Sunday, December 2, 2018

Surat Cinta

Oleh Udo Z Karzi


BAIKLAH, saya akan kisahkan sebuah romantika seorang teman yang dirundung asmara sampai tak enak makan, tak nyenyak tidur, ... Ahai, saya tak melebih-lebihkan kok. Benar demikian adanya.

Kejadiannya, 1980-an. Setelah cerita panjang lebar mengenai gadis pujaannya berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan sampai saya bosan, teman ini (namanya sengaja tak disebutkan) memintakan bantuan saya.

"Kasihin surat ini ke dia ya," kata dia penuh harap.

"Surat apa?"

"Ya, suratlah..."

Yaelah, saya kok lebih sering jadi tukang antar surat yang beginian ketimbang bikin sendiri, lalu menyampaikan kepada seseorang yang barangkali saja memang menunggu-nunggu pernyataan rasa dari saya seorang.

Nah, kok malah saya yang jadi ge-er. Hahaa...
Baiklah, demi teman, saya bersedia menyampaikan surat cinta bersampul merah jambu. Hihii... Kebetulan si gadis adik kelas satu SMA. Namanya juga tak perlu disebutkan ya.

Tapi, saya ogah kasih surat di sekolah.

"Di kosannya. Ini alamatnya," kata Teman tadi sambil menuliskan alamat dan denah tempat tinggal si Gadis.

Terpaksalah saya pergi ke tempat Gadis setelah minta ongkos angkot terlebih dahulu kepada Teman.
Saya bukan cowok yang ganteng-ganteng amat dan tidak pula terlalu gentle. Meskipun tampang dan kualitas, tidak memalukan, saya tetap tak punya keberanian untuk mengutarakan isi hati kepada cewek. Kala itu.πŸ˜›πŸ˜› Tapi, terima kasih Teman telah memfasilitasi saya berkunjung ke seorang gadis -- alasannya mengantar surat. Hehee...

Saya enggan cerita tentang pertemuan dengan Gadis dan bagaimana Gadis menerima surat Teman.
Saya juga lupa-lupa ingat surat bagaimana surat-menyurat berlangsung antara Teman dan Gadis. Hanya sekali saya membawa surat balasan dari Gadis.
Setelah itu, Teman minta tolong lagi.

"Antar saya ke dokter?" ujarnya.

"Lo, sakit? Kayaknya sehat-sehat saja..."

"Kepala saya pusing, panas-dingin, dada berdebar-debar terus," keluhnya.

Ya sudah, saya antar Teman ke dokter. Kondisi badannya ia sampaikan semua ke dokter. Dokter pun senyam-senyum, memeriksa, dan memberikan resep obat. Pulang.

Tiga-empat hari, Teman tak merasa sembuh. Kini ia mengeluhkan dokternya. Ganti dokter. Tak juga sembuh.

Terpaksa gonta-ganti dokter, dari dokter umum, dokter penyakit dalam, dokter paru-paru, dokter jantung hingga psikiater. Yang tidak saya tahu, dukun.... Kurang paham kalau diantar yang lain. Hehee... Tetap saja, walau kelihatannya Teman sehat-sehat saja, ia tak sembuh juga.

Sakit apa Teman, pusiing saya. Ai, bodoklah. Saya ogah mengantarnya lagi ke dokter.

Biarin aja. Sehat kok dia bilang sakit mulu. Ngeselin aja.

Bener-bener, dia aja bingung, dokter bingung, saya bingung, semua bingung Teman sakit apa.

Sekian lama... Orang tua Teman menengoknya. Bapaknya banyak bercerita mengenai harapan agar anak-anak bisa kuliah dan menjadi sarjana. Tapi, agaknya harapannya itu tidak akan terwujud. Anaknya tak ingin kuliah.

Saya lalu menanyakan soal sakitnya Teman.

Lama Bapak Teman tak menjawab sampai ia berkata, "Itulah... Kata dokter, dia tidak sakit. Cuma, kepengin kawin."

Aguiii... []



Minggu, 2 Desember 2018

Thursday, November 29, 2018

Asbun

Oleh Udo Z Karzi


SAYA kira "asbun" itu cuma istilah masyarakat saja untuk menyebut seseorang atau lebih sering pejabat yang suka ngomong ngawur: jauh dari rasionalItas, tidak berdasar akal sehat, tidak relevan dan tidak kontekstual dengan masalah yang dibahas, bahkan menghindari dari sasaran yang dipersalahkan, memutar-balik fakta, serta tidak memberikan solusi.

Tapi, ternyata KBBI sudah memasukkan "asbun" sebagai akronim asal bunyi (sebutan untuk perilaku asal berbicara tanpa dipikirkan terlebih dahulu). Asbun boleh jadi hoaks, tetapi lucunya luar biasa. Meskipun lucu dan kita ketawa sambil meringis, ia adalah pembodohan yang kelewatan. Kita bertanya-tanya pihak yang paling berkompeten dengan hal tertentu, tetapi ketika dimintakan keterangan, pandangannya, dan pertanggungjawaban atas apa yang memang menjadi lingkup tugasnya, kok jawabannya melipir tak karu-karuan.

Pejabat atau politisi asbun banyak banget di negeri ini. Namun, saya hanya mau menyebutkan satu saja pejabat yang paling sering asbun belangan ini dan karenanya popularitasnya paling tinggi saat ini. Pertama, wartawan baik, timnas baik. Ceritanya, seorang wartawan bertanya kepada Edy yang saat itu terlihat tengah berjalan mengenakan setelan jas berwarna hitam.

Wartawan menanyakan langkah yang akan dilakukan PSSI melihat Timnas Indonesia yang belum berhasil di ajang AFF 2018. Jawaban Edy atas pertanyaan ini yang kemudian menjadi perhatian publik. “Wartawannya yang harus baik. Ketika wartawannya baik, nanti timnasnya baik,” ujarnya sambil tetap berjalan.

Berbagai tanggapan diberikan warganet yang menyoroti korelasi kinerja wartawan dengan penampilan tim nasional.

Bahkan, saat pertandingan Indonesia versus Filipina, Minggu (25/11/2018), para suporter menyanyikan yel-yel “Wartawan harus baik, wartawan harus baik, wartawan harus baik” dengan menggunakan irama khas yel-yel suporter bola Indonesia.

Kedua, perbandingan jumlah atlet dan penduduk sebabkan suporter berkelahi. Sebelumnya, pernyataan Edy menyampaikan perbandingan atlet sepak bola dan penduduk menjadi salah satu penyebab terjadinya perkelahian antar supporter.

Hal ini ia sampaikan saat menjadi salah satu bintang tamu pada program Indonesia Lawyer Club, TVOne, 25 September 2018. “Indonesia mempunyai atlet sepak bola hanya 76.000 dari 250 juta. Inilah salah satu yang mengakibatkan suporter berkelahi,” kata Edy.

Ia pun membacakan data yang ia miliki terkait perbandingan jumlah atlet dan penduduk beberapa negara di dunia. Edy menyebutkan, Spanyol, misalnya, memiliki pemain sepak bola yang tercatat di FIFA 4,1 juta dan penduduknya 46,8 juta; Belanda 1,2 juta banding 16,7 juta; Jerman 6,3 juta banding 80 juta, dan seterusnya.

Pernyataan ini lagi-lagi mencuri perhatian warganet. Mereka mengaku tidak paham dengan apa yang disampaikan oleh Edy karena tak mengerti korelasi keduanya.

Ketiga, apa hak Anda menanyakan ini? Saat sesi wawancara Edy dengan Kompas TV melalui sambungan telepon yang disiarkan secara langsung pada 24 September 2018, ia ditanya terkait  kematian salah satu suporter Persija di Bandung beberapa waktu sebelumnya. Edy dimintai tanggapan sebagai Ketua Umum PSSI.

Saat pembawa berita menanyakan apakah Edy merasa terganggu dengan rangkap jabatan yang ia emban, sebagai Gubernur Sumatera Utara sekaligus Ketua Umum PSSI, jawaban Edy kembali menjadi perhatian. "Apa urusan Anda menanyakan itu? Bukan hak Anda juga untuk bertanya kepada saya, saya juga punya hak untuk tidak menjawab,” jawab Edy.
Sontak, video yang menampilkan potongan wawancara itu pun menyebar di media sosial dan menjadi perbincangan di kalangan warganet. Tak hanya komentar, warganet juga menjadi petikan pernyataan Edy di berbagai meme.

Ah, asbun benar deh! []


Fajar Sumatera, Kamis, 29 November 2018 

Thursday, November 22, 2018

Kecimil

Oleh Udo Z Karzi


"UNTUK Perpustakaan kan?"

"Ya, Bu untuk taman bacaan."

"Sebentar saya tanya dulu."

Lalu, ibu petugas mengirim WA ke siapa saya tidak tahu. Lalu, dipersilakan duduk dulu menunggu. Lalu, ada dialog telepon dengan orang yang dikirimi WA.

Tak lama kemudian. Ibu petugas pos berkata, "Pak, tidak bisa."

"Kok tidak bisa, Bu? Hari ini kan benar tanggal 17?"

"Mesti minimal 2 kg. Ini ada paketnya. Di bawah itu tidak bisa. Ini cuma satu judul."

"Ini isi dua judul buku, Bu."

"Bapak jual buku ya?"

"Nggak kok Bu. Ini buku gratis untuk teman di taman bacaan."

Petugas pos terdiam.

Saya tahu petugas pos hanya menjalankan prosedur. Karena itu, saya tak ingin belibet.

"Ya, sudah. Kirim paket biasa saja."

"Bayar?"

"Ya..."

***

Kecimil (kecele) deh gua. Hehee.. Sesuai petunjuk seorang senior, saya hari ini Sabtu, 17/11/2018 ini ke kantor pos.

"Masih ada kan setiap tanggal 17 kirim buku gratis via kantor pos," kata dia.

Hmm, iya saya ingat PT Pos Indonesia mempunyai program pengiriman buku gratis untuk mendukung Gerakan Literasi Nasional.

Karena percaya program ini bagus, makanya saya sengaja menunda pengiriman buku untuk sebuah taman bacaan sampai tanggal 17. Buku yang saya kirim juga gratisan kok.

Tapi, ternyata syarat pengiriman buku gratis itu berat juga. Hehee... Harus untuk taman bacaan atau perpustakaan dan berat minimal 2 kg.

Pertanyaannya, masa saya harus menunggu sampai 2 kg dulu baru boleh dikirim. Itu jarang-jarang. Saya mengirim buku lebih sering cuma satu, dua, paling 1 kg. Jarang lebih kok.

Karena baek, buku yang saya kirim sering juga secara "percuma" alias gratis. Biaya kirim pun saya yang tanggung. Yang penting orang yang saya kirimi senang.

Alhasil, buku-buku tetap mahal dan biaya pengiriman buku tetap mahal. Salam literasi. Ayo kita sukseskan masyarakat gemar membaca.

***

Terus terang saya menjadi makin tidak paham literasi. Yang saya tahu, sebagai penulis, buku saya dibaca -- lebih bagus dibeli. Syukur-syukur diborong pemerintah. Ajip Rosidi bilang, buku-buku daerah itu dari satu sisi cukup berhasil dalam upaya meningkatkan kecintaan kepada bahasa dan sastra daerah. Namun kalau mau diukur dari sisi komersial, maka tidak bisa tidak pemerintah daerah harus membeli buku-buku itu untuk disebarkan kepada khalayak.

Begitu pula saya tidak paham literasi. Yang saya tahu, sebagai pembaca, bisa dapat buku murah. Syukur-syukur gratis karena sudah dibeli oleh pemerintah atau pihak lain yang merasa perlu meningkatkan minat baca masyarakat.

Literasi jika tidak meningkatkan kejahteraan penulis karena bukunya tidak laku atau diobral murah; buat apa? Orang-orang suka baca, tetapi nasib penulis tak juga beranjak baik. Ah, literasi. []


Fajar Sumatera, Kamis, 22 November 2018


Thursday, November 8, 2018

Keluarga Permata

Oleh Udo Z Karzi


MASIH soal gelar adat dan nama-nama. Mumpung lagi kepengen narsis abis juga. Hahaa...

Otak-atik soal nama ternyata asyik. Ayah saya almarhum, Zubairi Hakim, punya selera bahasa sendiri, yang baru saya sadari setelah adik saya yang laki-laki bilang, "Nama-nama dari Ayah itu dominan huruf y atau bunyi ya/ia dan huruf z."

Iya juga, istrinya Tria Qoti. Ada ia-nya. Bunyi ya/ia (huruf y) juga ada pada nama anak-anaknya: Sofya, Yuzirwan, Silvia Diana, dan Lilia. Huruf z ada di nama ayah sendiri. Lalu, ada di nama saya. Malah double z. Huruf z juga di Riza dan Yuzirwan.

Ayah saya beradok Batin Permata. Kalau mau ditulis lengkap begini: Zubairi Hakim adok Batin Permata. Tapi jarang-jarang atau malah hampir tak pernah.

Kerennya, dua mantu perempuan ayah -- kami lima bersaudara, dua laki-laki, 3 perempuan -- juga Permata. Istri saya dan istri Yuzirwan bernama belakang Permatasari.

Jadilah, kami Keluarga Permata.

Maaf kalau ceritanya agak maksa. Tabik. []


Kamis, 8 November 2018

Wednesday, November 7, 2018

Gelar Adat, Nama Keluarga atau Marga

Oleh Udo Z Karzi


"GELAR adat Udo apa?"

Agak kaget juga ditanya begitu oleh moderator Rahmad Idris dari Kantor Bahasa Lampung sesaat sebelum tiba giliran saya bicara di Sesi Kedua Diskusi Kelompok Terpumpun Bahasa dan Sastra Lampung: Menguatkan Identitas dan Kearifan Lokal di Hotel Arinas, Bandar Lampung, 24 Oktober lalu.

Di sesi kedua ini saya berbicara di antara para sutan. Mungkin, ini yang mendorong Rahmad menanyakan adok (gelar adat) saya. Sesuatu yang jarang saya sebutkan dan hampir tidak pernah ditanyakan dalam forum-forum diskusi atau pertemuan ilmiah. Dan, dalam pikiran saya, tidak ada relevansinya dengan tema yang dibicarakan.

Tapi, tak urung saya merasa perlu menjelaskan sebelum memaparkan pandangan saya bagi pengembangan bahasa dan sastra Lampung.

"Tadi moderator bertanya apa gelar adat saya. Saya kurang paham apa hubungannya adok dengan apa yang kita bicarakan sekarang. Namun, baiklah tak ada salahnya saya menjelaskan posisi saya dalam adat Lampung," kata saya.

Kata saya selanjutnya, "Saya punya dua adok. Pertama, saya berasal dari Liwa. Dalam keadatan, saya berada di lingkungan adat Kampung Bumi Agung di bawah kepemimpinan Suntan Makmur (alm). Saya beradok Batin Pembina. Tingkat tiga dalam stratifikasi keadatan Lampung Saibatin Marga Liwa setelah suntan dan raja. Di bawah batin ada radin, minak, kimas, dan mas.

Kedua, saya menikah dengan muli Pubian dari Kurungannyawa yang beradat Lampung Pepadun. Dari sini saya diberi adok Pengiran Terang.

Di samping saya, ada paman saya, Prof Dr Chairul Anwar, M.Pd. Saya memanggil beliau dengan Pakbatin. Bisa ditebak bahwa Prof Chairul bergelar adat batin juga. Saya kurang tahu apa adok Pakbatin saya ini.

Begitulah kami kurang famiar dengan gelar adat kami. Kalau ada acara adat, barulah adok itu berfungsi sebagaimana mestinya."

***

Itu mengenai adok, yang saya sampaikan dalam diskusi. Hal lain, di luar diskusi dan agak melebar sedikit, nama belakang saya, Zubairi, adalah nama orang tua. Dengan begitu, Zubairi menjadi nama keluarga. Tapi, masalahnya, dari kami lima bersaudara, hanya saya yang ditambahkan Zubairi di belakang nama saya.

Demikian pula, ayah saya, Zubairi Hakim. Hakim diambil dari nama kakek saya (orang tua ayah): Abdul Hakim. Tapi, adik ayah tidak memakai Hakim di belakang namanya.

Untuk anak saya, sebenarnya saya bisa menggunakan nama keluarga, Zubairi atau Hakim. Kalau pakai nama saya, mungkin terlalu panjang. Hehee... Toh, di paspor nama saya tertulis: Zulkarnain Zubairi Hakim.

***

Saya tak mencantumkan nama keluarga di nama anak-anak. Saya malah menuliskan nama belakang mereka Liwa: Muhammad Aidil Affandy Liwa dan Wan Agung Raihan Herza Muzakki Liwa.

Ya, Liwa tak sekadar nama ibu kota Kabupaten Lampung Barat. Ia adalah nama salah satu marga. Orang-orang Lampung jarang mencantumkan nama marga di nama mereka. Ada beberapa pengecualian seperti mantan Wali Kota Bandar Lampung Zulkarnain Subing, mantan Wakil Bupati Lampung Timur Noverisman Subing, mantan Dekan Fakultas Hukum Unila Adius Semenguk, mantan anggota DPRD Lampung Ahmad Nyerupa, dan beberapa nama lagi.

Secara kebetulan nama Liwa terdengar puitis dan memiliki makna yang bagus. "Nama Liwa terdengar enak memang," kata Febrie Hastiyanto suatu ketika. Di KBBI, Liwa diartikan sebagai bendera, panji-panji. Versi lain Liwa berasal dari kata dua kata "meli iwa" (membeli ikan), yang dirapatkan menjadi "meliwa". Akhirnya, dengan enak diucapkan "Liwa".

Asyik kan jadi orang Liwa.

Ini cuma cerita. Maaf kalau salah. []


Fajar Sumatera, Rabu, 7 November 2018

Monday, October 22, 2018

Pelitik Itu… Boleh Nambah Kupi Enggak?

Oleh Udo Z Karzi


OBROLAN bapak-bapak ternyata lebih seru ketimbang rumpian mak-mak. Masalah yang dibahas yang panas-panas: pelitik, pemilu, dan colak colek caleg.

Saya lebih suka menjadi pendengar. Soalnya, itulah semua pada omong pelitik, hampir semua pada sok tahu. Jadi, saya lebih banyak membatin untuk setiap komentar dari bapak-bapak. Sesekali sih nimbrung juga — biar para bapak tambah semangat bicara.

“Sekarang ini pemilu itu ya duit. Kalau tak punya uang tak usahlah nyaleg. Apalagi nyabup (nyalon bupati) atau nyawal (nyalon wali kota). Terlebih lagi nyagub (nyalon gubernur). Kalo nyapres, gak usah diomong lagi…”

“Iya pelitik sekarang ini ya duit. Untuk nyaleg aja em-eman lo. Kalau gak kaya tak usahlah nyaleg.”

“Adalah yang tak pakai duit. Ya, tetap pakai karena pelitik tetap ada biaya. Tapi gak sampai harus em-emanlah.”

“Mana ada. Semuanya serba duit.”

“Kalau gak ada dana, tak usahlah coba-coba nyalon. Pelitik perlu modal. Karena pakai modal, maka yang perlu dipikirkan setelah terpilih yang mengembalikan modal. Memperjuangkan aspirasi rakyat, membela kepentingan rakyat, memperhatikan kemaslahatan umum, membantu kesulitan warga… Jangan harap. Demi kemajuan bangsa dan kejayaan negeri… Itu cuma ada di konsep!”

“Jadi, tidak ada dong yang bersungguh-sungguh bekerja bagi pencapaian tujuan negara?”

“Ya, apa. Yang nyaleg itu misalnya, gak perlu bikin janji apa-apa. Yang penting tabur-tabur uang saja,  semakin banyak semakin besar kemungkinan terpilih. Kalau sudah terpilih, ya mau ngapain kalau bukan berpikir bagaimana agar uang yang sudah ditebar, bisa kembali. Kan jelas, hitung-hitungannya melulu untung-rugi secara materi.”

“Waduh. Masa depan negeri ini semakin suram saja kayaknya!”

“Jadi, gimana dong?”

“Ya, gak gimana-mana.”

“Ya deh, boleh nambah kupi enggak?” []


Fajar Sumatera, Senin, 22 Oktober 2018

Thursday, October 18, 2018

Makian Terbaik

Oleh Udo Z Karzi


SUDAH saya siapkan makian terbaik yang saya punya, sumpah-serapah terjahat yang tak bisa lagi disimpan, dan kemarahan luar biasa yang lama terpendam.

Sudah berkali-kali saya dikecewakan, diberi janji tanpa kepastian.

Sekarang saya datang lagi. Dengan menahan hati, saya pun bertanya, "Kaapaaan...?"

Tak langsung menjawab si Mbak malah senyam-senyum bikin saya tambah kesal. Ih, si Mbak tak tahu kalau saya lagi esmosi.

Saya sudah siap berkata keras dan kejam tanpa tedeng aling-aling ketika akhirnya si Mbak, "Nanti sore ya."

Widih, muka tegang saya langsung kendur.

"Jam tigaan, Pak," tambah si Mbak.

Ya sudah, alhamdulillah. Selesai sudah. Rupanya gak perlu pakai marah2.

Kalau begini, kampang* bener kan.  []



Kamis, 18 Oktober 2018

Friday, October 12, 2018

Golongan Tria

Oleh Udo Z Karzi


MUSIM Pemilu dan colak colek caleg kayak sekarang ini membuat saya jadi terkenang waktu kecil. Saya lahir zaman Orde Baru. Sampai datang Reformasi, hanya ada tiga kontestan dalam pesta rakyat lima tahunan itu. Nomor urutnya pun tak berubah dari awal sampai akhir. Nomor 1 Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Nomor 2 (Bukan partai tapi ikut Pemilu terus) Golongan Karya atau Golkar. Lalu, Nomor 3 Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Pemilu 1977 saya berumur 7 tahun dan masih kelas 1 SDN 1 Negarabatin Liwa (nama SD saya ini selalu saya tulis lengkap karena sedemian bangganya saya jadi alumnus sekolah yang tak ada duanya ini🀣🀣). Namanya juga anak kecil mana pula saya ngerti2 amat dengan pemilu, partai pelitik, calon legislatif, atau apa pun atribut partai. Yang saya tahu kalo PPP warnanya hijau, Golkar kuning, dan PDI merah.

Kampanye mesti Golkar selalu meriah. Kalau PPP dan PDI nggak seru, nggak rame, gak banyak hiburannya.

Saya tahu persis. Sebab, rumah kami persis di sudut Lapangan Merdeka, Desa Negarabatin Liwa, tempat yang paling sering dijadikan arena kampanye, Agustusan, pertandingan sepak bola dan bola volley, pentas seni, dan panggung hiburan.

Balik ke pelitik, saya suka nonton kampanye Golkar. Ya, harus Golkar karena bak (bapak) Golkar. Begitu juga Pak/Bu guru, Pak RK, Pak Kades, Pak Camat, Pak Pembantu Bupati Wilayah Liwa... semua Golkar.

Karena didukung banyak pejabat dan banyak dokunya, kampanye Golkar mestilah seru dan meriah.

Di sela-sela pidato dan nyanyian di panggung kampanye, selalu terdengar beulang-ulang teriakan: "Pilih Nomor 2", "Nomor 2", "Golkar Pillihan Kita", "Golkar menang rakyat senang", "Hidup Golkar", "Hidup Golongan Karya", ....

Dan saya yang ikut menyaksikan dari teras rumah kami, ikut bersemangat berteriak, "Hiduup Golongan Tria!"

Kontan semua yang di teras sedang menonton kampanye terbahak.

Ai, apa yang salah dengan teriakan saya? Sebagai anak kecil tentulah saya bingung kenapa saya ditertawakan.

Lama kemudian setelah besar, saya cengengesan mendapatkan cerita ini. Ya, gimana.... Golongan Tria. Tria itu kan nama mak saya. Lengkapnya Tria Qoti. Nama yang terlalu modern untuk muli tumbai dari desa pula. Kebetulan pula mak saya itu anak ketiga dari tujuh bersaudara. Jadinya, kan pas.

Itulah Mak saya. Bangga punya Mak kayak gitu. []


Jumat, 12 Oktober 2018

Jalan Raya

Oleh Udo Z Karzi


JALAN Soekarno-Hatta atau By Pass, Bandar Lampung kembali memakan korban. Sivitas akademika Politeknik Negeri Lampung (Polinela) kembali berduka. Mayang Fitriani, mahasiswi prodi agribisnis semester V, tewas dalam kecelakaan di dekat pul Damri, Jalan Abdul Haq, Rajabasa, Bandar Lampung, Selasa, 9 Oktober 2018 petang.
Mayang mengalami luka parah di bagian kepala. Ia terlindas truk saat mengendarai sepeda motor Honda Beat.

Kala itu, warga Dusun Sekamaju, Desa Pagarbukit, Bengkunat, Pesisir Barat berniat menjenguk rekannya yang berobat di Klinik Kosasih Rajabasa.

Kejadian serupa pernah menimpa mahasiswa Polinela Aisiyah Sukmawati (21), 29 Januari 2018. Saat itu warga Jalan Pulau Legundi, Kelurahan Sukarame, Kecamatan Sukarame, Bandar Lampung juga mengendarai sepeda motor Honda Beat Pop bernopol BE 3488 AU, terlindas truk kontainer B 9491 KU tepat di fly over Unila tak jauh dari Asrama Haji Rajabasa.

***

Itu hanya dua dari sekian kali terjadi kecelakaan di By Pass. Sebagai Jalan Lintas Sumatera (jalinsum), hampir semua jenis kendaraan dari sepeda motor, sedan, truk hingga tronton melewati jalan ini, termasuk beberapa perempatan yang melewatinya.

Tahu begitu, memang kita, terutama pengendara sepeda motor harus ekstra hati-hati berada atau hendak melintasi jalan ini. Selip-selip, celakalah kita.

***

Kalau kita geser ke jalan raya pada umumnya, jalan raya tidak ubahnya ”ladang pembunuhan” (the killing fields). Ini sebuah kondisi yang sangat mengerikan. Namun, begitulah kenyataannya. Tidak kurang dari 30.000 orang tewas di jalan-jalan raya Indonesia setiap tahun. Sebuah angka kematian yang terasa mencekam. Dari 30.000 orang yang meninggal, 65 persen di antaranya adalah korban pengguna motor. Ironisnya lagi, umumnya mereka adalah usia produktif penopang ekonomi keluarga, sehingga berpotensi untuk menambah keluarga miskin di Indonesia.

Tidak bisa tidak, harus ada upaya terus-menerus untuk menekan angka kecelakaan lalu lintas. Perlu diusahakan penanggulangan kecelakaan lalu lintas secara komprehensif yang mencakup upaya pembinaan, pencegahan, pengaturan, dan penegakan hukum.
Pertama, pembinaan. Pembinaan dilakukan melalui peningkatan intensitas pendidikan berlalu lintas, penyuluhan hukum, dan pembinaan sumber daya manusia.

Kedua, pencegahan. Pencegahan dilakukan melalui peningkatan pengawasan kelaikan jalan, sarana dan prasarana jalan, serta kelaikan kendaraan. Termasuk, pengawasan di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang lebih intensif.
Ketiga, pengaturan. Pengaturan meliputi manajemen dan rekayasa lalu lintas, serta modernisasi sarana dan prasarana lalu lintas.

Keempat, penegakan hukum. Penegakan hukum dilakukan secara efektif sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dan penerapan sanksi yang tegas. []


Fajar Sumatera, Jumat, 12 Oktober 2018 

Thursday, September 27, 2018

Hak Bertanya, Hak Publik

Oleh Udo Z Karzi


"APA urusannya Anda menanyakan itu? Bukan hak Anda bertanya kepada saya! Saya juga punya hak untuk tidak menjawab," kata Ketua Umum PSSI Edy Rahmayadi menjawab Aiman Witjaksono, wartawan Kompas TV, dalam program Kompas Petang yang disiarkan secara langsung.

Hebohlah semua!

Aneh bin ajaib juga ada pejabat yang mengatakan mempermasalahkan mengapa wartawan bertanya. ‘Hak asasi’ semacam apa yang membenarkan pejabat berwewenang atau yang paling berkompeten dengan urusan pemerintahan dan pembangunan kok malah tutup mulut. Pejabat toh pemimpin rakyat yang kebetulan mendapat amanah mengepalai atau menjadi ketua sebuah dinas/badan/institusi atau bagian/subbagian/seksi dalam institusi (organisasi) pemerintahan daerah atau lainnya.

Tidak pada tempatnya pejabat menjadi tertutup dengan informasi kepada rakyat (Warga Negara Indonesia). Dan, pers sebagai media publik menjalankan peran itu, yaitu membuka akses sebesar-besarnya kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi.

Paradigma yang dianut sang pejabat yang harus dibalik. Yang punya hak asasi itu adalah warga (publik). Tegasnya, pejabat dilarang menyimpan informasi. Apa lagi yang terkait dengan kepentingan publik. Tidak ada argumen pemerintah bagi pemerintah secara sengaja menggunakan kekuasaan untuk membatasi hak-hak publik dalam memperoleh informasi.

Menjadi soal ketika pejabat (termasuk dalam hal ini para legislator) dengan gampang berkata, saya tidak bisa bilang, ini ‘hak saya (untuk tidak menjawab)'. ‘Hak saya’, kata dia, tetapi sesungguhnya karena ada kepentingan-kepentingan pihak-pihak tertentu. Yah, sudah menjadi rahasia umum kalau yang namanya penguasa itu suka berkongkalikong atau bahasa resminya KKN dengan pengusaha.

‘Kepentingan’ kelompok inilah yang hendak dilindungi oleh kata-kata 'hak asasi saya', ‘rahasia negara’ atau ‘saya tidak berkompeten untuk bicara’ itu. Jelas, pejabat tertutup karena memang takut ‘rahasia pribadi’ atau ‘rahasia atasan’ (bukan rahasia negara) terbongkar. Padahal, ini bukan zamannya lagi. Kalau memang good governance, clean government, transparansi, akuntabilitas, profesionalisme benar-benar mau dijalankan -- sekali lagi -- tidak ada argumen yang tepat untuk mengelak dan menutup diri terhadap kerja pers.

Soalnya konsep-konsep penyelenggaraan pemerintah yang baik yang dikemukakan tadi; memerlukan satu syarat terbuka terhadap informasi. Bagaimana bisa dikatakan good goverment jika publik tidak mempunyai jalan untuk menilai? Bagaimana clean government kalau jalannya pemerintah justru serbarahasia? Bagaimana akuntabilitas jika pejabatnya suka bohong? Lalu, transparan bagaimana kalau masih suka ketertutupan? Kok bisa mau dikatakan profesional kalau tidak paham pada apa yang dilakukan (kegiatan pemerintahan dan pembangunan)?

Pers sebagai pilar keempat demokrasi, setelah legislatif, eksekutif, dan yudikatif, telah menyediakan diri menjadi sarana untuk mewujudkan apa yang digembargemborkan sebagai good governance, termasuk clean government, akuntabilitas, dan sebagainya yang menjadi bagian dari good governance itu.

Esensi segala kegiatan pemerintahan dan pembangunan diarahkan kepada kepentingan rakyat banyak dan bukan untuk segelintir orang/golongan yang sedang berkuasa atau yang berharta; maka ‘tidak boleh ada dusta di antara kita’.

Semua terbuka, semua transparan; tidak boleh ada yang dirahasiakan. Lebih dari itu pejabat daerah tidak boleh antikritik. Jangan pernah meremehkan masyarakat yang sudah melek informasi, dan menganggap mereka tidak (boleh) tahu apa-apa. Menutup diri justru akan semakin menguatkan dugaan bahwa pemerintah kita alergi terhadap kritik. Semestinya, pemerintah legowo terhadap berbagai kritik yang disampaikan publik.

Sederhana saja, kalau tidak salah, mengapa pejabat takut berbicara ke media. Atau, jangan-jangan ketertutupan para pejabat, sesungguhnya untuk menyembunyikan ‘ketidakbecusan’ menjalankan roda pemerintah.

Apanya yang transparan, kalau begitu? []


Fajar Sumatera, Kamis, 27 September 2018

Sunday, September 16, 2018

Yes You Do

Oleh Udo Z Karzi


Dengan penuh percaya diri, Mamak Sehon naik ke panggung. Setelah menyambar mic, dia berkata, "Baiklah, saya akan membawakan sebuah lagu Barat berjudul "Yes You do".

Wah, dalam hati saya, hebat Mamak Sehon ini. Bisa lagu Barat. Saya saja baru belajar sedikit kata Inggris kayak I like halipus and some kuwols, what why the got, etc.

Tapi, begitulah nyatanya. Orkes Manabisa eehh, maksudnya Orkes Monalisa memulai intro musik. Lalu, mulailah Mamak Sehon bersenandung:

punk ly punk dank
punk ly punk kilie dank
you you fa you
you fa you
tagan rya...

Kalau lidah Barat*nya seperti ini:
pang lipang dang
pak lipang dang kik lidang
yu yu payu
yu yu payu
tagan riya

Tepuk tangan πŸ‘πŸ‘πŸ‘
πŸ˜ƒπŸ˜ƒπŸ˜πŸ˜πŸ˜πŸ˜‡πŸ˜‡

* yang dimaksud Lampung Barat atau Pesisir Barat 🀣🀣


Minggu, 16 September 2018

Saturday, August 11, 2018

'Pelecehan' Iwa Asin

Oleh Udo Z Karzi


"BEN, Ben... mulang pai. Mengan!" pekik ina ni Beni sai kesol anak ni main riya.

"Gulai api?" luleh ni Beni matang muneh.

"Gulai iwa."

"Yu, Mak."

Beni langsung nangguh jama kantek-kantekni, aga mengan pai.

Kala adu sehadapan jama mi-gulai, Beni ngeribok.

"Inji kan iwa asin," ani.

"Iwa juga, Ben," cawa ina ni.

"Enggok," timbal ni Beni daleh cengkelang luwot mit main jama kantek-kantekni.

Jak seno, kak ina ni Beni ngurau, "Ben... mengan pai. Gulai iwa...", wat sai ngelajuko ni, "asiin..."

Ai, inji "pelecehan" iwa asin kidah. Repa ya riya, iwa asin tetap mebangik. Tetap mahal muneh. []


Sabtu, 11 Agustus 2018

Saturday, August 4, 2018

Niku Ngehaman Yu

Oleh Udo Z Karzi


"NIKU ngehaman yu," ucap Rafathar Malik Ahmad, anak pasangan selebriti Raffi Ahmad dan Nagita Slavina (Tribun Lampung, 3/8/2018).

Tapi, saya tak diminta menanggapi Rafathar yang belajar bahasa Lampung dengan pengasuhnya, Shella Lala, yang warga Waykanan, Lampung. Jadi, saya ngomong apa adanya -- dan cenderung oon, hehee... -- tentang kondisi bahasa Lampung terkini ketika ditanya wartawan Tribun Lampung, 2/8/2018. Petikannya:

"Menurut Udo bagaimana perkembangan bahasa Lampung saat ini?"

Bahasa dan sastra Lampung hidup segan mati tak mau. Antara ada dan tiada.

"Kenapa begitu?"

Dari komposisi penduduk di Lampung berdasarkan etnis, suku Lampung itu minoritas. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Lampung, 2010, menyebutkan, dari total 7.608.405 jiwa,
etnis Jawa 63,84%
Lampung 13,51%
Sunda 9,58%
Banten 2,27%
etnis asal Sumatera Selatan 5,47%
Bali 1,38%
Minangkabau 0,92%
Tionghoa 0,53%
Bugis 0,28%
Batak 0,69%
Lain-lain 1,21%

13,51% suku Lampung itu pun tidak semua penutur bahasa Lampung. Dalam kondisi seperti itu, bahasa Lampung secara alami termarginalkan.

Apalagi kebijakan pemda untuk membina bahasa dan sastra Lampung hanya sporadis.

Pihak perguruan tinggi di Lampung yang diharapkan bisa mendorong kemajuan bahasa lampung juga masih jauh panggang dari api.

"Dari yang sedikit ini, apakah mereka melestarikan bahasa Lampung? Atau, justru juga sudah tergerus?"

Ya, ada sebagian masrakakat Lampung di beberapa daerah yang tetap mempertahankan bahasa dan sastra sejalan dengan mereka juga mempertahankan adat-istiadat.

"Bagaimana dengan pendidikan bahasa Lampung selama ini?"

Karena kesalahan paradiigma, pendidikan bahasa Lampung yang diajarkan di sekolah, dari tingkat sekolah dasar hingga SLTA tidak membuat siswa bisa berbahasa Lampung. Alih-alih menambah jumlah penutur bahasa Lampung, yang terjadi justru kebingungan dari siswa, guru, dan orang tua.

"Mengapa menimbulkan kebingungan?"

Dua dialek, A (api) dan O (nyo) diajarkan sekaligus. Bahasa mana di dunia yang diajarkan seperti bahasa Lampung? Misalnya, belajar bahasa Inggris, kita bisa memilih Inggris Amerka, Inggris British, Inggris Australia, atau Inggris mana.

Saya bisa mengajari anak saya dialek api karena pengalaman berbahasa Lampung saya dialek api. Tapi, di sekolah anak saya diajari (dan harus!) juga bahasa Lampung dialek nyo.

Ya, anak saya bingung dan saya juga :)

Bahasa Lampung yang diajarkan juga tidak praktis: bukan bahasa Lampung percakapan.

"Bukankah ada pergub dan perbup soal bahasa Lampung ini. Apakah itu sudah ada pengaruhnya terhadap pengembangan bahasa Lampung?"

Ya, ada Peraturan Gubernur Lampung Nomor 39 Tahun 2014 tentang Mata Pelajaran Bahasa dan Aksara Lampung sebagai Muatan Lokal Wajib pada Jenjang Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.

Kalau Perbupnya saya kurang tahu ada tidak bupati yang melahirkan Perbup sebagai turunan Pergub ini.
Saya menduga Pergub ini tidak tersosialisasi dengan baik hingga ke daerah.

Akibatnya, pengembangan bahasa Lampung di daerah-daerah pun karut-marut. Misalnya, banyak SMA yang tidak mengajarkan bahasa Lampung.

"Kalau tidak salah, pelajaran bahasa Lampung ini masuk di kurikulum SD, SMP dan SMA ya?"

Lampung ini aneh sih. Pendikan bahasa Lampung ada di SD, SMP, dan S2. Sedangkan SMA dan S1 blank... :)

Ya, berdasarkan Pergub 39/2014, bahasa dan aksara Lampung wajib dari SD, SMP hingga SMA. Tapi Pergub ini suka diabaikan di tingkat SMA/sederajat.
Masalahnya juga, pelajaran bahasa Lampung di sekolah itu tidak melatih siswa bisa berbahasa Lampung (berbicara, mendengar, membaca, dan menulis).

"Intinya, belum ada upaya yang signifikan ya untuk mendorong tutur bahasa Lampung ini?"

Pertanyaannya, pihak manakah yang mendorong perkembangan bahasa Lampung? Terus apa saja kerjanya? Kan tidak terdengar...

Cuma sesekali tiba-tiba ada yang menang lomba pidato bahasa Lampung atau meraih Hadiah Sastra Rancage. :) Begitu saja. Sangat sporadis. tidak sistematis, tidak intensif, dan tidak sinambung. []


Sabtu, 4 Agustus 2018

Monday, July 30, 2018

Banalisasi Korupsi

Oleh Udo Z Karzi


SETELAH Bupati Tanggamus Bambang Kurniawan dan Bupati Lampung Tengah Mustafa, giliran Bupati Lampung Selatan Zainudin Hasan terjaring operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Kamis malam, 26 Juli 2018.

Peristiwa ini semakin menambah jumlah kepala daerah yang terkena OTT di Tanah Air. Kita khawatir akibat intensitasnya yang terus meningkat, kejadian seperti ini akan menjadi hal yang biasa saja. Sama sekali tak ada efek jera dari pelaku kejahatan luar biasa ini.

Lihat saja reaksi orang-orang jika ada yang tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK): "Siapa sih yang tidak pernah salah?" "Sistem yang ada tidak mungkin orang tidak korupsi." "Ah, dia sedang sial saja." Bahkan, ada semacam pembelaan terhadap pejabat yang terjaring OTT: "Beliau orangnya baik", "Dia dizalimi!", "Ini ulah lawan politiknya yang tidak senang dengan dia", dst.

***

Terjadilah banalisasi kejahatan. Banalitas kejahatan adalah situasi sosial dan politik ketika kejahatan "dianggap" biasa karena seseorang yang berpandangan dangkal dalam berpikir dan menilai suatu hal.

Banalitas kejahatan bisa diakibatkan karena manusia kehilangan spontanitas dalam dirinya. Hilangnya spontanitas terjadi karena tiga faktor, yaitu ketumpulan hati nurani manusia, kegagalan berpikir kritis, dangkal dan banal dalam menilai, serta menghakimi sesuatu.

Banalitas kejahatan seringkali ditandai dengan seseorang yang gagal 'berdialog' dengan dirinya sendiri. Kegagalan ini dicerminkan dengan tindakan untuk menyalahkan orang lain atas praxis dan lexis yang dilakukannya dalam kegiatan berpolitik. Ketidakberanian mengambil keputusan menimbulkan pemahaman agentic shift.

Stanley Milgrain menjelaskan, tendensi orang yang gagal berdialog dengan dirinya sendiri akan memahami kejahatan yang dilakukan negara sebagai sebuah 'kewajiban' yang patut dilaksanakan demi kebaikan bersama. Pada fase ini, seseorang telah menumpulkan hati nuraninya dan gagal berpikir kritis.

Ketiadaan nurani pada manusia akan menyebar pada masyarakat lewat ruang publik. Ketika nurani dibungkam, cara berpikir manusia otomatis hilang dengan hilangnya nurani. Hal ini yang menyebabkan manusia gagal berdialog karena ia berpikir dirinya memiliki nalar yang buruk, sehingga mematuhi tugas yang diperintahkan negara.

***

Nyatanya, saat ini banyak praktek koruptif di dalam masyarakat kita tidak dikenal sebagai korupsi, tetapi sebagai bagian dari rutinitas. Praktek suap, kolusi, nepotisme tidak dipandang sebagai elemen-elemen koruptif yang harus diberantas, tetapi sebagai sesuatu yang wajar.
Kondisi ini terjadi mulai dari level pemerintah paling rendah di tingkat RT/RW, sampai di level para wakil rakyat di DPR. Tidak hanya rutinitas korupsi adalah bagian penting dari tradisi yang harus terus diwariskan ke generasi berikutnya.

Di negeri ini korupsi tidak lagi dikenali sebagai korupsi, karena language game – sebuah analogi untuk permainan yang memberikan arti bagi sebuah tindakan tertentu -- yang melatarbelakangi tindakan tersebut tidak cocok untuk memberikan definisi korupsi. Artinya, language game yang ada tidak mengenali konsep korupsi, sebagaimana konsep tersebut dipahami secara umum. Akibatnya apa yang disebut sebagai korupsi di Singapura belum tentu dapat disebut Korupsi di Indonesia. Lebih parah lagi apa yang disebut sebagai korupsi di Sumatera belum tentu dapat dikategorikan sebagai korupsi di Papua, karena language game-nya berbeda, walaupun sama-sama menggunakan kata korupsi.

Dalam situasi semacam ini, betapa berat mengikis korupsi dari negeri ini meskipun tiap hari KPK menangkap koruptor tiap hari. Sebab, boleh jadi koruptor bagi sebagian orang adalah pahlawan. Betapa kusut memang!


Fajar Sumatera, Senin, 30 Juli 2018



Saturday, July 28, 2018

Bak, Nyak Nutuuuk!

Oleh Udo Z Karzi


KEJADIAN benaran di pekon (kampung) saya akhir dekade 1980-an.

Seorang ayah membonceng anak bujangnya (balita) ke sebuah sekolah menengah atas. Setelah memarkirkan kendaraan dan menurunkan anaknya, sang ayah berujar, "Papa masuk ke dalam dulu ya, Hendri. Papa ada perlu. Hendri tunggu di sini sebentar ya Nak... "

Anaknya diam. Tapi, begitu ayahnya melangkahkan kakinya, Hendri berseru, "Bak, nyak nutuuuk! (Ayah, saya ikut!)."

Orang-orang dekat situ langsung senyam-senyum karena gak enak hati dengan sang ayah kalau sampai terbahak. Dan, muka ayah lumayan merah padam sembari ngedumel dalam hati, 'Dasar anak kecil gak bisa diajak begaya. Suruh panggil 'papa', masih saja 'bak'.'

Inai do kidah. πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚


Sabtu, 28 Juli 2018

Monday, May 21, 2018

Konsumtivisme

Oleh Udo Z Karzi


SITUASI genting, hindarilah mal, pusat perbelanjaan, dan tempat-tempat keramaian.

“Gak segitunya kali…”

Ya, benarlah. Hari-hari ini begitu mengkhawatirkan.

“Ya, teror bom masih saja menghantui!”

Bukan kok.

“Jadi, apa kalau bukan?”

Bukan bom kok. Sungguh! Sekarang harga yang meneror. Tanggal 1 masih lama. THR apalagi, masih belum jelas … Apa gak stres kalau dekat mal atau tempat-tempat yang memaksa kita membuka dompet.

“Ai dah kidah niku inji…. Dasar!”

***

Demikianlah, sejumlah harga komoditas pangan di pasar tradisional mulai merangkak naik. Harga barang  pokok berpotensi  naik signifikan seiring dengan tingginya kebutuhan masyarakat saat bulan suci Ramadan.

Selain masalah pasokan, permintaan masyarakat semakin meningkat yang tak dibarengi ketersediaan stok juga dinilai menimbulkan kekhawatirkan.  Selain itu,  ketersediaan tenaga kerga  pekerja yang kemungkinan besar bakal berkurang karena libur Lebaran juga akan memicu kenaikan ongkos. Hal itu yang mendorong kenaikan harga.

Baca Juga:  Hiburan Malam di Bandar Lampung Buka Saat Ramadan
Pemicu lainnya,  kenaikan ongkos seiring dengan meningkatnya permintaan, serta tunjangan Hari Raya (THR) yang mesti diberikan kepada pekerja dan juga bonus. Kondisi ini membuat pedagang mesti ambil dari keuntungan tambahan jika ada kenaikan biaya seperti itu.

***

Di samping sisi spiritual, kehadiran Ramadan menjadi rutinitas yang tidak boleh dilewatkan begitu saja, termasuk untuk meraih keuntungan material sebanyak-banyaknya. Mungkin jauh sebelum datangnya bulan yang penuh rahmat ini, berbagai pusat perbelanjaan telah menyulap bangunan-bangunannya dengan nuansa-nuansa “Islami” yang seakan-akan memproklamirkan diri bahwa mal-mal tersebut juga sudah “meng-Islam-kan” diri menyongsong datangnya bulan Ramadhan.

Karena sudah sedemikian “Islami”-nya pusat-pusat perbelanjaan tersebut,  umat Islam pun merasa tidak perlu ragu lagi untuk lebih memilih berbondong-bondong melangkahkan kaki memasuki gedung-gedung tersebut dibandingkan dengan menenggelamkan diri dalam mesjid-mesjid atau surau-surau di kampung.

Baca Juga:  Pemkab Mesuji Sesuaikan Jam Kerja ASN Selama Ramadan
Akibatnya, sudah barang tentu shaf-shaf (barisan) sholat terawih yang pada awal datangnya bulan Ramadan seakan tidak tertampung menjadi semakin maju dan hanya menyisakan satu atau dua baris saja, itupun didominasi oleh orang-orang sepuh dan anak-anak yang masih bersemangat untuk mendapatkan tanda tangan dari imam maupun pemberi kultum sebagai bagian dari tugas sekolah.

Gambaran ini tentu saja menegaskan suatu ironi kemenangan mutlak budaya konsumerisme dalam menghadapi datangnya bulan Ramadhan yang pada hakekatnya mengajarkan kepada umat manusia untuk mampu mengendalikan diri, termasuk didalamnya perilaku konsumtif.

Lahirnya masyarakat konsumtif merupakan salah satu tantangan besar yang harus dihadapi oleh para pemegang otoritas keagamaan. Pencitraan diri (self-identity) yang selama ini seringkali dinisbahkan pada nilai-nilai agama, telah mengalami pergeseran yang luar biasa dalam masyarakat konsumtif.

Ancaman akan munculnya berbagai dampak negatif dari perilaku konsumtif pun bisa menimpa masyarakat kita. Maraknya industri periklanan, dengan berbagai kelihaiannya dalam membentuk opini publik, yang mendorong kita untuk berperilaku konsumtif tetap terasa lebih dahsyat dan mampu memperdaya konsumen.

Baca Juga:  Bersama Warga Negeri Sakti, Ridho Gelar Pengajian Songsong Ramadan
Upaya untuk menumbuhkan kesadaran akan bahaya perilaku konsumtif perlu segera ditanamkan oleh berbagai pihak. Momen kehadiran bulan Ramadan seharusnya bisa dimanfaatkan secara optimal untuk mencegah munculnya masyarakat konsumtif dengan berbagai dampak negatif yang akan ditimbulkannya.

Sebagai suatu bulan yang umat Islam diwajibkan untuk berpuasa, Ramadhan sejatinya mengajarkan kepada kita untuk tidak berlebihan dalam berperilaku konsumtif agar bisa muncul rasa empati dalam diri kita akan penderitaan saudara-saudara kita yang harus menahan lapar setiap hari karena ketiadaan pangan.

***

Selamat menjalankan ibadah puasa buat yang menjalankannya. Selamat berbuka pada saatnya nanti. Semoga kita masuk dalam golongan umat yang terberkati. Amiin.

Tabik. []



Fajar Sumatera, Senin, 21 Mei 2018 

Sunday, May 20, 2018

Istana Tapak Siring

Oleh Udo Z Karzi


TINGGALAN arkeologis Buay Nyerupa --salah satu kebuaian -- di Sukau, Lampung Barat. Tinggalan tersebut berupa lokasi bekas kampung lama dan beberapa benda regalia.

Bangunan istana (kraton) Buay Nyerupa di Sukau tidak dapat dilacak karena musnah akibat kebakaran. Sultan Buay Nyerupa saat ini adalah Sultan Salman Parsi, sultan ke-22. Regalia istana masih ada disimpan Suheb, adik Sultan Parsi.

Pusat istana Buay Nyerupa sebelum di Sukau berada di Tapak Siring. Di lokasi tersebut ditemukan batu telapak kerbau dan makam poyang Buay Nyerupa.

Pertama, Situs Tapak Siring di Bukit Katai, Dusun Kunyaian, Pekon Tapak Siring, Kecamatan Sukau. Pada puncak bukit terdapat areal yang dibatasi jurang dan parit. Di lokasi ini ditemukan dua batu yang disebut penduduk dengan Batu Batai.
Kedua, Makam Adipati Sebrak Bumi dan istri di lereng sebelah barat Bukit Katai. Adipati Sebrak Bumi adalah moyang Buay Nyerupa.

Ketiga, perangkat keratuan (regalia), yang diperlakukan khusus dan ditempatkan di tempat tertinggi, yaitu para istana. Benda-benda tersebut adalah pedang naga, piring benawa, tempat lilin, payan (tombak), keris, badik, pedang, panekuan, penginangan, tempat rokok, dan piring.

...
Sumber: Nanang Saptono, dkk. 2014. //Khasanah Budaya Lampung//. Serang: Balai Pelestarian Cagar Budaya Serang. Hlm 93--98.


20 Mei 2018

Sunday, April 29, 2018

Semena-mena!

Oleh Udo Z Karzi


SEMENA-MENA! Betapa saya kesal-sekesalnya. Mentang-mentang bawa roda empat, ngasal saja bawanya dan sama sekali tak memperhatikan orang lain yang lebih senang mengendarai motor.

Kejadian pertama dan berkali-kali, adalah bagaimana hampir sepanjang jalan mobil di belakang saya memencet kelakson berulang-ulang. Biasanya saya melirik kaca spion, untuk melihat mobil yang hobinya tak tek tok begitu. Kalau bukan mobil dinas, biasanya mobil dari luar kota.

Tak berani ambil resiko ditabrak saya mengumpat untuk supri (supir pribadi) kendaraan dinas, "Dasar. Memangnya lu aja yang perlu cepat."

Untuk mobil luar kota, makiannya (walau tak didengar si sopir), "Wuah... udik! Tumbur aja kendaraan yang di depan kalo mau cepat."

Kejadian kedua dan beberapa kali, saat hujan atau setelah hujan reda. Melewati genangan air di jalan raya, saya biasanya mengambil jalan paling kiri yang tidak terlalu dalam genangan dan menjalankan dengan gas kecil saja agar tidak kecipratan air genangan.

Sudah berhati-hati begitu, ee... ada mobil lewat main tancap gas saja. Ya, tentu saja saya dan yang dibonceng jadinya mandi hasil kerja mobil yang ngebut di genangan air tadi. Saya yang memakai jas hujan tak seberapa. Tapi, yang dibonceng jelas kuyup dan tentu saja memaki, "Mobil jelek!"

Memang sih semakin jelek mobilnya, semakin semau-maulah yang pengemudinya. Barangkali. Hehee...

Sementara seisi mobil yang dimaki boleh jadi ketawa-ketiwi melihat kita sengsara. Benar-benar gak punya rasa perikemanusiaan deh!

Kejadian ketiga, betapa tak tahu etikanya si pengendara mobil. Saat saya melaju di sebuah turunan dengan kecepatan sedang, tiba-tiba ada sebuah mobil berputar balik arah. Keruan saja saya yang bawa motor jadi kelabakan. Laju motor memang bisa diminimalkan, tetapi terpaksa saya banting setangnya. Kalau tidak kena deh itu mobil tertabrak. Akibatnya, motor yang saya kendaraan jatuh.

Untungnya, motor, saya, dan yang dibonceng tidak apa-apa. Motornya cuma terbalik. Tapi, tak urung kesel juga dengan mobil yang belok semau-maunya di tempat dan waktu yang tidak tepat. Keluarlah makian, "Yang benar dulu geh Pak kalau bawa mobil!"

Saya tulis ini untuk peringatan buat pengendara roda empat: "Jangan mentang-mentang! Memangnya jalan raya ini milik nenek-moyang lu orang?" []


Fajar Sumatera, Senin, 30 April 2018

Thursday, March 22, 2018

Radu Mengan

Oleh Udo Z Karzi


INI ceritanya dari Rusli. Waktu awal-awal datang di Lampung Barat, Rusli mampir ke sebuah rumah kenalannya di Kenali.

Ia disambut dengan ramah oleh tuan rumah.
Ngobrol sana-sini, kemudian yang punya rumah bertanya, "Radu mengan?"

Rusli dengan pede-nya menjawab, "Radu."

"Setemon, radu?"

"Radu," yakin Rusli.

Maka demikianlah, obrolan berlangsung terus. Rusli cuma membatin, mana kok tidak diajak-ajak makan atau dihidangkan makan. Sementara perutnya semakin perih menahan lapar karena dari pagi memang belum ketemu nasi.

Karena tidak ada tanda-tanda bakal makan siang, Rusli pun pamit mau keluar sebentar. Mencari warung makan!

Ketika kembali ke rumah tadi, tuan rumah pun bertanya, "Dari mana tadi?"

Dengan agak malu, Rusli pun menjawab, "Dari warung di sana!"

"Lo, tadi bilang sudah makan?" kata tuan rumah sembari menjelaskan arti pertanyaan 'radu mengan' (sudah makan) yang dijawab Rusli dengan, "Radu" (sudah).

"O, saya kira 'radu' itu mau. Saya ditanya mau makan, ya saya jawab, mau," kata Rusli cengengesan.
Hahaa....


Kamis, 22 Maret 2018

Saturday, March 17, 2018

Orang Baru

Oleh Udo Z Karzi


INJI ceritani Mak. Rani sai, wat jelma telu liwat. Ngelelilip kiri-kanan injuk nyepok-nyepok.

Diliyakni wat Mak basani ngerangko bekara, ia ngeluleh, "Maaf, Ibu. Numpang tanya, di sini ada orang baru tidak ya?"

"Orang baru? Kayaknya tidak...," ani Mak dedaleh ngingokko kintu wat jelma sai ampai maleh mit pekon sekam.

"Oo... terima kasih, Bu," jelma sai ngeluleh daleh kantekni langsung lapah luwot.

Mak mesaka, injuk wat diingokkoni, Mak cawa luwot, "Jelma Baru kudo?"

(Note: kata "baru" diuucakko pakai cawa Lampung. Wat muneh sai nulisni "bakhu" atawa "baghu", sai retini kayu Baru. Bahasa Indonesiani, "pohon eru")
Nengi cawani Mak, bakas jeno langsung nimbal,
"Yaddo. Senodo sai timaksud."

"Na, kik reno. Seno lambanni," Mak nunjukko lambanni Andri.

Naiya, makni Andri sangon se-Bakhu atawa muli tumbai anjak Bakhu.

Hahaa... sekam lalang unyin nengi ceritani Mak. []


Sabtu, 17 Maret 2018

Monday, January 15, 2018

Neng Geulis versi Lampung

Oleh Udo Z Karzi


Inji cerita jaman tumbai. Sekam sanak-sanak se-Pasar -- maksudni Pasar Liwa -- sai semerimpak risok nyeluwor mit dipa-dipa kak dibingi. Apalagi kik wat tuntunan injuk pelem di Lapangan redik lamban, hiburan Agustusan, atau nyambai kak wat sai nayuh.

Di pekon sekam wat grup orkes ngetop tahun 1980-an. Sekali waktu wat acara Karang Taruna jak Way Mengaku sai nyiwo grup orkes jak pekon sekam.

Pembina Karang Taruna Way Mengaku ngeni sambutan. "... Payu, neram beriyang musenang barong Orkes Manaa... bisa," ani.

Na repa kidah. Unyinni sai ratong disan ngekak sai ngekakni di sanini. Orkes Manabisa... Sai dimaksudni Orkes Monalisa.

Wat sai lagu andalanni Orkes Monalisa ajo. Yaddo, lagu "Neng Geulis" sai jak Jawa Barat. Induh muneh, orkes ini bang kerisokan ngenyanyiko "Neng Geulis".

Neng geulis pujaan eungkang
Neng geulis akang hoyong teupang
Upami teu aya pamengan
Langkung sae urang keunalan

Neng geulis pujaan eungkang
neng geulis akang hoyong teupang
upami teuaya pamengan
sasih paun yu urang tunangan

Kerisokan nengi Neng Geulis, pagi-pagi kantekku nyanyi:

Neng geulis pujaan eungkang
Neng geulis akang hoyong teupang
Makni Lis
Mising mak ngisang

Na api diya. Sekam sunyinni ngelahai. Sai gelarni Lis langsung ngejar-ngejar kantekku. Kantekku langsung cengkelang sambil ngulang-ngulang lagu versi Lampung-Sunda ini jak jawoh:

Neng geulis pujaan eungkang
Neng geulis akang hoyong teupang
Makni Lis
Mising mak ngisang

Ngingokko seno risok nyak lalang tenggalan. :)

#HagaMatiNyakLalang


Senin, 15 Januari 2018