Tuesday, June 23, 2015

Hadiahnya Paling Juga Buku Puisi Lagi...

Oleh Udo Z Karzi


"AYAH mau liat nilai PKn (Pendidikan Kewarganegaraan) Aidil, nggak?" tanya Aidil, siswa kelas II MIN Sukajawa, Bandar Lampung setibanya di rumah.

"Mana?" sambut saya antusias.

Aidil mengambil tas sekolahnya, menarik secarik kertas hasil ulangan dari dalamnya, lalu menyodorkan kepada saya.

Saya tengok. 8,8.

"Bagus kan, Yah," kata Aidil dengan bangganya.

"Bagus... Baru satu?"

"Ya. Yang lain belum dibagi."

"Nah, kalau yang lain juga bagus nilainya sip dong. Kalau Aidil dapat ranking, kan enak ayah kasih hadiahnya."

"Apa hadiahnya?"

"Ada..."

"Ah, paling juga buku puisi lagi..."

"Hahahaaa...."

Waduh, Aidil. :P


Selasa, 23 Juni 2015 

Friday, June 12, 2015

Kopi Pahit

Oleh Udo Z Karzi


ENTAHLAH, saya belakangan ini kok lebih suka minum kopi tanpa gula. Ya, kopi pahit. Padahal sebelumnya kopi kalau tak pakai pemanis ya mana tahan.

Hitam manis, kata orang. Tapi kopi tidak bergula tinggal hitamnya dan... tentu saja pahit.

Ah, semoga kopi tanpa gula ini tidak mencerminkan hidup yang selalu dirundung malang.

"Ai kidah, kenapa gak pakai gula. Hidup ini saja sudah pahit?"

"Justru itu, saya ingin memandang hidup ini selalu penuh warna. Saya ingin melihat hidup ini sebenarnya penuh dengan berkah, indah, dan menyenangkan. Dengan kopi pahit!" ujar saya. "Di balik kepahitan itu ada rasa manis yang biasa nikmat.

Anda kena diabet?

"Ah, kagaklah. Saya, semoga tetap sehat-sehat saja. Kalau memutuskan minum kopi tanpa gula... ya karena enak saja."

Kopi itu sehat. Saya percaya itu.

Sebenarnya, saya kan cuma meneruskan aseli tradisi minum kopi para pendahulu saja.

Suatu kali saya bertemu Frieda Amran, penulis dan penyuka sejarah yang bermukim di Belanda, yang sengaja bertandang ke Lampung. Rupanya, ia penyuka kopi tanpa gula itu. "Jangan pakai gula ya," begitu setiap kali ia memesan kopi. Atau, ia akan bertanya apakah kopi yang disajikan bergula atau tidak untuk memastikan.

Terus terang saya kagum dengan gaya minum kopi ala Bu Frieda ini. Tapi, saya tidak terlalu heran. Sebab, tamong (kakek) saya semasa hidupnya -- setahu saya selalu minum kopi tanpa gula. Ia tak pernah pusing kalau tak ada kopi.

“Kahwa api memis? (Kopi atau nira)?” komentar Tamong kalau kopi yang disuguhkan kepadanya manis.

Entahlah, sepeninggal Bu Frieda yang melanjutkan perjalanan ke belahan tanah air lainnya dan kembali ke Belanda, saya mulai mencoba meminum kopi tak bergula. Pahit memang. Tapi kok saya ketagihan!

Nikmatnya kopi justru terasa ketika ia diminum tidak dengan gula. Pahit tapi manis di hati dan pikiran.

Eit, tapi kalau gak suka kopi pahit tak usahlah mencoba. Hehee... []


~ Fajar Sumatera, Jumat, 12 Juni 2015 

Tuesday, June 9, 2015

Rasionalitas Iris Kuping

Oleh Udo Z Karzi


DALAM sejarah Nusantara, peristiwa pemotongan telinga adalah sebuah bentuk penghinaan besar terhadap musuh sekaligus perlambang upaya menunjukkan harga diri dan menolak tunduk. Pada 1289 Masehi, Kerajaan Singosari kadatangan utusan dari Mongolia yang meminta mereka tunduk di bawah kekuasaannya dan membayar upeti.

Tapi, boro-boro menyatakan tunduk kepada penguasa Mongolia, Kubilai Khan, yang terjadi adalah kemarahan yang luar biasa dari Sri Kertanegara karena tersentuh harga diri sebagai putra Singosari. Utusan Kubilai Khan bernama Men Shi harus pulang ke Mongolia dengan telinga terpotong, pasukannya habis ditumpas prajurit Singosari, dan penuh rasa malu.

Luar biasa murkanya Kubilai Khan. Beberapa tahun kemudian, 1293, Mongolia menginvasi tanah Jawadwipa dengan 20,000 sampai 30,000 tentara. Ekspedisi untuk menghukum Raja Kertanegara yang menolak membayar upeti dan bahkan melukai utusan Mongol. Tapi, serangan ini digagalkan Raden Wijaya yang kelak membangun kejayaan dan kebesaran Kerajaan Majapahit.

***

Kisah iris kuping ini sempat menghebohkan dunia seni. Pelukis legendaris asal Belanda, Vincent van Gogh, 127 tahun silam, tepatnya pada 23 Desember 1888 berbuat sensasional. Dia sengaja memotong telinga kirinya dengan sebilah silet dan menunjukkan penampilan terbarunya itu dengan lukisan.

Pelukis yang mengidap kelainan jiwa itu melakukan aksi nekat di kediamannya di Kota Arles, Prancis. Van Gogh lalu mendokumentasikan kejadian itu melalui sebuah lukisan berjudul "Self Portrait with Bandaged Ear" (Potret diri dengan Telinga Dibalut).

Saat ini, Van Gogh terkenal sebagai salah satu pelukis jenius dan lukisan karyanya terjual dengan rekor harga tinggi. Walaupun begitu, semasa hidupnya van Gogh merupakan wujud anak lelaki yang tersiksa dan miskin. Dia hanya berhasil menjual satu lukisan.

***

Ketika sedih ditinggal kerabat dekat, setiap orang punya cara yang berbeda untuk mengekspresikannya. Bagi orang suku Dani di lembah Baliem, Papua, mereka akan memotong satu ruas jari atau daun telinga. Konon, di memotong jari dan telinga adalah bentuk penghormatan dan tanda belasungkawa yang terdalam. Kesedihan akan kehilangan mungkin hanya dapat ditutupi oleh luka, berharap waktu dapat menyembuhkan keduanya.

***

Lalu, sekarang Mamak Kenut kembali mendengar tentang kisah iris kuping ini. “Zaman saya sudah di atas Rp500 miliar untuk perbaikan. Iris kuping saya kalau bisa bagus semua jalan ini dengan dana yang dianggarkan sekarang. Kecuali Pemprov ngutang. Kalau saya dulu kan tidak mau ngutang. Kalau mau ngutang, zaman saya juga sudah bisa bagus jalan ini,” kata mantan kata Gubernur Lampung  Sjachroedin ZP dalam konferensi pers di kediamannya Jalan Mr Gele Harun Bandar Lampung (duajurai.com, 5/6/2015).

Iris kuping saya! Apa geh rasionalisasi dari ucapan ini?

"Induh weh!" kata Minan Tunja.


Fajar Sumatera, Selasa, 9 Juni 2015

Wednesday, June 3, 2015

Kualitas Isi Kepala

Oleh Udo Z. Karzi


FUNGSI kritik modern pada mulanya adalah untuk melawan negara absolut. Dari obrolan warung-warung kopi yang egaliter, kritik bergulir dan meletus dalam revolusi Prancis. Sampai sekarang, kritik selalu mengarahkan serangannya ke absolutisme dan kebenaran tunggal. Jika ada kebenaran dominan (berkuasa) sedang membungkam kebenaran subdominan/subversif, jelas ini bukan kritik, tapi penegakan kebenaran (dominan). Begitu kata Terry Eagleton.

Pemerintahan yang ogah menerima kritik jelas tidak sehat. Kritik (seharusnya!) sangat diharapkan oleh pemimpin atau pejabat yang ingin program-programnya berjalan baik. Sebab, keterlibatan masyarakat mengawasi langsung semua program pemerintah dan menyampaikan berbagai ketidakberesan di lapangan pada jalur yang benar, sangat dibutuhkan.

Sejatinya kritikjuga dibutuhkan masyarakat. Sebab, masyarakat perlu diberi pemahaman tentang apa yang dikritik. Untuk membantu masyarakat dalam memahami sesuatu, kebutuhan tentang kritik dirasa sangat penting sebagai salah satu media informatif. Akan tetapi kritik yang dibutuhkan bukan berarti kritik yang asal-asalan, tetapi kritik yang tajam dan cerdas.

Indonesia bisa merdeka juga karena kritik kok. Tanpa tulisan yang mengkritik kolonialisme dari tokoh-tokoh seperti Ki Hajar Dewantara, Mohammad Hatta, dan Douwes Dekker, barangkali kita tetap berada dalam penjajahan.

Orang Indonesia, katanya paling susah kalau menerima kritik. Mengkritik boleh, kalau dikritik janganlah. Mau enaknya saja dong.

Sekarang ini banyak kritik yang berseliweran ya malah bagus kok. Tetap bisa dibedakan mana kritik yang benar dan mana kritik yang asal. Kadang yang mengkritik tak lebih pintar dan pandai daripada yang dikritik. Ya, tak masalah.

Bagusnya mengkritik harus disertai solusi. Soalnya mengkritik tanpa solusi mirip dengan menyodorkan piring kepada orang kelaparan. Tapi, kalaupun tidak ada jalan keluar dari kritik ya tak usah jadi masalah benar. Anggap saja kayak omongan komentator pertandingan sepak bola. Yang penting penonton senang gitu.

Jadi, sengawur apa pun kritik tetap bermanfaat. Kadang kita tidak tahu dan baru tahu setelah ada yang mengkritik. Kan kita bisa perbaiki. Kalau kritik itu salah, minimal kita bisa lebih mawas diri.

Tapi jangan samakan mengkritik dengan menghujat, menghina, mencela, apalagi memfitnah. Perlu pengetahuan dan pemahaman yang memadai hal ihwal yang dikritik. Karena itu kritik yang konstruktif jelas tak mudah.

Jadi, silakan mengkritik. Toh kualitas kritik akan menunjukkan kualitas isi kepala pengkritik.


Fajar Sumatera, Rabu, 3 Juni 2015