Saturday, February 20, 2016

Way Haru Sumor Pitu

Oleh Udo Z Karzi


MEMBACA "Way Haru Sumor Pitu" dalam manuskrip Saya Belajar dari Sini: Pengalaman Mendampingi Mansyarakat Lampung Barat-nya Ali Rukman (sedang dalam proses terbit), saya seperti terlempar ke era 1970-an dan awal 1980-an ketika saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar.

Di rapor saya tertulis nama sekolah saya "SD Negeri 1 Negarabatin Liwa". Kemudian, di data siswa terteralah bahwa saya masuk ke sekolah ini tertanggal 1 Januari 1977. Ya, bulan Januari pada waktu itu adalah awal tahun ajaran baru dan karena itu cukup menuliskan "T.A. 1997". Tidak seperti sekarang tahun ajaran dimulai Juli dan ditulis dengan dua tahun (T.A. 2015/2016).

Pergantian tahun ajaran ini, terjadi ketika saya naik kelas dua.

"Pantesan saja kelas dua SD-nya lama banget. Sampai 1,5 tahun," ujar saya ketika tahu soal ini lama kemudian.

Selama SD (1977-1983), kami banyak diperkenalkan dengan banyak lagu-lagu wajib dan lagu daerah, terutama lagu Lampung.

Nah, ketika menyanyikan lagu wajib atau lagu daerah ini di depan kelas, kami sering terbahak. Aneh-aneh deh gaya teman-teman kecilku.

Sekali waktu, seorang teman -- yang tidak saya sebut namanya takut orangnya marah hehee... -- maju ke depan kelas. Dengan pede-nya ia memilih lagu "Ibu Kita Kartini" Cipt. WR Supratman.

Baru bait pertama lagu, kami sekelas tertawa. Dia ulang lagi. Ngekek lagi. Tiga kali ulang, kami tetap ngakak.

Gimana gak geli kalu menyanyi kayak gini syairnya:

Ibu kita Kartini
Putri sejati
Putri Indonesia
Harum baunya...

Waduh, maaf kan teman saya, Om Wage. Masa dia genti "harum namanya" dengan "harum baunya". Hehee... Syukurlah kali keempat, teman saya itu mulai menyadari salah sebutnya.

Di lain waktu, teman cewek saya menyanyi di depan kelas. Begini gayanya berdendang:

Padamu negeri
hst...
kami berjanji
hst...
Padamu negeri
hst...
kami berbakti
hst...

Waduh, kacau... setiap baris lagu, temanku menarik ingusnya yang meleleh dari lubang hidungnya yang berbunyi kira-kira "hst..." Hahaa... Dan, sejak itu teman kami itu kami kasih julukan "Sinden Ingusan".

Nah, soal lagu “Way Haru Sumor Pitu”, kami justru tidak mengenalnya dari sekolah. Tapi, dari seorang ayah teman sekelas SD saya dulu, yang kebetulan menjabat Danramil (Komandan Rayon Militer) di Kecamatan Balik Bukit (Liwa), Lampung. Itu pun tidak langsung ke kami. Kami mendengar lagu itu setiap kali bapak teman saya itu diminta menyumbangkan suaranya di acara pernikahan atau apa pun yang kami tonton. Setiap kali tampil, mestilah lagu itu yang dilantunkan bapak teman saya itu (namanya juga dirahasiakan, takut yang bersangkutan dan anaknya marah dengan saya, hehee...)

Begini senandung bapak teman saya itu -- dengan diiringi grup Orkes Monalisa (oleh orang Way Mengaku dipelesetkan jadi Orkes Manabisa, hahaa...):

Way Haru, Way Haru
Sumor Pitu, Nakan
Mata-mata di tengah

Way Haru, Way Haru
Lawok amu, Nakan
dipa mematani kidah

Way Haru...

Aduh, saya lupa lirik lengkapnya. Hehee... tapi seru juga.


Sabtu, 20 Februari 2016

Friday, February 19, 2016

Guru Nonsarjana

Oleh Udo Z Karzi

SEBAGAI orang terdepan dalam mempersiapkan generasi penerus yang berkualitas dan tangguh dalam menghadapi tantangan masa depan bangsa ini, kita bersepakat bahwa guru adalah harus memenuhi persyaratan, profesional, dan mempunyai kompetensi tertentu.

Dalam konteks ini, kita juga setuju dengan amanat Undang-Undang Nomor14 Tahun 2005 dan Peraturan Pemerintah No.74 Tahun2008, yang mengharuskan guru berijazah minimal diploma IV dan sarjana. Aturan ini berlaku sejak 1 Januari lalu.

Dinas Pendididikan Lampung menngaku sudah mengirim surat edaran ke sekolah dan menyosialisasikan aturan guru harus D4/sarjana dalam setiap pertemuan.

Namun demikian, kita bisa memahami keberatan banyak pihak.  Dinas Pendidikan Lampung Utara misalnya, mengatakan belum bisa menjalankan peraturan ini.Jika peraturan ini diterapkan, ribuan guru di Lampung Utara terancam tak bisa mengajar lantaran belum sarjana atau diploma IV.

Data Dinas Pendidikan Lampung Utara dari total 4.081 guru, ada 1.621 guru belum sarjana dan hanya 94 guru yang berkualifikasi S2.

Ini baru di Lampung Utara, belum di 14 kabupaten/kota lainnya di Lampung. Data terakhir menyebutkan, dari 3 juta guru di Indonesia, baru 51% guru yang mememenuhi kualifikasi D4/S1.

Kalau demikian halnya, mengapa Kementerian Pendidikan sedemikian ngotot hendak membelakukan aturan ini? Lagi pula tidak jaminan bahwa guru S1/D4 lebih baik dari guru-guru yang nonsarjana.

Apalagi kebanyakan guru yang belum sarjana ini adalah guru-guru yang sudah berpengalaman puluhan tahun mengajar.

Kita sepakat guru harus berkualitas dan profesional. Tapi, kita jelas menolak jika guru hanya guru yang sarjanalah yang berkualitas.

Jangan paksa guru senior untuk kuliah lagi mengambil gelar sarjana dengan alasan administratif bahwa guru harus S1/D4.

Hargailah proses! Guru yang sudah mengajar 20 tahun misalnya, bisa dianggap setara dengan seseorang sudah menempuh pendidikan S1/D4.

Karena itu kita meminta agar pemerintah tidak menutup mata dengan realitas ini. Masih banyak guru yang berkualitas, meskipun tidak sarjana, yang tetap ingin mengabdikan diri mereka untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) di negeri ini. []


~ Fajar Sumatera, Jumat, 19 Februari 2016