Monday, August 24, 2015

Dialektika Socrates

Oleh Udo Z. Karzi


Kebijaksanaan yang sebenarnya datang kepada kita ketika kita menyadari betapa sedikitnya kita mengerti tentang hidup, diri kita, dan dunia di sekitar kita.(Socrates)

KEBAYANG gak sih, seseorang yang jauh dari tampan, berpakaian kelewat sederhana, dan berjalan tanpa alas kaki mendatangi kita, lalu mengajak diskusi tentang filsafat. Apa nggak bikin mumet aja. Itulah Socrates (470 sM– 399 sM) yang kelewat ge-er berusaha memastikan suara gaib yang didengar temannya dari Oracle Delphi, yang bilang tidak ada orang yang lebih bijak dari Socrates.

Socrates merasa tidak memiliki sesuatu apa pun untuk bijak. Maka, Socrates pun berkeliling mencari orang-orang yang dianggap bijak pada masa itu dan mengajaknya berdiskusi tentang berbagai masalah kebijaksanaan. Metode inilah yang Socrates disebut sebagai metode kebidanan. Dia menganalogikan dirinya sebagai bidan yang membantu kelahiran sebuah pikiran melalui proses dialektik yang panjang dan mendalam, sama seperti seorang bidan yang membantu kelahiran seorang bayi.

Yang dikejarnya dari proses diskusi tersebut adalah sebuah definisi absolut tentang satu masalah meskipun seringkali orang yang diajaknya berdiskusi gagal mencapai definisi tersebut. Akhirnya Socrates sampai pada kesimpulan suara gaib yang didengar temannya itu adalah benar. Sebab, pada kenyataannya dia memang bijaksana karena dia tidak merasa bijaksana. Sedang orang-orang yang diajaknya berdiskusi adalah orang yang tidak bijaksana karena mereka merasa sebagai orang yang bijaksana.

Karena caranya berfilsafat inilah Socrates menerima kebencian dari orang-orang yang diajaknya berdiskusi. Sebab, setelah proses dialektik Socrates mereka lewati, terlihatlah bahwa apa yang sebenarnya merika pikirkan benar-benar mereka tidak ketahui kebenarannya. Kejadian inilah yang pada akhirnya mengantarkan Socrates pada peradilan yang mengakhiri masa hidupnya atas tuduhan merusak generasi muda. Sebuah tuduhan yang sebenarnya dengan gampang dapat dipatahkannya melalu pembelaan sebagaimana tertulis dalam Apologi karya Plato. Socrates wafat pada usia 70 (atau 71) tahun dengan meminum racun, sebagaimana keputusan pengadilan yang diterimanya:: 280 orang mendukung dihukum matinya Socrates dan 220 orang lainnya menolak.

Dalam Krito, Socrates diceritakan sebenarnya dapat lari dari penjara dan menghindari hukuman mati dengan bantuan dari sahabat-sahabatnya. Namun, dia menolak. Alasannya karena dia terikat pada sebuah “kontrak” kepatuhan hukum yang sama seperti semua orang di Athena. Dia berpandangan harus tetap menjalani hukuman matinya tanpa perlu menghindar. Keberaniannya dalam menghadapi maut ini digambarkan Plato dalam karyanya yang berjudul Phaedo dengan sangat indah. Kematian Socrates di tangan ketidakadilan peradilan ini menjadi salah satu peristiwa peradilan paling bersejarah dalam masyarakat Barat, selain peradilan atas Yesus Kristus.

Demikianlah, Socrates menjadikan masalah kemanusiaan sebagai objek filsafatnya. Pemecahan masalah kemanusiaan tersebut digalinya dengan mengejar sebuah definisi absolut (mutlak) atas permasalahn tersebut melalui proses dialektika yang panjang dan mendalam. Pengajaran pengetahuan hakiki melalui penalaran dialektis inilah yang menjadi peninggalan pemikiran filsafatnya yang paling penting, dan juga membuka jalan bagi para filsuf selanjutnya untuk mengembangkan metodenya. n


Fajar Sumatera, Senin, 24 Agustus 2015

Monday, August 10, 2015

Plato

Oleh Udo Z Karzi


PLATO lahir 40 tahun setelah Socrates. Plato mengenal Socrates hanya di tahun-tahun terakhir dari kehidupan Socrates. Plato tumbuh besar pada masa perang Peloponesos sedang berkobar. Perang ini berakhir dengan kekalahan Athena pada 401 sM dan pada saat itu Athena di bawah kendali pemerintahan demokratis.

Kekalahan ini menjadi salah satu alasan Plato untuk “sinis” dengan demokrasi. Plato secara vulgar mengalamatkan kekalahan Athena pada sistem pemerintahan demokratis. Menurut Plato, sistem ini tidak mampu memenuhi kebutuhan rakyat di bidang politik, moral dan spiritual.

Plato juga memiliki latar belakang keluarga Aristokratik dari kedua pihak orang tuanya. Ayahnya, Ariston, seorang bangsawan keturunan raja Kodrus. Raja yang dikagumi dan dikenal karena kepiawaian dan kebijaksanaannya memerintah Athena. Ibunya, Periktione keturunan Solon, negarawan agung peletak dasar hukum Athena yang legendaris. Kedudukan sosial Plato dan koneksi keluarganya yang sepertinya mempengaruhi pandangan yang pesimis terhadap demokrasi.

Terakhir, tetapi yang paling dominan dalam menentukan sikapnya terhadap demokrasi adalah kematian guru yang sangat dicintainya yakni: Socrates, yang dihukum mati oleh pemerintahan demokratis.

Ya, bayang pun demokrasi yang membunuh guru. Bagaimana seorang murid tak kan membenci demokrasi.

***

Meskipun membenci demokrasi, Plato melahirkan kitab berjudul Republica  (360 sM) yang membicarakan negara dan pemimpin yang ideal. Dalam bukunya itu, Plato mengingatkan bahwa untuk menjadi pemimpin itu harus mempunyai setidaknya empat elemen penting: seorang pemimpin itu harus mampu mengendalikan diri, seorang pemimpin itu harus arif, seorang pemimpin itu harus adil, dan seorang pemimpin itu harus berani.

Empat unsur tersebut hanya ada di dalam diri seorang filsuf. Sebab, hanya filsuflah yang memenuhi syarat-syarat yang disebut di atas. Di mata Plato, seorang filsuf adalah orang yang memiliki kemampuan untuk mengendalikan diri, sarat dengan keberanian, bersikap arif dan bijaksana, serta mampu bertindak adil. Sikap-sikap seperti itu membuat dia mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari, karena nilai-nilai keutamaan inilah yang dijadikannya sebagai prinsip dalam memimpin.

Dengan kemampuan untuk menahan diri seorang filsuf mampu bersikap netral terhadap persoalan-persoalan, dan mampu menjaga jarak dengan materi-materi duniawi seperti harta benda dan kekayaan serta kekuasaan yang ada di hadapannya.

***

“Gak realistis! Masa harus jadi filsuf dulu untuk bisa jadi Presiden, Gubernur, Bapati, Wali Kota atau bahkan jadi peratin (kepala desa)!” kata Radin Mak Iwoh.

“Ya hahaa… itu kan kata Plato,” sahut Pithagiras.

“Eh, jangan diketawain. Itu benar kok. Intinya pemimpin itu harus bermoral (mampu mengendalikan hawa nafsu), berani, dan bijaksana, dan adil,” Mat Puhit angkat bicara.

"Intinya, jadi pemimpin harus cerdas, jangan sok apalagi belagu," timpal Udien.

“Soal itu kita memang harus belajar dari Plato,” tambah Minan Tunja.

“Induh…,” Mamak Kenut lagi malas ngomong.


Fajar Sumatera, Senin, 10 Agustus 2015