Wednesday, March 12, 2014

Pasti karena Ada Maunya...

Oleh Udo Z. Karzi


PINYUT baca-baca. Ya, belajar pelitik. Sebab, membaca adalah belajar. Maka, ketemulah apa itu pelitik. Pelitik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles). Pelitik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara. Pelitik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat. Pelitik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.

Pelitik adalah seni tentang kenegaraan yang dijabarkan dalam praktek di lapangan, sehingga dapat dijelaskan bagaimana hubungan antarmanusia (penduduk) yang tinggal di suatu tempat (wilayah) yang meskipun memiliki perbedaan pendapat dan kepentingannya, tetap mengakui adanya kepentingan bersama untuk mencapai cita-cita dan tujuan nasionalnya.

Definsi lain, pelitik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pelitik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional.

***

"Ai itu sih teori," sambar Mat Puhit.

Yang jelas, pelitik itu hak asasi warga yang terabaikan akibat tidak masuk dalam daftar pemilih tetap, bantuan sosial kematian yang diselewengkan, Bupati Lampung Utara yang dilantik 25 Maret nanti, penutupan Porprov yang berlangsung meriah, Wakil Presiden Boediono yang berpeluang menjadi tersangka skandal Bank Century, dan impor sapi siap potong yang dikurangi.

Pelitik itu suhu udara di Lampung yang di atas normal, perkembangan wisata Lampung Tengah yang jalan di tempat, warga tiga kecamatan di Lampung Selatan yang mengeluhkan tingginya harga beras, 10 rumah warga Kampung Astomulyo, Kotagajah, Lampung Tengah yang disapu puting beliung, jembatan Way Handak di Pekon Campang, Tanggamus yang nyaris putus, dan begal yang berhasil ditangkap setelah dua kali (mungkin lebih!) beraksi di Way Kanan.

***

"Jadi, pelitik itu apa dong?" tanya Udien.

"Pelitik itu sebuah upaya. Upaya agar yang tadinya sulit menjadi mudah, yang tadinya tidak ada menjadi ada, yang tadinya di bawah menjadi di atas, yang tadinya tidak punya menjadi punya, yang tadi kere menjadi berdoku, yang tadinya nggak kebagian menjadi kebagian, yang tadinya diperintah menjadi pemerintah, yang tadinya tak berkursi sekarang berkursi, ..."

Artinya, pelitik itu bagus. Sekarang sih iya. Pasti karena ada maunya. Menjelang Pemilu sih.

Usai pemilu -- begitu terpilih, apalagi kagak -- segalanya lupa. Jadi kenyataannya, karena pelitik, yang tadinya baek menjadi bejat, yang tadinya santun menjadi kurang ngajar, yang tadinya murah senyum menjadi suka marah-marah, yang tadinya suka traktir menjadi tambah pelit... tik... tik... n


Lampung Post, Rabu, 12 Maret 2014

Monday, March 3, 2014

Pasar

Oleh Udo Z. Karzi


DI manakah letak para seniman, teaterawan, rupawan, sastrawan, penulis, budayawan, dan seterusnya di negeri ini manakala profesi mereka harus dihadapkan pada pasar? Boleh jadi tak ada. Mereka adalah orang-orang yang harus disingkirkan dari peradaban negeri yang makin matre dan tak butuh segala jenis pemuasan yang hanya bersifat mental spiritual atau memperkaya intelektualitas dan rohani belaka.

Tidak ada tempat buat mereka. Barangkali saja dalam benak para pemimpin atau penggede-penggede, bahkan cerdik-cendekia kampus kebutuhan riil manusia modern Indonesia atau daerah ini adalah pekerjaan, uang, dan pemenuhan kebutuhan pokok yang terasa semakin mahal. Ilmuwan sosial, budayawan, dan lagi pekerja seni tidak mampu mampu menjawab tantangan zaman.

Maka, wajar jika kemudian pendidikan (termasuk perguruan tinggi) hanya dimaknai sekadar untuk memperkuat aset masa depan. Pendidikan hanya dimaknai sebagai melestarikan sebuah status sosial dan ekonomi. Kalau begitu, tak ada yang salah jika orientasi pendidikan adalah materialistik.

Apa boleh buat pendidikan kita pun tak lepas dari jerat kapitalis global. Kapitalisme global menyaratkan privatisasi berbagai lembaga milik negara untuk dipersaingkan di tengah pasar bebas. Secara nyata kapitalisme melahirkan arena yang disebut pasar bebas dan ia berfungsi sebagai sarana untuk adu kuat. Mana yang paling laris! 

***

Pinyut lalu membuka-buka pelajaran ilmu ekonomi untuk SMP. Ketemulah pengertian pasar. Pasar adalah tempat bertemunya pembeli dan penjual. Itu pengertian konkrit pasar. Dalam ilmu ekonomi, pengertian pasar tidak dikaitkan dengan masalah tempat, tetapi lebih dititikberatkan pada kegiatan. Jika ada kegiatan jual-beli disebut pasar dan jika tidak ada kegiatan jual-beli disebut bukan pasar. Pasar dapat terbentuk di mana saja dan kapan saja, di dalam bis, di terminal, di halte, dan lain-lain. Bahkan, transaksi jual-beli  juga bisa terjadi lewat surat, radio, internet, dan lain-lain. Pengertian pasar menurut ilmu ekonomi tersebut disebut pasar abstrak.

***

Maka, ketika sekelompok orang punya wacana untuk mendirikan fakultas ilmu budaya (kurang lebih sama dengan jurusan bahasa Lampung), pertanyaannya yang paling pertama dan utama adalah soal pasar!

"Yang jadi masalah mungkin ke mana lulusan FIB itu nanti akan disalurkan. PNS jarang ada lowongan untuk lulusan FIB. Swasta apalagi. Kalau mau wiraswasta, ilmunya enggak mendukung pula. Mau jadi budayawan takut madesu (masa depan suram)..."

Sok pede Mat Puhit langsung nyeletuk, "Yang jelas enggak usahlah jadi PNS! Tak perlu pula jadi pion kaum kapitalis. Bukankah, kalau mau dikait-kaitkan dengan materi, ekonomi kreatif dan industri kreatif yang potensial berkembang, sangat butuh alumni fakultas ilmu budaya (sastrawan, seniman, penulis, budayawan, dll.)."

Induh kidah. n


Lampung Post, Senin, 3 Maret 2014