Saturday, August 22, 2009

Siangnya Puasa, Kalau Malam...

Oleh Udo Z. Karzi

SETIAP menjelang Ramadan dan saat puasa, harga-harga naik. Inflasi meningkat sehingga bulan Ramadan dianggap sebagai penyebab inflasi. Jadi, puasa justru meningkatkan daya beli. Padahal puasa sesungguhnya bagaimana agar orang bisa merasakan tingkat konsumsi orang miskin, kaum duafa, dan kaum teraniaya dalam kehidupan sehari-hari.

Puasa itu memang menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa seperti makan-minum di siang hari. Yang terjadi sekarang, orang puasa merasakan seperti orang miskin pada siang hari. Tapi malamnya, berubah menjadi orang yang serakah karena semua makanan dibeli. Konsumsi meningkat dibandingkan biasanya. Ini tercermin permintaan di masyarakat yang dilihat dari angka inflasi yang naik.

***

Puasa menjadi cara untuk mendidik individu dan masyarakat untuk tetap mengontrol keinginan dan kesenangan dalam dirinya walaupun diperbolehkan. Dengan berpuasa seseorang dengan sadar akan meninggalkan makan dan minum sehingga lebih dapat menahan segala nafsu dan lebih bersabar untuk menahan emosi.

Puasa juga kewajiban yang konkret sebagai pembina suatu kebersamaan dan kasih sayang antarsesama. Semua akan merasakan lapar, haus, kenyang, dan sulitnya menahan emosi dan amarah diri. Puasa dalam satu bulan, seharusnya dapat membawa dampak positif berupa rasa solidaritas dan kepedulian antarsaudara, rasa kemanusiaan yang mendalam atas penderitaan sesama manusia.

Perasaan sama-sama lapar, haus, kesabaran yang lebih, dan kesucian pikiran juga kata-kata, mampu membuat manusia memiliki rasa kebersamaan dalam masyarakat, dan menghasilkan cinta kasih antarsesama tanpa memandang latar belakang, warna kulit, dan agama.

***

Kalau kita menghayati makna puasa dan kemudian menjadi orang yang tattaquun, insya Allah kejahatan-korupsi, kolusi, mark up, kemaksiatan, membohongi rakyat, menebar janji kosong dan perbuatan lain yang melawan aturan Allah sirna.

Pascapuasa, rakyat Indonesia akan mulai hidup dalam kemakmuran dan ketenteraman. Polisi, hakim, dan pengadilan akan banyak kehilangan pekerjaan karena kejahatan turun drastis. Tak lama kemudian, Indonesia akan dikenal menjadi negara muslim terbesar dengan kemakmuran terbaik di seluruh dunia. Itu kalau rakyat dan pemimpin Indonesia bisa berpuasa dengan benar.

Sayangnya, bukan hanya manfaat pascapuasa yang raib dari masyarakat kita, tetapi prosesi selama Ramadan pun mulai mendera masyarakat. Budaya puasa kita yang mementingkan hidangan berbuka telah memaksa para ibu rumah tangga untuk membelanjakan uangnya jauh lebih boros ketimbang bulan lainnya.

Budaya berpuasa oleh kita sudah dijadikan rekreasi kuliner tahunan yang mahal dan tidak mendidik. Ruh puasa menahan diri hanya ada di siang hari dalam kondisi lapar dan haus semata. Kalau malam, lupa tuh...


Lampung Post, Sabtu, 22 Agustus 2009

Wednesday, August 19, 2009

Merdeka Kok Belum 'Ngopi'

Oleh Udo Z. Karzi

APALAH arti merdeka kalau di kantong tak ada uang sekadar buat beli bensin atau sekadar buat ngopi di warung. Sebab, merdeka berarti kita bebas dari kemiskinan, antibokek, dan bebas membeli yang kita butuhkan.

Walah, merdeka kok malah dimintai uang sumbangan untuk tujuh belasan. Ada yang jualan stiker sampai Rp20 ribu. Katanya sukarela. Tapi kok main paksa. Gimana mau merdeka kalau uang hana-hana ni malah harus melayang ke tangan reman.

Katanya sih merdeka. Tapi di mana-mana orang-orang kok main paksa. Kalau nggak ya risikonya nggak kecil. Minimal benjut atau terjadi pertumpahan ludah di jalan-jalan. Harusnya merdeka ya ada yang kasih kita rezeki tak disangka-sangka ya cukuplah buat beli permen atau sekadar ngopi di warung.

Merdeka! Biasanya yang paling kenceng teriaknya para politisi. Merdeka itu sip mantap. Enak to... ya iyalah bagi para anggota Dewan yang dilantik kemarin. Kemerdekaan bagi legislator ya bebas mengatur anggaran dan menggunakannya sebesar-besarnya untuk kepentingan (wakil) rakyat.

(Ah, itu kan anggota Dewan yang dulu. Anggota Dewan yang akan datang sih... mungkin lebih parah).

Merdeka bagi sopir angkot adalah kalau bisa sukses mengejar setoran dan lolos dari palakan preman. Penjual gorengan bilang merdeka kalau pisang, tahu, tempe, singkong, ubi, bakwan ludas. Polisi teriak merdeka kala beri tanda tabek untuk kemudian memasukkan tangan ke saku hasil nego dengan pengemudi yang sedang sial.

Guru-guru pun ikut berdoa merdeka saat pemerintah mengumumkan kenaikan gaji dan siswa-siswa telah membayar uang komite sekolah tanpa banyak protes. Sekolah bagus memang mahal.

Akhirnya, anak putus sekolah merdeka karena berbagai biaya melambung tinggi berbanding terbalik dengan penghasilan bapaknya yang petani, terlepas dari segala beban penjajahan pendidikan.

Dulu sih merdeka itu bebas dari penjajah. Preambul UUD 1945 bilang begini: Kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Oleh sebab itu, penjajahan di atas dunia harus dihapuskan... dst.

Merdeka! Eh, masak ada yang ingin merdeka dengan mengabaikan kemerdekaan orang lain. Masak ada merdeka memeras, merdeka mencuri, merdeka mengambil hak orang lain, merdeka korupsi, merdeka menginjak-injak orang kecil. Merdeka apa itu?

Masak merdeka kok malah buat kita-kita susah. Masak merdeka kok buat kita miskin. Merdeka buat kita tambah bodoh. Merdeka kok buat kita tambah nggak bebas.

"Merdeka kok belum ngopi?" kata Mamak Kenut.


Lampung Post, Rabu, 19 Agustus 2009

Sunday, August 9, 2009

Sudah Miskin Bodoh Pula

Oleh Udo Z. Karzi

SEKULA mak aga, ngaji mak aga, aga jadi api? (Sekolah tak mau, mengaji tak mau, hendak jadi apa?) Ini cerita tentang si Pinyut kecil yang serbasusah diatur. Sekolah bolos melulu. Ngaji juga nggak betah.

Ah, tapi itu dulu. Sekarang bukannya tidak mau sekolah, tetapi betapa mahal bersekolah. Pemerintah sih tukang boong aja. Ada program Wajib Belajar Sembilan Tahun. Masak di tivi dibilang sekolah gratis, tapi dalam kenyataanya... Waduh, alangkah mahalnya untuk bersekolah secara benar dalam arti tersedianya sarana-prasarana yang memadai untuk terlaksananya proses belajar-mengajar yang sewajarnya.

Membaca Hadi Aspirin (Lampung Post, 5 Juli 2009), Mamak Kenut cukup lama tepekur. Ada empat jenis anak di dunia: kaya-pintar, miskin tapi pintar, bodoh tapi kaya, dan yang terakhir sudah miskin bodoh pula.

Dengan berbagai cara--di tengah giatnya pemerintah kita melakukan liberalisasi pendidikan atawa komersialisasi sekolah--sungguh relatif tidak ada persoalan bagi tiga golongan pertama. Namun, betapa malangnya nasib anak golongan terakhir: miskin-bodoh.

"Sungguh kau sebetulnya tidak berhak hidup di negeri ini. Ya, habis mau bagaimana? Kalian itu hanya membuat susah saja. Sekolah kalau mau bermutu ya mahal. Lagi pula, kalau bodoh mana boleh masuk sekolah bagus. Sekolah bagus untuk anak pintar. Kalau nggak pintar, ya harus berani bayar mahal...."

Barangkali, untuk anak yang bodoh sekaligus miskin, bisa sekolah apa adanya di sekolah-sekolah dalam kasta yang terendah di kampung-kampung atau paling tidak pinggiran kota. (Pemerintah telah membuat stratifikasi atawa kastanisasi pendidikan dengan membagi-bagi golongan sekolah. Mulai dari kasta tertinggi sekolah bertaraf internasional (SBI), berikutnya rintisan SBI, sekolah standar nasional (SSN), dan kasta terendah sekolah reguler).

Dan, bertanyalah Pinyut kecil yang bodoh lagi miskin: "Tempat saya di mana?"

Tahukah pemerintah bahwa jumlah anak seperti Pinyut itu tidak sedikit. Data Susenas 2003 menyebutkan dari 42 juta anak usia sekolah (7--18 tahun) 64,5% yang berpendidikan tingginya hanya SD, sedangkan 35,5% dapat menyelesaikan SMP-nya, tetapi hanya 16,8% dari yang menamatkan SMP dapat melanjutkan SMA.

Betapa sulitnya anak-anak para petani, anak-anak buruh, anak-anak nelayan yang berada di daerah terpencil, pinggiran kota mengakses pendidikan.

Pemerintah kita ini memang nggak konsisten. Wajib belajar, sekolah gratis, ... dan seterusnya, kok gombal bener ya. Apanya yang wajib? Apanya yang gratis? Kenyataannya sekolah makin mahal. Rasanya capek mendengar alasan, pendidikan bermutu ya mahal.

"Sudah miskin, bodoh kali kau!" Ini makian yang sungguh menyakitkan. Tapi, negaralah yang seharusnya membuat kita-kita tidak miskin dan tidak bodoh. Ngerti nggak sih?


Lampung Post, Kamis, 6 Agustus 2009