Monday, February 27, 2012

Ingatan Sosial

Oleh Udo Z. Karzi


"INGAT saya," kata Raja Hamlet kepada anaknya. "Beritahukan cerita saya. Bawa memori saya, warisan saya, legitimasi saya, ke generasi berikutnya, untuk umatku, untuk anak-anak, dan cucu."

Demikianlah, ingatan pada mulanya bukan merupakan sebuah tindakan, melainkan sejenis pengetahuan semisal persepsi, imajinasi, dan pemahaman. Ingatan memunculkan pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa masa lalu, atau kelaluan dari peristiwa-peristiwa masa lalu.

Paul Ricoeur (1999) mengatakan ingatan memiliki dua jenis hubungan dengan masa lalu. Pertama, relasi pengetahuan dan kedua, relasi tindakan. Kedua relasi ini muncul karena mengingat merupakan jalan untuk melakukan segala hal, tidak hanya dengan kata-kata, tetapi juga dengan pikiran kita. Dalam mengingat atau mengenang kita menggunakan ingatan kita, yang merupakan sejenis tindakan. Justru karena ingatan merupakan sebuah exercise, kita dapat berbicara tentang penggunaan ingatan, yang pada gilirannya memungkinkan kita berbicara tentang penyalahgunaan ingatan. Persoalan-persoalan etis akan muncul begitu kita mulai merefleksikan hubungan antara penggunaan dan penyalahgunaan ingatan ini.

Di sinilah pentingnya sejarah ditulis sebagai bahan ingatan sosial. Tersebab itu pulalah Bung Karno mewanti-wanti: "Jasmerah, jangan sekali-kali melupakan sejarah." Sayangnya, perhatian terhadap penulisan sejarah sebagai sebuah rememoration masih kurang mendapat perhatian, baik dari sarjana Indonesia maupun sarjana luar negeri yang concern dengan persoalan-persoalan politik, sosial, ekonomi, dan budaya di Indonesia. Lebih-lebih masih ada kelompok-kelompok kepentingan tertentu yang enggan mengakui kebenaran sejarah masa lalu, baik karena gengsi kekuasaan maupun karena merasa kepentingannya terancam.

Jika demikian halnya, sejarah sebagai rememoration akan mencatat bagaimana usaha menempatkan masa lalu pada tempatnya selalu menemukan hambatan. Masa lalu masih menjadi medan pertarungan antara mereka yang ingin menjadikannya sebagai sejarah, dalam arti masa lalu yang telah berlalu, dan mereka yang ingin memeliharanya sebagai hantu. Mereka yang memelihara masa lalu sebagai hantu jelas tidak akan pernah belajar apa pun dari masa lalu. Mereka telah menjadi "sandera dari masa lalu yang mereka bakukan sendiri" (Trouillot, 1995).

Padahal, seharusnya setiap orang bisa belajar dari masa lalu. Dalam kaitannya dengan kekerasan masa lalu misalnya, baik pelaku maupun korban bisa mendapatkan pelajaran berharga dari peristiwa kekerasan. Bagi pelaku, mengingat penderitaan korban di masa lalu merupakan tanggung jawab etis yang harus dia lakukan agar kejahatan serupa tidak terulang lagi. Lebih dari itu, ingatan akan penderitaan korban ini pun harus disampaikan kepada anak cucunya sedemikian rupa sehingga dapat meminimalkan kemungkinan munculnya korban-korban potensial dan pelaku- pelaku potensial atas kejahatan dan kekerasan yang sama.

Bagi korban, ingatan akan kekerasan di masa lalu dapat menjadi referensi untuk meminta pertanggungjawaban terhadap pelaku sebagai upaya rehabilitasi atas penderitaan yang selama ini ditanggungnya. Dengan demikian, hak-hak korban sebagai manusia dan warga negara diharapkan dapat dipulihkan dan proses hukum yang berlaku harus ditetapkan dilaksanakan agar para korban mendapatkan rasa keadilan dan perlindungan yang semestinya dia dapatkan sebagai warga negara merdeka.

Lampung Post, Senin, 27 Februari 2012

Friday, February 10, 2012

Kala Mahasiswa Mulai Memberi Sesuatu...

Cerita tentang Ari Darmastuti


Oleh Udo Z. Karzi


"KETIKA mahasiswa mulai memberi sesuatu, itulah korupsi. Budaya gratifikasi itu, kan, dimulai di kampus. Ketika dia (mahasiswa) menjadi pengusaha atau jadi pejabat, itu, kan pengin dikasih sesuatu," kata Asep Iwan Setiawan, mantan hakim yang memilih mengakhiri kariernya pada 2006. Ia mengaku kecewa dengan komitmen antikorupsi petinggi-petinggi Mahkamah Agung. Kini, ia dosen di lima fakutas hukum sejumlah universitas di Jakarta dan Bandung.

Membaca artikel ini di Kompas, Senin, 6 Februari 2012, saya lantas teringat sebuah perbincangan di ruang dosen Ilmu Pemerintahan FISIP Unila suatu kali.

Di tengah obrolan, seorang dosen muda mempersilakan saya mencicipi kue. "Ini dicoba kuenya. Nggak apa, ini kue Bu Ari (Ari Darmastuti)," kata sang dosen.

Brownies! Jelas saya agak enggan mencomotnya. Ini makanan cukup mewah juga bagi saya. Apalagi belum ada yang memotongnya.

Bu Ari masuk ke ruangan. Dia pun menyodorkan brownies dan mempersilakan saya menyantap kue itu sembari berkata, "Mahasiswa sekarang ini... sok borju. Baru seminar I saja sudah kasih-kasih..."

"Memangnya kalau tidak kasih sesuatu, mahasiswa tidak saya kasih nilai atau tidak saya luluskan...," tambah Ari.

Ooh, jadi brownies tadi pemberian mahasiswa rupanya. Kaget juga teringat dulu saya ketika mahasiswa seminar I, seminar II, ujian skripsi tak sepotong pemberian pun saya berikan kepada dosen pembimbing I, pembimbing II, dan penguji utama.

(Ah, dalam kesempatan ini, barangkali, tidak ada salahnya saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dian Komarsyah, Bapak A. Effendi, dan Bapak Yulianto yang memberi saya nilai A... untuk skripsi. Ya, untuk skripsi saja. Kalau nilai mata kuliah yang lain... we hehee....)

Cerita ini sebenarnya tentang seorang Ari Darmastuti. Bu Ari, demikian dia disapa, tanpa tendensi apa-apa, setidaknya memperlihatkan kepada saya sebuah contoh bagaimana seharusnya komitmen -dijalankan. Tentu saja dalam kapasitas Bu Ari sebagai dosen.

Senin, 8 Februari 2012, Panitia Seleksi KPU dan Panwaslu meloloskan Ari Darmastuti sebagai salah satu dari 30 calon anggota KPU yang lulus pada tahan kedua. Dia juga satu dari lima perempuan yang lulus calon anggota KPU.

"Saya tidak akan melompat ke partai politik jika terpilih sebagai anggota KPU Pusat. Saya akan terus menjaga independensi. Sebab, hanya dengan independensi KPU persaingan partai politik dalam kancah pemilu bisa berlangsung secara sehat," kata Ari (Lampung Post, 7 Februari 2012).

Ari mengatakan sejak awal maju mencalonkan diri sebagai anggota KPU, dukungan teman-teman, sahabat, dan kerabat khususnya, juga masyarakat Lampung pada umumnya sangat besar. Sebab, sejak mendaftar dia merasa semua yang dia lakukan bukan demi diri sendiri, tetapi demi banyak orang, masyarakat Lampung khususnya dan Indonesia umumnya.

Dengan komitmen yang jelas dan kuat untuk menyukseskan Pemilu 2014, kita penuh harap Ari Darmastuti bisa melaju ke tahap selanjutnya dan menjadi komisioner. Sukses Bu Ari. Semoga.

Lampung Post, Jumat, 10 Februari 2012