Monday, January 25, 2016

Moralitas Intelektual

Oleh Udo Z Karzi


SEMUA manusia adalah intelektual, tetapi tidak semua orang dalam masyarakat memiliki fungsi intelektual, kata Antonio Gramsci. Dengan begitu, orang cerdas, orang pintar, atau orang yang memiliki IQ tinggi, tidak selalu berbanding lurus dengan kemanfaatan dirinya bagi masyarakat. Makanya, ada tudingan pinter sendiri, kecerdasan yang mubazir, dan kepintaran yang disia-siakan. Itu masih mending. Akan celakalah kita jika intelektualitas itu hanya bikin susah kita, bahkan dipakai untuk merusak.

Nah, di sinilah urgensi moralitas. Moralitas inilah yang akan membimbing intelektualitas bisa berjalan ke arah yang positif dan bukan malah mengganggu hiduh harmoni kehidupan. Sebab,  sebuah intelektualitas tanpa dibarengi dengan moralitas bisa hancur. Diakui atau tidak, huru-hara dan kekacauan di negeri ini terjadi karena penghuninya lebih sering mengabaikan nilai-nilai etika dan moral.

Alih-alih memberi manfaat kepada rakyat, setiap hari kita malah dikabari tentang oknum-oknum pemerintah yang membuat hati miris. Begitu banyak kasus yang diungkap oleh media tentang perilaku para pemimpin bangsa kita saat ini. Mulai dari kasus skandal video mesum, pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum pejabat, kasus suap hakim, kasus kredit fiktif, dan yang sangat tak asing di telinga kita yakni kasus korupsi.

Itulah bukti ketimpangan intelektualitas terhadap moralitas. Sebagai public figure, seharusnya mereka mampu menggunakan kecerdasannya demi kepentingan rakyat. Namun moralitas mereka ternyata tidak selaras dengan intelektualitas yang mereka miliki. Sungguh sangat disayangkan, pendidikan yang telah mereka tempuh selama belasan tahun hanya dibayar untuk memuaskan diri sendiri dengan cara yang tidak lazim. Padahal sebelum menjadi pejabat mereka disumpah di atas kitab suci agamanya masing-masing. Namun layaknya sudah menjadi hal biasa bahwa sebuah peraturan ada untuk dilanggar. Sumpah jabatan hanya dijadikan formalitas belaka oleh oknum pejabat daerah maupun pusat.

Tanpa harus menuduh terjadi pengkhianatan intektual sebagaimana disinyalir Julian Benda, kita patut bertanya ke manakah para intelektual yang menghuni perguruan tinggi di daerah ini ketika kita, masyarakat dan bangsa ini masih terlilit berbagai patologi sosial. Moralitas intelektual di kampus-kampus jelas termaktup dalam tridarma perguruan tinggi (pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat). Okekah pendidikan bersifat internal kampus; okelah penelitian, walau tak banyak diketahui masyarakat hasil dan gunanya. Tapi, mana pengabdian masyarakat. Apa wujud wujud pengabdian masyarakat.

Itu juga menyangkut moralitas intelektual. Pertanyaannya, di manakah moralitas kaum intelektual yang membiarkan lingkungannya rusak, masyarakat terus dililit kemiskinan, dan pemerintah yang tak berpihak pada rakyat?

Bukankah ketika semua lini negara, baik legislatif, eksekutif maupun eksekutif -- (semoga tidak!) termasuk pers -- bobrok, satu-satunya suara moral yang bisa diharapkan adalah suara kampus? n


Fajar Sumatera, Senin, 25 Januari 2016

Tuesday, January 19, 2016

Siklus Kekerasan

Oleh Udo Z Karzi


"….apabila kekerasan dibalas dengan kekerasan hanya akan melahirkan kebencian dan tidak melahirkan bibit-binitpermusuhan baru."

DEMIKIAN Mohandas Karamchand Gandhi (1869-1948) mengajarkan kita pada pentingnya memperjuangkan sesuatu berdasarkan kebenaran (satyagraha). Perjuangan itu juga harus berada di jalan yang benar dan bermoral.

Namun, realitas justru menunjukkan sebaliknya. Kekerasan demi kekerasan terus terjadi. Terbaru, teror bom di kawasan Sarinah, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (14/1/2016). Apa pun latar peristiwa ini, kita melihat untuk menyelesaikan masalah pun, orang ternyata lebih memilih kekerasan fisik, seperti memukuli penjahat yang tertangkap, membunuh orang yang dibenci, menganiaya orang lain untuk menunjukkan kekuatannya, merusak milik orang lain karena ketidaksukaan, dan lain-lain. Namun, benar-benar selesaikah masalahnya?

Ternyata tidak. Kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan berikutnya. Apalagi kekerasan tidak hanya dimonopoli orang secara pribadi, tetapi juga dilakukan segerombolan orang yang merasa kekerasan bisa menyelesaikan masalah.

Pengguna kekerasan yang paling dahsyat adalah negara. Sebab, negara punya kekuasaan dan kekuatan untuk bertindak secara luas dan secara hukum untuk menggerakkan rakyatnya, misalnya, melakukan perang.
Kekerasan adalah kekuatan dan tindakan secara fisik dan psikis, yang menghancurkan kehidupan, mengabaikan HAM, dan merusak lingkungan. Kekerasan tidak hanya fisik, tetapi juga psikis, seperti ancaman dan teror. Tidak cuma ditujukan ke manusia, tetapi juga ke lingkungan hidup. Di antaranya penebangan hutan atau penambangan tidak terkendali, pencemaran lingkungan, hingga yang paling kecil kalau kita membuang sampah di sembarang tempat.

Dalam pandangan John Galtung, kekerasan terjadi bila manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi potensialnya. Kekerasan bukan hanya soal memukul, melukai, menganiaya, sampai membunuh, melainkan lebih luas dari itu. Misalnya, negara yang menelantarkan rakyatnya sehingga banyak yang menderita kelaparan sampai mati, itu juga kekerasan. Negara membuat kebijakan Ujian Nasional, yang membuat siswa merasa diteror mentalnya, juga bisa disebut kekerasan.

Sigmund Freud mengatakan setiap individu memang cenderung berperilaku menghancurkan objek. Camara dalam bukunya, Spiral Kekerasan, mengatakan ketidakadilan adalah akar pertama kekerasan.
Orang yang mengalami ketidakadilan melawan dengan segala cara, termasuk kekerasan. Selanjutnya, pihak yang berkuasa meredamnya dengan kekerasan juga. Akhirnya, kekerasan tidak pernah berakhir. Cara-cara kekerasan lebih banyak dipilih orang, terutama karena lebih mudah dan enggak memerlukan pemikiran mendalam.

Sulit memang menghentikan siklus kekerasan. Namun, tetap bisa ditekan seminimal mungkin. Caranya, melawan kekerasan tanpa kekerasan. Soalnya kebenaran itu relatif. Setiap orang yang melakukan tindakan, pasti punya dasar yang dianggapnya benar. Ini pasti terjadi dalam setiap konflik.

Kalau kita paham orang lain mungkin bisa benar, kenapa kita harus berbuat kekerasan yang tidak bakal menyelesaikan masalah? Dengan kekerasan tidak ada lagi ruang untuk saling mengerti. n



Fajar Sumatera, Selasa, 19 Januari 2016

Tuesday, January 12, 2016

Orang-orang Terpilih (5-Habis)



Oleh Udo Z Karzi


BETAPA hanya Allah yang berhak memilih siapa yang akan Dia panggil. Ada banyak jalan menuju ke rahmatullah. Dan, salah satu yang terpilih itu adalah Sang Seniman. Firdaus Khatami meninggal dunia dalam kecelakaan dalam kecelakaan lalu lintas saat mengendarai sepeda motor bersama isterinya, Aprileni, Selasa malam, 29 Desember 2015 sekitar pukul 19.30 Wib. Sepeda motor yang dikendarainya bertabrakan dengan mobil truk colt di Jalan Lintas Sumatera Km. 28 Dusun Talang Lindung, Desa Muara Belengo, Pamenang, Merangin. Sementara istrinya mengalami luka serius dan dirawat di rumah sakit.

Firdaus lahir di Prabumulih, 13 Januari 1968. Ia giat melakukan riset mandiri tentang tradisi lisan dan heritage. Ia menulis puisi, esai, naskah dan manuskrip teater serta film. Ia juga aktif di Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Jambi, Humaniora Institute, dan sebagai Sekretaris Dewan Kesenian Jambi.

“Kita sangat merasa kehilangan. Dia saya kenal sebagai seorang pekerja keras. Almarhum penyuka sastra-sastra lisan seperti seloko, pantun dan juga sastra-sastra modern,” sebut EM Yogiswara, seorang seniman daerah itu, seperti dikutip JambiUpdate.co.

Amboi alangkah bodohnya saya; saya sungguh tidak tahu bahwa saya bertemu dengan seniman hebat saat pertemuan Jaringan Sumatra untuk Pelestarian Pusaka (Pansumnet) di Sawahlunto, Sumatera Barat, 20-24 Oktober 2015. Kami satu hotel di Hotel Ombilin selama di Sawahlunto, sering kongkow di sela-sela seminar dan agenda pertemuan Pansumnet, meski Bang Fir dan juga saya, lebih banyak menyimak para pembicara yang memikat. Diam-diam, Bang Fir penyair juga. Saya menemukan buku puisinya, Istana Bunga (Jambi: Dewan Kesenian Jambi, 1998). 

Ternyata, itulah pertemuan pertama sekaligus yang terakhir kami. Selamat jalan, Bang Fir.

***

Saya lagi merenung-renung mengenai orang-orang terkasih di antara hari-hari peralihan tahun 2015 dan 2016, kabar duka kembali menyeruak.

"Innalilahi wainalilahirojiun. Jam 2.00 wib pagi tanggal 4 januari 2015 Kamu harus pergi menghadap Sang Illahi. Selamat jalan Bunda! Kami adalah Anak2mu, cucumu, dan seluruh keluarga Besar Bambang Eka wijaya memanjatkan doa semoga amal ibadahmu diterima di sisi Allah SWT. Amin," seniman film Dede Safara Wijaya menulis di dinding Facebooknya, 4 Januari 2016 pukul 4:11.

Sosok kelima terpilih adalah seorang perempuan yang sangat berjasa bagi banyak orang. Sembari membubuhkan komentar turut berbela sungkawa dan berdoa agar almarhumah mendapat tempat terbaik di sisi Allah swt., saya membayangkan senyum, tutur kata, dan sikap ramah Hj Anisyah binti  Abdul Muin saat bertemu di berbagai tempat dan di berbagai kesempatan. Lama bekerja sebagai wartawan Lampung Post (1995-1996 dan 2000-2015), tentu sosok ibu yang satu ini memiliki kesan tersendiri bagi saya.

Anisyah diketahui beberapa tahun belakangan memang menderita sakit sehingga harus berulangkali menjalani pengobatan di Lampung maupun daerah lain. Ia wafat saat perawatan medik di Solo, Jawa Tengah dan dimakamkan di Solo dalam usia 62 tahun.  Ia meninggal suami H Bambang Eka Wijaya (Pemimpin Umum Lampung Post), lima anak, dan cucu-cucu.

Biografi almahumah memang tidak saya baca secara tertulis. Namun, kalau melihat betapa panjang pengalaman hidup Pak Bambang, sang suami dalam memperjuangkan kebenaran, kebebasan, kemerdekaan, dan demokrasi melalui pers dan jurnalisme di Medan, Jakarta, dan kini Lampung; tentu perjuangan sosok perempuan ini dalam mendampingi suami dan mendidik anak-anak mereka hingga akhir hayatnya; tentulah ia perempuan yang sangat sabar dan tangguh.

Selamat jalan, Ibu. Tugasmu dalam mendampingi suami dan membesarkan anak-anak -- hmm, kami juga anak-anakmu yang selalu mendapatkan sesuatu dari senyum dan kesabaranmu -- kini sudah selesai. Semoga engkau bahagia di sana.

***

Demikianlah, lima yang terpilih. Sedangkan  kita, saya,  kamu, yang lain hanya menanti giliran...l


Fajar Sumatera, Selasa, 12 Januari 2016

Monday, January 11, 2016

Orang-orang Terpilih (4)

Oleh Udo Z Karzi


ABA yang wafat dalam usia 82 tahun, rupanya pilihan berikutnya yang dipanggil Yang Mahakuasa. Bagi saya, aba adalah salah satu orang terdekat yang sering saya (kami) mintai tolong dalam segala hal. Meskipun tanpa diminta pun, aba dan keluarganya sering membantu keponakannya (saya) dan yang lainnya. Lebih dari tujuh tahun (1986-1994),  saya ikut dan tinggal di lingkungan rumah keluarga aba di bilangan Jalan Sekalabrak, Pakiskawat, Bandarlampung.

Aba meninggalkan satu istri, empat anak, dan entah berapa cucu dan cicit. Semuanya kami kenal baik dan masih sering bersilaturrahmi.

Sebagai orang lama, Aba Idris punya pengalaman kerja segudang: pernah jadi guru, tentara, dan aparatur Pemerintah Kota Bandarlampung sampai pensiun. Ia sangat layak jadi pejabat sebenarnya. Tapi karena terbentur peraturan prasyarat harus sarjana untuk memegang jabatan tertentu, ia mentok menjagi PNS senior di lingkungan Pemda.

Mengenang Aba Idris Ilyas adalah mengingat nilai-nilai yang semakin langka di tengah kehidupan negeri yang semakin materialis, semakin pragmatis, dan semakin hedonis. Ia gambaran sosok yang tak mudah terhanyut oleh godaan dunia. Ia tak goyang oleh terpaan angin, yang kalau tak salah-salah bisa membuat orang terhempas dalam jurang kenistaan.

Meskipun tak pernah Aba katakan, saya tahu, Aba pegawai yang disiplin, jujur, dan tak mau melanggar hukum. Begitu pensiun sebagai amtenar, ia memilih untuk menjadi orang biasa, membuka warung kecil sebagai di samping rumahnya, dan mengisi hari-hari tua dengan sebaik-baiknya tanpa neko-neko. Hingga usia 82 tahun, ia pun dipanggil menghadap ke hadirat Ilahi.

***

Dan, astaghfirullah, rupanya ada berita duka juga berembus dari Jambi. Sekretaris Umum Dewan Kesenian Jambi (DKJ) Firdaus Al-Khatami, meninggal dalam peristiwa kecelakaan lalu lintas di Jalan Lintas Sumatera Merangin, Selasa, 29 Desember 2015.

Kalaulah Frieda Amran dari Belanda tak memberi tahu, sungguh tidak tahu. "Orangnya pendiam sekali. Jarang benar bicara," jelas Bu Frieda. Saya mencoba membayang-bayangkan sosok Firdaus. Hanya sekali bertemu ketika pertemuan Pansumnet di Sawahlunto, Sumatera Barat beberapa waktu lalu. Sekali bertemu dan sekarang, ia juga dipilih Tuhan masuk dalam barisan yang berpulang tahun 2015.

"Ia meninggalkan sepilihan puisi, kerja dan pengorbanan, serta jalan sunyi (baca: kesenian) yang mengasah kesadaran, memperluas horizon pikiran, mempertajam etik-estetik, serta memperkaya makna dunia material," tulis Jumardi Putra dalam artikelnya, "Firdaus dan Jalan Kesenian" (Posmetro Jambi, 4 Januari 2016). []


Fajar Sumatera, Senin, 11 Januari 2016

Thursday, January 7, 2016

Orang-orang Terpilih (3)

Oleh Udo Z Karzi


SAYA tahu, bak begitu setia dengan profesi guru. Bak tak merasa perlu mengejar karier lain di luar guru. Termasuk, ia ogah mengikuti pendidikan penyetaraan untuk profesi guru, mulai dari D1 tak mau, D2 nggak, sarjana apalagi. "Biarlah kalian yang sekolah. Kalian harus sekolah. Saya akan biaya kalian sampai sarjana. Dengan catatan, harus negeri. Kalau swasta, saya gak kuat," ujar Bak, entah berapa kali kepada saya dan adik-adik.

Dan, benar saja, kami semua bersekolah dan kuliah di negeri. Kecuali adik perempuan saya yang nomor tiga, yang tidak jadi kuliah waktu itu kerena mimilih menikah duluan. Ya, tak apa. Tapi kemudian setelah menikah, ia kuliah juga. Kami lima bersaudara, saya (di Bandarlampung) dan yang nomor tiga (di Jakarta) laki-laki memang tidak menjadi guru; tetapi tiga adik perempuan saya (satu di Fajarbulan dan dua di Liwa) semuanya guru, meneruskan perjuangan Bak. Syukurlah.

Terlalu banyak kalau saya harus menceritakan sosok bak. Dulu saya beranggapan bak pemarah, tukang omel, dsb. Bukan saya saja, teman-teman kecil saya juga yang menjadi anak didik bak di Sekolah Dasar juga bilang begitu. "Pak Zubai guru segik (Pak Zubai guru angker atawa bisa juga guru killer)," kata mereka.

Tapi, belakangan saya malah merasa dengan begitu bak jadi guru yang sebenarnya. "Ayahmu orangnya seriusan. Meski begitu, kalau ada yang lucu, ia bisa juga terbahak. Ayahmu enak orangnya. Ia santai saja. Gak mau ribet-ribet. Semua urusan dibuat simpel. Saya sering diminta menghadiri rapat kalau ada undangan dari luar sekolah. 'Sudah kamu saja,' kata ayahmu kalau saya tanya kenapa saya kenapa saya. Artinya, ia orangnya asyik-asyik saja," tutur seorang guru SDN di Way Empulau Ulu yang pernah dipimpin bak ketika melayat bak.

Ya, sudah. Selamat jalan bak. Seperti kata jemaah di masjid seusai menyalatkan bak di Masjid Almansyur Almadani Liwa, bak orang baik. Sejalan dengan bertambahnya usia saya -- boleh juga diomong "adu tuha" -- saya mulai memahami terlalu banyak nilai kebaikan dan kebajikan yang kami serap darimu. Semoga amal ibadahmu diterima Allah swt. Kami anak-anakmu, murid-muridmu, bangga denganmu.      

***

KAMI sekeluarga baru saja tiba di Bandarlampung setelah niga bak, Kamis malam, 31 Desember 2015. Ketimbang merayakan pergantian tahun baru, saya memilih tidur. Toh memang tidak ada perbedaan nyata antara akhir dan awal tahun. Nyatanya, kita hanya terjebak pada seremoni saja sambil berkali-kali berucap, "Selamat tahun baru..."

Jumat pagi di awal tahun 2016, masih setengah mengantuk, istri menyodorkan telepon seluler. "Aba meninggal dunia," kata suara di telepon. 

Kembali saya tersentak. Aba yang dimaksud adalah panggilan untuk seorang paman saya, suami dari kakak tertua mak, yang karena sudah berhaji  dipanggil aba. Sebelum haji, ia dipanggil dengan Pakbatin. Innalillahi wainnailahi rajiun.  Hi Idris Ilyas bin Muhammad Ilyas hadirat Ilahi di Penengahan, Bandarlampung, 1 Januari 2016 pukul sekira jam enam pagi.  Saya dan istri pun bersegera melayat Aba Idris di rumah duka di Penengahan, Kedaton, Bandarlampung.

Aba yang wafat dalam usia 82 tahun, rupanya pilihan berikutnya yang dipanggil Yang Mahakuasa. Bagi saya, aba adalah salah satu orang terdekat yang sering saya (kami) mintai tolong dalam segala hal. Meskipun tanpa diminta pun, aba dan keluarganya sering membantu keponakannya (saya) dan yang lainnya. Lebih dari tujuh tahun (1986-1994),  saya ikut dan tinggal di lingkungan rumah keluarga aba di bilangan Jalan Sekalabrak, Pakiskawat, Bandarlampung.

Aba meninggalkan satu istri, empat anak, entah berapa cucu dan cicit. Semuanya kami kenal baik dan masih sering bersilaturrahmi.

Sebagai orang lama, Aba Idris punya pengalaman kerja segudang: pernah jadi guru, tentara, dan aparatur Pemerintah Kota Bandarlampung sampai pensiun. Ia sangat layak jadi pejabat sebenarnya. Tapi karena terbentur peraturan prasyarat harus sarjana untuk memegang jabatan tertentu, ia mentok menjagi PNS senior di lingkungan Pemda.  []


Fajar Sumatera, Kamis, 7 Januari 2016

Wednesday, January 6, 2016

Orang-orang Terpilih (2)

Oleh Udo Z Karzi


PAGI itu, 27 Desember 2015, saya sedang berpikir untuk melayat Harun Muda Indrajaya ke rumah duka HMI di bilangan Jalan Urip Sumoharjo, Gunungsulah, Bandarlampun ketika mendapat telepon dari Silvia Diana, adik saya di Liwa. Ia mengabarkan bak (ayah) masuk RSUD Liwa sejak pukul 08.00. "Sekarang sedang dirawat di Ruang ICU. Tensinya tinggi benar. Kata dokter, bak ini harus dirujuk ke Kotabumi atau Karang (Bandarlampung)," kata Sil.

"Ya, ke Karang saja...," kata saya dengan masygul.

Saya masih menunggu kalau-kalau bak jadi dirujuk ke Bandarlampung. Berkali-kali menerima telepon, berkali-kali menelepon dari dan ke Liwa, diputuskan bak tidak akan dirujuk ke luar.  SMS Silvia: "Kata perawat (dia menyebutkan seseorang masih famili), tensi bak sangat tinggi, sampai 230, kasian dan berbahaya kalau dibawa dalam perjalanan."

Bak menghembuskan nafas terakhir di RSUD Liwa bersamaan dengan keberangkatan dari Rajabasa dengan travel ke pekon pukul 16.00. Itu pun saya ketahui dari sms yang ke saya menyampaikan berita duka.  Nyaris tak percaya, saya telepon ke Liwa. "Na radu, bak sa... jam pak jeno (Ya sudah, ayah... jam empat tadi). Sekarang sudah di rumah," suara di telepon.

Innalillahi wainnailaihi rajiun. Zubairi Hakim bin Abdul Hakim, ayah saya telah berpulang ke Rahmatullah. 

Begitu cepat. Terlalu cepat. Bak merasa tak perlu menginap di rumah sakit; masuk pagi dan bakda Asyar ia menuju ke surga. Tak perlu menanti malam bagi Bak untuk berlepas. Bak seperti merasa tak perlu menunggu kami, anak-anak dan cucu-cucunya yang sedang jauh di luar Liwa untuk pergi selamanya. 

Bak pergi begitu saja seperti tak hendak mau menyusahkan Mak, lima anak-lima mantu, dan 13 cucunya, termasuk minan (bibi), adik kandung semata wayangnya; dengan menungguinya di rumah sakit atau di rumah dalam perawatan medis.

Tapi, saya merasa, Bak memang orang terpilih yang harus segera secepatnya menghadap Ilahi. Malaikat maut bekerja cepat mengambil nyawanya. Adik dan Mak menuturkan, Bak tak pernah bicara bangun pagi  setelah tidur sejenak bakda Subuh. Hanya sekali saja, ia membuka matanya saat ditanya Sil, "Kenapa, Bak?" Setelah itu ia tidur kembali sampai lelap untuk selamanya.

***

"Pak Zubairi guru kami waktu SDN 1 Liwa," kata tiga perempuan yang datang jauh-jauh dari Krui, Pesisir Barat diantar suami mereka saat melayat.

Ya, Bak memang guru. Jadi guru terus sepanjang hayatnya sampai pensiun 12 tahun lalu. Lulus dari
SGB, ia memulai tugas gurunya di Krui, Pesisir Barat. Kemudian kembali ke Liwa, kota kelahirannya
dari SD yang satu ke SD yang lain.

Saya tahu, Bak begitu setia dengan profesi guru. Bak tak merasa perlu mengejar karier lain di luar guru. Termasuk, ia ogah mengikuti pendidikan penyetaraan untuk profesi guru, mulai dari D1 tak mau,
D2 nggak, sarjana apalagi. "Biarlah kalian yang sekolah. Kalian harus sekolah. Saya akan biaya
kalian sampai sarjana. Dengan catatan, harus negeri. Kalau swasta, saya gak kuat," ujar Bak, entah
berapa kali kepada saya dan adik-adik.

Dan, benar saja, kami semua bersekolah dan kuliah di negeri. Kecuali Silvia, adik saya yang ketiga,
yang tidak jadi kuliah waktu itu kerena mimilih menikah duluan. Ya, tak apa. Tapi kemudian setelah menikah, ia kuliah juga. Kami lima bersaudara, saya dan yang nomor tiga laki-laki, tiga adik perempuan saya semuanya guru, meneruskan perjuangan Bak. Syukurlah.  []

Fajar Sumatera, Rabu, 6 Januari 2016

Tuesday, January 5, 2016

Orang-orang Terpilih (1)

Oleh Udo Z Karzi


ENTAHLAH, tiba-tiba saya menulis ini malam-malam:

Seseorang yang Mati Menjelang Pilkada

kenapa orang-orang ini
berpesta atas kematianku
sementara selama hidupku
tak pernah berpesta

kenapa orang-orang ini
bergembira setelah kepergianku
sementara selama aku di sini
tak pernah bergembira

kenapa orang-orang ini
berkata suka-suka kala kepulanganku
sementara selama aku di sana
tak pernah mudah berkata-kata

kemiling, 8 desember 2015

Mungkin itu sajak! Saya tak tahu. Dan, entahlan beberapa bulan terakhir saya saya kok berkali-kali  menulis tentang kerinduan, memori, masa lalu, kepergian, pulang, mulang pekon yang -- salah satunya -- mengasosiasikan kepada kematian, maut, dan batas hidup.

Sebuah buku kumpulan kolom berjudul  Ke Negarabatin Mamak Kenut Kembali, yang sedang saya
persiapkan pun bisa saja dimaknai ke arah itu. Tapi, tidak, semoga tidak. Kembali dalam versi Mamak
Kenut adalah kehidupan baru, meraih kesadaran baru, yang lebih asyik, lebih penuh warna, dan tentu
saja karena itu menyenangkan.

***

Minggu pagi, 27 Desember 2015 menerima kabar tentang berpulangnya tokoh pers Lampung Harun Muda Indrajaya, Sabtu (26/12) malam.  Anak almarhum, Adolf Ayatullah Indrajaya mengabarkan ayahandanya  itu telah meninggal di RS Urip Sumoharjo,  Bandarlampung pada pukul 22.46 WIB.
Almarhum akan dimakamkan Minggu siang ini.

HMI, begitu Harun Muda Indrajaya disapa, adalah pendiri dan pimpinan koran Lampung Ekspres (LE)
Plus yang semasa hidupnya akrab disapa Buya HMI itu, lahir di Pekon Fajarbaru, Pagelaran,  Pringsewu, Lampung pada 13 Oktober 1949. Almarhum meninggalkan satu orang istri (Hj Megawani) dan lima orang anak.

Sebagai orang yang pernah menjadi wartawan Tamtama, (sekarang: Lampung Ekspres Plus) walaupun hanya  sekitar tiga bulan pada 2017, HMI tentu saja bukan orang jauh. Sedikit banyak, ia telah memberikan bekal penting bagi perjalanan kerja jurnalistik saya. Setelah itu, ia masih banyak memberi
perhatian dan dukungan pada apa-apa yang saya lakukan, baik di bidang pers, sastra, penerbitan buku
atau kerja-kerja budaya lainnnya. 

Sungguh, itu apresiasi yang luar biasa bagi saya dari HMI dan juga dari juga dari anak-anak dan
keluarga HMI. Semoga api yang terus menyalakan semangat bagi saya dan teman-teman.
Sekarang HMI sudah pergi ke keabadian. Ia orang terpilih pertama, yang saya kenal, yang diminta menghadap ke hadirat Yang Mahakuasa. Selamat jalan. Tempat terbaiklah buatmu.

***

Pagi itu, saya sedang berpikir untuk melayat ke rumah duka ketika mendapat telepon dari Silvia Diana, adik saya di Liwa. Ia mengabarkan bak (ayah) masuk RSUD Liwa sejak pukul 08.00. "Sekarang sedang dirawat di Ruang ICU. Tensinya tinggi benar. Kata dokter, bak ini harus dirujuk ke Kotabumi atau Karang (Bandarlampung)," kata Sil.

"Ya, ke Karang saja...," kata saya dengan masygul.  [] 


Fajar Sumatera, Selasa, 5 Januari 2016