Friday, July 29, 2011

Penumpang Gelap

Oleh Udo Z. Karzi


NYANYIAN Nazaruddin rupanya membuat banyak orang merasa tidak nyaman. Belingsatan, ribut-ribut, lalu saling tuding. Dan, SBY pun berseru, "Hati-hati, jangan ada pihak yang memancing di air keruh dan menjadi penumpang gelap," katanya beberapa waktu lalu.

Wah, bukannya reda, orang-orang justru bertambah riuh, terutama pers yang dituding menghakimi Partai Demokrat menyebarkan berita bersumber dari SMS dan BlackBerry Messenger dari orang yang mengaku Nazaruddin.

O, jadi penumpang gelap itu menumpang di media?

***

Sebelumnya, sekitar Maret 2011, Menakertrans juga mengatakan ada penumpang gelap yang terdeteksi dalam pemulangan tenaga kerja Indonesia (TKI) bermasalah. Orang-orang yang dianggap penumpang gelap itu adalah mereka yang melakukan ibadah umrah, tetapi tidak bersama rombongan. Namun, mereka juga bukan TKI.

Dia sih tak mengetahui secara pasti berapa persen jumlah penumpang gelap karena pemerintah masih melakukan pelacakan. "Yang jelas, penumpang gelap harus hati-hati jangan sampai menghambur-hamburkan uang negara," ujar dia. Meskipun demikian, pemerintah tetap membantu penumpang gelap yang ingin kembali ke Indonesia, dan dalam keadaan tidak mampu.

Iya ya kasihan masak mau diturunin di tengah jalan.

***

Kalau ada orang menumpang kendaraan umum tanpa memiliki memiliki tiket, namanya penumpang gelap. Inilah cara murah atau gratis melakukan perjalanan. Kalau tidak ketahuan ya selamatlah sampai tujuan. Tapi, kalau ketampang kondektur atau pemeriksa karcis, ya terpaksa bayar kalau punya uang atau malah risikonya diturunkan di tengah jalan.

Katanya sih penumpang gelap banyak juga yang beruntung.

***

Katanya sih, reformasi kita bisa kayak gini karena banyak penumpang gelapnya. Kita ingin menegakkan demokrasi, tetapi banyak distorsi yang terjadi dalam prakteknya. Distorsi dimaksud telah masuk ke dalam banyak bidang, politik, ekonomi, pers, bahkan kehidupan intelektual. Ya, penumpang gelap demokrasi telah mendistorsi nilai demokrasi.


Lampung Post, Jumat, 29 Juli 2011

Monday, July 25, 2011

Republica

Oleh Udo Z. Karzi


PLATO identik dengan filsafat, dan filsafat identik dengan Plato. Pemisahan filsafatnya dari politik tidaklah tepat. Hasilnya, Plato bukan sekadar identik dengan filsafat, tetapi juga identik dengan politik. Meskipun demikian, tidak dapat disangkal bahwa ia adalah pemikir etika sebelum menjadi ahli politik. Pendirian etisnya amat tegas terhadap aktivis-aktivis muda yang berpolitik dengan penuh gairah dan ambisi, tapi miskin kesiapan dan moralitas.

Tak pelak lagi, konsep keadilan pun menempati titik sentral dalam diskusi-diskusi etika Plato. Kebanyakan dialog yang tercatat dalam Republica berkisar pada konsep itu. Dalam analisis Guthrie, Republica itu sendiri adalah kata Yunani yang berarti manusia adil atau perihal keadilan.

Keadilan adalah keutamaan (arete) yang membangun kepribadian manusia secara utuh, pada saat yang sama menghidupkannya aktif dalam pergaulan sosial. Poin ini, yakni memandang citra keadilan pada pembinaan jiwa individu sama dengan citranya pada pembinaan pergaulan sosialnya, adalah bagian lapisan paling dasar dalam filsafat politik Plato.

Ketika para peserta dialog mendiskusikan hakikat keadilan, muridnya yang cerdas, Socrates mengusulkan supaya pertama-tama mengkaji keadilan dan ketidakadilan pada tingkat negara, kemudian mengkajinya pada tingkat individu; menelusurinya dari yang besar ke yang kecil lalu membandingkannya. Gloucon, salah satu peserta, malah memuji usul ini sembari sepakat dengan kesimpulan Socrates, bahwa "Tidak ada bedanya antara seorang yang adil dan masyarakat yang adil, maka keduanya sama, karena sama-sama membawa hakikat keadilan". Masalahnya, apakah hakikat keadilan? Dengan kata Copleston, apakah prinsip-prinsip keadilan individu dan keadilan sosial?

Keadilan menjalani definisasi yang beragam di sepanjang diskusi. Mulai dari "memenuhi hak orang lain" melalui "kepentingan orang yang lebih kuat" sampai "menjalankan tugas masing-masing dan tidak campur tangan dalam tugas selainnya".

Definisi terakhir dikontraskan dengan penerjangan atau pemerkosaan politis, yang pada gilirannya menimbulkan kekacauan sebelum dapat membubarkan kehidupan bernegara. Dari sinilah Plato meyakinkan kita bahwa keadilan—menurut definisi ketiga—merupakan landasan kehidupan bermasyarakat.

Dalam kerangka itu, diperlukan spesialisasi. Setiap anggota memerlukan keahlian dalam menjalankan tugasnya, kecil ataupun besar, sekalipun ia tukang kayu atau pengesol sepatu. Plato menyatakan bahwa perkara pengelolaan masyarakat memerlukan lebih dari sekadar keahlian. “Lebih dari sekadar keahlian” memperingatkan aksioma yang berlaku bahwa pemerintahan bukan hanya bekerja guna memenuhi kebutuhan materi, melainkan juga menyediakan lahan-lahan pengembangan spiritual dan moral masyarakat.

"Oleh karena ini," tutur Socrates, "kamu hanya akan menyerahkan kendali masyarakatmu ke tangan orang-orang yang dari satu sisi mengetahui syarat-syarat kebajikan hakiki masyarakat lebih dari yang lain, dan dari sisi lain mereka berwenang menerima kehormatan di atas posisi memerintah". Lalu, siapakah mereka itu?

Lampung Post, Senin, 25 Juli 2011

Wednesday, July 20, 2011

Ingat Kontrak Sosial agar Tak Lupa Diri!

Oleh Udo Z. Karzi


Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia. (Pembukaan UUD 1945)

TENTU sebagai warga negara—siapa pun kita, terlebih-lebih pemimpin—tidak boleh lupa dengan kontrak sosial ini. Secara lebih detail kontral sosial ini dijabarkan dalam pasal demi pasal UUD 1945. Inilah tujuan kita berbangsa-bernegara. Di dalam kontrak sosial tersebut adanya cita-cita bersama—rakyat dan pemerintah—yang ingin dicapai. Kontrak sosial inilah yang kemudian menyatukan seluruh suku bangsa, yang sangat banyak tanpa pengecualian dan diskriminasi. Kontrak sosiallah yang diakui seluruh bangsa dan negara.

Negara ini memiliki visi dan misi yang jelas sebagaimana tercantum dalam kontrak sosialnya. Namun, kita melihat betapa banyak penyimpangan kontrak sosial yang karena keterbatasan ruang tidak mungkin kita bahas di sini.

***

Rasionalitas abad ke-17 yang mendasari teori terjadinya negara dan hukum atas dasar kontrak dan persetujuan rakyat sebagaimana dimajukan Thomas Hobbes (1588—1679), John Locke (1632—1704), Jean-Jacques Rousseau (1712—1778). Locke, dan kemudian juga Rousseau, disebut-sebut sebagai peletak dasar konsep demokrasi. Menurut kedua pemikir teori kontrak sosial ini, yang disebut “rakyat” itu tak lain daripada sekumpulan individu-individu yang kesepakatan kontraknya tak begitu saja dimaknakan sebagai kesediaan untuk berserah diri dan melepaskan kebebasan individualnya secara total kepada sang penguasa. Penguasa adalah pejabat yang mengemban mandat rakyat untuk menjaga dan menjamin hak-hak rakyat yang asasi, yang manakala disalahgunakan akan memberikan hak kepada rakyat untuk mencabut mandat itu, kalau perlu dengan paksa: revolusi!

Teori kontrak sosial menjelaskan, terbentuknya negara adalah karena anggota masyarakat mengadakan kontrak sosial untuk membentuk negara. Dalam teori ini, sumber kewenangan adalah masyarakat itu sendiri.

Jadi, jangan lupa (diri)!


Lampung Post, Rabu, 20 Juli 2011

Monday, July 11, 2011

Pembusukan Politik

Oleh Udo Z. Karzi


TELAH terjadi (semoga tidak!) pembusukan politik di semua lini institusi eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Tak satu pun (semoga tidak!) institusi politik di negara kita ini yang sehat. Kebanyakan (semoga tak terlalu banyak!) politisi kita sakit-sakitan. Birokrasi di segala bidang terkena parkinson (semoga masih ada yang sehat!).

Mamak Kenut tak melihat (semoga pikiran Mamak Kenut sendirian) pemerintah melakukan apa pun untuk memperbaiki keadaan. Tak satu pun kebijakan (syukur-syukur ada!) mampu menyehatkan perekonomian negeri yang sedang akut. Dan, tak ada gebrakan (pemerintah sih merasa dah kerja keras!) yang dapat mengubah situasi negeri ke arah lebih baik.

Para pejabat, para birokrat, para politikus, dan para legislator... siapa pun susah dipercaya. Kita gugat saja rame-rame. Mereka-mereka inilah yang membuat pembusukan politik (political decay).

Reformasi telah berlalu. Teriakannya sudah mulai lirih: sayup-sayup dan hampir tak terdengar lagi. Partai politik yang seharusnya menjadi agen utama dalam pembangunan politik (political development) justru menjadi biang kerok. Konflik internal partai yang tak berkesudahan mengimbas ke berbagai segi: ke institusi negara, ke para menteri, ke anggota DPR, ke daerah, ke rakyat biasa. Perbaikan yang digagas jauh dari harapan. Bukan pembangunan yang terjadi, tetapi perusakan kalau bukan pembusukan.

Pada saat yang sama, kredibilitas dan legitimasi pemerintahan mulai dipertanyakan. Masihkah pemerintah dapat diandalkan? Benarkah pemerintahan saat ini berjalan efektif?

Mat Puhit sampai tak percaya kalau saat ini kita punya pemerintah. Pemerintah ada, tetapi tidak memerintah. Masing-masing hanya sibuk dengan urusan sendiri-sendiri. Rangkap jabatan? Enggak masalah! Memerintah itu bisa disambi ngurus partai. Itulah hebatnya orang Indonesia. Makanya, jangan anggap enteng kemampuan pemimpin-pemimpin kita: "Jabatan di partai tidak mengganggu tugas-tugas kenegaraan. Dan, tidak sepotong aturan pun yang melarang perangkapan jabatan."

Kita memang tak pernah serius berupaya membangun negeri ini. Kita hanya sibuk memikirkan sesuatu yang lebih riil. Praktis-praktis saja. Jadi, political decay seperti juga pembusukan ekonomi, pembusukan sosial, pembusukan budaya, dan pembusukan apa pun adalah suatu kewajaran.

"Wajar sih wajar. Tapi apa iya kita mau membiarkan negeri ini hancur berantakan dimakan cacing?"

"Ya, gimana lagi kalau yang namanya birokrat, politisi, atau apa pun nama jabatan orang yang memimpin kita malah tidak tidak memikirkan yang dipimpinnya?"


Lampung Post, Senin, 11 Juli 2011

Friday, July 8, 2011

Kursi Haram

Oleh Udo Z. Karzi


“SEBAGAI makhluk sosial,” begitu Nova Lidarni menulis, “Manusia selalu membutuhkan orang lain. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia harus mencari karunia Allah yang ada di muka bumi ini sebagai sumber ekonomi.” (Lampung Post, 7 Juli 2011)

Mat Puhit meringis membaca ini. Ia teringat pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) di sekolah dasar di masa lalu. Pak Guru PMP kira-kira berkata begini: “Kita tidak boleh bersikap individualis (egois?). Kita harus mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi dan golongan.”

Itulah gambaran ideal. Dunia penuh dengan nilai-nilai luhur, yang membuat manusia menjadi humanis, yang menjadikan orang berlomba memperjuangkan kebajikan, dan yang menjadikan insani mati-matian mempertahankan kebenaran.

Tapi, inilah alam nyata. Kalaulah mereka mengamalkan Pancasila secara murni dan konsekuen, tentulah Gayus dan Nazaruddin tidak akan melakukan tindakan tidak terpuji sebagaimana diberitakan selama ini. Tentulah tidak akan ada “kursi haram” di lembaga legislatif dan bahkan di sekolahan.

***

Ngomong-ngomong soal kursi, memang lagi hangat ni,” celetuk Minan Tunja.

“Iya, masa demi kursi orang berani melakukan apa saja. Enggak peduli itu dengan cara-cara yang bermartabat atau malah jauh dari sifat-sifat kemanusiaan,” kata Pithagiras pula.

“Itu kan pelitik?” kata Radin Mak Iwoh.

“Kalo berpolitik dengan menghalalkan segala cara kan apa bedanya dengan hewan?” Udien nimbrung.

“Itulah makanya Aristoteles bilang manusia sebagai zoon politicon—manusia adalah binatang yang berpolitik. Saya pikir ada kecenderungan manusia bertindak layaknya hewan ketika berebut kursi (kekuasaan),” Mamak Kenut mencoba berefleksi.

“Tapi kan dalam Politics, Aristoteles menggariskan tentang posisi manusia terkait dengan penyelenggaraan kekuasaan (baca: berpolitik) demi mencapai kemaslahatan publik atau res publica. Di sinilah letak perbedaan mendasar antara manusia dan jenis makhluk lain (baca: hewan) yang tidak memiliki kapasitas berpolitik,” Mat Puhit sedikit mengoreksi.

“Lagi-lagi itu idealnya. Kehidupan riil menyebutkan manusia kadang-kadang lupa kalau dia manusia kalau udah bicara kursi. Kursi haram atau tidak, tidak banyak yang peduli. Benar-benar zoon politicon!"


Lampung Post, Jumat, 8 Juli 2011