Friday, April 29, 2016

Arogansi

Oleh Udo Z Karzi


SISI lain dari sebuah kesuksesan -- apatah lagi kekuasaan -- adalah arogansi. Arogan adalah sikap angkuh dan sombong yang ditunjukkan seseorang yang merasa dirinya paling hebat, paling pintar, paling berkuasa, paling berperan dibandingkan dengan orang lain. Penyakit mental ini biasanya menjangkiti seseorang yang sedang dalam posisi puncak, kariernya menanjak atau bisnisnya sedang berkembang pesat.

Dari konteks inilah inilah kita bisa memahami apa yang terjadi pada seorang Arinal Djunaidi.

Ceritanya, Sekretaris Provinsi Lampung Arinal Djunaidi  memukul pegawai maskapai penerbangan Garuda Indonesia, Istahul Umam pada Sabtu, 16 April 2016 lalu. Kejadian ini bermula saat Arinal akan check-in di Bandara Radin Inten II yang akan melakukan penerbangan menggunakan pesawat Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA073 tujuan Jakarta yang akan berangkat pada Sabtu sekitar pukul 10.50 WIB.

Saat akan check-in yang bersangkutan tidak menggunakan jalur khusus sky priority, tetapi menggunakan jalur umum. Saat diingatkan pegawai Istahul, Arinal marah, sehingga terjadi adu mulut di antara keduanya hingga Arinal memukul terjadi pemukulan yang dilakukan oleh AJ. Istahul kemudian malaporkan kejadian ini ke Polsek Natar.

Sikap arogan Arinal tidak berhenti sampai di sini, sejumlah jurnalis berunjuk rasa memintanya meminta maaf secara terbuka kepada seluruh media massa pada Rabu, 20 April 2016 lalu.

Demo para jurnalis ini sebagai reaksi dari peristiwa Senin, 18 April 2016 ketika sejumlah wartawan hendak melakukan konfirmasi terkait kasus penganiayaan yang dilakukan pejabat Pemprov Lampung Arinal Junaidi terhadap karyawan groundhandling di Bandara Radin Inten II, Lampung Selatan. Arinal malah menuduh bahwa itu hanya alat untuk mencari uang dan menganggap berita tersebut tidak ada konfirmasi.

Secara lisan Arinal memang sudah meminta maaf dan berkata, "Kejadian ini membawa hikmah bagi saya, karena ini adalah hal yang sangat berharga. Ke depan untuk meningkatkan silaturahim dan koordinasi dengan para wartawan,  akan melakukan rapat koordinasi guna membicarakan pembangunan Lampung ke depannya."

Namun demikian, kejadian ini tetap membekas dalam benak kita, betapa sikap petantang-petenteng masih terpelihara dalam diri kita. "Sukses bisa membuat kita jadi arogan. Saat kita arogan, kita berhenti mendengarkan. Ketika kita berhenti mendengarkan, kita berhenti berubah. Dan di dunia yang terus berubah dengan begitu cepatnya seperti sekarang, kalau kita berhenti berubah, maka kita akan gagal, " kata seorang CEO dari perusahaan Fortune 100.

Jangan anggap enteng soal ini. Banyak sudah mereka yang sudah meraih kesuksesan pada akhirnya harus jatuh karena bersikap arogan. Sayang memang jika seseorang yang sudah mencapai kesuksesan lalu berbuat arogan. Sebab, untuk bisa menggapai posisinya yang sekarang tentu dibutuhkan perjuangan yang sangat keras. Beberapa dari mereka harus menggapainya dengan susah payah, rela hidup dalam kesusahan, mau mengorbankan kesenangannya demi untuk mendengar dan belajar bagaimana cara untuk sukses dari orang-orang yang sudah berhasil.

Ciri orang arogan adalah tak mau belajar dan mendengar lagi. Ia lupa diri, merasa sudah berhasil tidak perlu lagi menerima pendapat dan kritik orang lain. Kalau sudah begitu, waduh, apa lagi yang bisa diharapkan dari orang ini. Arogansi bisa terjangkit pada siapa saja. Termasuk seorang pendidik, guru, dosen, yang tiap hari memberi pelajaran bagi orang lain.

Nah, apakah kalau sudah pensiun dan sudah tidak menjabat lagi masih arogan? Entahlah... []


~ Fajar Sumatera, Jumat, 29 April 2016

Tuesday, April 19, 2016

Sikap Permisif Kita

Oleh Udo Z Karzi

REALITAS seperti membenarkan bahwa politik identik dengan suatu hal yang kejam, tetapi tidak dapat  terelakkan dalam kehidupan manusia. Sebab, sesungguhnya secara psikologis manusia lekat dengan  hasrat untuk berkuasa sebagaimana diungkapkan Alred Adler. Adler menyebutkan adanya kecenderungan otoritarianisme suatu unsur fundamental di dalam jiwa manusia, yang menggantikan libido –naluri kesenangan- di dalam konsepsi Freudian (Maurice Duverger, 2005).

Dari sini bisa dipahami bahwa naluri seseorang yang memiliki hasrat untuk berkuasa terkadang  mengalahkan akal sehat. Ia akan menempuh segala cara untuk dapat mencapainya. Ungkapan ‘uang berkuasa” adalah karikatur dalam realitas politik; uang tidak pernah menjadi satu-satunya  “penguasa”. Namun, dalam banyak masyarakat -- tidak hanya dalam masyarakat kapitalis -- uang adalah senjata yang hakiki.

Inilah awal mula kelahiran politik uang (money politics). Banyak pengertian politik uang. Ada menyebut politik uang sebagai suatu upaya mempengaruhi orang lain dengan menggunakan imbalan materi atau dapat juga diartikan jual beli suara pada proses politik dan kekuasaan dan tindakan  membagi-bagikan uang baik milik pribadi atau partai unatuk mempengaruhi suara pemilih (vooters). Pengertian ini secara umum ada kesamaan dengan pemberian uang atau barang kepada seseorang karena memiliki maksud politik yang tersembunyi dibalik pemberian itu. Jika maksud tersebut tidak ada,  maka pemberian tidak akan dilakukan juga. Praktik semacam itu jelas bersifat ilegal dan merupakan  kejahatan. Konsekuensinya para pelaku apabila ditemukan bukti-bukti terjadinya praktek politik uang  akan terjerat undang-undang anti suap.

Secara gamblang, politik uang dapat diartikan dengan suap. Suap secara garis besar berarti uang  sogok. Dalam hal ini uang menjadi faktor penentu seseorang untuk membuat keputusan, umumnya mereka yang terperdaya adalah kelompok orang yang memiliki tingkat pendidikan dan kesejahteraan yang rendah. Pendidikan mempunyai pengaruh yang penting terhadap de-alienasi pemilih. Dengan demikian, salah satu yang paling penting dari gerakan antipolitik uang adalah melakukan penyadaran atau pendidikan politik dalam arti sebenarnya; bukan mobilisasi atau malah pembodohan politik kepada  khalayak. Tentu saja segala segi yang menyuburkan politik uang harus bisa diminalisasi dengan penegakan hukum, regulasi yang ketat, serta meningkatkan etika dan moral politik.

Di tengah berbagai masalah krusial setiap kali pilkada digelar, kita masih menyimpan optimisme bahwa pilkada akan berlangsung jujur dan adil. "... tak semua pemilih dapat dibeli suaranya. Terhadap suara yang tak terbeli itulah kesejatian suara hati nurani atau vox populi, vox dei, suara rakyat (adalah) suara Tuhan! Adagium ini sebelumnya digunakan untuk meng-counter pernyataan Raja Louis XIV yaitu “L’etat c’est moi”yang artinya “Hukum Adalah Saya”, dan kini bisa kita gunakan untuk melawan mereka yang mengatakan bahwa “segalanya bisa dengan Uang!”, bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan, dan tak bisa terbeli!" tulis komisioner KPU Lampung Handi Mulyaningsih (2015).

Kita tetap harus mengingatkan semua pihak tentang bagaimana seharusnya demokrasi dijalankan secara benar demi kemaslahatan bersama. []


~ Fajar Sumatera, Selasa, 19 April 2016

Tuesday, April 12, 2016

Bumi Agung

Oleh Udo Z Karzi


SAAT mulang pekon, selalu saja saya dipukau oleh nama-nama tempat di desa kelahiran saya ini: Negarabatin Liwa yang sekarang bernama resmi (Kelurahan) Pasar Liwa.
Sekali waktu, saat saya menjawab, "Dari Pasar Liwa", orang yang bertanya tadi, berkata, "O, dari Sukanegeri."
Dalam pikiran saya, 'Jadi, Sukanegeri alias Negarabatin Liwa alias Pasar Liwa. Kanapa sih  pekon saya ini suka-sukanya gonta-ganti nama?’
Ada yang menggugat, kenapa nama bagus Negarabatin Liwa kok diganti Pasar Liwa? Entahlah...
Yang jelas, pekon/kelurahan Pasar Liwa ini adalah salah satu dari 12 pekon/kelurahan di Kecamatan Balik Bukit. 11 pekon/kelurahan lainnya adalah Padangcahya, Way Mengaku, Kubuperahu, Sebarus, Gunungsugih (asli bahasa Lampungnya: Gunungsugeh), Way Empulau Ulu, Wates (asli bahasa Lampungnya: Watas atau Watos), Padangdalom, Sukarame (dulu: Umbullimau), Bahway, dan Sedampah Indah.
Ke-12 pekon/kelurahan inilah wilayah Marga Liwa saat ini. Secara kebetulan sekarang ini wilayah Liwa menjadi satu kecamatan (Kecamatan Balik Bukit).
Kembali ke Negarabatin Liwa atau Sukanegeri atau Pasar Liwa, saya tidak tahu kapan persisnya di pekon ini terdapat (terpecah?) dua kampung adat: (1) Kampung Serbaya yang saat ini dipimpin Suntan Zakki dan (2) Kampung Bumi Agung yang dipimpin Bangsawan adok Suntan Makmur (alm) dengan pelaksana tugas Tabrizi adok Raja Dialam.
Secara adat, saya sendiri berada di Bumi Agung. Hierarki pemimpin adat di Bumi Agung dari yang tertinggi ke bawah adalah:
1. Suntan
2. Raja
3. Batin
4. Radin
5. Minak
6. Kimas
7. Mas/Inton
Dari panggilan (sapaan) seseorang ketahuanlah letak posisinya dalam adat.
"Hara gelukni mulang. Sawai sang Bumi Agung ngumpul. Kintu Udo aga cawa... (Alangkah cepatnya pulang. Lusa se-Bumi Agung berkumpul. Barangkali Udo hendak berbicara...," kata adik menjawab saya yang mengatakan akan pulang besok.
Ah, betapa Bumi Agung menghimbau, apa daya tugas di Tanjungkarang sudah menunggu. Ya, saya hanyalah seseorang yang terdampar di kota mengais rezeki. Tapi, percayalah saya ingin selalu pulang seperti buku saya: Ke Negarabatin Mamak Kenut Kembali. Selalu ada keinginan itu...


Selasa, 12 April 2016

Monday, April 4, 2016

Bukit Kan Kugerus

Oleh Udo Z Karzi

"BUKIT kan kudaki laut pun kuseberangi." Begitu senandung Hetty Koes Endang dalam lagu Hati Lebur Jadi Debu yang hits 1990-an. Tapi, barangkali buat orang sekarang yang serbapraktis, apalagi oleh pengembang yang mau cari untung gede, syair itu diganti dengan "bukit kan kugerus, laut pun kureklamasi".

Ya, dua hal ini: penggerusan bukit dan reklamasi pantai menjadi persoalan yang sejak lama menghantui Bandarlampung. Soal reklamasi pantai yang sempat bikin heboh beberapa tahun lalu, kini sedikit mereda.

Kini, ancaman yang masih mengintip warga kota adalah penggerusan bukit. Pemkot Bandarlampung sebagai pihak pemegang otoritas tidak pernah tegas menyikapi penggerusan bukit. Hingga kini, aktivitas penggerusan bukit yang berdampak terhadap ekosistem dan degradasi lingkungan itu tetap saja berjalan.

Saat ini misalnya, warga mencemaskan aktivitas pengerukan bukit untuk dijadikan kawasan perumahan di Kecamatan Sukabumi, Bandarlampung. Sejumlah rumah terancam tertimpa longsor. Pengerukan bukit yang akan dijadikan kawasan perumahan itu bahkan sempat membuat rumah warga terendam air dan lumpur.

Jono beserta keluarganya terpaksa mengungsi ke rumah kerabat yang tak jauh dari rumahnya. Jumat (1/4), saat  saat hujan deras, air dan tanah merah masuk dari belakang rumahnya.

Jono yang tinggal di daerah itu sejak 1996 mengaku longsor tidak pernah terjadi. Ia mengatakan, hal itu akibat penggerukan bukit di belakang rumah oleh pengembang perumahan.

Berdasar data yang dimiliki Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Lampung Desember 2015, dari 32 bukit di Bandarlampung, hanya 3 buah bukit yang masih bagus dan terjaga keasriannya, atau dalam kondisi baik. Tiga bukit itu Bukit Banten, Sulah, dan Bukit Kucing.

Puluhan bukit itu dengan kondisi memprihatinkan, dikarenakan telah berubah fungsi menjadi perumahan, tempat usaha (hotel), dan lain-lain. Yang lain dalam kondisi rusak berat dan beralih fungsi.

Rusaknya bukit di Bandarlampung disebabkan lemahnya pengawasan dari Badan Pengelolaan dan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPPLH). Walhi pun menuding BPPLH yang paling bertanggung jawab atas kerusakan bukit-bukit itu. Soalnya BPPLH yang yang mengeluarkan izin.

Penggerusan bukit ini, tidak bisa dibiarkan. Jelas, jika kerusakan bukit semakin parah, warga akan kesulitan air pada musim kemarau. Ini karena semakin berkurangnya daerah resapan air.

Nah, pada musim penghujan seperti saat ini, warga kota, terlebih yang bermukim di bawah bukit, mesti was-was karena ancaman longsor dan banjir.  Soalnya, pohon-pohon sudah dibabat, tanah diratakan  mengakibatkan air hujan tidak tertahan lagi langsung mengalir membawa tanah, dan lain-lain.

Jadi, hentikan penggerusan bukit sebelum semuanya terlambat. Nyawa manusia lebih berarti ketimbang keuntungan sebagian kecil orang dari kegiatan penggerusan bukit.  []


~ Fajar Sumatera, Senin, 4 April 2016