Tuesday, October 28, 2014

Tokoh

Oleh Udo Z. Karzi


DUA tokoh Lampung menjadi menteri dalam Kabinet Kerja Joko Widodo-M. Jusuf Kalla. Malah ada yang bilang empat tokoh. Dua tokoh itu adalah Ryamizard Ryacudu yang menjadi Menteri Pertahanan dan Siti Nurbaya Bakar yang diamanahi tugas sebagai Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

"Dua lagi siapa?" tanya Minan Tunja.

"Entahlah. Saya enggak enak nyebutinnya. Iya kalau bener, kalau salah kan enggak enak juga disebut ngaku-ngaku atau main klaim aja," timpal Mat Puhit.

"Yang pasti dua: Siti Nurbaya dan Ryamizard Ryacudu. Ketokohan kedua, boleh dicek di buku 100 Tokoh Terkemuka Lampung (diterbitkan Lampung Post, 2008)," jelas Udien.

"Oh, kalau begitu, di buku itu ada Zulkifli Hasan yang kini menjadi Ketua MPR...," tambah Pithagiras.

***

Itu sudah. Setelah itu, ternyata ada beberapa tokoh di buku itu yang kemudian malah diduga atau malah ada yang sudah divonis bersalah dan sah untuk disebut koruptor.

Nah, reaksi pun beragam.

Beberapa di antaranya (maaf tanpa izin main kutip aja dengan sedikit editan dari Facebook):

Saddam Cahyo: "Hehehe.. Nothing's perfect. 100 tokoh Lampung ini disebut terkemuka adalah fakta. Mereka berprestasi dalam jabatan pun itu karya yang patut diapresiasi. Tapi, timbulnya kritik-kritik yang menyoroti sosok-sosok tokoh Lampung ini juga penting. Konsekuensi menjadi tokoh publik, menjadi role model, harus dikawal rame-rame biar enggak melenceng."

Jun Hm: "Bagi saya, baik tokoh maupun bukan, hidup cuma sekali, harus jujur dan berarti bagi sesama. Batasan tokoh itu pun harus diperjelas."

Oyos Saroso H.N.: "Ini kan 'tokoh' penuh kompromi. Banyak yang sebenarnya memang tokoh tapi tak masuk (dan sebaliknya)."

Gustina Aryani: "Ditokoh-tokohin Bang Oyos hehehe..."

Amirul Huda: "Yang pernah saya baca di buku itu banyak yang cuma numpang 'mbrojol' di Lampung, terus sukses diklaim sebagai tokoh Lampung."

Elzhivago Tabaqjaya: "Saddam Cahyo, maksudnya no body's perfect gitu ya... Yes Allah is The Perfect one and only.... Makhluk wajib menuju kepada kesempurnaan walaupun mustahil."

***

Itu juga sudah. Sekali waktu, Udien datang ke Mamak Kenut dan bilang, "Mamak akan dijadikan Tokoh Ternama Negarabatin."

Mamak Kenut yang bingung cuma nyahut, "Tokoh? Gimana gitu ya?"

"Jadi tokoh itu ternyata enggak enak. Enggak boleh korupsi," kata Radin Mak Iwoh.

"Tokoh? Memang siapa yang menokohkan Radin?" seru Mat Puhit.

"Ih, ge-er..."

Hahaa.... n


Lampung Post, Selasa, 28 Oktober 2014

Friday, October 24, 2014

Perwakilan Lampung

Oleh Udo Z. Karzi


JOKOWI memang wow. Kecuali Amien Rais, semua tokoh hadir dalam pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia Joko Widodo-M. Jusuf Kalla, di gedung DPR/MPR, 20 Oktober lalu, termasuk calon presiden-wakil presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, presiden-wakil presiden yang digantikan, Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, mantan Presiden B.J. Habibie dan Megawati Soekarnoputri, juga mantan wakil presiden sebelumnya, Tri Sutrisno dan Hamzah Haz. Yang sudah tiada, diwakili istri atau keluarganya.

"Lengkap, deh! Ini sejarah baru," kata Pithagiras.

"Semua senang. Semua hepi...," sambung Minan Tunja.

"Tak ada lagi dendam. Semua menang...," sahut Mat Puhit.

Tapi, Udien, yang belum pernah menjadi gubernur atau jenderal polisi tetap merasa perlu bertanya kepada bos partainya Jokowi di Negarabatin.   

Dan inilah jawabannya: "Saya sekarang sedang di Surabaya. Enggak ada instruksi dari Bu Mega. Jadi besok (hari ini), nyak mak ratong (saya enggak menghadiri) pelantikan Jokowi-JK. Tidak ada perwakilan dari Lampung yang akan menghadiri pelantikan Jokowi-JK," kata Ketua DPD PDI Perjuangan Lampung Sjachroedin Z.P. (Radar Lampung, [20/10/2014], hlm. 1)

Minan Tunja yang denger itu langsung nyahut, "Sudah, sudah kok, Yay. Itu Pak Zulkifli Hasan, ketua MPR, ngewakili Lampung."

Haha... hehe...

"Bangga juga bahwa orang Lampung yang melantik Jokowi," kata Andre Prayhard.

"Kan banyak anggota DPR dan DPD dari Lampung," sambung Fadilasari.

"Tapi saya ragu mereka mereka mewakili Lampung," tukas Mat Puhit.

"Yah, semoga saja. Soalnya kita sudah bosan dengan wakil kita yang tidak mewakili kita sebagai orang Lampung," ujar Mamak Kenut. 

***

Itu sudah. Sekarang, orang-orang lagi geregetan karena susunan kabinet Jokowi-JK yang belum diumumkan.

"Itu bisa mengurangi kepercayaan kepada Jokowi," ujar Pinyut.

"Ah, sok tahu aja lu, Nyut," sambar Mat Puhit.

"Masak enggak percaya sama orang sebaik Jokowi, sih?"

Jika selama ini "politik itu kotor" dan hampir semua perilaku seolah menjadi bukti empiris dari ungkapan ini, Jokowi hadir dengan segala kesantunan, kebajikan, dan kepedulian kepada khalayak dengan gaya blusukannya. 

Kekuasaan itu cenderung korup, kata Lord Acton. Tapi, Jokowi punya jawaban berbeda yang ia wujudkan dalam bentuk kata dan perbuatan yang sejalan.

"Wali kota tidak, gubernur juga tidak. Maka, saat saya mengatakan, 'Tidak mikir, tidak mikir,' itu memang benar-benar tidak memikirkannya. Banyak orang memang tidak percaya. Soalnya, secara logika dan kalkulasi politik memang tidak masuk akal. Saya harus bicara apa adanya. Saya ini kan bukan ketua umum partai. Saya menyadari itu," Joko Widodo menjawab pertanyaan “Anda tidak merencanakan untuk meraih kekuasaan?” dari Kompas (20/10/2014) hlm. 1

"Jujurkah Jokowi? Masak enggak mimpi malah terjadi, enggak kepengen justru dapat...," gugat Radin Mak Iwoh.

"Yah, semoga. Soalnya kita (saya aja kali! hehe... ) sudah bosan dengan sosok yang dipenuhi dengan syahwat berkuasa tapi mengabaikan etika, moral, atau fatsun," sahut Mamak Kenut. n


Lampung Post, Jumat, 24 Oktober 2014

Monday, October 6, 2014

Rasa Bahasa dan Cita Rasa Seliwa*

Oleh Udo Z Karzi



//TERAI// (hujan) seperti riang menyambut kami, saya dan anak saya Aidil, begitu memasuki Liwa. Rintik air dari langit membasahi mobil yang kami tumpangi, jalan raya, rumah-rumah dan bangunan, tetumbuhan, dan makhluk lainnya di Bumi //Beguai Jejama// (bekerja sama, gotong-royong).

"Selamat Datang di Liwa Kota Berbunga, Bersih Berbudaya Penuh Kenangan". Demikian, tulisan di dinding tebing memasuki Kelurahan Pasar Liwa, ibu kota Kecamatan Balik Bukit, Lampung Barat; jantung Kota Liwa.

Waw, susunan kata yang terasa gagah dan seharusnya mengena ke setiap orang yang pernah berkunjung ke sini. Tapi, soal kesan setelah mampir atau sekadar lewat di sini, terserahlah.

"Liwa ini Negeri Antah Barantah," kata istri saya.

Entahlah, mungkin karena jauh dan berlikunya perjalanan yang harus ditempuh ke tempat ini.

Tapi, bukan karena itu yang menjadi alasan istri dan Wan Agung, anak saya yang nomor dua tak pulang. Ada acara keluarga lain di tempat kakak di Pringsewu, sehingga istriku bilang, "//Udo// (Abang) dengan Aidil saja yang ke Liwa" ketika //Bak// (ayah) menelepon saya.

"//Keti mulang kak Buka Haji inji// (Kalian pulanglah Lebaran Haji ini). Penting," ujar Bak di telepon beberapa hari sebelumnya.

***

Waduh kalau //bewarah// (bercerita) jelas saja panjang. Padahal bukan itu maksud saya menulis.

Begini, nama //pekon// (desa, kelurahan) tempat saya lahir sekarang: Pasar Liwa. Nama lamanya sih Negarabatin Liwa (seperti yang tertulis di rapor SD saya: SD Negeri 1 Negarabatin Liwa). Saya tak tahu persis kenapa nama bagus dan sangat imajinatif ini berganti dengan nama Pasar Liwa. Dulu, ibu kota Marga Liwa ini dikenal juga dengan nama Sukanegeri.

Untunglah, nama-nama ini masih dipakai sebagai nama-nama dusun di Pasar Liwa: Dusun Sukanegeri 1; Dusun Sukanegeri 2 (yang berganti nama Jatimulyo); Negarabatin 1; Negarabatin 2; Pantau; dan Seranggas.

Nama-nama tempat lain bisa //umbul//, //talang//, //repong,// atau //sabah// di Pasar Liwa yang kami kunjungi saat napak tilas waktu Lebaran: Setiwang, Tebakandis, Sebidak, Halian Rubok, Uncuk, Sabah Pasuk, Sabah Renoh, Ham Tebiu, dan Sekara.

Pasar Liwa kini berbatasan dengan Pekon Sebarus, dengan Pekon Way Mengaku, Pekon Kubuperahu, dan Pekon Hanakau (maaf saya tak paham arah mata anginnya).

Ada dua //suntan// di Pasar Liwa ini yang masing-masing mengepalai dua //Kesuntanan// atau //Kampung// yaitu Kampung Serbaya dan Kampung Bumi Agung.

Di Negarabatin Liwa, terdapat Tugu //Hara// (ara/aro), yang menjadi bagian dari legenda asal-usul orang Lampung di kaki Gunung Pesagi. Misalkan kita melaju dari Bandar Lampung ke Liwa, sampai tugu  ini, jika berbelok ke kiri menuju Krui, sedangkan ke kanan ke arah Danau Ranau.

***

Tadi dibilang, kedatangan kami di Negarabatin, disambut dengan hujan, dingin, dan Lebaran Haji. Yah sudah lengkaplah, "//Bangik ngupi, mengan, ngudut, pedom...//" (Enak ngopi, makan, merokok, tidur...)

Kebetulan ada, kalau tak di rumah, saat berkunjung ke //minak muari// (sanak-famili). Ini nama-nama masakan ala Negarabatin: //peros masin iwa// (asam pade ikan), //senanga// (rendang), //gulai taboh// (masakan bersantan), //sambol// (sambal), //seruit// (ikan dibakar atau digoreng yang dimakan bersama sambal), //pucuk ubi temajak// (daun singkong rebus), //gulai bening// (sayuran dimasak bening), //lalap// (lalapan), upak (opak), ... dst.

Eh, ya kalau orang-orang menyebut "pecel lele", maka orang di kampung saya menyebutnya dengan //seruit kalang//. Nama-nama //iwa// (ikan) yang semuanya bisa pakai //nyeruit//: //kalang// (lele), //habuan// (gabus), //mas// (mas), //mujaer// (mujair), ... dll.

//Buak Buka// (Kue Lebaran)-nya, ada //lemang//, //tat//, //kembang goyang//, //cucor//, dll.

Satu lagi, saya beberapa hari lalu menerjemahkan rumah makan dengan ke bahasa Lampung dengan //lamban mengan//. Nah, waktu jalan-jalan ke Way Mengaku, ternyata sudah ada nama //khang mengan// (tempat makan). Saat perjalanan menuju Bandar Lampung, di daerah Gunungsugih ternyata sudah ada nama warung/kedai makan bermerek //Pindang Seruit//. Pindang masakan khas Palembang, sedangkan //seruit// masakan khas Lampung yang justru kurang dikenal ketimbang pecel lele.

Begitu saja kok. Maaf kalau prosa ini agak kacau. Hehee...


Catatan
* seliwa, saliwa = Orang Liwa
** //...// = kosakata bahasa Lampung


Senin, 6 Oktober 2014