Wednesday, December 23, 2015

Bahaya Terlalu Serius

Oleh Udo Z Karzi


ENTAHLAH, hingga hari ini saya tak pernah bisa menuliskan moto hidup. Apalagi, merumuskan tujuan hidup.

Seingat saya, sedari kecil saya barangkali paling susah menentukan apa yang saya inginkan, apa yang saya harapkan, apa saya impikan, apa yang saya cita-citakan...

"Sekula mak haga, ngaji mak haga, mau jadi apa coba?"

Entahlah, sampai usia 16 tahun saya masih menulis begini:
bejuta hanipi ngeringkol dilom hati:
"jadikon hurikmu ngedok reti
jama niku, ulun tuhamu, rikmu
jama sapa riya!"

Ada banyak hal -- keluarga, adat, agama, sekolah, perguruan tinggi, buku-buku, sastra, filsafat, televisi, termasuk Mario Teguh (?)... -- yang sebenarnya bisa membantu bikin pernyataan tentang tujuan hidup.
Ingin bahagia, dunia akhirat. Itu cita-cita tertinggi, tetapi selalu saja ada kalanya saya dilanda rasa sedih, frustasi, merasa sendirian, dan seterusnya.... Kali aja masih takut masuk neraka.

Ingin memberi arti, bermakna buat orang lain. Ah, saya merasa tidak selalu niat baik itu menjadi baik untuk orang lain. Enggak, enggak pula saya hendak menuduh orang SMOS (senang melihat orang sengsara dan sengsara melihat orang senang). Toh, curiga-mencurigai memang adalah sesuatu yang lumrah saja. Jadi, ya biasa aja.

Ingin bikin sesuatu yang abadi, yang menyejarah, yang patut dikenang orang banyak. Ahai, ngeri kali. Saya hanya melakukan hal-hal biasa saja, kadang cuma iseng-iseng tanpa tahu apa guna dan apa maksud yang saya kerjakan.

Paling-paling cuma ingin agar hidup tak terlalu sia-sia. Tapi, kalau begini ntar dituduh fatalis pula. Berbuat, bekerja seadanya. Itu lebih buruk dari realistis, pragmatis, dan serbapraktis.
Ah, hidup... Terlalu berbahaya kalau terlalu serius. Tapi, lebih bahaya lagi kalau nggak pernah serius.

***

“Ai, sedang galau ya?”

Nggak cuma lagi iseng aja dengar curhatan seseorang yang lagi galau.”

“Ini kok nggak kayak biasanya?”

“Saya sedang biasa saja kok. Ini sebenarnya nasehat kepada seseorang atau beberapa orang yang lagi dilanda duka. Saya cuma gak tega mengganti ‘saya’ dengan ‘kamu’ dan ‘dia’. Kalau diganti ‘kita’, nanti ada pula yang ngeletuk: ‘Kitaa? Lu aja kali, gua kagak!’ Hehee…”

Bisa juga refleksi menjelang tutup tahun. Tapi, pesannya jelas kok: Jangan kapok menjadi orang baik dan terus menebar kebajikan. n


Fajar Sumatera, Rabu, 23 Desember 2015



Thursday, December 17, 2015

Membangun Peradaban

Oleh Udo Z Karzi


KALAU kita lihat ada pengulangan perintah membaca dalam wahyu Allah pertama ini. Pengulangan ini menunjukkan kepada kita bahwa kecakapan membaca akan diperoleh dengan mengulang-ulangi bacaan atau membaca sampai batas maksimal kemampuan. Lebih dari itu, wahyu pertama ini mengisyaratkan bahwa
mengulang-ulangi bacaan dengan bismirabbika (atas nama Allah) akan menghasilkan pengetahuan dan wawasan baru, meskipun yang dibaca hal yang sama. Mengulang-ulang membaca tentunya akan menimbulkan penafsiran baru, pengembangan gagasan, menambah kakayaan jiwa, dan kesejahteraan batin. Berulang-ulang 'membaca' alam raya, membuka tabir rahasianya dan memperluas wawasan serta menambah kesejahteraan lahir.

Iqra' pun  kembali diulang pada ayat yang ketiga dan digandengkan dengan 'warabbukal akram'. 'warabbukal akram' mengandung pengertian bahwa Dia (Allah) swt. dapat menganugerahkan puncak dari segala yang terpuji bagi segala hambanya yang membaca.

Lalu, pada ayat keempat dilanjutkan dengan kata-kata 'Dia (Allah) swt. Dzat yang mengajari dengan (perantara) qalam'. Kata qalam tidak bisa dipahami secara sempit, tetapi harus dilihat secara lebih luas sebagai segala macam alat tulis-menulis sampai kepada mesin-mesin tulis dan cetak yang canggih. Qalam juga bukan satu-satunya alat atau cara untuk membaca atau memperoleh pengetahuan. Sebab, Allah memiliki kuasa untuk memberikan pengetahuan kepada manusia apa yang tidak ia ketahui, baik lewat wahyu, ilham, karamah, intuisi, dan sebagainya.

***

Membaca memiliki proses timbal balik antara individu secara total dan informasi yang dibaca. Seseorang yang membaca akan memperoleh pengetahuan (ilmu). Membaca alam berarti menggali pengetahuan dan alam. Membaca tidak sekadar melihat atau mengeja bacaan tanpa mengetahui arti.

Untuk bisa membaca, manusia dibekali dengan beberapa instrumen. Pertama, pancaindra seperti penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa dan peraba untuk menangkap pesan tentang benda-benda dan keadaan yang ada di lingkungan sekelilingnya. Kedua, akal, yang berfungsi pada tataran rasionalitas untuk kemampuan mengumpul data, menganalisis, mengolah, dan membuat kesimpulan dari yang telah tertangkap dan diinformasikan oleh pancaindra. Ketiga, kalbu, yang menjadi penyelaras akal.

Iqra dapat berarti bacalah, telitilah, dalamilah, bacalah alam, tanda-tanda zaman. Kita membaca dan mentafakuri suatu objek dengan akal dan kalbu kita. Dengan kemampuan iqra, kita bisa menciptakan kemaslahatan di muka bumi. Teknologi canggih di zaman sekarang merupakan bukti keberhasilan manusia iqra dengan menggunakan akalnya. Akan tetapi terkadang kita gagal meng-iqra-kan sesuatu dengan qalbu kita. Kita harus bisa menyelaraskan iqra dengan menggunakan akal dan kalbu.

***

Jika demikian, perintah membaca adalah perintah yang paling berharga bagi perkembangan kebudayaan dan peradaban umat manusia. Sebab, membaca merupakan jalan yang mengantar manusia mencapai derajat kemanusiaannya yang sempurna.

"Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang memiliki ilmu dengan beberapa derajat yang tinggi" (Q.S. Al-Mujadilah: 11). Benar geh, membaca adalah syarat utama guna membangun peradaban. Semakin luas pembacaan semakin tinggi peradaban, begitu pula sebaliknya. Tak ayal upaya menggalakkan budaya membaca menjadi urgen. Bolehlah kita sebut manusia sebagai makhluk membaca, selain makhluk sosial, makhluk berpikir, dan lain-lain.

Ada dua periode dalam kehidupan manusia di dunia, yaitu sebelum penemuan tulis-baca (prasejarah) dan 'priode sesudahnya' (sejarah) sekitar lima ribu tahun yang lalu. Penemuan tulis-baca membuat  peradaban manusia tidak lagi lamban, jalan merambat jalan, dan merangkak-rangkak, tetapi telah telah berhasil melahirkan tidak kurang dari 27 peradaban dari peradaban Sumaris sampai peradaban Amerika masa kini. Peradaban yang datang mempelajari peradaban yang lalu dari apa yang ditulis oleh generasi yang lalu dan dapat dibaca oleh generasi yang kemudian. Manusia tidak lagi memulai dari titik nol, berkat kemampuan tulis-baca itu.

Kejayaan peradaban Romawi, peradaban Islam, peradaban Eropa saat ini tentunya semua dibangun dari tradisi membaca dan menulis. Beribu-ribu karya intelektual dan penemuan-penemuan yang original yang muncul pada zamannya. Intelektual bukanlah komunitas manusia yang hanya bergelut dengan tulis menulis, tetapi lewat berbagai macam eksperimentasi sehingga melahirkan suatu teori baru, begitu seterusnya hingga kini. 

Dengan ilmu yang yang diberikan Allah swt, Adam (manusia) memiliki kelebihan dari malaikat, yang tadinya meragukan kemampuan manusia untuk membangun peradaban. Dengan ibadah yang didasari ilmu yang benar, manusia menduduki tempat terhormat, sejajar, bahkan dapat melebihi kedudukan umumnya malaikat. Ilmu, baik yang kasby (acquired knowledge) maupun yang ladunny (abadi, perennial), tidak dapat dicapai tanpa terlebih dahulu melakukan qira'at - bacaan dalam arti yang luas.

Jadi, jelas kok membaca -- menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu dan membaca, baik teks tertulis maupun tidak -- menjadi syarat pertama dan utama bagi keberhasilan manusia dalam membangun kemanusiaan dan peradabannya.


Fajar Sumatera, Kamis, 17 Desember 2015

Wednesday, December 16, 2015

Membaca

Oleh  Udo Z Karzi


SUDAH jelas, manusia khalifah di muka bumi ini. Sebagai modal jadi khalifah, manusia dikasih akal. Dengan akal ini, manusia bisa mengembangkan potensi diri dan mengaktualisasikannya secara nyata dalam kehidupan sosial. Karena punya akal -- dan juga nurani -- manusia bakal diminta pertanggungjawaban atas semua usaha yang pernah ia lakukan kelak di hadapan Sang Khalik. 

Itu sudah. Terus dibilangin,  secara naluri dalam fitrahnya, manusia adalah makhluk yang memiliki couricity (rasa ingin tahu) yang sangat tinggi. Semua orang, tua-muda, laki-laki--perempuan, kecil-dewasa akan berusaha mengetahui segala sesuatu yang belum diketahuinya. Tidak aneh semua anak kecil waktu melihat atau mendengar sesuatu yang asing, pasti akan bertanya kepada orangtua atau orang dekatnya. Itu instingtif ingin tahu anak-anak.

Boleh dikatakan, pada dasarnya memang semua manusia telah 'membaca' dalam arti luas. Namun, belum terstruktur sebagai upaya untuk menghimpun pengetahuan dan mengaktualisasikannya secara nyata dalam kehidupan sosial.

***

Di sinilah letak urgensi membaca. Dalam konsep Islam, sangat jelas tentang perintah membaca ini. Wahyu yang pertama kali turun kepada Nabi saw adalah Iqra' atau 'membaca'.

Secara etimologis Iqra' diambil dari akar kata qara'a yang berarti 'menghimpun', sehingga tidak selalu harus diartikan 'membaca sebuah teks yang tertulis dengan aksara tertentu'. Selain bermakna 'menghimpun', kata qara'a juga memiliki sekumpulan makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu dan membaca, baik teks tertulis maupun tidak.

"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah" (Q.S. Al "Alaq).

Apa yang harus dibaca? Allah Allah menghendaki kita, umat Muhammad, membaca apa saja, selama membaca tersebut dilandasi bismirabbika (atas nama Allah), dalam arti bermanfaat untuk kemaslahatan
sosial. Bermanfaat bagi kemaslahatan sosial ini  menjadi syarat karena pembaca dituntut bukan
sekadar membaca dengan ikhlas, melainkan juga mampu memilih bahan-bahan bacaan.

Kalau begitu iqra' berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu, bacalah alam, bacalah tanda-tanda zaman, sejarah, diri sendiri baik yang tertulis maupun tidak. Alhasil, objek perintah iqra' mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkau.

***

Benarlah, betapa berharganya perintah membaca. 'Membaca' dalam aneka maknanya adalah
syarat pertama dalam pengembangan ilmu dan tekhnologi, syaratutama membangun peradaban. Semua peradaban yang berhasil bertahan lama, justru dimulai dari satu kitab (bacaan). Peradaban Yunani dimulai dengan Iliad karya Homer pada abad ke-9 sebelum Masehi. Ia berakhir dengan hadirnya Kitab
Perjanjian Baru. Peradaban Eropa dimulai dengan karya Newton (1641-1727) dan berakhir dengan filsafat Hegel (1770-1831). Peradaban Islam lahir dengan kehadiran Alquran.

***

Itu sudah. Sekarang, apa yang dibaca? Ya, makanya harus ada yang menulis dong!


Fajar Sumatera, Rabu, 16 Desember 2015




Tuesday, December 1, 2015

Jangan Percaya Kontrak Politik

Oleh Udo Z Karzi


MASYARAKAT sebagai pihak yang menyerahkan hak-hak mereka, tidak mempunyai hak lagi untuk menarik kembali atau menuntut atau mempertanyakan kedaulatan penguasa, karena pada prinsipnya penyerahan total kewenangan itu adalah pilihan paling masuk akal dari upaya mereka untuk lepas dari kondisi perang-satu-dengan-lainnya yang mengancam hidup mereka. Di lain pihak, pemegang kedaulatan mempunyai seluruh hak untuk memerintah dan menjaga keselamatan yang diperintah itu. Pemegang kedaulatan tidak bisa digugat, karena pemegang kedaulatan itu tidak terikat kontrak dengan masyarakat. Jelasnya, yang mengadakan kontrak adalah masyarakat sendiri, sehingga istilahnya adalah kontrak sosial, bukan kontrak antara pemerintah dengan yang diperintah.

Seperti halnya Hobbes, Locke juga menjelaskan tentang upaya untuk lepas dari kondisi yang tidak aman penuh menuju kondisi aman secara penuh. Manusia menciptakan kondisi artifisial (buatan) dengan cara mengadakan kontrak sosial. Setiap anggota masyarakat tidak menyerahkan sepenuhnya semua hak-haknya, akan tetapi hanya sebagian saja. Antara pihak (calon) pemegang pemerintahan dan masyarakat tidak hanya hubungan kontraktual, akan tetapi juga hubungan saling kepercayaan (fiduciary trust).

Namun, berbeda dengan Hobbes, Locke menyatakan sumber kewenangan dan pemegang kewenangan dalam teori Locke tetaplah masyarakat. Oleh karena itu kewajiban dan kepatuhan politik masyarakat kepada pemerintah hanya berlangsung selama pemerintah masih dipercaya. Apabila hubungan kepercayaan (fiduciary trust) putus, pemerintah tidak mempunyai dasar untuk memaksakan kewenangannya, karena hubungan kepercayaan maupun kontraktual sifatnya adalah sepihak. Kesimpulan demikian ini tentu amat bertolak belakang dari kesimpulan yang dihasilkan oleh Hobbes.

Seperti halnya Hobbes dan Locke, Rousseau memulai analisisnya dengan kodrat manusia. Pada dasarnya manusia itu sama. Pada kondisi alamiah antara manusia yang satu dengan manusia yang lain tidaklah terjadi perkelahian. Justru pada kondisi alamiah ini manusia saling bersatu dan bekerjasama. Kenyataan itu disebabkan oleh situasi manusia yang lemah dalam menghadapi alam yang buas. Masing-masing menjaga diri dan berusaha menghadapi tantangan alam. Untuk itu mereka perlu saling menolong, maka terbentuklah organisasi sosial yang memungkinkan manusia bisa mengimbangi alam.

Walaupun pada prinsipnya manusia itu sama, tetapi alam, fisik dan moral menciptakan ketidaksamaan. Muncul hak-hak istimewa yang dimiliki oleh beberapa orang tertentu karena mereka ini lebih kaya, lebih dihormati, lebih berkuasa, dan sebagainya. Organisasi sosial dipakai oleh yang punya hak-hak istimewa tersebut untuk menambah power dan menekan yang lain. Pada gilirannya, kecenderungan itu menjurus ke kekuasaan tunggal.

Untuk menghindar dari kondisi yang punya hak-hak istimewa menekan orang lain yang menyebabkan ketidaktoleranan (intolerable) dan tidak stabil, masyarakat mengadakan kontrak sosial, yang dibentuk oleh kehendak bebas dari semua (the free will of all), untuk memantapkan keadilan dan pemenuhan moralitas tertinggi. Namun, kemudian Rousseau mengedepankan konsep tentang kehendak umum (volonte generale) untuk dibedakan dari hanya kehendak semua (omnes ut singuli). Kehendak bebas dari semua tidak harus tercipta oleh jumlah orang yang berkehendak (the quantity of the ‘subjects’), tetapi harus tercipta oleh kualitas kehendaknya (the quality of the ‘object’ sought).

Jadi, jangan percaya kontrak politik. Cukup dengan mengawal pilkada (demokrasi) berjalan baik dan berkualitas. Sebab, dalam pemilu atau pilkada itulah terjadi kontrak sosial antara masyarakat dan calon yang dipilih. Begitu. n


Fajar Sumatera, Selasa, 1 Desember 2015