Tuesday, January 13, 2015

Bagaimana Cara Menebus Malu?

Oleh Udo Z. Karzi


BARU saja memberitahukan Majalah Nyuara mempunyai rumah baru di http://www.teraslampung.com/search/label/Nyuara. Belum ada yang mengirimkan karya ke Ruang Berbahasa Lampung ini. Hari ini, Selasa, 13 Januari 2015, saya ditanya.

"Apa kabar, Udo? Ada tidak buku sastra Lampung yang dipilih untuk Hadiah Rancage?" tanya Ahmad Rivai dari Yayasan Kebudayaan Rancage, Bandung.

"Alhamdulillah, sehat. Sastra Lampung, aduh jadi malu... Tidak ada buku sastra Lampung terbit tahun 2014. Maaf dan terima kasih atas perhatian Bapak dari Yayasan Rancage. Sukses. Tabik," jawab saya.

"Menebus malu, tahun 2015 terbit buku, Udo. Semoga," ujar Ahmad Rivai lagi.

"Insya Allah, Kang. Amiin," ujar saya.

Dalam kondisi seperti ini, saya ingat benar apa kata Irfan Anshory (alm). "Malu kita," ucapnya kepada saya (Lampung Post, 8 Februari 2009). Sangat pantas Bang Irfan bicara begitu. Soalnya dia yang serius benar mengusahakan sastra Lampung mendapatkan Hadiah Sastra Rancage 2008. Dia meyakinkan sastrawan Ajip Rosidi, pendiri Yayasan Rancage bahwa Lampung memang selayaknya mendapatkan penghargaan itu. Pak Ajip kemudian kemudian mengiyakan. Komitmennya: Lampung siap menerbitkian sastra Lampung paling tidak dua buku setiap tahun.

Kenyataannya, 2008-2014 Lampung hanya tiga kali -- dari seharusnya tujuh kali -- mendapatkan Rancage. Tiga penerima Hadiah Sastra Rancage untuk bahasa Lampung, yaitu Udo Z. Karzi dengan buku puisinya Mak Dawah Mak Dibingi (2008), Asarpin Aslami dengan kumpulan cerbun-nya Cerita-cerita dari Bandar Negeri Semuong (2010), dan Fitri Yani dengan kumpulan sajaknya, Suluh (2014).

Tahun ini, hampir pasti kita tidak mendapatkan Rancage lagi. Sehingga, lima tahun penghargaan sastra ini tidak sampai ke orang Lampung.

Membuka data Kang Hawe Setiawan, setidaknya kini ada 24 judul buku sastra Sunda yang terbit 2014 (Jumlah ini masih bertambah). Sastra Jawa sekian puluh, sastra Bali sekian belas... Belum tahu. Tapi seperti tahun-tahun sebelumnya, mestilah banyak. Sastra Lampung? Ampun bener deh...

Sudah ah, ini sekadar informasi. Tak usah saya berkeluh kesah.

Yang penting seperti kata Kang Rivai, "Terbitkan buku sastra Lampung untuk obat malu di masa hadap."

Gimana geh kalau tidak menjawab: "Amiin. Semoga banget." Doa itu tak pernah putus.

Tabik.


Cawa Lampung
aku = kata saya, ujarku
ani = ujarnya, kata dia
cawa = kata, bicara, omong
kalau, kekalau = semoga, mudah-mudahan
liyom = malu
repa = bagaimana
makkung = belum
mawat = tidak
munyaian = sehat, afiat
wat = ada


Selasa,  13 Januari 2015

Monday, January 12, 2015

Parle

Oleh Udo Z. Karzi


UDIEN baru tahu kalau anggota DPR dilarang menyela pidato kenegaraan Presiden.

"Ah, masa sih?" Mat Puhit heran.

"Memang selama ini boleh?" tanya Minan Tunja.

"Pidato-pidato kenegaraan presiden sebelumnya, ada saja ucapan yang menghentikan Sang Kepala Negara membacakan teks pidato. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memang lain. Selama beberapa tahun terakhir, pidato kenegaraan SBY setiap 16 Agustus selalu loncong minus interupsi," jelas Udien.

"Kok bisa beda?" tanya Pithagiras.

"Itu juga baru empat tahun terakhir kok sejak Peraturan Bersama DPR dan DPD Nomor 2 Tahun 2010 disahkan 3 Agustus 2010. Pasal 23 Ayat (2) peraturan itu menyebutkan, 'Selama acara pidato kenegaraan presiden Republik Indonesia, tidak diperkenankan adanya interupsi maupun tindakan yang dapat mengganggu kelancaran, ketertiban, dan kehidmatan sidang'."

"Wah, ini nggak benar," protes Mat Puhit.

"Iya nggak benar. DPR/DPRD itu kan kata lainnya parlemen. Parlemen itu dari kata ‘to parle’ yang berarti to speak atau berbicara. Masa orang-orang yang ditugasi ngomong kok malah dilarang bersuara," kata Pithagiras.

"Aneh, anggota DPR digaji rakyat untuk berbicara, kok malah dilarang."

"Tapi itu kan aturan dibuat DPR dan DPD sendiri? Berarti mereka memang senang mengebiri hak mereka sendiri."

"Nggak mungkin, mestilah ini atas desakan SBY sendiri."

"Eit... jangan main tuduh kek gitu. Mana buktinya?" Radin Mak Iwoh enggak terima pimpinannya dituding.

***

Itu sudah, sekarang di Lampung Utara. Yang terjadi justru parlemennya yang mogok bicara.

"Bukan mogok bicara. Tapi tidak mau ikut rapat," jelas Udien.

"Ya sama saja. Angota Dewan itu harus berbicara dalam berbagai rapat yang mereka selenggarakan. Dalam rapat-rapat itulah, anggota ngomong, protes, berdebat, memperjuangkan pandangan mereka... bila perlu sampai dengan titik ludah penghabisan; sampai semua argumen tak tersisa... Kalau keputusan tak bisa dibuat dengan mufakat ya terpaksa voting. Itulah demokrasi. Itulah fungsi sejati dari parlemen. Di gedung wakil rakyat inilah kita menemukan perbalahan...," kata Mamak Kenut geregetan.

"Parle itu ngomong. Ini bukannya ngomong, malah menolak hadir di rapat. Itu parlemen apaan? Gak setuju ya diteriakin keras-keras di rapat. Tugas anggota Dewan itu ya rapat, ngomong, dengar omongan orang, dan lain-lain yang kerjanya tidak jauh-jauh dari berbicara itu," kata Mamak Kenut lagi.

"Bagus juga nulis...," sela Udien.

"Omong saja gak bisa gimana mau nulis. Lagi pula itu bukan tugas utama anggota Dewan," semprot Mamak Kenut.

Nah, lu. n


Lampung Post, Senin, 12 Januari 2014