Wednesday, May 28, 2014

Kalau Tuhan Aja Dikorup, Apakah Etika Masih Laku?

Oleh Udo Z Karzi


SETELAH disindir sebagai bentuk buruk etika politik, Menteri Agama Suryadharma Ali (SDA) akhirnya mengisyaratkan akan mengundurkan diri setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kamis, 22 Mei lalu menetapkannya sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dana haji. 

Tapi, tetap saja menjadi pertanyaan. Sebab, nyatanya hingga kini SDA belum juga mundur dari jabatannya. Malah, Jumat (23/5), SDA bilang berpikir melepas jabatannya. Ia belum memahami bagian-bagian mana yang menyebabkan menjadi tersangka.

"Beda banget dengan apa yang dilakukan Andi Alfian Mallarangeng yang langsung menyatakan mundur dari jabatannya sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga dan di Partai Demokrat," kata Pithagiras.

"Masak dia nunggu diberhentikan langsung oleh Presiden. Wat wat gawoh," sambar Mat Puhit.

"Ah, biarin proses hukum berjalan deh," kata Mamak Kenut yang masih saja suka bilang biarin.

"Ya, sudah. Biarin," sahut Udien.

"Tapi, enggak bisa dibiarin dong. SBY bilang kasus ini jangan sampai mengganggu kinerja Kementerian Agama," kata Minan Tunja.

"Ya, mau gimana. Emang mau diapain? Itu memang terserah Pak Suryadharma geh. Ini kan hanya soal etika," Radin Mak Iwoh mencoba menengahi.

"Justru karena etika itulah, Suryadharma Ali mesti mundur. Itu namanya beretika...," sambar Mat Puhit.

"Emang etika masih laku di negeri ini?" Radin Mak Iwoh esmosi. 

Ya, apakah etika politik masih laku?

Berat, berat. Kalau Tuhan, agama, haji, dan kitab suci bisa dikorupsi dengan enak dan asyik, apakah ada moralitas—apatah lagi etika politik—di situ? La, kalau yang jadi tersangka korupsi haji saja merasa tidak melanggar etika (hukum), mengapa mundur?

Mundur itu kalau merasa bersalah, merasa malu... Yang bersangkutan malah balik bertanya, "Saya salahnya apa?"

Ini soal etika memang. Tidak ada sanksi (tegas) untuk pelanggaran etika. Paling-paling dikatain tak beretika. Ya, buat orang hebat, yang merasa kuat, yang merasa berduit, yang merasa lebih... jangankan etika, hukum positif saja dia lawan kok.

Etika politik mengatakan para politikus dan pejabat publik yang terindikasi korupsi seharusnya mundur dari jabatannya. Boni Hargens (2012) mengatakan, “Jangan terus membodohi rakyat dengan mengatasnamakan menunggu proses hukum. Dalam kehidupan selain hukum, juga ada etika yang harus dijaga dan mereka jelas-jelas sudah melanggar etika.”

Jadi, pejabat itu memang tidak selayaknya bermasalah dengan moral dan kebijakan yang dia buat. Jepang adalah contoh negara yang memelihara etika politik yang tinggi. Seorang menteri, dengan sukarela mundur ketika ada masalah di sekitar ruang lingkup tanggung jawabnya. Bagaimana seorang Menteri Perhubungan tiba-tiba meminta berhenti, ketika terjadi kecelakaan kereta api? Apalagi, kalau terendus korupsi. Di AS, Presiden Nixon terpaksa berhenti ketika terjadi peristiwa Watergate yang terkenal itu.

Tapi enggak usah jauh-jauh, di negara kita sudah banyak contohnya kok.

Jadi, apa lagi geh? n


Lampung Post, Rabu, 28 Mei 2014


Monday, May 26, 2014

Biarin!

Oleh Udo Z. Karzi


MAMAK Kenut suka sekali sajak Biarin!-nya Yudhistira A.N.M. Massardi yang dibikin 1974. Petikannya:

kamu bilang hidup ini brengsek. Aku bilang biarin
kamu bilang hidup ini nggak punya arti. Aku bilang biarin
kamu bilang aku nggak punya kepribadian. Aku bilang biarin
kamu bilang aku nggak punya pengertian. Aku bilang biarin

habisnya, terus terang saja, aku nggak percaya sama kamu
Tak usah marah. Aku tahu kamu orangnya sederhana
cuman, karena kamu merasa asing saja makanya kamu selalu bilang seperti itu


Namun, Mamak enggak yakin Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. pernah baca sajak ini, meskipun suka bilang, biarin! Misalnya, waktu Oedin—panggilan mesra Gubernur Lampung—menanggapi gugatan LBH Bandar Lampung terkait jalan rusak. Dia biasa saja. Emang dia pikirin. Peduli amat gitu. "Saya tidak takut digugat. Jalan jelek (di Lampung) biarin saja," kata Sjachroedin, di Bandar Lampung, Jumat, 23 Mei 2014. (saibumi.com)

Sebenarnya, bukan sekali ini saja Oedin menunjukkan kemasabodohannya terhadap persoalan-persoalan kerakyatan. Biarin!

Udin, yang bukan gubernur, yang cuma sobatnya Mamak Kenut menjadi penasaran juga. Ia mencoba mengetikkan kata “biarin” di Search http://lampost.co, ketemulah "Sekitar 18 hasil (0,10 detik)".

Cuek bebeknya Sjachroedin sempat membuat Ketua Komisi II DPR Agun Gunanjar Sudarsa dongkol juga. Ceritanya, Pak Oedin ogah memenuhi panggilan Komisi II DPR terkait penolakannya terhadap jadwal pilgub yang sudah dibuat KPU. Biarin aja, begitu kali kata Oedin. "Jangankan gubernur, menteri dan pihak swasta saja bisa kami panggil kok. Biarin saja Sjachroedin ngomong begitu (pemanggilan DPR tidak tepat). Nyatanya kami tetap akan memanggil dia ke DPR," kata Agun (lampost.co, 04/01/2013).

Coba dicek siapa saja narasumber yang bilang biarin dari 18 berita tersebut. Ternyata beragam juga. Ada warga Pesisir Barat yang tidak peduli dengan pelanggaran pemasangan alat peraga kampanye saat minggu tenang menjelang pilgub dan pemilu legislatif pada 9 April 2014. (lampost.co, 07/04/2014)

Ada juga istri juru parkir Pasar SMEP yang tidak takut melaporkan penujah suaminya. “Saya maunya lapor ke Polresta saja. Bukan Polsek Telukbetung Barat. Kalau itu banyak kawan dia. Biarin aja,” kata Yuli. (lampost.co, 22/04/2014)

Sikap legawa, ditunjukkan Wali Kota Bandar Lampung Herman H.N. ketika gugatannya atas hasil pemilihan gubernur Lampung ditolak Mahkamah Konstitusi (MK). "Biarin-lah yang sudah-sudah. Yang penting ke depan, bagaimana kami bersama-sama melakukan pembangunan untuk masyarakat, agar lebih baik lagi," ujarnya. (lampost.co, 16/05/2014)

Ada banyak yang bilang biarin, mulai dari komentator berita yang menanggapi Ketua Front Pembela Islam (FPI) Jawa Tengah K.H. Sihabudin luka-luka dikeroyok (21/01/2014), Wakil Gubernur DKI Ahok yang gemas dengan warga yang menduduki Taman Burung, di Waduk Pluit, Jakarta Utara (18/12/2013). Kemudian, Ketua DPR Marzuki Alie juga tidak berminat melapor ke polisi terkait 36 daftar nama anggota DPR yang tidak mendukung pemberantasan korupsi versi rilis ICW (02/07/2012), serta Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Jero Wacik bilang, "Biarin KPK bekerja," terkait kasus dugaan korupsi dengan tersangka mantan Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini (17/08/2013).

Tidak kurang, "Silakan saja, masing-masing kan punya hak untuk dipilih. Biarin saja. Toh mereka sudah dewasa dan sudah berumah tangga. Orang tua tidak usah campur tangan," kata Sri Sultan Hamengku Buwono X terkait dua mantunya yang masuk dalam daftar bakal caleg (27/04/2013).

Biarin! Rupanya mempunyai dimensi banyak dalam berbagai teks dan konteks. Ah, hati Minan Tunja pasti terunja-runja kalau pacarnya baca sajak Yudhistira.

kamu bilang aku bajingan. Aku bilang biarin
kamu bilang aku perampok. Aku bilang biarin

soalnya, kalau aku nggak jadi bajingan mau jadi apa coba, jadi lonte?
aku laki-laki. Kalau kamu nggak suka kepadaku sebab itu
aku rampok hati kamu. Tokh nggak ada yang nggak perampok di dunia
ini. Iya nggak? Kalau nggak percaya tanya saja sama polisi


Puisi itu melembutkan rasa. Coba cewek mana yang enggak senang dengan perampok hati. Apalagi cowoknya ngeganteng. Namun, masalahnya betapa sulit menjumpai pemimpin di negeri ini yang suka baca sastra. Coba saja para petinggi baca larik sajak Doa-nya Chairil Anwar ini:

...
Biar susah sungguh
Mengingat kau penuh seluruh


Mestilah kaum elite di negeri ini lebih sadar diri, bekerja dengan benar, penuh amanah, dan takut korupsi. Namun, sulit betapa sulit. Pejabat kita bekerja tanpa membaca (puisi). Tidak perlu teori, apatah lagi sastra, untuk menjadi bupati, wali kota, gubernur, presiden, legislatif, atau apa pun pejabat.

Cilaka benar kalau orang yang seharusnya peduli atau bahkan memang menjadi tugasnya malah bilang, biarin. Biarinisme itu biang dari ketidakdisiplinan, ketidakpatuhan, ketidakberesan, dan kesewenang-wenangan. Habis... semua biarin!

 Ais, sudahlah. Pithagiras cuma mau meneruskan membaca sajak Biarin: 

habisnya, kalau nggak kubilang begitu mau apa coba
bunuh diri? Itu lebih brengsek daripada membiarkan hidup ini berjalan
seperti kamu sadari sekarang ini

kamu bilang hidup ini melelahkan. Aku bilang biarin
kamu bilang itu menyakitkan


"Eh, kamu kok nulis begitu? Nanti ada yang marah..."

Biarin! n