Monday, September 21, 2015

Mulang Pekon

Oleh Udo Z. Karzi


SECARA fisik saya memang jarang mulang pekon (pulang kampung), walaupun cuma butuh 5-6 jam untuk sampai di pekon saya itu. Tapi, untung ada ada telepon seluler, media sosial, dan pers. Untuk mengembalikan ingatan saya pada kampung halaman, cukup saya tuliskan beberapa patah kata bahasa Lampung, maka kami yang jauh dari pekon, di Kotabumi, Metro, Lubuklinggau, Jakarta, Bogor, Bandung, Bogor, Cianjur, Purwokerto, Palembang, Batam, Medan, Papua, berbagai pelosok tanah air, bahkan dari luar negeri bisa cawa-cawa seakan sedang berada di pekon.


Pekon saya itu memang unik. Ya, itu sih minimal kata saya. Hehee...

Sekarang pekon saya itu bernama (Kelurahan) Pasar Liwa. Tempat lahir saya (di ijazah): Liwa. Di rapor SD saya tertulis: SDN 1 Negarabatin Liwa. Suatu kali saat ketemu ulun tuha di tempat-tempat lain, ada juga yang menyebutnya dengan Sukanegeri. Secara adat, di Pasar Liwa ada dua kampung: Kampung Bumi Agung dan Serbaya dengan dua suntan masing-masing.

Nama-nama tempat di kampung saya ini aseli khas Lampung: Seranggas, Sebidak, Teba Kandis, Selipas, Pantau, Way Setiwang, Halian Rubok, Sabah Pasuk, Sabah Renoh, Pekon Uncuk, Pekon Kudan, Way Ais, Sindalapai, Ham Tebiu, dan lain-lain.

Nama-nama ini memang bikin kangen. Beberapa waktu lalu saat berkunjung ke Jatimulyo, Kecamatan Jatiagung, Lampung Selatan, saya bikin status: "PEKON KUDAN. Kik Budi Hutasuhut tebinta jama lambanni ulun Lampung Pesisir di Pekon Maja, Kecamatan Marga Punduh, Pesawaran; sekam terok muneh maleh mit lamban di Pekon Kudan. Sejaran nihan kintu dapok nanom sanini gulai rik nyani bidok. Hehee..." (PEKON KUDAN. Jika Budi Hutasuhut jatuh cinta pada rumah orang Lampung Pesisir di Desa Maja, Kecamatan Punduh Pidada, Pesawaran; kami kepengen juga pindah rumah ke Pekon Kudan. Lumayan kalau-kalau bisa menanam sayuran dan bikin kolam ikan. Hehee...)

Kalau tidak bisa berbahasa Lampung dan bukan orang Liwa, mungkin tidak akan tahu konteks status Facebook saya ini. Ya, Pekon Kudan di Pasar Liwa itu berganti nama dengan Jati Mulyo. Hadeuh...

"Kalau jadi tinggal di Jatimulyo, boleh gak ya desanya saya genti jadi Pekon Kudan," kata saya ke Novan Saliwa yang mengomentari status saya itu.

***

Itu sudah, dalam sepekan ini setidaknya ada tiga peristiwa yang memaksa saya mulang pekon. Pertama, hati melonjak ikut berbangga setelah Festival Kopi Liwa (Liwa Coffee Festival) di Kecamatan Air Hitam cukup mengangkat nama Kabupaten Lampung Barat. Acara yang diselenggarakan Dinas Perkebunan setempat dalam rangkaian peringatan HUT Ke-24 Kabupaten Lampung Barat ini tercatat di Museum Rekor-Dunia Indonesi (MURI) sebagai rekor ke-7.084 untuk kategori sangrai kopi terbanyak.

Dalam catatan MURI (http://www.muri.org), setidaknya ada empat kabupaten yang pernah memegang rekor menyangrai kopi terbanyak. Tahun 2011 rekor ini dipegang Kabupaten Banyuwangi (270 tungku oleh 300 peserta), tahun 2012 dipegang Kabupaten Malang (561 peserta), tahun 2014 dipegang Kabupaten Tabanan (735 peserta), dan tahun 2015 dipegang Kabupaten Lampung Barat (1.049 tungku). Bangga sih boleh, tetapi setelah ini apa, what next gitu loh.

Kejadian kedua, saya mendapatkan kiriman buak tat. Tapi, berbeda dengan buak tat yang selama ini saya kenal. Sudah ada kreasi baru dengan bentuk dan tambahan rasa yang bikin tambah enak. Buak (kue) ini tadinya kue khas untuk lebaran, penayuhan (pesta perkawinan), atau upacara adat lain di Lampung Barat (termasuk Pesisir Barat kini). Untunglah sudah ada yang memodifikasi kue ini utk dijual kepada pengunjung. Sebuah potensi kuliner. Cuma belum begitu dikenal.

Nah, yang ketiga, musibah yang terjadi di pekon saya itu. Innalillahi, kebakaran menghanguskan lima rumah di Pasar Liwa (dulu: Negarabatin Liwa), Sabtu, 19 September 2015.

"Rumah Wan Kusai, salah satunya," lapor Eka Fendiaspara.

Dan, saya pun segera membayangkan jejeran rumah dimaksud. Semoga yang mendapat cobaan dapat menghadapinya dengan tabah dan sabar.

Alhasil, sepekan ini saya mulang pekon dengan hati nano-namo. Pekonku jauh di mata, tapi dekat di hati.  n


Fajar Sumatera, Senin, 21 September 2015

Tuesday, September 8, 2015

Etika Parlemen

Oleh Udo Z Karzi


KEHADIRAN Ketua DPR Setya Novanto dan Wakil Ketua DPR Fadli Zon dalam jumpa pers dan kampanye Donald Trump di depan wartawan dan pendukungnya, 3 September 2015, bikin geger di Tanah Air.Tapi, kabarnya koran-koran Paman Sam gak serius-serius amat memaknai kejadian ini. Newsweek misalnya, dalam berita berjudul "Donald Trump Signs Pledge to Republican Party With Wrong Date on It"  cuma menulis pendek di ujung tulisan: Di akhir konferensi pers, Trump memperkenalkan ketua DPR Indonesia. Tidak jelas mengapa dia ada di sana.

Nah, kan gak penting-penting amat deh keberadaan Setya Novanto dan Fadli Zon di situ. Yang jelas setelah ini  tujuh anggota DPR, Senin (7/9/2015), melaporkan secara resmi kehadiran Ketua DPR Setya Novanto dan Wakil Ketua DPR Fadli Zon pada acara jumpa pers bakal calon Presiden Amerika Serikat Donald Trump, ke Mahkamah Kehormatan Dewan.

Ketujuh anggota DPR itu: Charles Honoris, Budiman Sudjatmiko, Adian Napitupulu, dan Diah Pitaloka ( Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) Maman Imanulhaq (Partai Kebangkitan Bangsa), Amir Uskara (Partai Persatuan Pembangunan) dan Akbar Faizal (Partai NasDem); melaporkan dugaan pelanggaran etika oleh Setya Novanto dan Fadli Zon ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).

Apa pun argumen Setya Novanto dan Fadli Zon, sulit untuk tidak mengatakan mereka tidak melanggar fatsun sebagai anggota parlemen.  Jelas, mereka berdua diperkenalkan Trump sebagai anggota DPR. Pertemuan itu pun berlangsung tidak singkat. Dugaan pelanggaran etis bisa dikenai kepada para anggota tersebut ketika mereka memanfaatkan waktu di sela kunjungan resmi untuk melakukan pertemuan lain yang disebut-sebut "spontan" itu.

Di dalam kode etik anggota DPR disebutkan bahwa perjalanan dinas adalah perjalanan pimpinan dan/ atau anggota untuk kepentingan negara dalam hubungan pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, baik yang dilakukan di dalam wilayah RI maupun di luar wilayah RI. Wibawa DPR RI kian dipertaruhkan ketika anggotanya bisa begitu saja hadir pada sebuah acara politik negara lain dengan maksud dan misi yang tidak jelas.

***

Sejatinya, parlemen, seperti Academy-nya Plato adalah lembaga politik tempat persemaian pemikiran-pemikiran brilian dan pertukaran-pertukaran ide-ide jenial di kalangan politikus, yang mengemban misi utama sebagai perumus kebijakan negara. Dan politikus di parlemen adalah kumpulan negarawan yang dengan kebajikannya mampu melahirkan gagasan-gagasan cemerlang yang memberi pencerahan kepada masyarakat. Bagi Plato, politik adalah jalan mencapai apa yang disebut a perfect society; dan bagi Aristoteles, politik adalah cara meraih apa yang disebut the best possible system that could be reached.Secara konstitusional, para politikus di dewan mengemban tiga peranan penting. Sebagai policy maker, mereka harus mampu merumuskan kebijakan-kebijakan strategis yang memihak kepentingan publik. Sebagai legal drafter , mereka dituntut membuat undang-undang yang dapat menjamin legalnya keadilan sosial dan keteraturan hidup bermasyarakat. Dan sebagai legislator, mereka harus menjadi “penyambung lidah rakyat” guna mengartikulasikan aspirasi kepentingan warga.

Karena itu, sangat aneh jika dalam pelaksanaan tugas-tugas, mereka mengabaikan apa yang disebut etika dan moralitas politik. Dengan etika dan moralitas politik, para politikus di parlemen dapat melakoni politik sesuai dengan tujuan berpolitik itu sendiri yakni menyejahterakan rakyat, bukan mencari peruntungan materi dan kemuliaan diri.

Jadi, para politikus sebagai anggota dewan terhormat harus mampu menjaga kehormatan dirinya lewat pelaksanaan tugas yang menjadikan etika dan moralitas sebagai pijakan dan tujuan.  n


Fajar Sumatera, Selasa, 8 September 2015

Monday, September 7, 2015

Sense of Humor

Oleh Udo Z Karzi


MAMAK Kenut ambil aja definisi ini di kamus: Sense of humor - the trait of appreciating (and being able to express) the humorous; "she didn't appreciate my humor"; "you can't survive in the army without a sense of humor".

Sesekali pakai bahasa Inggris deh. Bukan biar dibilang pinter bahasa asing, melainkan karena lagi males nerjemahin aja.Mamak Kenut cuma gak kebayang kalau gak ada yang lucu di dunia ini. Mestilah gak ada yang ketawa atau menimal cengengesan. Mestilah pada stres, kerjanya marah-marah aja.

Makanya walau gak punya bakat ngelawak atau stand up comedy kayak Om Dolop dkk, saya suka aja sama yang namanya lelucon.

Waktu SMA Mamak Kenut suka borong majalah Humor-nya Arwah Setiawan. Tapi, ternyata berat juga ternyata untuk memahami sebuah kelucuan. Leluconnya terlalu cerdas kali sehingga beberapa artikel dan cerita yang harusnya bikin saya ketawa di majalah lucu-lucuan ini; malah gak saya pahami.

Untung ada Hilman yang bikin kisah superlucu berseri di Majalah Hai. Judulnya Lupus. Sependiam-pendiamnya Mamak Kenut, ternyata saya bisa ngekek juga.

Baru ketika dapat sedikit ilmu dari dosen-dosen di FISIP Unila, Mamak Kenut lebih bisa ketawa.Dan, Mamak Kenut terus berusaha memahami berbagai ironi yang terjadi. Ya, ironi itu kan lucu. Paradoksal juga lucu. Eh, lebih sering pelitik itu juga ternyata. Di kutipan yang bahasa Inggris di atas dibilang seseorang tidak akan bertahan di ketentaraan tanpa rasa humor.

Sesekali Mamak Kenut juga berupaya melucu. Ada sih yang ketawa. Tapi, kok malah ada yang marah-marah sama Mamak Kenut.

"Kan saya jadi bingung. Maksud hati bikin bahagia orang eh si doski malah tersinggung. Biji mana coba," keluh Mamak Kenut.

“Kalimat di sticker: Meluculah, sesuai aturan pakai," Arman Az mengingatkan.

“Melucu, enak dan perlu. Awas, baca aturan pakai. Melucu berlebihan dapat mengakibatkan kejang, leher kaku, dan jantung berdebar-debar. Melucu: membuat lupa anak cucu,” tambah Heri Mulyadi.

“Lu sih. Emang gak bakat ngelawak,” kata Minan Tunja.

“Jangan gitu geh Nan, saya dah serius-seriusan bikin lelucuan, kok dia nggak ngekek, malah singut,” sahut Mamak Kenut.

“Nah, itu juga jadinya lucu.”

“Oh, lucu ya.” n


Fajar Sumatera, Senin, 7 September 2015

Thursday, September 3, 2015

Absolutisme Hobbes

Oleh Udo Z Karzi


PEMIKIRAN politik Thomas Hobbes (1588-1679) memberikan pandangan tentang negara lebih modern dari pandangan-pandangan sebelumnya. Yang menitik beratkan pada negara monarki dengan pimpinan seorang raja. Pandangannya mengenai negara berakar jauh kepada keberadaan manusia secara natural.

Pemikir-pemikiran politiknya yang dituangkan dalam Leviathan, secara garis besar adalah membahas tentang bentuk kerajaan pada masa itu. Dia juga menerbitkan terjemahan karya Thucydides yang berisi tentang keburukan-keburukan demokrasi. Kemudian Hobbes menulis lagi bukunya, De Vice yang di tulis pada tahun 1647. Yang garis besar hampir sama dengan Leviathan.

Menurut Hobbes segala manusia adalah sama. Dalam keadaannya yang alamiah tiap manusia ingin mempertahankan kebebasannya dan menguasai orang lain. Pada dasarnya manusia cenderung untuk mempertahankan dirinya sendirinya. Untuk membuat stabil keadaan, orang membuat perjanjian tentang kekuasaan yang akan ditaati dan terikat kepada warga negara itu sendiri. Maka tidak ada hak warga negara untuk memberontak. Orang yang dipersatukan seperti itu disebut Commonwealth. Dan commonwealth disebut Leviathan.

Commonwealth
yang dipentingkan ialah perdamaian yang awet dan tahan lama. Oleh karena itu pemerintah harus diberi kuasa mutlak, tanpa batas. Sumber segala hak dan hukum serta hukum moral adalah kuasa yang memerintah. Baik dan jahat perbuatannya manusia diukur menurut peraturan dan larangan negara dan juga negara berhak memberi hukum-hukum untuk mengatur warga negara seperti hukuman mati bagi warga negaranya yang dianggap melanggar. Pemerintah tidak mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap rakyatnya, kecuali mengusahakan kepentingan dan keselamatan tiap orang.

Thomas Hobbes berpikir harus ada kekuasaan mutlak yang mengatur warganegara agar tercipta perdamaian. Hal-hal ini yang sangat bertolak belakang antara pemikiran Thomas Hobbes dan Pemikiran Aristoteles yang berkembang saat itu. Pada zaman itu, banyak sekali yang mengharapkan adanya hak kebebasan bukannya monarki yang absolut. Dan, monarki absolut ini adalah dianggap tirani oleh Aristoteles. Bahwa menurut Aristoteles warga negara boleh berpartispasi, ini berarti menyetujui adalah parlemen itu sendiri.

Hobbes tidak begitu setuju dengan adanya pembagian kekuasaan. Dengan membagi kekuasaan berarti resiko kesalahan yang diambil lebih besar. Dan juga adanya pengaruh dari Francis Bacon yang memang saat itu menjadi politisi dan parlemen. Ini juga mempengaruhi perkembangan filsafat masa itu. Memang Francis Bacon ini juga tidak menyetujui ajaran dari Aristoteles, dan juga pengaruh Machiavelli, yang memang menentang sekali ajaran Aristoteles tentang negara yang demokratis.

Ajaran sosial Hobbes mengarah pada absolutisme negara dan peran instrumental agama dan ia mendukung monarkisme. Hobbes mendukung bahwa Raja harus memiliki kekuasaan mutlak atas rakyatnya. Baginya, demokrasi itu lemah, keropos, dan hanya bisa dilakukan di negara-negara kecil. Dalam negara yang besar pemerintahan haruslah absolut agar tidak terjadi kekacauan dan ketidakstabilan politis. Raja haruslah seorang yang kuat dan memaksakan kehendak-kehendaknya secara efektif.

Dewasa ini, secara sia-sia orang mengecam teori absolutisme Hobbes itu. Banyak negara menggembar-gemborkan demokrasi dan menolak absolutisme. Namun, dalam kenyataan dan prakteknya, diam-diam atau secara kasar malah mewujudkan teori Hobbes itu di berbagai bidang kehidupan sosial.

Ah, semoga pemimpin kita tidak seperti itu.


Fajar Sumatera, Kamis, 3 September 2015