Saturday, October 22, 2011

Negara Leviathan

Oleh Udo Z. Karzi


Hukum adalah perintah-perintah dari orang yang memiliki kekuasaan untuk memerintah dan memaksakan perintahnya kepada orang lain.

(Thomas Hobbes dalam Leviathan, 1651)

BERKALI-KALI, berkali-kali.... terdakwa korupsi lepas dari jerat hukum alias divonis bebas karena tidak terbukti bersalah. Logikanya kalau memang tidak bersalah ya kenapa memang harus dihukum. Tapi, logika awam juga mempertanyakan kalau benar-benar tidak bersalah kenapa harus ada proses hukum yang sedimikian rupa sampai mendudukkan seseorang di kursi terdakwa korupsi.

Mamak Kenut agak bingung juga, apakah sesungguhnya keadilan hukum itu? Kalau ditanya soal ini pakar hukum di Negarabatin jelas akan berkelit dengan sejumlah pasal untuk kemudian mengatakan, "Itu sudah adil." Kemudian hakim akan berujar, "Hukum telah ditegakkan!"

Lalu, teringatlah Thomas Hobbes. Hobbes sering menjuluki negara kekuasaan sebagai leviathan, negara yang menimbulkan rasa takut kepada siapa pun yang melangar hukum negara. Bila warga negara melanggar hukum, negara leviathan tidak segan-segan untuk menjatuhkan vonis hukuman mati. Hobbes berpendapat manusia dalam keadaan alamiah bukanlah sejenis hewan sosial seperti yang dikemukakan Aristoteles meskipun sama-sama memiliki naluri, manusia yang berbeda dengan hewan, naluri hewan mendorong seekor semut atau lebah untuk berkompromi dan berdamai, jadi secara instingtif, semut dan lebah memiliki watak sosial.

Keadaan yang seperti itu yang kemudian memaksa akal manusia untuk mencari kehidupan alternatif yang baik yang mana manusia dapat mengekang hawa nafsunya, keadaan alternatif tersebut ditemukan oleh Hobbes setelah manusia mengadakan perjanjian untuk membentuk negara.

Di manakah keadilan berada dalam kondisi seperti ini? Kata Hobbes: Tidak ada! Menurutnya, "Where there is no common powerm there is no law, where no law, no injustice." Ini adalah poin yang paling signifikan membedakan Hobbes dengan pemikir politik lainnya. Selama berabad-abad, manusia telah berasumsi bahwa sesungguhnya keadilan itu ada di balik atau lebih tinggi kedudukannya daripada men's daily practice of justice in punishing offenders. The Platonic form, or ideal, of justice might be greatly at variance with what the men or powerwere doing in the law courts; but the former stood as an immutable standard whereby the latter could be judged. The "jus naturale" of the roman lawyers was thought to have a more immediate relevance to practice, in that the right reason of the judges could bring into operative law, especially the jus gentium, the tenets of the more exalted natural law. Hobbes wipes away this distinction. Without organized power in society, justice simply does not exist. It is the product of power and not the guide or judge of power. The concept of natural law remains but it is transformed. It is ot what men of right reason ought to do live properly; it is what reason shows men of passion must do to stay alive.

Jadi, hukum tidak lebih dari alat penguasa untuk memerintah. Kalau begitu, sulit dong kita, rakyat kebanyakan mendapatkan keadilan. Induh kidah.... n


Lampung Post
, Sabtu, 22 Oktober 2011

Thursday, October 6, 2011

Demokrasi Semu

Oleh Udo Z. Karzi


SUKSES. Negarabatin baru saja menggelar pemilihan kepala daerah (pilkada) di tiga daerah otonomi baru. Hasilnya sudah diplenokan KPU kabupaten masing-masing. Namun, lagi-lagi yang menang justru orang-orang kayak Mamak Kenut dkk. yang justru tidak ikut memilih, apa lagi mencalonkan diri. (Hahaa... jangan dengar pendapat Mamak Kenut).

Yah, kemenangan sejati justru dimiliki orang-orang yang hidup damai tanpa harus grasah-grusuh memperjuangkan hasrat berkuasa. Kasian orang yang terlalu ingin berkuasa, sampai-sampai harus melakukan apa pun, tak peduli melewati batas-batas—jangan dikata etika dan kepantasan, melanggar norma dan hukum pun tak masalah.

"Kok ya enggak takut dosa?" tanya Minan Tunja.

"Hihii... hari gini masih ngomong soal dosa dan pahala," kata Pithagiras.

"Ya tetap aja penting dong! Korupsi, pelanggaran hukum, dan pelanggaran agama kan karena orang enggak takut dosa," Minan Tunja berkeras.

"Dosa itu abstrak! Jangan tanya dengan politisi. Jawabannya kan selalu, 'Ini pelitik, Bung'," sambar Udien.

"Yah, kayaknya sih kalau masih takut dosa, enggak usah main pelitik-pelitikan," kata Radin Mak Iwoh.

"Ya, itulah politik, menghalalkan segala cara," kata Pithagiras.

"Masalahnya riil politik di Negarabatin hari ini kan berkata lain. Boleh dibilang pemilu dan pilkada sesungguhnya masih jauh dari esensi demokrasi dan penghormatan terhadap hukum. Buktinya setiap kali ada pesta demokrasi, selalu saja muncul gugatan-gugatan kecil."

"Wah, itu kan bukan berarti pilkadanya tidak demokratis?"

"Yah, demokrasi semu... demokrasi seolah-olah. Asas pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil lebih sering diabaikan. Kecurangan, politik uang, juri (KPU) tidak independen, panitia pengawas yang tak berdaya, intimidasi, pemaksaan kehendak, gugat-menggugat, serta sikap tidak mengakui kekalahan dan menghormati kemenangan orang lain adalah indikasi dari tidak adanya fair play dalam pelaksanaan pemilu (pilkada)."

"Jangan terlalu idealislah."

"Bukan sebaliknya, jangan terlalu abai dengan hal-hal yang lebih substansiallah. Sebab, kalau tidak, negeri ini tetap tidak bisa keluar dari krisis kepercayaan yang berlarut-larut kepada politik, kepada pemimpin, kepada masa depan..." n


Lampung Post, Kamis, 6 Oktober 2011