Wednesday, February 12, 2014

Sekolahnya sih Gratis, Bukunya yang Mahal

Oleh Udo Z. Karzi


MAT Puhit ketawa terpingkal-pingkal membaca berita daerah Lampung Post, Selasa (11/2), berjudul Pendidikan Gratis Cuma Nama. Isinya mak-mak di Lampung Barat mengkritik program pendidikan gratis, mulai SD sampai SMA di kabupaten ini.

Mereka bilang pendidikan gratis sekadar nama karena yang dibebaskan hanya sumbangan/komite, sedangkan kebutuhan belajar siswa seperti buku-buku pelajaran (buku cetak) tetap dibebankan ke siswa.

“Apanya yang gratis kalau sebentar-sebentar anak-anak diminta fotokopi buku cetak atau beli buku cetak sendiri yang biasanya tidak sedikit,” kata Isromiah (45), warga Liwa, Lampung Barat, Minggu (9/2).

Lucu deh!

“Apa enggak sekalian anak-anak sekolah itu dikasih ongkos buat ke sekolah dan uang saku?” celetuk Udien.

“Kalau sudah tak bayar uang sekolah (SPP), uang komite (uang bangunan), dan segala jenis iuran... ya sekolah gratislah itu,” Pithagiras sengit.

“Yang benar aja. Masa semua-muanya enggak bayar. Emangnya apaan. Hidupitu mamang pakai biaya. Masa mentang-mentang gratis, segalanya enggak bayar. Ya kasihanlah, dari mana pula sekolah mengadakan dana-dana untuk keperluan pribadi anak-anak sekolah itu,” cerocos Pinyut.

Tapi eit... dengar dulu apa kata Ibu Isromiah. “Zaman dulu semua siswa diminta mencatat apa yang dipelajari kemudian dijelaskan sehingga siswanya bisa menyimak. Tapi kini guru malas kerja dan hanya meminta anak-anak memfotokopi buku cetak lalu anak diminta belajar sendiri,” ujarnya.

Iya juga, ya. Tapi bukankah itu hanya sisi lain dari semakin mahalnya, semakin komersil-nya pendidikan di negeri ini?

 “Sekolah sudah gratis. Pemkab Lambar sudah benar dalam hal ini. Tidak ada pungutan terhadap siswa,” Minan Tunja nyeletuk.

 “Ya, tapi orang tua tetap mengeluarkan biaya mahal karena harus memfotokopi buku cetak. Belum lagi biaya transportasi anak ke sekolah dan biaya perlengkapannya,” sahut Isromiah lagi.

Radin Mak Iwoh mencoba menjelaskan hal ini. “Ya elah. Soal biaya-biaya peralatan, perlengkapan, dan kebutuhan belajar sebagian memang sudah disediakan sekolah. Yang tidak disiapkan sekolah, seperti seragam sekolah, sepatu, tas, buku tulis, buku cetak, dan alat tulis-menulis lainnya, termasuk ongkos dan uang jajan tentu saja menjadi tanggungan orang tua siswa masing-masing,”

“Gurunya enggak kreatif sih. Apa-apa suruh fotokopi... fotokopi kan sekarang mahal...”

“Yah sekarang zamannya fotokopi, Bu!”

“Ya, apanya yang gratis kalau begitu...”

“Sekolahnya tetap gratis. Beli buku dan fotokopi yang mahal.”

“Jadi gimana, dong?”

“Beli buku, fotokopi bagus kalau bisa... tapi kalau enggak kan bisa juga siswanya yang rajin mencatat pelajaran. Itu sih tergantung gurunya. Memang masih ada guru yang mewajibkan siswa beli buku? Kan tidak?”

“Tu dengerin, Pak, Bu Guru. Jadi guru yang kreatiflah...”

(Dalam hati Mamak Kenut hanya membatin, dari dulu yang namanya buku memang mahal. Tapi, karena buku adalah jendela dunia, buku tetap harus dibaca, ia merasa perlu pinjam buku, bahkan kadang ia merasa harus memilikinya. Ya beli dong, meski harus menyisihkan uang saku untuk itu. Kalau tak bisa beli, ya dengan mencurinya dari perpustakaan. Ssst, jangan bilang-bilang!) n


Lampung Post, Rabu, 12 Februari 2013

Wednesday, February 5, 2014

Alergi Politik

Oleh Udo Z. Karzi


"KITA harus pula paham tentang politik sastra. Tapi, yang paling utama adalah meng-up grade diri terlebih dahulu. Konyol juga kalau kita menyodorkan karya yang memang secara kualitas belum layak, terus kita dorong-dorong supaya terangkat..."

Udien mencoba mengoret-oret catatan apa yang diomong sama penyair Ahmad Yulden Erwin ketika diskusi setelah satu per satu sastrawan membaca karya dalam Silaturahmi dan Panggung Sastrawan Lampung II di Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa Unila, Sabtu (1/2) malam.

Sst, ada yang protes: "Saya enggak setuju dengan istilah politik sastra. Pakai bahasa yang lebih enak kenapa, misalnya strategi sastra atau apa gitu yang lebih lembut..."

Wah, pokoknya seru deh. Tapi, Mat Puhit tak begitu tertarik membicarakan politik sastra. Sebab, itu sudah jelas kok, itu sudah riil kok, itu tak bisa dinafikan.

Satu hal yang menarik adalah betapa kata "politik" telah menjadi kata yang terasa buruk, jahat, dan menjelma menjadi sesuatu yang menakutkan. Ya, ada yang alergi politik.

***

Nah ini diskusi di luar arena.

"Kenapa sih kok pada takut pada pelitik. Padahal aslinya hidup kita hari ini banyak ditentukan oleh keputusan-keputusan pelitik?" tanya Pithagiras.

"Pelitik itu tak semata kekuasaan, tetapi bagaimana si pemilik kekuasaan mampu berbagi, bikin keputusan yang bijaksana untuk meningkatkan kesejahteraan atau minimal menambah harkat kemanusiaan kita," sahut Minan Tunja.

"Ah, teori...," kata Radin Mak Iwoh.

"Ai benarlah. Enggak ada yang bisa menghindar dari pelitik," kata Mat Puhit.

"Kita buru-buru pergi menjauh ketika kata politik mendekat. Padahal politik adalah seni usaha manusia dalam mencapai tujuan. Makna negatif yang disandang politik sejatinya tidak lepas dari ulah oknum-oknum yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Orientasi materi dan kedudukan menjadikan para oknum elite politik membangun panggung sandiwara penuh kepalsuan mereka di negara ini juga memperburuk citra politik."

"Tanpa sadar kita telah melakukan kegiatan politik dalam kehidupan sehari-hari. Mau beli barang dengan murah di pasar, mau pinjam uang ke teman, mau dapet pacar kece, mau ambil ati calon mertua, mau apel malam minggu, gimana caranya bisa ngupi siang ini, ... semuanya pakai pelitik."

“Politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama,” demikian teori klasik Aristoteles. Dan Aria Bima pun bilang, "Politik Indonesia jadi jahat karena orang baiknya diam aja.”

Berpolitiklah. Artinya, berkata, bertindaklah secara lebih baik, tersistem, dan terganisasi. Sebab, "kebaikan yang tidak terorganisir akan kalah dengan kejahatan yang terorganisir".

"Jadi, jangan alergi politiklah," kata Radin Mak Iwoh.

"Saya enggak alergi politik dan karena itu saya golput aja," ucap Mamak Kenut tiba-tiba.

Dasar, Mamak Kenut. n


Lampung Post, Rabu, 5 Februari 2014