Oleh Udo Z. Karzi
"APA lagi yang kami punya kalau demokrasi yang seharusnya milik rakyat—baca definisi demokrasi—kini pun hanya milik orang kaya?" tanya Pinyut menghiba.
Ya, kasihan memang orang-orang seperti Pinyut. Negeri ini memang untuk orang-orang berharta dan berkuasa. Betapa susahnya menjadi orang tak berada di negeri ini, ada banyak ujaran “orang miskin dilarang sekolah”, “orang miskin dilarang sakit”, “orang miskin dilarang bahagia”... dan sekarang “orang miskin dilarang jadi pemimpin”.
Lah, kalau mau nyaleg, nyalon... apa saja mulai dari tingkat RT, RW, sampai presiden mesti punya doku. Kondisi ini ditambah lagi dengan para pemilih yang pada matre semua. Apalagi memang disuruh “ambil uangnya, tetapi jangan pilih dia”. Nyatanya memang yang punya uang kok yang kepilih.
Coba dengar kata pengamat politik Yudi Latif, “Demokrasi di Indonesia saat ini hanya milik orang yang bermodal sehingga tidak bisa diakses oleh semua orang. Kondisi ini terkait dengan sistem pemilihan calon anggota legislatif. Dalam penentuan calon anggota legislatif, latar belakangnya dan kualitas tidak menjadi pertimbangan memilih calon tersebut, tetapi lebih condong pada seberapa kuat modal yang dimiliki bakal calon anggota legislatif.”
"Demokrasi hanya syarat modal, kebebasan itu bukan seperti udara yang bisa diakses semua orang karena demokrasi akhirnya milik segelintir orang yang punya sumber ekonomi," kata Yudi, dalam sebuah diskusi politik di Durensawit, Jakarta Timur, Jumat (13/12).
Yudi mencatat 60% anggota DPR merupakan orang yang memiliki latar belakang pebisnis. Orang-orang itu dianggapnya kuat secara modal dan mempersempit celah bakal calon anggota legislatif yang tidak kuat secara finansial. "DPR kita dikuasai oleh latar belakang bisnis, sementara para aktivis kepayahan (untuk maju sebagai caleg). Harusnya demokrasi bisa menyetarakan akses."
Wajar Mat Puhit selalu ragu-ragu untuk terjun ke dunia politik. "Jak ipa aga pitisni," kata dia, selalu kalau ditanya-tanya kok enggak tidak mencoba peruntungan di politik (pemilu).
Pithagiras malah mendukung Mat Puhit, "Ya bener. Siapa juga yang mau milih niku."
"Ya, Mat. Kami enggak usah main pelitik-pelitikan," sambung Mamak Kenut.
"Hihii... senasib sepenanggungang nih. Sama-sama sering bokek," ledek Minan Tunja.
"Bukan begitu. Kami enggak mau menanggung dosa setelah menjadi anggota Dewan, tetapi enggak ngapa-ngapain," elak Mat Puhit.
"Benar. Kalau yang menjadi anggota Dewan itu kebanyakan pebisnis, ya jelas itung-itungannya bisnis. Bukan menjalankan peranan dan fungsi sebagai wakil rakyat," kata Mamak Kenut.
"Itu kan orang lain. Kita..."
"Kita... ya enggak kebagianlah. Salah sendiri, melarat." n
Lampung Post, Minggu, 15 Desember 2013