Monday, November 23, 2015

Mati Bangik!

: Dari Hari Apresiasi Bahasa dan Sastra SMAN 1 Sukau, Lampung Barat


Oleh Udo Z. Karzi


Tari Tanggai dari siswa SMAN 1 Sukau, Lampung Barat.
SEBENARNYA saya sudah kirimkan power point untuk diskusi pada Hari Apresiasi Bahasa dan Sastra memperingati Bulan Bahasa 2015 di SMAN 1 Sukau, Lampung Barat, Jumat, 13 November lalu. Tapi karena keterbatasan sarana, power point dan sejenisnya tidak bisa dipergunakan di Pekon Pagardewa yang berbatasan dengan Desa Kotabatu di Provinsi Sumatera Selatan ini.

"Listrik sering mati di sini," kata Ahmadi Putera Syahpahlewi, seorang guru bahasa Lampung.

Ai, iya juga. Jangankan di perdesaan seperti ini, di Bandar Lampung yang Ibu Kota Provinsi saja, listrik masih byarpet. Dan benar saja, baru berjalan beberapa menit acara di aula SMAN 1 Sukau berlangsung, listrik tiba-tiba mati.

Waduh, kebingungan juga kalau pengeras suara tak berfungsi di ruang seluas ini dengan jumlah peserta yang cukup besar. Untungnya panitia sudah sigap mengantisipasi dengan baterai untuk pengeras suara. Aman, pikir saya.

Rupanya, panitia sudah mempersiapkan segala sesuatunya secara matang. Syukurlah.

Beberapa saat kemudian, acara dibuka tiga siswi yang bertindak sebagai MC. Ada sambutan Kepala SMAN 1 Sukau Eva Oktarina, ada sambutan Kepala UPT Dinas Pendidikan Sukau Masykur yang dilanjutkan membuka acara.

Saya pikir tak perlu saya kutipkan apa dikatakan keduanya. Bisa-bisa saya malah jadi besar kepala atawa gede rasa karena puja-puji keduanya. Hehee... Tapi intinya, kedua menyampaikan pentingnya kemampuan menulis bagi siswa. Karena itu, sebaiknya para peserta hikmat menyimak diskusi.

Sebelumnya, menyanyikan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya. Di sela-sela seremoni itu ada Tari Tanggai untuk menghormati dan sebagai ucapan selamat datang kepada tamu, pembacaan puisi berbahasa Lampung, dan sebuah lagu asyik; semuanya disajikan siswa SMAN 1 Sukau.

Waw, saya terpana. Sungguh pertunjukan yang memikat.

***

Barulah setelah itu diskusi dimulai. Moderator Ahmadi Putera Syahpahlewi memanggil saya dan penulis Yandigsa untuk tampil di muka.

"Pertanyaan pertama, mengapa menulis dan apa gunanya bagi pelajar," kata Ahmadi memulai diskusi.

Kata saya: "Siapa pun bisa menulis. Apalagi siswa, aktivitas menulis menjadi bagian keseharian yang tidak bisa terhindari. Bisa jadi pada mulanya terpaksa karena tuntutan guru dan tugas-tugas sekolah, tetapi lama-kelamaan menulis menjadi kebiasaan yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja.

Seperti berbicara, menulis itu mengungkapkan apa yang dilihat, apa yang didengar, apa yang diingat, apa yang dirasa, apa yang dipikirkan, dan apa-apa yang menjadi bagian dari tugas pancaindera  kita.

Seorang yang terbiasa menulis, bisa pusing jika tidak menggoreskan kata-kata dalam bentuk tulisan. Penulis bisa stres karena kepala dan hatinya penuh dengan berbagai emosi dan pikiran, tetapi tidak bisa ia tuangkan dalam tulisan.

Karena itu, menulislah supaya tidak gila! 

...

Yang penting, bagaimana mentradisikan menulis. Untuk menghasilkan tulisan yang baik, tentu memerlukan proses belajar yang terus-menerus. Belajar menulis ya menulis itu sendiri. Menulis, menulis, menulis, menulis...

Setelah budaya menulis terbentuk, tinggal perlu ditanyakan: menulis untuk apa, untuk siapa, untuk dikirim ke mana, atau atas penugasan siapa? Maksudnya, tinggal menyesuaikan tulisan  yang kita buat dengan persyaratan yang telah ditetapkan atau kualifikasi tulisan yang diharapkan.

Kalau menulis untuk diri sendiri di catatan harian, ya tak ada aturan, suka-suka yang nulislah. Tapi, kalau untuk ditulis di blog, facebook, twitter, ya minimal nggak malu-maluinlah kalau dibaca orang lain. Eh ya, perhatikan juga etika bermedia sosial.

Tulisan tidak hanya berupa sastra (puisi, cerpen, dan novel) dan karya ilmiah, tetapi bisa juga tulisan jurnalistik seperti reportase dan opini. Tinggal sesuaikan dengan persyaratan tulisan di media yang bersangkutan."

Yandigsa menambahkan: "Menulislah. Karena menulis itu keren. Tidak ada yang tidak enak dalam menulis. Yang nggak enak itu kalau tidak menulis. Media sosial seperti facebook dan twitter  bisa dijadikan sarana untuk berlatih menulis."

***

Sebenarnya, banyak lagi yang kami sampaikan selama hampir tiga jam. Malu juga sih. Soalnya dari awal sampai akhir Bu Kepsek, Pak Kepala UPD, dan beberapa guru setia menongkrongi selama  kami berbicara. Bahkan, sampai ikut mengantar kami makan siang.

Saya dan Yandigsa memang jadi narasumber, tetapi sebenarnya kamilah yang belajar banyak dari diskusi ini. Saya misalnya, menemukan betapa gairah berkreativitas di sekolah ini begitu luar biasa.

"Saya sudah mengumpulkan 200 puisi berbahasa Lampung," kata Ahmadi.

"Di situ juga ada lomba baca puisi," kata Ibu Eva.

Ternyata, daerah perbatasan ini menyimpan bakat-bakat seni dari berbagai cabang. Tinggal bagaimana terus memupuk bibit unggul ini agar menemukan persemaian yang baik dan tetap berkembang.

Ikan nila bakar besar-besar disertai lalapan menjadi menu kami di tepi Danau Ranau seusai salat
Jumat siang itu.

Mati bangik!


Fajar Sumatera, Senin, 23 November 2015

Tuesday, November 10, 2015

Prinsipnya adalah Kepribadian dan Kepribodian...

: In Memoriam Aan S Labuan

Oleh Udo Z. Karzi

Aan S Labuan (ISTIMEWA)
AWAL-AWAL kepenulisan saya semasa SMA paruh akhir 1980-an, saya tak pernah memperhitungkan Harian Lampung Post. Saya lebih suka mengirim puisi, cerpen atau artikel ke media di Ibu Kota Jakarta. Meskipun ketimbang dimuat, lebih banyak yang ditolak redaktur sih.

Bukan ngesok. Tapi, saya relatif terlambat paham ada koran keren bernama Lampung Post (Lampost) di daerah sendiri. Barulah ketika awal-awal kuliah di Universitas Lampung (Unila), saya mulai mencoba-coba mengirim tulisan ke Lampost setelah terpengaruh oleh senior-senior Surat Kabar Mahasiswa Teknokra dan FISIP seperti Eddy Rifai, Maspril Aries,  Budisantoso Budiman, Dadang Ishak Iskandar, S Muryono, Hartono Utomo, dan masih banyak lagi.

Eh, saya tidak hendak bercerita tentang proses kreatif dan riwayat kepenulisan saya, tetapi ingin membuka jalan saja bagaimana akhirnya saya bertemu dengan Aan S Labuan.

"Labuan itu tempat lahir saya. Saya ingin menghormati tempat kelahiran saya," kata Aan Solihan sekali waktu ketika saya tanya dari mana asal kata Labuan yang di belakang namanya. 

***

Jadi, tahun 1990-an Lampost masih hitam putih, terbit enam kali sepekan minus hari Minggu. Hari-hari biasa ada halaman Hiburan. Pada hari Sabtu halaman Hiburan berubah semacam halaman sastra, ada puisi, ada cerpen, ada artikel/esai seni, dan lain-lain.

Boleh juga nih. Saya coba kirim puisi dan cerpen untuk Lembar Sastra itu. Beberapa kali tak dimuat-muat. Dongkol juga. Saya kan sudah biasa menulis di koran Ibu Kota, kok koran daerah sendiri tidak menganggap karya saya.

Penasaran, saya sambangi Lampost yang kala itu masih beralamat di Jalan Ahmad Yani, Durianpayung, Bandar Lampung. Dengan malu-malu saya bicara dengan seseorang yang duduk di belakang meja di dekat pintu masuk redaksi Lampost sambil menunjukkan lembar sastra Lampost, "Mbak, numpang tanya, penanggung jawab halaman ini siapa ya Mbak?"

Si Mbak manis -- saya gak ingat siapa -- nyahut, "O, Bang Aan. Aan S Labuan...."

"Boleh ketemu nggak, Mbak?"

Begitulah, awalnya saya ketemu dengan Aan S Labuan. Saya protes kok karya-karya saya gak dimuat. Saya agak lupa bagaimana cara saya protes. Saya juga tak terlalu memperhatikan apa jawaban Bang Aan atas gugatan saya.

"Bawa karyamu dan langsung kasih ke saya!" kata pria kelahiran Labuan Pandeglang tahun 1963 ini.

Ya, akhirnya beberapa kali saya ke Lampost untuk menyerahkan karya, berdiskusi tentang ide tulisan, bagaimana menulis yang baik, dan... lumayan, bisa ambil honor tulisan. Hehee...

Malah saya saya sempat usulkan sebuah rubrik Sorotan Cerpen untuk menilai cerpen yang dimuat Lampost. Dan, sayalah yang memulai menulis di rubrik ini di bawah judul “Yang Biasa Justru Menarik”. Caelah, jadilah saya “kritikus ecak-ecakan” cerpen di Lampost. (Sedikit menyimpang, untuk redaktur opini Lampost kala itu, saya ingat, antara lain ada Hapsoro Poetro, Fajrun Najah Ahmad, Heri Wardoyo, dan Uten Sutendy.)

***

Pada 1997, saya diterima sebagai reporter magang Harian Tamtama, yang kala itu tergabung dengan Grup Jawa Pos. Dan, e... saya ketemu lagi dengan Bang Aan. Sebagai redaktur Hiburan, ia termasuk yang memberikan pembekalan kepada kami mengenai bagaimana bikin berita dan feature hiburan atau seni.

Setelah praktik menulis, bikin sosok artis lokal, Bang Aan langsung bilang ke saya, "Kamu cocok jadi wartawan hiburan."

Wartawan jenis ini memang menulis untuk membuat orang senang dan terhibur. "Prinsip yang harus dipegang oleh wartawan hiburan adalah 'kepribadian dan kepribodian'. Begitu saja, nggak ribet kok," pesan Bang Aan yang masih selalu saya ingat.

Awal-awal Bang Aan berkata begitu, kami para reporter baru jelas saja ngakak. Tapi, kalau dipikir benar juga. Saya termasuk yang paling semangat menulis profil sosok yang menarik dan inspiratif. Boleh juga dipraktikkan dalam kerja jurnalistik. Hehee...

Tapi, saya tidak lama di Tamtama. Hanya sebulan barangkali.

***

Mei 1998 reformasi. Saya masih jadi guru Ekonomi dan Akuntansi di SMAN dan MAN di kota kelahiran saya, Liwa. Saya masih belum berpikir untuk kembali menekuni dunia kewartawanan. Tapi, ee... saya tergoda juga. Maka, bergabunglah saya dengan Surat Kabar Umum Sumatera Post akhir 1998 dan Sumatera Post pun terbit awal 1999.

Nah, di koran ini saya bertemu lagi dengan Bang Aan.  Pada awalnya, Sumatera Post lahir dengan konsep koran rasa majalah. Ya, mungkin juga jurnalisme sastra atau apalah.

Ah, Aan Solihan alias Aan S Labuan memang jagonya bikin halaman seger. Di awal-awal pembaca Sumatera Post akan dimanja dengan gambar cewek semlohoi hampir sebesar poster center split dengan teks yang puitik mengenai sosok cewek di bawah rubrik "Ck ck ck..." Di sekelilingnya ada berita artis dan feature hiburan lainnya. Ada juga resensi film, buku, dan pertunjukan yang dikerjakan Iswadi Pratama, kadang saya dan Juperta Panji Utama.

Kali ini Bang Aan yang tak lama di Sumatera Post. Ia pindah ke media lain... saya tidak mengikuti secara lengkap riwayat kerja setelah itu. Kabarnya, ia sempat bekerja di Radar Banten, Tegar TV, Haluan Lampung, dan Radio Krakatau, Labuan Pandeglang.

***

Selepas Tegar TV, saya hampir tidak pernah bertemu, kurang komunikasi, dan lebih banyak tidak tahu tentangnya. Tiba-tiba, S. Pujiono (Pujay Ono) menulis "Selamat jalan mas Aan Solihan. Semoga damai di alam sana. Aamiin" di dinding Facebook-nya, Minggu, 8 November 2015 pukul 13.03.

Dari Chita Aulia, anak kedua almarhum saya mendapat informasi, Aan S Labuan menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Labuan Pandeglang, Sabtu, 7 November 2015 pukul 10.15.

"Papah sakit radang tenggorokan. Dari Lampung papah ke Pandeglang udah sakit. Sempet kerja di Radio Krakatau Labuan Pandglang. Tapi cuma tiga hari. Papah gak pernah mengeluh tentang sakitnya," kata Chita.

Chita menuturkan pesan terakhir papahnya, 'Papah mau pergi ke pelosok Chita. Papah mau asingin diri. Papah mau bangun rumah biar anak-anak papah biza pulang kalo lagi pada punya masalah.'

Tapi dua hari sebelum meninggal, Aan tak bisa apa-apa. Ia langsung dibawa ke rumah sakit.

"Saya dari kecil pisah sama papah. Terakhir ketemu 2012. Tapi saya lega. Dari lima anak papah, cuma saya yang dengar suara terakhir papah dari telepon sehari seblum papah meninggal. Papah, bilang papah sayang sama Chita," kenang Chita.

***

Kini, Bang Aan telah menghadap Ilahi. Wartawan muda bisa belajar banyak dari sosok almarhum.

"Tulisan dia (Aan S. Labuan) bagus. Saya salut dengan dia," kata Pemimpin Redaksi Fajar Sumatera Abdullah Al Mas'ud tentang rekannya ini.

"Ya Rab, muliakanlah ia di sisi-Mu," tulis penyair Juperta Panji Utama.

"Kami dulu sama-sama kerja jadi wartawan di Lampost. Papahmu orang baik. Semoga khusnuh khotimah," sambung jurnalis Oyos Saroso H N menanggapi Chita Aulia.

"Masih teringat kerja bareng dan liputan maupun wawancara bersamamu, senyum dan canda seperti tak pernah lepas dari mu kawan...Selamat jalan. Semoga senyum itu juga terus melekat padamu di alam sana. Aamiin YRA," gores wartawan LKBN Antara Budisantoso Budiman.

"Dialah redaktur dan guru yang baik bagi reporter pemula... Dulu dia pakai nama Aan S Labuan. Semoga masuk surga," demikian Himawan Imron.

Selamat jalan, Bang Aan. Engkau contoh wartawan yang baik, yang memang sangat layak ditiru. n



Fajar Sumatera, 10 November 2015