Tuesday, October 30, 2012

Resolusi Konflik

Oleh Udo Z. Karzi


SULIT bagi Mamak Kenut memahami mengapa terjadi kerusuhan atau amuk massa. Tapi, realitaslah yang terjadi. Perkelahian pelajar, keributan konser musik, frustrasi suporter sepak bola, dan permusuhan antarkampung.

Alasan-alasan yang muncul terkadang sepele. Penyebab kejadian dan akibatnya selalu tidak sebanding. Kerugian materi dan jiwa terlalu mahal hanya untuk menebus masalah sepele.

Masalahnya memang bukan untung-rugi. Orang yang terlibat tidak pernah berpikir ke sana. Mereka dihinggapi collective mind yang tidak rasional (McDougall).

Namun, tentu saja kita tak bisa begitu saja menghakimi mereka (pihak yang terlibat kekisruhan). Tindakan yang tergesa-gesa dilakukan terhadap mereka sama tidak rasionalnya dengan mereka. Masalahnya jelas sangat kompleks, bukan sekadar pada perilaku mereka dan akibatnya.

***

Kejadian-kejadian itu jelas menuntut penjelasan teoretis. Terpaksa Mamak Kenut buka-buka referensi lagi. Dari kajian psikologi-sosial mazhab Baron dan Byrne (2009) akan didapat penjelasan, kerusuhan yang berawal dari perkelahian dua individu itu didukung oleh adanya stereotip oleh masing-masing kelompok.

Dua orang dianggap sebagai representasi dari dua kelompok. Mereka mengacaukan nalar antara konflik pribadi dan relevansinya dengan asumsi, kecurigaan, serta kebencian-kebencian kolektif yang tanpa dasar.

Terapi psikologi berdasarkan panduan Gerald Corey (1995) memberikan rekomendasi tentang pentingnya pemanfaatan terapi kognitif dan realitas. Hal itu setidaknya telah dilakukan oleh para aparat yang mengundang dua pihak untuk menandatangani nota kesepahaman. Di permukaan tampaknya kerusuhan memang reda, tetapi masyarakat masih menutup pintu dan masing-masing anggota kelompok tidak bisa melepaskan kecurigaan begitu saja.

Kajian sosiologi akan menghasilkan simpulan tentang adanya kerumunan massa yang berpotensi menimbulkan anomi dan kekerasan. Berdasarkan teori Emile Durkheim, kita mendapatkan petunjuk bahwa kasus ini merupakan pelampiasan-pelampiasan hasrat individu untuk merusak dalam situasi anomi. Itu mengisyaratkan retaknya integrasi sosial di tengah-tengah masyarakat.

***

Mamak Kenut mencatat, warisan primitif manusia mengungkap kenyataan bahwa kita sesungguhnya menyukai kekerasan. Itulah kenapa kekerasan yang terjadi berurutan itu berada dalam satu alur: berawal dari bentrok individual menuju amuk massa. Masalahnya, pemerintah kehilangan daya membangun manusia Indonesia yang mampu memahami resolusi konflik melalui komunikasi, empati, dan permaafan.


Lampung Post
, Selasa, 30 Oktober 2012

Saturday, October 27, 2012

Kerja Pengamat Kok Cuma Otak-atik Pasal

Oleh Udo Z. Karzi


PIKIRAN Mamak  lagi buntu. Ia kutip saja Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD saat memberikan orasi dalam wisuda sarjana di Universitas dr Soetomo (Unitomo) Surabaya, Sabtu, 16 Oktober lalu.

Begini katanya: “Perguruan tinggi telah gagal karena hanya melahirkan kecerdasan dan bukan kecendiakawanan. Kegagalan perguruan tinggi itu terlihat dari tidak bekerjanya kecendekiawanan dari para lulusannya. Orang pintar saja, tetapi tidak cendekia itu justru mengacaukan keadaan, karena hanya melahirkan orang-orang yang tidak jujur, korup, dan tidak bertanggung jawab kepada bangsanya.”

Diskursus relasi cendekiawan dan kekuasaan tetap menarik dibincang. Apalagi jika dikaitkan dengan perkembangan politik aktual, manakala banyak kaum terdidik bergabung ke partai politik disusul barisan pendukung para (calon) presiden/kepala daerah.

Seharusnya, keterlibatan cendekiawan tidak perlu diprasangkai, lebih baik dipandang wajar atau justru positif. Andil cendekiawan dalam politik praktis bukan hanya hak, melainkan juga partisipasi praksis-pengetahuan yang selama ini mengendap dalam kognisi cendekiawan.

Namun melihat realitas yang terjadi, keterlibatan cendekiawan tidak hanya perlu dikritisi, tetapi juga dipesimisi, bahkan ditentang. Sebab, alih-alih produktif dalam memperjuangkan idealismenya, cendekiawan akan larut dalam praktik diskursif kekuasaan, sehingga identitas kecendekiawanannya dekaden.

Dulu, kalo ada (rencana) pemilukada, independensi jurnalis dipertanyakan, kemudian netralitas KPU diragukan, sekarang integritas akademisikan pun bisa dipermasalahkan.

“Ah, kelewat serius,” celetuk Minan Tunja.

“Iya, saya pernah membaca betapa bahaya menjadi orang serius,” kata Pithagiras.

“Tapi lebih bahaya orang yang tak pernah serius,” sambar Mat Puhit.

“Ini baca. Kecendekiawanan model apa yang membuat pemilihan gubernur di Lampung hampir selalu didahului dengan huru-hara? Kecendekiaan apa yang membuat pertemuan membahas jadwal dan anggaran Pemilihan Gubernur (Pilgub) Lampung antara Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Pemerintah Provinsi Lampung tidak menemukan titik temu?”  sambung Udien.

“Ei, ngapi muneh butong-butong,” kata Radin Mak Iwoh.

“Kerja pengamat cuma otak-atik pasal aja. Saya diminta wawancara dengan pengamat yang netral tentang hal ini. La, siapa pengamat yang netral itu?” kata Udien kesal.


Lampung Post, Sabtu, 27 Oktober 2012

Friday, October 19, 2012

Kekuasaan seperti Halnya Cinta...

Oleh Udo Z. Karzi


SEBUTLAH kekuasaan. Maka sebuah nama segera hadir: Niccolò Machiavelli. Filsuf ini paling intens menaruh perhatian pada konsep kekuasaan.  Machiavelli hidup di Florence, Italia, pada Abad XVI (1469-1527).

Berhadapan dalam sistem nilai di Abad Pertengahan begitu rumit, Machiavelli kemudian menuangkan idenya tentang kekuasaan dalam bukunya, II Principe (ditulis 1513, tetapi baru diterbitkan 1532, lima tahun setelah kematian Machiavelli). Buku ini  sangat monumental dan menjadi klasik. Isinya membahas cara pandang kekuasaan dalam pendekatan yang sama sekali berbeda dengan pemahaman-pemahaman orang-orang pada Abad Pertengahan.

Ia memang menitikberatkan konsep kekuasaannya pada kekerasan. Menurut dia, para penguasa yang tidak setuju menggunakan kekerasan dalam aktivitas dalam berpolitik tidak akan memperoleh kekuasan yang optimal atau bahkan akan kehilangan kekuasaan yang dimilikinya. Namun, pada bagian lain menerangkan, penggunaan kekerasan yang terlalu berlebihan pun akan mengakibatkan konsekuensi yang negatif bagi penguasa itu sendiri.

Karena itu, selain menebar ketakutan ia (sang penguasa) pun harus mampu menebar kharisma bagi aktor lain (individu maupun kelompok). Dengan begitu, penguasa tidak hanya harus mampu menjadi seekor “serigala”, tetapi juga ia musti mampu menjadi seekor “rubah”.

Jangan salah, Machiavelli pula yang menggagas bentuk negara modern. Ia mengatakan, republik adalah bentuk negara yang cocok bagi negara-negara modern; yang sama sekali berbeda dengan rezim Monarki Absolut (seperti yang mengada pada Abad pertengahan).  Negara Republik adalah negara yang didasarkan atas kesepakatan bersama (konsep kesepakatan bersama  kemudian dikenal dengan istilah kontrak social). Ide Machiavelli ini ternyata diterima luas penerus-penerus pemikirannya, di antaranya adalah: Jean Jacques Rousseau, Alexander Hamilton, dan James Madison.

Begitulah, kekuasaan seperti halnya "cinta" menjadi kata yang tidak pernah bosan-bosannya dipakai dalam pembicaraan sehari-hari. Ia mudah dipahami secara intuitif, tetapi jarang didefinisikan. Karena itu, wajar kalau banyak orang yang salah jalan dan tersesat jauh...  n


Lampung Post, Jumat, 19 Oktober 2012

Tuesday, October 2, 2012

Wajar tanpa Prestasi

Oleh Udo Z. Karzi


MAT Puhit bersungut-sungut mendapatkan kabar pemerintah daerah mendapat penghargaan atas keterbukaannya.

"Terbuka atau transparan itu kan sesuatu yang memang seharusnya. Demokrasi itu menuntut transparansi, keterbukaan. Jadi apa istimewa pemerintah yang terbuka? Bukankah memang kewajiban pemda memang memberikan informasi yang dibutuhkan wartawan dan warga. Bukankah undang-undang memang menjamin hak masyarakat untuk memperoleh informasi?" gugat Mat Puhit berapi-api.

"Begini," sambut Radin Mak Iwoh. "Penghargaan itu kan sebagai bentuk apresiasi atas kerja pemda dalam mendukung keterbukaan informasi itu. Dengan begitu, diharapkan pemda-pemda yang lain bisa meniru sikap terbuka Pemda Negarabatin."

"Ahai, Radin. Sekarang ngomong injuk gitu. Kemaren itu saya minta data, Radin bilang, 'Kanah pai (Nanti dulu) data itu belum boleh dipublikasikan'," kata Udien.

"Ai kidah, kamu ini. Denger dulu penjelasan saya...."

“Radin, kemaren itu, aliran listrik di kantor Komisi Informasi hampir saja diputus...” celetuk Mamak Kenut.

Hahaha...

***

MAMAK Kenut terheran-heran menyaksikan berbagai instansi/dinas/pemda memasang iklan selamat atas dicapainya predikat wajar tanpa pengecualian (WTP) dalam laporan keuangan.

WTP itu hanya hasil tertinggi dalam penilaian laporan keuangan. Penilaian di bawahnya yaitu wajar dengan pengecualian (WDP) dan disclaimer. Predikat WTP artinya laporan keuangan bisa dipertanggungjawabkan, valid, dan akurat.

"Ini prestasi yang membanggakan!" kata sang pejabat.

"Apa yang luar biasa? Bukankah memang begitulah selayaknya laporan keuangan," kata Minan Tunja.

Coba pulak dengar kata Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Wakil Ketua BPK Hasan Bisri ngomong, "Persepsi WTP masyarakat dan BPK beda sekali. Opini WTP tidak menjamin bebas korupsi, karena laporan keuangan dibuat bukan untuk melaporkan korupsi suatu perusahaan."

"Nah, apa kubilang...," kata Mamak Kenut.

"Lo, dari tadi Mamak nggak bilang apa-apa," kata Pithagiras.

Hahaha...

***

PELAKSANAAN tugas dan kewajiban sewajarnya kok dibilang prestasi. Sesuatu yang memang pada tempatnya kok dibilang membanggakan.  n  


Lampung Post, Selasa, 2 Oktober 2012