Monday, May 30, 2016

Kabut

Oleh Udo Z Karzi


LANGIT Bandarlampung beberapa hari ini seperti diselimuti asap. Cuaca agak gelap mulai pagi-sore hari. Kadang-kadang hujan turun. Tapi kabut ini bukan itu deh. Pas benar dengan kata Ella dan Deddy Dores, Mendung Tak Berarti Hujan.

Ada apa? Kasi Data dan Informasi BMKG Lampung Rudi Harianto bilang, kondisi cuaca berkabut yang menyelimuti wilayah Bandar Lampung dan sekitarnya terjadi akibat gangguan cuaca yang disebut konvergensi.

Konvergensi itu merupakan gerakan angin yang masuk ke wilayah tertentu, dan terjadinya pengumpulan masa udara, sehingga mambantu dalam pembentukan awan tebal.

Konvergensi terjadi karena adanya daerah bertekanan rendah di sebelah barat Sumatera, yang ternyata sangat memengaruhi wilayah Lampung, khususnya Lampung bagian tengah dan Lampung bagian selatan.Kondisi ini yang menyebabkan adanya penumpukan massa udara. Sehingga, timbullah awan tebal bahkan sampai berkabut.

Oh, fenomena alam!

Namun, menyimak beberapa isu hangat beberapa hari ini, rupanya tak hanya cuaca yang berkabut. Ada kabut yang menyertai penutupan SMKN 9 Bandarlampung. Ada kabut yang mengiringi gerakan mahasiswa di IAIN Raden Intan yang memperjuangkan kebebasan berpendapat, berekspresi, dan berorganisasi. Ada kabut yang sedikit mengganggu mata kita melihat banyak kejanggalan, penyimpangan, dan penyalahgunaan wewenang yang masih saja terjadi. Masih ada kabut yang menutupi berbagai upaya penegakan demokrasi, hukum, dan hak asasi manusia.  Terdapat kabut yang menjelagai  nurani kita untuk mengasah etika, moralitas, dan rasa kemanusiaan kita.

Berbahayakah kabut itu? BMKG sih bilang, cuaca berkabut di Bandarlampung belum berpengaruh secara signifikan terhadap penerbangan. Baru sedikit mengganggu jarak pandang (visibilitis). Jarak pandang di bandara minimal tiga km. Tapi, beberapa hari ini tadi pagi masih lima km. Jadi masih aman.

Meskipun demikian, ada imbauan agar warga mewaspadai cuaca, terutama saat hendak bepergian. Nah, di sinilah: Waspadalah terhadap kabut! []


~ Fajar Sumatera, Senin, 30 Mei 2016

Monday, May 23, 2016

Kampus

Oleh Udo Z Karzi

Apa yang bisa dilakukan oleh penyair
Bila setiap kata telah dilawan dengan kekuasaan?


BARANGKALI, tidak segawat bait sajak "Pamplet Cinta"-nya WS Rendra di atas untuk menggambarkan keadaan beberapa fenomena yang terjadi belakangan. Tapi, itulah kecenderungan yang terjadi saat ini. Bibit-bibit arogansi, otoritarian, dan antikritik menggejala.


Ada pejabat marah-marah ketika dikonfirmasi wartawan, petinggi yang tersinggung karena kritik, aparat yang ketakutan dengan hantu komunis hingga merasa perlu melakukan merazia atau melarang buku, hingga pejabat kampus yang membekukan kegiatan mahasiswa karena diprotes.

Repot memang kalau "kekuasaan" yang yang bicara dalam menghadapi berbagai masalah. Kita menjadi terkaget-kaget. Apa yang keliru coba? Pers bertanya karena memang tugasnya untuk memenuhi tanggung jawabnya sebagai pemberi tahu publik mengenai apa yang terjadi.
Petinggi yang memang harus dikritik agar tidak salah jalan dan mengingatkan agar tetap berada di jalur yang benar. Apa-apaan pula kok buku yang dicari-cari hanya karena ketakutan dengan hantu bernama komunis. Yang parah, pejabat kampus yang notabene orang tua mahasiswa kok malah main bredel kegiatan mahasiswa.

Yang terakhir ini, yang terjadi di IAIN Raden Intan membuat kita prihatin. Dosen-karyawan-pimpinan IAIN bilang, "Mahasiswa anarkis!" Tapi, sebaliknya mahasiswa dan lain-lain yang mendukung mahasiswa berkata, "Rektor dan pimpinan IAIN RIL yang arogan!"

Terlepas dari itu, apa pun alasannya, kampus adalah lembaga yang menjunjung nilai-nilai kebenaran, kejujuran, dan moralitas di tempat yang tertinggi. Di kampus inilah sivitas akademika -- melalui Tri Dharma Perguruan Tingginya -- memperjuangkan apa-apa yang mereka pelajari, yang kemudian menjadi sikap dan perilaku etis mereka, baik secara individu maupun secara bersama-sama.

Di kampus inilah, mereka berdialog, berdiskusi, berdebat, bahkan "bertengkar" dalam batas-batas kebebasan akademik yang mereka miliki. Termasuk di dalam ada protes, demonstrasi, dan lain-lain sebagai bentuk-bentuk penyampaian pendapat. Di tempat ini perbedaan diakomodasi dan kebebasan berekspresi dihormati.
Di kampus, tak ada tempat untuk melakukan kekerasan. Sebab, semua boleh berargumen dengan bicara atau menulis.

Makanya, kita menyesalkan pihak yang mengundang aparat masuk kampus IAIN dengan alasan apa pun. Terbukti, kemudian ada mahasiswa yang patah tulang dan cedera akibat undangan ini.

Jadi, kemuliaan kampus sebagai tempat berkumpulnya para intelektual harus dihormati. Caranya dengan tidak sekali-kali menghadirkan wajah kekuasaan yang antikritik, menghalalkan kekerasan, dan sikap tidak bijaksana. []


~ Fajar Sumatera, Senin, 23 Mei 2016

Tuesday, May 17, 2016

Jangan Cuek Geh!

Oleh Udo Z Karzi


KABAR tak sedap menerpa Universitas Lampung (Unila). Seorang dosen Unila menuding Wakil Rektor I Bujang Rahman memanipulasi data untuk kenaikan pangkat meraih gelar profesor.

Dalam keterangan pers bermaterai Rp6.000, sang dosen Yurni Atmaja menyebutkan Bujang Rahman mengantongi dua SK sekaligus dalam tanggal yang sama dan tujuan sama, hanya perihal dan penandatanganan SK yang berbeda.

Kasus serupa sebenarnya pernah terjadi di sebuah fakultas di kampus hijau ini. Namun, setelah ribut-ribut soal ini, akhir yang bersangkutan dengan kesadaran sendiri akhirnya mengundurkan diri dari jabatannya.

Kini, kasus serupa terjadi. Tapi, pimpinan Unila menganggap ini soal sepele. Rektor Hasriadi Mat Akin naga-naganya tidak akan mengambil tindakan atau memberikan sanksi apa pun terhadap kasus ini.

"Kasus Bujang Rahman itiu terjadi pada era Pak Sugeng. Jadi maaf ya... hanya itu komentar saya...," kata Hasriadi kepada Fajar Sumatera.

Dan yang dituding juga payah. Bujang Rahman enggan memberi jawaban mengenai aibnya yang dibongkar. "Pak Bujang Rahman tak bisa diganggu. Jadi, tak ada komentar," kata penjaga ruangan Warek I Unila.

***

Bagaimanakah kelanjutan ceritanya? Hingga kemarin, sivitas akademika Unila masih tenang-tenang saja. Tidak ada banyak yang tahu atau cari aman saja? Atau, barangkali soal ini dianggap hal biasa saja? Tidak terdengar juga apakah ada rapat pimpinan Unila untuk membahas masalah ini atau tidak.

“Kampus adalah benteng moral, bukan sekadar tempat ilmu pengetahuan,” kata mantan Rektor Universitas Padjadjaran Ganjar Kurnia sekali waktu saat menyambut mahasiswa baru tahun ajaran 2014/2015.

Nah, sebagai benteng moral, sivitas akademika Unila tentu harus bersih dari berbagai bentuk ketidakjujuran, manipulasi, dan sikap menghalalkan segala cara untuk menggapai karier.

Kita tidak menuduh Warek I Unila telah melakukan kecurangan. Tapi, yang lebih penting dari itu adalah jawaban yang sejujurnya atas tuduhan ini dari yang bersangkutan. Atau, buktikan bahwa tudingan itu tidak benar. Dan, harus ada penyelesaian yang adil dan bijaksana atas persoalan ini. Kalau tidak, ini bisa jadi preseden buruk.

Jadi, jangan cuek geh! []


~ Fajar Sumatera, Selasa, 17 Mei 2016