk membentuk kepribadian anak di masa yang akan datang. Kritik pada berpotensi signifikan memanusiakan kemanusiaan anak. Pada mulanya adalah kritik. Ia berperan sebagai sebuah entitas penggerak perubahan untuk menuju sebuah kelebih-baikan dan kelebih-beradaban.

Parahnya, pembuat kebijakan seperti kebal (mudah-mudahan tidak bebal) kritik. Kritik hadir di depan muka, tetapi pejabat malah memalingkan muka atau pura-pura mendengar tapi sesungguhnya menolak.

(Memang nggak enak ya, kalo kita dikritik orang. Rasanya dunia begitu kejam bagi seorang yang sedang dikritik dan dipojokkan. Makanya, kerja yang bener!)


Lampung Post, Senin, 29 Juni 2009

Monday, June 22, 2009

Kreativitas

Oleh Udo Z. Karzi

BAND-BAND indie Lampung mempunyai kualitas, power, dan karakter yang sangat khas, kata Dide, vokalis Hijau Daun. "Band-band indie Lampung berpotensi besar karena style-nya sangat beda," ujarnya lagi.

Yah, itulah kreativitas. Rupanya, diam-diam dunia anak muda Lampung kini memang sedang panen kreativitas. Seperti ditulis Bambang Eka Wijaya dalam Buras, setelah kepenyairan, kini dunia musik. Dan, sebenarnya tidak hanya di dua bidang itu saja.

Kalau pemerintah gembar-gembor tentang industri kreatif, maka kini Lampung sebenarnya sudah mulai masuk ke sana. Sebuah situasi yang hampir-hampir tidak kita sadari. Sebut saja prestasi siswa SMKN 5 Bandar Lampung yang baru-baru ini berhasil menang dalam lomba film dokumenter.

Kreativitas adalah proses mental yang melibatkan pemunculan gagasan atau konsep baru atau hubungan baru antara gagasan dan konsep yang sudah ada.

Sebenarnya, kreativitas dimiliki setiap orang dan merupakan hal penting untuk dapat memperoleh hasil kerja yang lebih baik. Setiap orang dengan taraf kecerdasan normal mampu berkreasi, melakukan pekerjaan secara kreatif. Kreativitas ditentukan dari banyak hal, seperti pengalaman, pengetahuan dan keterampilan teknis, serta kemampuan untuk berpikir dengan cara-cara baru.

Boleh jadi, uang merupakan motivator bagi munculnya kreativitas. Uang terkadang memang dapat memacu seseorang untuk bekerja lebih giat. Namun, tidak ada kaitan di antara keduanya. Malah orang-orang yang bekerja dengan begitu mengharapkan komisi atau bonus sering memiliki tingkat kreativitas yang lebih rendah.

Kreativitas akan semakin tumbuh jika lingkungan memberikan dorongan, serta menghargai ide-ide baru yang dihasilkan. Seseorang pun menjadi lebih kreatif bila ia menyenangi pekerjaannya, serta berupaya mengembangkan keterampilan yang dimiliki.

Dengan lapangan kerja semakin banyak tantangannya. Seseorang dituntut untuk dapat bertahan dalam perubahan yang kompleks, multitransisi, sehingga untuk dapat bekerja. Maka seseorang dituntut bekerja secara profesional dan kreatif. Untuk dapat profesional, seseorang harus menyadari dengan penuh bahwa Islam mendorong umat berlatih untuk bekerja dengan profesional dan kreatif.

Industri kreatif, di beberapa negara telah menjadi idola dan menyumbangkan pendapatan negara secara signifikan. Begitu pula di Indonesia. Sejak 2007, industri kreatif menjadi perhatian serius pemerintah. Bertepatan dengan Hari Ibu tahun lalu, tahun 2009 dicanangkan sebagai Tahun Industri Kreatif dengan becermin pada kontribusi yang mencapai Rp104 triliun dan terus meningkat.


Lampung Post
, Senin, 22 Juni 2009

Tuesday, June 16, 2009

Nilai, Etika, dan Estetika

Oleh Udo Z. Karzi

SEJUMLAH ahli ilmu pengetahuan yang tertarik dengan tingkah laku manusia, sejak lama telah tertarik dengan konsep nilai. Isu penting yang menurut Zavalloni (1975) perlu diperhatikan dalam pemahaman tentang nilai adalah nilai seseorang dapat sama seperti nilai semua orang lainnya, sama dengan sebagian orang, atau tidak sama dengan semua orang lain.

Nilai adalah suatu keyakinan mengenai cara bertingkah laku dan tujuan akhir yang diinginkan individu, dan digunakan sebagai prinsip atau standar dalam hidupnya. Pemahaman tentang nilai tidak terlepas dari pemahaman tentang bagaimana nilai itu terbentuk.

Dalam membentuk tipologi dari nilai-nilai, Schwartz mengemukakan teori bahwa nilai berasal dari tuntutan manusia yang universal sifatnya yang direfleksikan dalam kebutuhan organisme, motif sosial (interaksi), dan tuntutan institusi sosial (Schwartz dan Bilsky, 1987). Ketiga hal tersebut membawa implikasi terhadap nilai sebagai sesuatu yang diinginkan.

Teori nilai membahas dua masalah, etika dan estetika. Etika membahas tentang baik buruknya tingkah laku manusia sedangkan estetika membahas mengenai keindahan. Ringkasnya dalam pembahasan teori nilai ini bukanlah membahas tentang nilai kebenaran walaupun kebenaran itu adalah nilai juga. Pengertian nilai itu adalah harga dimana sesuatu mempunyai nilai karena dia mempunyai harga atau sesuatu itu mempunyai harga karena ia mempunyai nilai.

Karena itu, nilai sesuatu yang sama belum tentu mempunyai harga yang sama pula karena penilaian seseorang terhadap sesuatu yang sama itu biasanya berlainan. Bahkan ada yang tidak memberikan nilai terhadap sesuatu itu karena ia tidak berharga baginya tetapi mungkin bagi orang lain malah mempunyai nilai yang sangat tinggi karena itu sangatlah berharga baginya.

Perbedaan antara nilai sesuatu itu disebabkan sifat nilai itu sendiri. Nilai bersifat ide atau abstrak (tidak nyata). Nilai bukanlah suatu fakta yang dapat ditangkap oleh indra. Tingkah laku perbuatan manusia atau sesuatu yang mempunyai nilai itulah yang dapat ditangkap oleh indra karena ia bukan fakta yang nyata. Jika kita kembali kepada ilmu pengetahuan, maka kita akan membahas masalah benar dan tidak benar. Kebenaran adalah persoalan logika di mana persoalan nilai adalah persoalan penghayatan, perasaan, dan kepuasan. Ringkasan persoalan nilai bukanlah membahas kebenaran dan kesalahan (benar dan salah) akan tetapi masalahnya ialah soal baik dan buruk, senang atau tidak senang. Masalah kebenaran memang tidak terlepas dari nilai, tetapi nilai adalah menurut nilai logika. Tugas teori nilai adalah menyelesaikan masalah etika dan estetika dimana pembahasan tentang nilai ini banyak teori yang dikemukakan oleh beberapa golongan dan mempunyai pandangan yang tidak sama terhadap nilai itu.


Lampung Post
, Selasa, 16 Juni 2009

Monday, June 1, 2009

Sejarah

Oleh Udo Z. Karzi

SEJARAH yang kita "buat" hari ini sangat mungkin akan menjadi sejarah "hitam" atau sejarah "putih" di masa nanti tergantung bagaimana kita menyikapinya. Meminjam ungkapan Taufik Abdullah, ada berbagai cara dalam mencapai tujuan (yang sama).

"Membuat" sejarah memang lebih mudah dibandingkan "menulis" sejarah karena setiap orang mampu melakukannya. Walaupun itu belum tentu penting atau menarik untuk dituliskan.

Sebab, "menulis" sejarah bukan sekadar menulis sesuai ide yang ada di kepala karena itu bukan fiksi dan rekaan. Ada metode-metode yang harus dipatuhi serta diarahkan dengan teori-teori yang telah ada. Belum lagi penelusuran terhadap sumber-sumber sejarah itu sendiri. Lalu menelitinya apakah sumber-sumber itu valid dan bisa dipercaya. Karena sumber-sumber itu sebenarnya tidak dimaksudkan untuk menjadi sumber sejarah.

Upaya rekonstruksi sejarah ini harus dilakukan dengan penuh ketelitian agar kita bisa menggambarkan situasi masa lalu sedekat mungkin. Lain halnya jika kita sekarang berhati-hati dalam melangkah dan berbuat. Segala sesuatu dilakukan dengan cermat dan teliti kalau perlu dicatat. Dengan niat, kelak sengaja akan dijadikan sumber sejarah. Kalau begini, kita perlu tempat penyimpanan segala macam sumber sejarah (arsip, barang cetakan, rekaman, gambar, film, dsb.) yang baik. Itu pun kalau generasi kini sadar sejarah dan tak abai dengan semua hal yang kita anggap penting dalam kehidupan kita.

Tapi, tidak ada sejarah yang tunggal karena itu bisa berbahaya dan dapat membodohkan. Biarlah, orang-orang "menuliskan" sejarah (menurut versi) masing-masing, asalkan sesuai dengan metode yang berlaku. Tidak ditambah-tambahi maupun dikurangi. Dengan kata lain, upaya penulisan dengan berbagai versi justru memperkaya kita dalam memahami masa lalu. Jadi daripada ditutup untuk sementara, lebih baik biarlah "garis batas" itu dibuka sehingga masa lalu tak sekedar lewat begitu saja. Seperti diktum seorang sejarawan terkenal bahwa setiap generasi menuliskan sejarahnya.

Setiap upaya mengungkap misteri sejarah hampir selalu mengundang kontroversi. Sebab, misteri sejarah itu sendiri meninggalkan sikap ambivalen. Di satu sisi ada hasrat yang menggebu untuk ingin tahu; tetapi di sisi lain ada keraguan apakah hasrat ingin tahu itu bisa terpuaskan.

Para politisi tengah membuat sejarah. Masalahnya, rakyat hampir bosan dengan kelakuan para politisi. Sebab, kebanyakan para politisi sibuk membuat sejarah hitam melulu. Para elite lebih acap "membuat" sejarah yang akan dikenang rakyat sepanjang hayat sebagai sejarah membodohi dan menipu rakyat.


Lampung Post, Senin, 1 Juni 2009