Monday, October 22, 2018

Pelitik Itu… Boleh Nambah Kupi Enggak?

Oleh Udo Z Karzi


OBROLAN bapak-bapak ternyata lebih seru ketimbang rumpian mak-mak. Masalah yang dibahas yang panas-panas: pelitik, pemilu, dan colak colek caleg.

Saya lebih suka menjadi pendengar. Soalnya, itulah semua pada omong pelitik, hampir semua pada sok tahu. Jadi, saya lebih banyak membatin untuk setiap komentar dari bapak-bapak. Sesekali sih nimbrung juga — biar para bapak tambah semangat bicara.

“Sekarang ini pemilu itu ya duit. Kalau tak punya uang tak usahlah nyaleg. Apalagi nyabup (nyalon bupati) atau nyawal (nyalon wali kota). Terlebih lagi nyagub (nyalon gubernur). Kalo nyapres, gak usah diomong lagi…”

“Iya pelitik sekarang ini ya duit. Untuk nyaleg aja em-eman lo. Kalau gak kaya tak usahlah nyaleg.”

“Adalah yang tak pakai duit. Ya, tetap pakai karena pelitik tetap ada biaya. Tapi gak sampai harus em-emanlah.”

“Mana ada. Semuanya serba duit.”

“Kalau gak ada dana, tak usahlah coba-coba nyalon. Pelitik perlu modal. Karena pakai modal, maka yang perlu dipikirkan setelah terpilih yang mengembalikan modal. Memperjuangkan aspirasi rakyat, membela kepentingan rakyat, memperhatikan kemaslahatan umum, membantu kesulitan warga… Jangan harap. Demi kemajuan bangsa dan kejayaan negeri… Itu cuma ada di konsep!”

“Jadi, tidak ada dong yang bersungguh-sungguh bekerja bagi pencapaian tujuan negara?”

“Ya, apa. Yang nyaleg itu misalnya, gak perlu bikin janji apa-apa. Yang penting tabur-tabur uang saja,  semakin banyak semakin besar kemungkinan terpilih. Kalau sudah terpilih, ya mau ngapain kalau bukan berpikir bagaimana agar uang yang sudah ditebar, bisa kembali. Kan jelas, hitung-hitungannya melulu untung-rugi secara materi.”

“Waduh. Masa depan negeri ini semakin suram saja kayaknya!”

“Jadi, gimana dong?”

“Ya, gak gimana-mana.”

“Ya deh, boleh nambah kupi enggak?” []


Fajar Sumatera, Senin, 22 Oktober 2018

Thursday, October 18, 2018

Makian Terbaik

Oleh Udo Z Karzi


SUDAH saya siapkan makian terbaik yang saya punya, sumpah-serapah terjahat yang tak bisa lagi disimpan, dan kemarahan luar biasa yang lama terpendam.

Sudah berkali-kali saya dikecewakan, diberi janji tanpa kepastian.

Sekarang saya datang lagi. Dengan menahan hati, saya pun bertanya, "Kaapaaan...?"

Tak langsung menjawab si Mbak malah senyam-senyum bikin saya tambah kesal. Ih, si Mbak tak tahu kalau saya lagi esmosi.

Saya sudah siap berkata keras dan kejam tanpa tedeng aling-aling ketika akhirnya si Mbak, "Nanti sore ya."

Widih, muka tegang saya langsung kendur.

"Jam tigaan, Pak," tambah si Mbak.

Ya sudah, alhamdulillah. Selesai sudah. Rupanya gak perlu pakai marah2.

Kalau begini, kampang* bener kan.  []



Kamis, 18 Oktober 2018

Friday, October 12, 2018

Golongan Tria

Oleh Udo Z Karzi


MUSIM Pemilu dan colak colek caleg kayak sekarang ini membuat saya jadi terkenang waktu kecil. Saya lahir zaman Orde Baru. Sampai datang Reformasi, hanya ada tiga kontestan dalam pesta rakyat lima tahunan itu. Nomor urutnya pun tak berubah dari awal sampai akhir. Nomor 1 Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Nomor 2 (Bukan partai tapi ikut Pemilu terus) Golongan Karya atau Golkar. Lalu, Nomor 3 Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Pemilu 1977 saya berumur 7 tahun dan masih kelas 1 SDN 1 Negarabatin Liwa (nama SD saya ini selalu saya tulis lengkap karena sedemian bangganya saya jadi alumnus sekolah yang tak ada duanya ini🤣🤣). Namanya juga anak kecil mana pula saya ngerti2 amat dengan pemilu, partai pelitik, calon legislatif, atau apa pun atribut partai. Yang saya tahu kalo PPP warnanya hijau, Golkar kuning, dan PDI merah.

Kampanye mesti Golkar selalu meriah. Kalau PPP dan PDI nggak seru, nggak rame, gak banyak hiburannya.

Saya tahu persis. Sebab, rumah kami persis di sudut Lapangan Merdeka, Desa Negarabatin Liwa, tempat yang paling sering dijadikan arena kampanye, Agustusan, pertandingan sepak bola dan bola volley, pentas seni, dan panggung hiburan.

Balik ke pelitik, saya suka nonton kampanye Golkar. Ya, harus Golkar karena bak (bapak) Golkar. Begitu juga Pak/Bu guru, Pak RK, Pak Kades, Pak Camat, Pak Pembantu Bupati Wilayah Liwa... semua Golkar.

Karena didukung banyak pejabat dan banyak dokunya, kampanye Golkar mestilah seru dan meriah.

Di sela-sela pidato dan nyanyian di panggung kampanye, selalu terdengar beulang-ulang teriakan: "Pilih Nomor 2", "Nomor 2", "Golkar Pillihan Kita", "Golkar menang rakyat senang", "Hidup Golkar", "Hidup Golongan Karya", ....

Dan saya yang ikut menyaksikan dari teras rumah kami, ikut bersemangat berteriak, "Hiduup Golongan Tria!"

Kontan semua yang di teras sedang menonton kampanye terbahak.

Ai, apa yang salah dengan teriakan saya? Sebagai anak kecil tentulah saya bingung kenapa saya ditertawakan.

Lama kemudian setelah besar, saya cengengesan mendapatkan cerita ini. Ya, gimana.... Golongan Tria. Tria itu kan nama mak saya. Lengkapnya Tria Qoti. Nama yang terlalu modern untuk muli tumbai dari desa pula. Kebetulan pula mak saya itu anak ketiga dari tujuh bersaudara. Jadinya, kan pas.

Itulah Mak saya. Bangga punya Mak kayak gitu. []


Jumat, 12 Oktober 2018

Jalan Raya

Oleh Udo Z Karzi


JALAN Soekarno-Hatta atau By Pass, Bandar Lampung kembali memakan korban. Sivitas akademika Politeknik Negeri Lampung (Polinela) kembali berduka. Mayang Fitriani, mahasiswi prodi agribisnis semester V, tewas dalam kecelakaan di dekat pul Damri, Jalan Abdul Haq, Rajabasa, Bandar Lampung, Selasa, 9 Oktober 2018 petang.
Mayang mengalami luka parah di bagian kepala. Ia terlindas truk saat mengendarai sepeda motor Honda Beat.

Kala itu, warga Dusun Sekamaju, Desa Pagarbukit, Bengkunat, Pesisir Barat berniat menjenguk rekannya yang berobat di Klinik Kosasih Rajabasa.

Kejadian serupa pernah menimpa mahasiswa Polinela Aisiyah Sukmawati (21), 29 Januari 2018. Saat itu warga Jalan Pulau Legundi, Kelurahan Sukarame, Kecamatan Sukarame, Bandar Lampung juga mengendarai sepeda motor Honda Beat Pop bernopol BE 3488 AU, terlindas truk kontainer B 9491 KU tepat di fly over Unila tak jauh dari Asrama Haji Rajabasa.

***

Itu hanya dua dari sekian kali terjadi kecelakaan di By Pass. Sebagai Jalan Lintas Sumatera (jalinsum), hampir semua jenis kendaraan dari sepeda motor, sedan, truk hingga tronton melewati jalan ini, termasuk beberapa perempatan yang melewatinya.

Tahu begitu, memang kita, terutama pengendara sepeda motor harus ekstra hati-hati berada atau hendak melintasi jalan ini. Selip-selip, celakalah kita.

***

Kalau kita geser ke jalan raya pada umumnya, jalan raya tidak ubahnya ”ladang pembunuhan” (the killing fields). Ini sebuah kondisi yang sangat mengerikan. Namun, begitulah kenyataannya. Tidak kurang dari 30.000 orang tewas di jalan-jalan raya Indonesia setiap tahun. Sebuah angka kematian yang terasa mencekam. Dari 30.000 orang yang meninggal, 65 persen di antaranya adalah korban pengguna motor. Ironisnya lagi, umumnya mereka adalah usia produktif penopang ekonomi keluarga, sehingga berpotensi untuk menambah keluarga miskin di Indonesia.

Tidak bisa tidak, harus ada upaya terus-menerus untuk menekan angka kecelakaan lalu lintas. Perlu diusahakan penanggulangan kecelakaan lalu lintas secara komprehensif yang mencakup upaya pembinaan, pencegahan, pengaturan, dan penegakan hukum.
Pertama, pembinaan. Pembinaan dilakukan melalui peningkatan intensitas pendidikan berlalu lintas, penyuluhan hukum, dan pembinaan sumber daya manusia.

Kedua, pencegahan. Pencegahan dilakukan melalui peningkatan pengawasan kelaikan jalan, sarana dan prasarana jalan, serta kelaikan kendaraan. Termasuk, pengawasan di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang lebih intensif.
Ketiga, pengaturan. Pengaturan meliputi manajemen dan rekayasa lalu lintas, serta modernisasi sarana dan prasarana lalu lintas.

Keempat, penegakan hukum. Penegakan hukum dilakukan secara efektif sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dan penerapan sanksi yang tegas. []


Fajar Sumatera, Jumat, 12 Oktober 2018