Monday, April 13, 2015

Akar Sejarah

Oleh Udo Z. Karzi


SEJARAH adalah urutan peristiwa yang saling terkait. Satu peristiwa pada masa kini tidak lepas dari peristiwa waktu sebelumnya. Perjalanan seseorang yang mencapai sukses saat ini tidak lepas dari sejarah masa lalunya. Masa lalu yang bisa jadi menyimpan kegetiran, kepahitan, dan kepedihan menjadi bagian dari proses yang harus dilalui seorang yang menggapai kesuksesan masa kini.

Kata “sejarah” itu berasal dari bahasa Arab, “syajarah” yang berarti pohon. Makna pohon sangat dekat dengan sejarah yang kita pahami selama ini. Pohon memiliki tiga bagian utama, yaitu akar, batang, dan tajuk. Tajuk terdiri dari kesatuan cabang, ranting, dan dedaunan. Tiga bagian pohon tersebut saling berhubungan satu sama lain. Satu bagian terganggu, akan mengganggu bagian lainnya.

Bagian terpenting dari pohon adalah akar. Mengaitkan peristiwa saat ini dengan masa lalu boleh dimaknai sebagai upaya menelusuri akar sejarah. Ya, sejarah erat dengan akar yang secara mudah bisa dilihat dari fungsi akar pada pohon. Akarlah pertama kali tumbuh dan kemudian perlahan-lahan memunculkan tunas dan menumbuhkan batang. Melalui akar yang makin kokoh, pohon kemudian tumbuh dan berkembang menjadi tumbuhan besar dan memberi banyak manfaat.

Merunut sejarah seseorang atau peristiwa, laksana merenungi keberadaan dan kehidupan pohon. Sejarah manusia yang diberi kesuksesan di masa lalu selalu menjadi inspirasi bagi manusia masa kini untuk meniru kesuksesan mereka.

Sebaliknya, manusia atau komunitas yang di masa dulu terkena musibah atau bencana besar menjadi renungan manusia zaman sekarang untuk tidak mengikuti jejak mereka agar terhidar dari kecelakaan. Pada pohon, sosok pohon yang kokoh berasal dari kuat dan kokohnya akarnya. Sebaliknya, pohon yang tumbuh dengan kerontang dan kerdil karena akar-akarnya tidak berfungsi atau bahkan rusak.

Sejarah yang kita buat hari ini sangat mungkin akan menjadi sejarah hitam atau putih di masa nanti bergantung bagaimana kita menyikapinya. Meminjam ungkapan Taufik Abdullah, ada berbagai cara dalam mencapai tujuan (yang sama).

Tidak ada sejarah yang tunggal karena itu bisa berbahaya dan dapat membodohkan. Biarlah, orang-orang menuliskan sejarah (menurut versi) masing-masing, asalkan sesuai dengan metode yang berlaku. Tidak ditambah-tambahi maupun dikurangi. Dengan kata lain, upaya penulisan dengan berbagai versi justru memperkaya kita dalam memahami masa lalu.

Daripada ditutup untuk sementara, lebih baik biarlah garis batas itu dibuka, sehingga masa lalu tidak sekadar lewat begitu saja. Seperti diktum seorang sejarawan terkenal bahwa setiap generasi menuliskan sejarahnya.

Setiap upaya mengungkap misteri sejarah hampir selalu mengundang kontroversi. Sebab, misteri sejarah itu sendiri meninggalkan sikap ambivalen. Di satu sisi ada hasrat yang menggebu untuk ingin tahu, tetapi di sisi lain ada keraguan apakah hasrat ingin tahu itu bisa terpuaskan.

Akhirnya, apa pun yang saya, Anda, mereka... kita semua lakukan atau tuliskan hari ini dapat pula kita maknai sebagai usaha untuk memperkuat atau malah membusukkan akar sejarah masa depan. Soalnya, kini kita tengah membuat atau menulis sejarah dikemudian hari. Senyatanya kemarin, hari ini, dan esok adalah rangkaian sejarah yang tak terputus sampai akhir zaman tiba. n


Lampung Post, Senin, 13 April 2015

Saturday, April 4, 2015

Jangan Bikin Linglung

Oleh Udo Z. Karzi


"APAKAH harus selalu benar bahwa janji (calon) pemimpin tidak mesti benar dilaksanakan, minimal realisasinya jangan terlalu jauhlah apa yang sudah telanjur terucap? Apakah harus selalu benar bahwa kita, rakyat yang memilih, tidak mesti percaya dengan janji (calon) pemimpin, minimal jangan terlalu banyak mengecewakan dari apa yang telanjur diharapkan? Apakah selalu benar bahwa (calon) pemimpin harus selalu memberi janji, meski tak mesti dilaksanakan? Apakah benar bahwa (calon) pemimpin lebih mudah lupa dengan apa yang telah ia janjikan ketika ia sudah menerima amanat dari pemilihnya? Apakah..." tanya Mat Puhit setengah menggugat. 

"Setop. Kamu itu nanya-nanya apa," bentak Radin Mak Iwoh yang lagi pusing.

"Janji-janji tinggal janji...," Minan Tunja menirukan lagu Dingin yang dipopulerkan Endang S Taurina.

"Na, api muneh maksudni," kata Udien mengomentari senandung Minan Tunja.

Bukannya menjawab, Minan Tunja malah menyanyi lagunya Bob Tutupoli, Tinggi Gunung Seribu Janji: "Memang lidah tak bertulang..."

"Ai kok pada lawang kidah," Radin Mak Iwoh tambah belingsatan.

Ya, semua lagi pada gila! Semua pada naik.

"Sumber kekacauan ini berasal dari harga bahan bakar minyak (BBM) yang naik, turun, turun, naik lagi, ... terus naik. Waktunya berdekatan lagi. Enggak sampai sebulan harga BBM berubah lagi. Walaupun bisa turun kembali. Tapi harga barang dan jasa kayaknya enggak mau mengikuti turun," kata Pithagiras.

Belum lagi selesai kepusingan. Datang-datang Pinyut yang kasih laporan, diam-diam harga elpiji 12 kg naik juga. Per 1 April 2015, PT Pertamina secara diam-diam menaikkan harga elpiji 12 kg sebesar Rp8.000 per tabung, dari semula Rp134.700 menjadi Rp141 ribu per tabung.

"Bener-bener deh. Kondisi perekonomian kita jadi enggak karu-karuan: kenaikan harga elpiji 12 kg, naik-turunnya harga BBM, terpuruknya nilai tukar Rupiah, tarif angkutan melonjak, hingga gejolak harga bahan pokok," kata Minan Tunja.

"Ya, inilah yang membuat saya bertanya-tanya. Ditarok ke mana Nawacita yang menjadi agenda prioritas pemerintahan Jokowi-JK. Sudah hampir enam bulan pemerintahan ini berjalan kok belum ada tanda-tanda program itu akan dilaksanakan dengan benar?" kata Mat Puhit.

"Yang sabarlah. Rakyat kita hanya belum biasa," Radin Mak Iwoh mencoba meyakinkan warga.

Bukan didengar, Radin Mak Iwoh malah mendapat ledekan dari Mamak Kenut, "Persis... Radin cocok deh jadi menko. Kemarin itu Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil juga bilang masyarakat Indonesia belum terbiasa dengan naik turunnya harga BBM setiap sebulan sekali."

"Katanya mau mandiri secara ekonomi, kok malah diombang-ambing pasar global," timpal Pithagiras. 

"Terserah, saya enggak ngerti teori," semprot Pinyut. "Tapi jangan bikin linglung gitu geh!" n


Lampung Post, Sabtu, 4 April 2015