Friday, March 16, 2012

Kembali pada Nilai

Oleh Udo Z. Karzi


CELAKALAH kita yang kelewat pragmatis, malas berpikir, dan ingin serbainstan. Mentalitas menerabas dan tak menghargai mutu membuat kita cenderung bertindak dengan mengabaikan nilai. Plagiarisme yang marak dalam tradisi ilmu pengetahuan, seni, dan sastra menunjukkan betapa kita sangat tidak menghargai nilai.

Nilai tidak lahir dengan cepat, tetapi butuh waktu untuk identifikasi dan menanamkannya menjadi keyakinan-keyakinan. Nilai-nilai pribadi berubah sepanjang waktu. Nilai-nilai tersebut berkembang, berubah, dan secara tetap beralih menuju sebuah kumpulan menjaga nilai-nilai yang telah mapan sebelumnya dan menambahkan nilai-nilai baru.

Sebelum sebuah organisasi dapat berkembang dan mengartikulasikan norma dan nilai para anggota kelompoknya, individu-individu harus berpikir dan menghabiskan waktu yang cukup untuk menentukan nilai-nilai personal.

Berbicara nilai memang tidak lepas dari tradisi berpikir. Ilmu tentang nilai-nilai biasa disebut filsafat. Istilah nilai dalam bidang filsafat dipakai untuk menunjuk kata benda abstrak yang artinya "keberhargaan" (worth) atau "kebaikan" (goodness) dan kata kerja yang artinya suatu tindakan kejiwaan tertentu dalam menilai atau melakukan penilaian (Frankena).

Dalam Dictionary of Sociology an Related Sciences dikemukakan nilai adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik nikmat seseorang atau kelompok (the believed capacity of any object to satisfy a human desire). Jadi, nilai itu pada hakikatnya adalah sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek.

Menilai berarti menimbang, suatu kegiatan manusia untuk menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain, kemudian untuk selanjutnya diambil keputusan. Keputusan itu merupakan keputusan nilai yang dapat menyatakan berguna atau tidak berguna, benar atau tidak benar, baik atau tidak baik, indah atau tidak indah.

Keputusan nilai yang dilakukan oleh subjek penilai tentu berhubungan dengan unsur-unsur yang ada pada manusia sebagai subjek penilai, yaitu unsur-unsur jasmani, akal, rasa, karsa (kehendak), dan kepercayaan. Sesuatu itu dikatakan bernilai apabila sesuatu itu ideal, berharga, berguna, benar, indah, dan sebagainya.

Kembalilah kepada ajaran nilai. Tapi, alangkah sialnya karena di negeri ini yang bernama nilai dengan gampang diplagiat, dipalsukan, dan dikotori. Masalahnya, kebanyakan kita menghabiskan waktu pada aktivitas yang merampok, bukannya memperkaya kehidupan kita. Akibatnya, nilai yang kita perjuangan kan jauh dari sesuatu yang bermakna, ideal, berharga, berguna, benar, dan indah itu. Ya, nilai yang kita perjuangkan adalah nilai-nilai kesia-siaan.


Lampung Post
, Jumat, 16 Maret 2012