Monday, January 20, 2014

Mendengar

Oleh Udo Z. Karzi


"BUKAN dengan bicara, melainkan dengan mendengarkan kita bisa banyak belajar," kata Larry King.

Iya juga makanya Adian Saputra sampai bikin buku berjudul Menulis dengan Telinga (2012) dan laris. Sampai cetak ulang loh!

Benar, belajarlah mendengar. Ini ternyata tidak gampang. Ternyata, mendengar juga sangat bergantung dengan orientasi hidup kita. Barangkali kita lebih mudah mengenali suara-suara koin jatuh atau suara gesekan lembar uang kertas sehalus apa pun ketimbang suara jangkrik, kicau burung, atau suara angin. Itu karena kita suka matre! Padahal suara jangkrik, kicau burung, atau suara angin bagi orang-orang dulu penting sebagai petunjuk jalan dan cuaca.

Siapa yang didengar, kita pun suka pilih-pilih. Kita hanya mau mendengar orang yang kita anggap penting saja, seperti orang tua, atasan, dan orang yang lebih senior dari kita. Kita kadang mengabaikan seseorang yang mungkin bukan siapa-siapa, tetapi sesungguhnya apa yang ia katakan sesuatu yang berharga bagi masa depan kita.

Repotnya, kita lebih suka memperdengarkan pemikiran-pemikiran dalam otak kita, entah itu berupa sampah atau ide-ide besar yang penuh kreasi. Akibat besarnya kecenderungan untuk didengar inilah, terkadang kita menafikan adanya orang lain di luar kita yang sebenarnya juga menunggu untuk didengar pendapatannya.

Orang pintar, apalagi yang merasa pintar, paling susah mendengar. Ada kecenderungan orang-orang yang pintar dan ahli di bidang yang ia tekuni cenderung enggan mendengar orang lain. Soalnya dia kelewat yakin apa yang dia pikirkan dan dia lakukan sudah benar.

"Ai, orang kayak begitu sih orang yang sok pintar saja," celetuk Pithagiras.

"Bukan pintar dalam arti sebenarnya!" tambah Minan Tunja.

"Kepintaran yang hakiki adalah orang yang siap memetik manfaat dari setiap informasi dan pengetahuan, dari siapa pun," kata Udien.

"Orang pintar dan ahli, tetapi bebal alias tidak mau mendengar, akan susah majunya," Radin Mak Iwoh mulai kumat gaya mengguruinya.

"Lah, siapa yang Radin maksudkan?" Mat Puhit esmosi.

"Bukan siapa-siapa. Ini cuma sekadar mengingatkan saja," elak Radin Mak Iwoh.

"Mbok ya kalau ngomong dipikir dulu geh Radin! Jangan asal saja...," Mat Puhit tambah esmosi malah.

"Ai, kok menjadi panas begini! Kita ngupi pai gawoh...," ajak Mamak Kenut.

Nah, mangtap! Ini kedengarannya asyik. n


Lampung Post, Senin, 20 Januari 2014

Thursday, January 2, 2014

Jangan Terlalu Gembira

Oleh Udo Z Karzi


"SAYA tidak tahu, apa yang bisa membuat saya gembira malam ini," ujar Mamak Kenut, yang memutuskan mengurung diri sepanjang malam Tahun Baru.

Walaupun omongan dan sikap Mamak Kenut ini sempat mendapat tanggapan negatif dari karib-kerabatnya, kalau dipikir-pikir, tetap saja ada benarnya.

"Gua syukurin hujan," kata Mat Puhit, tanpa bermaksud membela Mamak Kenut. Meskipun hujan kemudian berhenti, tetap saja semangat sebagian orang untuk meneruskan pesta Tahun Baru sedikit berkurang. Agaknya malaikat lewat cuma untuk mengingatkan jangan terlalu gembira karena terlalu gembira hanya akan membuat kemudaratan di muka bumi. Hehee...

***

Ya, apa sih yang bisa kita gembirakan di malam tahun ini? Sepanjang 2013, kita lebih banyak mencatat kejadian-kejadian kelam yang makin menjauhkan kita dari peradaban dan keadaban. Konflik tiada henti. Kriminalitas makin meningkat. Korupsi makin menggila. Kaum elite hanya sibuk memikirkan diri sendiri dan makin jauh dari kepentingan rakyat.

Kebijakan pemerintah tidak pernah berpihak kepada petani, buruh, dan nelayan. Benar kok. Cerita tentang sayuran yang dibiarkan membusuk di lahan Pak Tani—karena lebih mahal biaya petik ketimbang harga jual—kembali terulang. UMP Negarabatin memang sudah sesuai KHL, tetapi sikap ogah-ogahan dan lamanya penetapan menunjukkan betapa Dewan Pengupahan, pemerintah di dalamnya, memang tidak serius memperjuangkan kesejahteraan buruh. Jelas juga, kebijakan pemerintahan yang tidak berpihak kepada nelayan telah menyebabkan kemiskinan pesisir makin meluas.

Akan halnya rakyat, makin tersungkur pada ketidakberdayaan di saat harga-harga makin melangit, kemiskinan yang katanya makin menurun, tetapi yang kelihatan makin menyata, sekolah juga makin mahal, kesehatan tambah sulit dijangkau, meskipun katanya berobat gratis.

***

"Ah, kok pesimistis amat sih?" seru Radin Mak Iwoh.   

"Bukan, cuma mencoba lebih realistis," sahut Udien.

"Tenang, Bung. Ada banyak hal menggembirakan di akhir tahun lalu. Ada rekonsiliasi dari pihak yang bersengketa, ada resolusi dari pihak yang berkonflik, ada reformasi buat pihak yang suka mandeg, buat ada restorasi bagi pihak yang sudah rusak, ada solusi (insya Allah!) untuk pihak yang sedang dirundung masalah," Pithagiras mencoba sedikit bijak.

"Ya, santai saja sih. Kita pesimistis karena kita masih punya banyak harapan. Kita juga optimistis karena toh hidup tetap berjalan...," ujar Minan Tunja.

Api muneh? n


Lampung Post, Kamis, 2 Januari 2013