Saturday, June 28, 2014

Kreatif, Ana Kidah...

Oleh Udo Z. Karzi


KUNCINYA kreatif. Tanpa kreativitas, sulit mengikuti perkembangan zaman, sementara dunia selalu berubah. Tidak ada yang abadi kecuali perubahan... makanya, kreatif.

Begitu berkali-kali sering Mamak Kenut dengar dalam berbagai kesempatan. Karena itu ketika kasih materi menulis ilmiah populer dalam sebuah pelatihan karya ilmiah mahasiswa sebuah perguruan tinggi, Kamis (26/6), ia pun bersabda dengan entah mengutip siapa: "Berpikir kreatif sangat penting dalam mendukung kemampuan menulis. Nah, terkadang hal ini yang membuat seseorang menjadi minder untuk menulis karena merasa dirinya kurang atau tidak berbakat. Padahal, bakat itu baru bisa kita ketahui apabila kita telah mencobanya dan ternyata bakat itu bisa diasah."

"Agui, Mamak Kenut bersabda," ledek Minan Tunja.

Mamak Kenut pura-pura enggak dengar lalu melanjutkan, "Pengetahuan tanpa kreativitas tidak akan berkembang. Sebaliknya, kreativitas yang didukung dengan ilmu pengetahuan tentu akan membuat seseorang menjadi orang yang sukses. Oleh karena itu, ayo kita mengasah daya berpikir dan berimajinasi dengan terus berlatih dan menambah ilmu pengetahuan, seperti apa yang diucapkan oleh ilmuwan cerdas yang baru menggunakan 1% fungsi otaknya, Albert Einsten: Imagination is more important than knowledge."

"Wow, kutipan yang hebat," celetuk Mat Puhit.

"Merasa diri tidak kreatif dapat mengakibatkan seseorang benar-benar tidak kreatif, padahal setiap orang dapat kreatif asal tahu kuncinya yaitu: 'Menjadi kreatif berarti melihat sesuatu yang sama seperti orang lain, tetapi memikirkan sesuatu yang berbeda'."

Entahlah, secara kebetulan Udien membaca Kompas, kemarin (27/6) yang hadir dengan Edisi Khusus Energi Kota Kreatif 100+ Halaman. Bagaimana menentukan "kota kreatif"? Begini antara lain Kompas menulis: "... Kota dirancang atau ditata ulang dengan berorientasi pada penyediaan prasarana dan sarana untuk memudahkan mobilitas manusia, barang, dan jasa tanpa harus merusak lingkungan. Secara dialektis, kota kreatif membuat para penghuninya juga menjadi kreatif. Hanya dalam lingkungan hunian kota yang dinamis, bergairah, dan kreatif, warga dapat mengembangkan diri secara leluasa. Sebaliknya, kota yang tidak kreatif membuat penghuninya cenderung pasif, tidak mampu beradaptasi dengan perubahan. Kegagalan beradaptasi membuat kota menjadi korban, berkembang liar. Kota semacam ini sama sekali tidak kondusif bagi proses pengembangan hidup yang lebih kreatif dan dinamis." (Rikard Bangun, Kota Kreatif Pilihan Masa Depan, Kompas, 27/6, hlm. 1 & 9)

Dengan indikator ini, tersebutlah beberapa kota kreatif yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Kota-kota kreatif ini digambarkan dalam peta Sebaran Daerah Kreatif di halaman 41.

Bagaimana dengan kota-kota di Lampung? Katakanlah Bandar Lampung? Ahai... Kota-kota kreatif itu dominan menyebar di Pulau Jawa, Bali, dan NTT. Di Sumatera hanya ada Kota Medan, Kota Batam, Kota Padang, Bukittinggi, Kabupaten Tanah Datar, Kota Sawahlunto, dan Kabupaten Belitung.

"Ana kidah. Api guaini ulun Lampung?" tanya Pithagiras.

"Induh, nyak mak pandai," sahut Mamak Kenut sambil kabur.  n


Lampung Post, Sabtu, 28 Juni 2014

Friday, June 13, 2014

Untung Ada Piala Dunia

Oleh Udo Z Karzi


MENGIKUTI kampanye pilpres, terutama kampanye hitam, dari berbagai media capek juga. Tambah mak jelas aja. Mana yang hebat, mana yang kurang hebat (bukan biasa saja!) sulit dibedakan. Mana yang benar, mana yang kurang benar (bukan salah) semakin kabur. Mana yang baik, mana yang kurang baik (bukan buruk) semakin buram. Mana yang bagus, mana yang kurang bagus (bukan jelek) semakin gelap.

Jangan-jangan Prabowow dan Jokowow sama-sama hebat, sama-sama benar, sama-sama baik, sama-sama bagus... sama-sama wow.

Jadi mana dong yang dipilih?

"Belum tahu nih!"

"Kalo saya enggak ngaruh."

"Ntar lagi mikir-mikir..."

Tapi begitu nanya ke Mat Puhit, pilih yang mana, dia jawab, "Saya jagokan Brasil!"

Huhuu...

Aduh, ini pilpres, sayang. Bukan Piala Dunia...

"Capek ah baca ato nonton pilpres. Bikin mumet aja," sambung Mat Puhit.

"Benar juga, kalo disuruh pilih mana, nonton pilpres atau nonton sepak bola, saya juga lebih suka liat bola," sambung Udien.

Ya, untung ada Piala Dunia. Siapa sih yang enggak tersihir dengan euforia sepak bola. Meskipun timnas kita belum juga bisa bertarung dalam perhelatan Piala Dunia, bahkan untuk Asia pun belum, negeri ini termasuk penggila bola juga. Ah, bukan cuma kita. Tapi hampir semua orang di dunia ini gila bola.

***

Demam Piala Dunia terjadi di mana-mana. Tidak hanya di Brasil yang menjadi tuan rumah Piala Dunia 2014. Patriotisme merasuki penggemar sepak bola di Inggris sehingga mereka menghias rumah dan tempat usaha sedemikian rupa sebagai bentuk dukungan untuk The Three Lions di Piala Dunia. Demam Piala Dunia meredam hiruk pikuk politik Lebanon.

Demam Piala Dunia memengaruhi karnaval budaya di Bone Bolango, Provinsi Gorontalo, Minggu (8/6). Pergelaran budaya bertajuk Ayula Karnaval 2014 itu mengangkat tema World Cup 2014. Tak heran, para peserta karnaval dengan balutan busana karawo menampilkan motif bendera peserta pesta sepak bola sejagat.

Untuk semakin menyemarakkan perhelatan pertandingan bola antarnegara empat tahunan ini, beberapa warga di Kecamatan Lekok, Kabupaten Pasuruan, memasang pernak-pernik lambang masing-masing negara yang mereka jagokan menjadi juara.

Ah, itu baru sebagian kecil saja dari pernak-pernik demam Piala Dunia. Pokoknya seru deh.

***

Untung ada Piala Dunia. Sehingga, kita tak sampai bosan, apalagi sampai lupa, ada pilpres. Hehee...

Satu lagi, untung ada Piala Dunia sehingga sahur kita nanti saat Ramadan menjadi meriah dengan pertandingan sepak bola.

"Tapi maaf, keasyikan Anda menonton Piala Dunia, terganggu," kata PLN yang sewaktu-waktu suka mematikan listrik.

Ya, enggak ada jaminan nggak mati listrik waktu nonton bola di tivi. Sialan juga PLN ini. n


Lampung Post, Jumat, 13 Juni 2014

Thursday, June 12, 2014

12 Juni

Oleh Udo Z. Karzi


DETIK demi detik, menit demi menit, jam demi jam, hari demi hari adalah perjalanan. Ada peristiwa, ada kelahiran, ada kematian, dan ada perayaan.

Wikipedia mencatat berbagai peristiwa yang terjadi pada 12 Juni: Perang Menteng pecah antara pihak Belanda dan Kesultanan Palembang yang dipimpin Sultan Mahmud Badaruddin II (1819); Prancis mulai kolonisasi Aljazair dengan mendaratkan 34 ribu pasukan 27 kilometer dari ibu kota Aljir (1830); bangsa Filipina menyatakan kemerdekaannya dari Spanyol (1898); pada ulang tahunnya yang ketiga belas, Anne Frank mulai menulis buku hariannya pada masa pendudukan Nazi di Belanda (1942).

Lalu, Afrika Selatan menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup kepada Nelson Mandela (1964); Boris Yeltsin terpilih sebagai presiden Rusia (1991); petinju legendaris Mike Tyson menyatakan mundur dari dunia tinju, setelah kekalahan yang memalukan dari petinju tak terkenal asal Irlandia, Kevin McBride (2005); dan akhir kegiatan belajar-mengajar tahun ajaran 2009—2010 di Indonesia (2010).

Pada 12 Juni lahir George H.W. Bush, presiden Amerika Serikat ke-41 (1924); Anne Frank, gadis Yahudi yang dibunuh pasukan Nazi dan terkenal lewat buku hariannya (1929), ia mati 1945); dan Andranik Markaryan, Perdana Menteri Armenia (1951).

Pada 12 Juni pula kita kehilangan tokoh-tokoh yang sangat menginspirasi: Frédéric Passy, ahli ekonomi asal Prancis, penerima Penghargaan Perdamaian Nobel (1912); Masayoshi Ohira, perdana Menteri Jepang (1980); Karl von Frisch, ahli zoologi asal Austria, penerima Penghargaan Nobel dalam Fisiologi atau Kedokteran (1982); Jiroemon Kimura, orang tertua di dunia asal Jepang (2013); dan Djafar Assegaff, wartawan senior Indonesia, mantan Dubes RI untuk Vietnam (2013).

Pada 12 Juni 1992, kaum muslim merayakan Iduladha 1412 Hijriah dan 12 Juni 2011 adalah hari Pentakosta.

Hari ini, 12 Juni 2014, rencananya calon presiden Joko Widodo mengunjungi Lampung dan pembukaan Piala Dunia 2014 di Brasil yang berlangsung hingga 15 Juli nanti.

***

Ah, ini cuma catatan dari hari ke hari. Karena hari ini tanggal 12 Juni, 12 Junilah yang menjadi contoh. Hari ini setahun yang lalu, hari ini sepuluh tahun yang lalu, hari ini seabad yang lalu adalah boleh jadi adalah hari yang penuh arti, hari yang sangat bersejarah, hari yang selalu diingat-ingat.

Namun, bisa jadi sebaliknya, hari ini setahun yang lalu, hari ini sepuluh tahun yang lalu, hari ini seabad yang lalu bisa sebaliknya malah hari yang biasa saja, hari yang tak meninggalkan jejak apa-apa, hari yang tidak dingat atau malah sengaja dilupakan karena penuh kekelaman, penuh kepedihan, dan penuh luka mendalam. Bung Karno bilang, “Jasmerah (jangan sekali-kali melupakan sejarah).”

Begitu juga hari ini tahun depan, hari ini sepuluh tahun lagi, hari ini seabad kemudian... tak ada yang bisa meramal, tetapi setidaknya kita bisa merancang. Tergantung, apa yang kita perbuat hari ini. Itulah sejarah masa depan!

Orang bijak pun berkata, "Kemarin adalah sejarah, besok adalah misteri, dan hari ini adalah berkah." Bagi yang lebih optimistis akan berujar, "Kemarin adalah masa lalu, hari ini adalah kenyataan, dan esok adalah harapan."

Dengarlah seorang ayah yang memarahi anaknya. "Kamu ini, sekula mak haga, ngaji mak harga. Mau jadi apa kamu nanti? Ayahmu ini dulu..." Jadi, urut-urutan dimensinya adalah masa kini—masa depan—masa lalu.

Ya, benarlah lakukan apa yang bisa dilakukan hari ini untuk menjemput hari esok dengan tetap belajar dari hari-hari yang telah berlalu. n


Lampung Post, Kamis, 12 Juni 2014

Wednesday, June 11, 2014

Berdebat tentang Debat

Oleh Udo Z. Karzi


TIDAK ada debat dalam debat capres dan cawapres pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dengan Joko Widodo-Jusuf Kalla bertema Pembangunan demokrasi, pemerintahan yang bersih, dan kepastian hukum pada Senin (9/6) malam.

Malah, dalam beberapa bagian, Prabowo berkata, "Saya sependapat dengan Saudara Joko Widodo..."

"Itu bukan debat, tetapi wawancara...," kata seseorang.

"Iya siapa mendebat siapa, enggak jelas di situ."

"Itu debat juga. Kan tidak harus sama dengan debat kandidat ala Barat sono. Harus disesuaikan dengan budaya kita dong," kata Radin Mak Iwoh.

"Ya, ini. Apa-apa mesti dicocok-cocokkan dengan kebiasaan kita. Sekarang buka aja kamus. Di situ dikatakan, debat adalah pembahasan dan pertukaran pendapat mengenai suatu hal dengan saling memberi alasan untuk mempertahankan pendapat masing-masing," kata Udien.

"Kalau tak ada perbalahan, ngapain digelar acara debat presiden segala?" kata Mat Puhit.

Ya sudah tak usah terlalu risau. Pengamat politik dari Pusat Demokrasi dan HAM Universitas Airlangga, Muhammad Asfar, mengatakan debat capres sebenarnya hanya memengaruhi pilihan dari 20% pemilih di Indonesia. "Pemilih rasional itu kurang lebih sekitar 20%, yaitu yang memilih karena program dari kandidat. Hanya misalnya calon ini tidak membawa perdebatan yang berkualitas tentang positioning program dan juga sikap, orang akan kembali memilih dengan berdasarkan variabel lain, bukan variabel rasional," jelas Asfar.

"Kalau begitu. Debat presiden mubazir..." sambar Mat Puhit.

"Tetap perlu dong! Biar para pemilih tahu tentang visi dan misi para calon," sahut Pithagiras.

"Ah, itu kan karena moderatornya kurang bisa mengarahkan acaranya biar lebih hidup," bela Minan Tunja.

"Siapa sih moderatornya?"

"Bukan orang sembarangan. Zainal Arifin Mochtar. Dia direktur Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada."

"Ah enggak seru."

"Harusnya pemandunya wartawan. Najwa Shihab misalnya."

"Tapi, Najwanya kerja di TV pro-Jokowi."

"Waduh, siapa dong. Kalau yang lain ntar dibilang, pro-Prabowo pula."

"Repot juga..."

"Ya, udah. Lumayanlah masih ada debat."

"Kan masih ada empat debat lagi sampai 9 Juli nanti. Semoga debat yang kedua lebih seru."

"Ai, kenapa pula berdebat soal debat."

"Debat malah enak enggak  pake moderator."

"Mari kita membudayakan debat dan mendebatkan budaya..." (Orba banget deh!)

Mamak Kenut yang dari tadi diam, tiba-tiba bilang, "Biar seru, kita ngupi pai."

Dasar, Mamak Kenut! n


Lampung Post, Rabu, 11 Juni 2014