Monday, December 16, 2013

Orang Miskin Dilarang Nyaleg...

Oleh Udo Z. Karzi


"APA lagi yang kami punya kalau demokrasi yang seharusnya milik rakyat—baca definisi demokrasi—kini pun hanya milik orang kaya?" tanya Pinyut menghiba.

Ya, kasihan memang orang-orang seperti Pinyut. Negeri ini memang untuk orang-orang berharta dan berkuasa. Betapa susahnya menjadi orang tak berada di negeri ini, ada banyak ujaran “orang miskin dilarang sekolah”, “orang miskin dilarang sakit”, “orang miskin dilarang bahagia”... dan sekarang “orang miskin dilarang jadi pemimpin”.

Lah, kalau mau nyaleg, nyalon... apa saja mulai dari tingkat RT, RW, sampai presiden mesti punya doku. Kondisi ini ditambah lagi dengan para pemilih yang pada matre semua. Apalagi memang disuruh “ambil uangnya, tetapi jangan pilih dia”. Nyatanya memang yang punya uang kok yang kepilih.

Coba dengar kata pengamat politik Yudi Latif, “Demokrasi di Indonesia saat ini hanya milik orang yang bermodal sehingga tidak bisa diakses oleh semua orang. Kondisi ini terkait dengan sistem pemilihan calon anggota legislatif. Dalam penentuan calon anggota legislatif, latar belakangnya dan kualitas tidak menjadi pertimbangan memilih calon tersebut, tetapi lebih condong pada seberapa kuat modal yang dimiliki bakal calon anggota legislatif.”

"Demokrasi hanya syarat modal, kebebasan itu bukan seperti udara yang bisa diakses semua orang karena demokrasi akhirnya milik segelintir orang yang punya sumber ekonomi," kata Yudi, dalam sebuah diskusi politik di Durensawit, Jakarta Timur, Jumat (13/12).

Yudi mencatat 60% anggota DPR merupakan orang yang memiliki latar belakang pebisnis. Orang-orang itu dianggapnya kuat secara modal dan mempersempit celah bakal calon anggota legislatif yang tidak kuat secara finansial. "DPR kita dikuasai oleh latar belakang bisnis, sementara para aktivis kepayahan (untuk maju sebagai caleg). Harusnya demokrasi bisa menyetarakan akses."

Wajar Mat Puhit selalu ragu-ragu untuk terjun ke dunia politik. "Jak ipa aga pitisni," kata dia, selalu kalau ditanya-tanya kok enggak tidak mencoba peruntungan di politik (pemilu).

Pithagiras malah mendukung Mat Puhit, "Ya bener. Siapa juga yang mau milih niku."

"Ya, Mat. Kami enggak usah main pelitik-pelitikan," sambung Mamak Kenut.

"Hihii... senasib sepenanggungang nih. Sama-sama sering bokek," ledek Minan Tunja.

"Bukan begitu. Kami enggak mau menanggung dosa setelah menjadi anggota Dewan, tetapi enggak ngapa-ngapain," elak Mat Puhit.

"Benar. Kalau yang menjadi anggota Dewan itu kebanyakan pebisnis, ya jelas itung-itungannya bisnis. Bukan menjalankan peranan dan fungsi sebagai wakil rakyat," kata Mamak Kenut.

"Itu kan orang lain. Kita..."

"Kita... ya enggak kebagianlah. Salah sendiri, melarat." n


Lampung Post, Minggu, 15 Desember 2013
 

Monday, November 25, 2013

Liwa-Krui

Oleh Udo Z. Karzi


Keesokan harinya Yusuf pergi mengikuti Sukartono pergi ke Keroi. Jalan yang tiada putus-putus berkelok-kelok menurun menuju ke bawah, hutan yang hijau meliputi lurah dan tebing sepanjang jalan dan akhirnya pemandangan yang dahsyat ke arah lautan Samudra yang biru luas membentang...
(St. Takdir Alisyahbana, Layar Terkembang, Jakarta: Balai Pustaka, 1936, hlm. 41).

Selamat jalan Kawasan TNBBS
antara Liwa dan Krui (foto: artha dinata)
ITULAH jejak literer tentang betapa eksotiknya jalan yang menghubungkan Liwa, Lampung Barat, dan Krui, Pesisir Barat. Harus diakui jalan ini sesungguhnya destinasi yang memesona bagi para traveller.

Ya, bikin kangen Liwa saja. Kebetulan ada undangan dari SMAN 1 Liwa untuk mengisi apresiasi sastra di sana.

"Tapi kan longsor," kata seseorang.

"Yang putus itu jalan dari Liwa ke Krui. Ke Liwa enggak apa-apa kok," kata Mamak Kenut.   

Maka, berangkatlah Mamak Kenut menuju Liwa. Kebetulan bertemu teman perjalanan yang asyik ngobrol mengenai Liwa dan Krui. Hubungan orang Liwa dan Krui itu memang seru, ibarat lagu Benci tapi Rindu-nya Diana Nasution.

Satu di gunung dan satu di laut, bersatu dalam belanga. Begitulah, kata Novan Saliwa, Liwa menumbuhkan sayur-mayur segar, Krui menyedikan ikan-ikan segar. "Mereka berdua (Liwa dan Krui) muari (bersaudara) sejak diciptakan memang hendak bersatu agar sama-sama memberi faedah," ujar dia.

Iya juga, Pinyut yang tinggal di Liwa selalu memanfaatkan hari libur dan hari-hari besar untuk berkunjung ke Krui, melepas kerinduannya akan laut; di samping ke Danau Ranau, melampiaskan kedahagaan akan telaga. Yah, Liwa, Krui, dan Ranau memang benar-benar bersaudara.

Benar belaka. Buktinya semenjak jalan Liwa—Krui putus, biaya hidup di Krui melonjak tajam. Harga-harga mahal karena sayuran dan beberapa barang yang dipasok melalui Liwa terhambat. Wajar jika kemudian warga Liwa dan Krui sama-sama tidak betah dengan terhambatnya aliran urat nadi Pesisir Barat dan Lampung Barat ini.

Mat Puhit saja pusing. Bagaimana tidak, ia terpaksa bertarung nyawa menyisiri jalan setapak yang di sampingnya menganga jurang, yang kalau tidak hati-hati, bisa tergelincir ke kedalaman hingga 50 meter. Demi kundangku kahut seorang!

"Makanya, cari pacar jangan jauh-jauh. Misalnya kayak saya ini," kata Pithagiras.

"Sapa sai aga!" sahut Mat Puhit.

Hahaa.... n


Lampung Post, Senin, 25 November

Saturday, November 16, 2013

Kreatif Dikit Napa

Oleh Udo Z. Karzi


KREATIVITAS adalah sumber dari kesuksesan, bahkan termasuk bisa menghasilkan uang. Karena uang, bisa jadi orang akan menjadi pekerja keras; banting tulang, dan peras otak untuk menghasilkan uang.

Tapi betapa risinya Mat Puhit membaca berita dalam beberapa hari ini. Sebab, isinya keluhan tentang ketiadaan uang.

Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. bilang pusat harus membantu daerah dalam penanganan bencana karena uang daerah dikit. "Lampung termasuk daerah rawan bencana, seperti gempa, tsunami, tanah longsor. Penanganannya tidak bisa hanya mengandalkan daerah karena peralatan tanggap bencana dan dana tidak memadai," katanya menanggapi jalan Liwa—Krui yang putus karena tanah longsor (Lampost, 15/11).

Sebelumnya, Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Lampung Hanibal juga berkata mak ngedok pitisni (tak ada dananya) untuk merenovasi Gelanggang Olahraga (GOR) Saburai. Meskipun kondisi GOR Saburai dengan dinding terkelupas, penuh coretan, atap bocor, dan lainnya, tidak bisa segera diperbaiki mengingat minimnya anggaran 2013. "Semua itu belum bisa terlaksana karena memang anggaran untuk tahun ini memang defisit," kata Hanibal (Lampost, 13/11).

Konon, dana miliaran rupiah telah menggelontor untuk pembangunan Gedung Kesenian Lampung (GKL). Dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Lampung itu telah sampai pada tahap keenam sejak 2008, tetapi belum juga selesai. Tapi, Kepala Dinas Pengairan dan Permukiman Provinsi Lampung Arief Hidayat tetap saja mengaku dananya kurang. "Hanya anggaran yang kurang, kalau dana cukup pasti cepat selesai." (Lampost, 12/12).

Walaupun tetap ramai dan kegiatan kesenian tetap menggeliat, kondisi Taman Budaya Lampung (TBL) sangat memprihatinkan. Bisa diduga penyebabnya karena minimnya dana. Jalan, gedung pemerintah, fasilitas, dan berbagai kerusakan lain, semua argumennya mengarah pada satu hal: tak ada anggaran.

"Saya pusing lagi bokek," lapor Mamak Kenut kepada Pak Bos.

"Sama saja, saya lagi enggak punya uang. Banyak keperluan...," kata jawab Pak Bos.

"Wadoh, kalau Pak Bos enggak borju, gimana mau bantu kami-kami yang dipimpin. Bawahan kan minta tolong sama atasan, yang miskin mohon bantuan sama yang kaya. Kepada siapa lagi nih kami minta tolong?" gerutu Minan Tunja.

"Ngupi pai," ajak Radin Mak Iwoh. Nah, gitu dong kreatif dikit napa. n


Lampung Post, Sabtu, 16 November 2013

Wednesday, November 6, 2013

Perginya Sang Guru Muda

: Aditya Prasetya


Oleh Udo Z. Karzi

Aditya Prasetya
TAHUN baru 1 Muharam 1435 Hijriah. Sejarah mencatat inilah momentum penting dalam perkembangan Islam; ketika Muhammad saw. berhijrah dari Mekah ke Madinah. Inilah titik balik bagi kemajuan siar Islam menembus ke berbagai penjuru angin ke berbagai belahan dunia.

Lalu, angin menghembuskan kabar ke Negeri Ujung Pulau tentang seorang pemuda yang hijrah dari dunia fana menuju keabadian. Dari nun jauh di sana, Saumalaki, Maluku Tenggara Barat, Maluku.

Aditya Prasetya, anak muda kelahiran Bandar Lampung, 1 Oktober 1988, dan alumnus Program Studi Fisika FKIP Universitas Lampung (Unila) yang tengah mengikuti program Indonesia Mengajar sebagai pengajar muda angkatan VI di SDK Wunlah, Kecamatan Wuarlabobar, Matengba, berpulang ke hadirat-Nya.

Shally Pristine, rekan sesama pengajar muda berujar, "Ia meninggal dalam keadaan damai ketika sedang tertidur saat sedang menginap di rumah dinas Bupati Maluku Tenggara Barat. Ia bersama teman-teman sekabupatennya sedang menyiapkan pelatihan guru di ibu kota Maluku Tenggara Barat, Saumlaki, dan karena itu kami bersaksi ia meninggal dalam keadaan husnulkhatimah dan syahid."

Mamak Kenut tersentak mendapatkan berita ini. "Saat malam kami harus mengejar waktu, tidak bisa bermalam itu hal biasa. Menahan kantuk saat siang karena malam tidak tidur itu lumrah saja. Mengeluh di sini tidak pantas dilaksanakan. Walaupun dapat waktu istirahat yang memang hanya sebentar," tulis Aditya Prasetya dalam Tuhan Pantaskah Aku Bersyukur (Perjalanan Wuarlabobar II) (blog Indonesia Mengajar https://indonesiamengajar.org, 14/10/2013).

Bergetar Mamak Kenut membaca-baca goresan pena aktivis Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unila ini. Betapa negeri ini memang zamrud di khatulistiwa. "Saya tidak tahu kata-kata apa yang tepat mengawali tulisan ini agar tampak bagus serta mewakili rasa kekaguman saat penjelajahan saya di salah satu tanah Indonesia ini, Kecamatan Wuarlabobar. Pujangga mana pun saya pikir sulit untuk mendeskripsikan keindahannya. Memang sungguh indah. Mentarinya tiap pagi selalu menyapa dengan penuh semangat," tulis Aditya di blognya yang lain. 

Walaupun tidak menemukan tulisan Aditya di media massa, ternyata Aditya penulis yang baik. Anak muda, aktivis, dan pekerja keras. Membaca sosok ini terasa penuh energik, optimistis, dan senang dengan tantangan. Wajah yang ngeganteng dengan senyum hangat sebagaimana tampak dalam fotonya di profil situs Indonesia Mengajar tentulah bikin kangen selalu siswa-siswinya di SDK Wunlah.

Selamat jalan, Pak Guru Muda. Perjuangan masih panjang… Kami sudah coba apa yang kami bisa/Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa, kata Charil Anwar dalam sajak Krawang-Bekasi. n


Lampung Post, Rabu, 6 November 2013

Monday, November 4, 2013

Harapan adalah...

Oleh Udo Z. Karzi


HARAPAN adalah 71.313 peserta yang mengikuti tes tertulis untuk memperebutkan 864 kursi (saja!) calon pegawai negeri sipil daerah (CPNSD) se-Lampung, Minggu (3/11). Betapa besarnya mimpi menjadi amtenar karena bayangan masa depan yang gemilang, tetapi lupa tentang birokrasi yang menjadi sarang korupsi.

"Katanya penerimaan CPNSD tahun ini bersih," kata Minan Tunja.

"Saya sih tetap enggak percaya dengan janji bersih dari pemerintah. La, Ketua Ketua Mahkamah Konstitusi aja ketangkap terima suap," Pithagiras tetap skeptis.

"Entahlah," sahut Mat Puhit.

"Tetap ada harapan. Yang penting usaha dan jangan lupa berdoa. Tuhan Mahatahu," kata Radin Mak Iwoh sok bijak.

Harapan adalah uang Rp170 miliar yang dibuang begitu saja untuk pembangunan Terminal Betan Subing di Kecamatan Terbanggibesar, Lampung Tengah. Kini, terminal agrobisnis yang diresmikan Presiden Megawati Soekarnoputri pada 2004 itu pun mangkrak. Dan, konon lokasi ini sekarang menjadi lokasi paling romantis bagi pemuda dan remaja...

"Itulah kalau membangun dengan semangat cari untung yang sebesar-besarnya tanpa didukung dengan studi kelayakan dan perencanaan yang benar," kata Udien.

"Ai, itu kan cuma ambisi mantan bupatinya saja...," celetuk Mat Puhit.

"Tetap saja ada harapan agar proyek ini dikaji ulang. Dan, yang penting, pihak-pihak yang terkait dengan proyek mangkrak ini bisa mempertanggungjawabkan perbuatan mereka ini. Harus ada proses hukum!" tegas Pithagiras.

Harapan adalah petani di Kecamatan Sukau, Lampung Barat, yang membiarkan hasil bumi mereka membusuk setelah harga beberapa jenis sayuran turun drastis. Biaya panen justru lebih tinggi dari harga jual di pasaran.

"Dari kebijakan pemerintah tak pernah berpihak pada petani," sesal Mat Puhit.

"Tetap saja ada harapan musim depan harga hasil pertanian membaik. Asal para petani enggak kapok bertani...," sahut Mamak Kenut sekenanya.

Harapan adalah catatan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Pusat bahwa Lampung menjadi salah satu daerah paling rawan politik uang. Hampir seluruh pemilihan umum kepala daerah dan pemilu legislatif dinodai praktik jual beli suara.

"Jangan pilih politisi busuk, yang antara lain suka bagi-bagi duit!" teriak Mat Puhit.

"Kamu ngomong apa? Rakyat udah pinter sekarang. Lagi pula, pilgub aja enggak jelas kapan digelar..."

"Masih ada harapan..."

"Masih ada harapan, masih ada harapan... gundulmu!" maki Mamak Kenut.

(Selamat Tahun Baru 1435 Hijriah). n


Lampung Post, Senin, 4 November 2013



Monday, October 28, 2013

Tak Bisa Tidak Harus!

Oleh Udo Z Karzi


"AI, besok Aidil ulang tahun," kata saya kemarin. "Besok kan ramai yang merayakan ulang tahun Aidil di lapangan. Besok upacara tidak?"

(Aidil tujuh tahun hari ini. Hari lahirnya, 28 Oktober kebetulan bersamaan dengan peringatan Hari Sumpah Pemuda Hari. Jadi yang merayakan Sumpah Pemuda ya merayakan ulang tahu Aidil pula. Hehee...)

Aidil diam saja. Seperti mau menangis. 

"Kok Aidil tidak dikasih hadiah?" jawab Aidil.

"Mama sudah kasih hadiah macam-macam," ujar Mamanya.

"Ya, sepeda itu kan hadiah ulang tahun Aidil," kata saya lagi.

"Iya, tapi itu dulu..." Pecah tangis Aidil.

Kesihan pula. "Ya... besok kalau ayah gajian kadonya," kata saya.

Aidil diam saja masih sesugukan.

"Aidil mau kado apa?" Saya tanya lagi.

Masih sesugukan.

"Ya, bareng ayah kalau sudah gajian beli kadonya," tambah Mamanya. "Mau kado apa?"

"Mobilan yang ada remotnya..."

"Ai kok mobilan. Yang lain saja?"

"Buku?"

...

Tapi, Aidil bergeming tak bisa tidak harus mobilan.

Ya, oke. Tapi, ayah belum gajian.

Besok ya, Dil.



Senin, 28 Oktober 2013

Sunday, October 20, 2013

Buku Puisi Lagi...

Oleh Udo Z Karzi


PULANG kondangan bareng Aidil (belum 7 tahun) ke Telukbetung, Minggu (20/10) siang, mampir ke Toko Buku Fajar Agung di Jalan Raden Intan, Bandar Lampung.

Aidil selalu senang diajak ke toko buku. Masalahnya, dananya selalu terbatas buat beli buku yang bagus. Hehee...

Saya ngomong ke Aidil,  "Dil cari bukunya, bilang ke ayah kalau sudah ketemu. Buku cerita..."

Waktu liat-liat buku, mata saya tertumbuk pada buku Asyiknya Menulis Puisi karangan Wes Magee, dialihbahasakan Rini Nurul Badariah, terbitan Tiga Serangkai, Solo, 2008 dipanjang di gerai. Ini buku menarik karena bicara teknik puisi tetapi penuh gambar dan grafis yang bagus.

Saya tanya Aidil, "Buku ini mau nggak?"

Aidil bengong dan langsung bilang, "Aidil nggak mau!" "Ini bagus, Dil."

"Nggak," sahut Aidil sambil menaruh kembali buku tersebut di tempatnya.

"Ya udah, ini untuk ayah aja."

"Ya untuk ayah..."

Demikianlah, kami pulang dengan membayar tiga buku ke kasir: (1) Buku Asyik Menulis Puisi tadi; (2) Doa untuk Anak Cucu, kumpulan puisi WS Rendra yang Belum Pernah Dipublikasikan, Yogyakarta: Bentang, 2013; dan (3) buku pilihan Aidil, Curious George: Pertunjukan Anjing Solo: Tiga Serangkai, 2010.

Sampai di kantor... alhamdulillah, saya dapatkan buku puisinya Iwan Kurniawan, wartawan Media Indonesia, Rontaan Masehi, Bogor: Terbit Press, Juli 2013.

"Puisi lagi...," kata Aidil.

Dan, saya tertawa saja. Terlepas dari itu, saya perlu mengucapkan terima kasih ke Bung Iwan Kurniawan yang telah menghadiahi saya buku puisi yang mangtaap ini.

Bukunya kiriman Bung Iwan dah sampai, Wandi Barboy Silaban. Terima kasih. Tabik.

Eh iya, sebelumnya bareng Aidil juga, Kamis (17/9), saya mengambil buku tebal-tebal Puisi Menolak Korupsi Jilid 2a dan 2b masing-masing 5 eksemplar  di Lampung Peduli.  Sosiawan Leak, koordinator gerakan menolak korupsi yang mengirim ke Lampung melalui Panji Utama.

Dua puisi saya ada di buku ini bersama 196 penyair se-Indonesia lainnya.


Minggu, 20 Oktober 2013  

Monday, October 7, 2013

STA

Oleh Udo Z. Karzi


KIAMAT di jagat hukum dengan tertangkap tangannya Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar menerima suap di rumahnya di Jalan Widya Chandra III Nomor 7, Jakarta,  Rabu, 2 Oktober 2013 pukul 22.00 oleh KPK; mencuatkan (kembali) initial STA.

Bagi penulis atau paling tidak yang akrab dalam dunia literasi Indonesia, STA alias Sutan Takdir Alisjahbana adalah nama besar. Berbagai predikat dilekatkan pada sosok ini: sastrawan, pujangga, akademisi, linguis, pemikir kebudayaan, dst. yang memberi kontribusi nyata bagi pertumbuhan negara-bangsa Indonesia.

Buku Polemik Kebudayaan (1948) yang disusun Achdiat K. Mihardja memperlihatkan bagaimana sesungguhnya kecendekiaan STA dalam menjawab pertanyaan mau di bawa ke mana peradaban Indonesia kelak. Bagaimana mungkin ngomong sastra modern kalau tak menyebut STA. Ia merintis Gerakan Sastra Baroe pada 1933 dan mendirikan Angkatan Poedjangga Baru. Gerakan Sastra Baroe ini melibatkan para intelektual seperti Armijn Pane dan Amir Hamzah. Lalu, tak kurang 20 orang intelektual Indonesia menjadi inti gerakan Poedjangga Baroe, diantaranya Prof. Husein Djajaningrat, Maria Ulfah Santoso, Mr. Sumanang, dan WJS. Poerwadarminta.

Menulis sejak usia 17 tahun, pria yang lahir di Natal, Sumatera Utara, 11 Februari 1908 dan meninggal di Jakarta, 17 Juli 1994 ini   menuangkan gagasannya dalam bentuk puisi, novel, esai, dan makalah. Puluhan buku lahir dari STA sebagai penyair, novelis, peneliti, penerjemah, editor, termasuk buku tentang STA yang ditulis orang lain.

Jadi, STA jelas tak kurang-kurang...

Itu sudah... (kalo bilang begini Mamak Kenut langsung ingat sastrawan Tandi Skober almarhum), sekarang muncul STA lain. Kata koran sih itu initial advokat ngetop Susi Tur Andayani.

"Sialan betul! STA yang terlibat skandal yustisia terbesar di Negarabatin saat ini bukan Sutan Takdir Alisjahbana," kata Mamak Kenut kesel banget.

"Sunlie Thomas Alexander?" celetuk cerpenis Yetie A.KA.

"Oh ya... untungnya STA itu sastrawan juga dan nggak terlibat segala urusan kongkalikong," sahut Mat Puhit.

Ah, semoga sastrawan tak ikut-ikutan korupsi ya Mas Sosiawan Leak (baca: Puisi Menolak Korupsi)? n


Lampung Post, Senin, 7 Oktober 2013

Friday, August 30, 2013

Sama MJ-nya

Oleh Udo Z. Karzi


MAT PUHIT uring-uringan dalam beberapa hari ini. Memang sih kepastian hanya milik Tuhan. Tapi, manusiakan harus bisa membuat kepastian. Itulah gunanya perencanaan. Itulah gunanya kerja. Itulah gunanya daya upaya. Itulah gunanya negosiasi. Itulah gunanya kearifan. Itulah gunanya pelitik.

Tapi, entahlah apa yang menyebabkan manusia melebihi Tuhan: membiarkan situasi penuh ketidakpastian, penuh ketidakmenentuan, penuh ketidakjelasan. Perekononomian nasional lagi lagi tidak jelas juntrungannya tersebab nilai rupiah yang terus merosot terhadap Dolar Amerika Serikat.

Empat paket kebijakan ekonomi sebagai antisipasi penyelamatan dari gejolak perekonomian yang dikeluarkan pemerintah — memperbaiki defisit transaksi berjalan dan nilai tukar rupiah terhadap dolar, menjaga pertumbuhan ekonomi, menjaga daya beli, dan mempercepat investasi dengan mengefektifkan sistem layanan terpadu satu pintu perizinan investasi — tak berarti banyak.

"Walau diragukan efektivitasnya setidaknya pusat punya solusi. Jadi ada harapan keluar dari dari ketidakjelasan," kata Pithagiras.

Datang-datang Udien sibuk mengumpat-ngumpat debu. "Kacau, kacau...," kata dia.

"Apa yang kacau, Dien?" sela Minan Tunja.

"Debu di mana-mana. Ini akibat perbaikan Jalan Soekarno-Hatta (bypass) yang terhenti. Kasihan pengguna jalan, warung-warung makan sepanjang bypass dipenuhi debu. Bisa kena isepa (maksudnya ISPA) nih kita-kita ini. Cilakanya tidak ada kelanjutan perbaikannya malah makin tidak jelas," lapor Udien.

"Aih kidah. Kayak pilkada aja yang makin mak jelas (tidak jelas) alias MJ," celetuk Mat Puhit.

"Jalan bypass dan pilgub sama MJ-nya kok!" kata Pithagoras.

"Induh, kok pada senang dengan yang serba-MJ ya?" kata Udien.

"Sudahlah, yang jelas-jelas saja, kita ngupi pai gawoh...," ajak Mamak Kenut. n


Lampung Post, Jumat, 30 Agustus 2013

Friday, August 23, 2013

Bangkrut?

Oleh Udo Z. Karzi


PEMERINTAH Negarabatin benar-benar sudah menyerah untuk menyiapkan dana Pemilihan Gubernur 2013. "Kondisi keuangan Negarabatin sangat sulit. Realisasi pendapatan baru 50%, padahal tahun anggaran akan berakhir empat bulan lagi," kata Kepala Biro Keuangan Negarabatin.

Potensi pendapatan yang belum masuk kas daerah antara lain penglepasan lahan Way Dadi sebesar Rp337 miliar, dana perimbangan (Rp38,6 miliar), dan lain-lain PAD yang sah (Rp42 miliar). Selain itu, belum terealisasinya potensi BBNKB senilai Rp97 miliar... (Lampost, 21-8).

"Astaga! Negarabatin sudah benar-benar bangkrut rupanya sampai-sampai membiaya pilgub dan memperbaiki jalan yang rusak di mana-mana enggak sanggup lagi," celetuk Mat Puhit garuk-garuk kepala.

"Ai, kemana atau dikemanakan uang kita, rakyat yang rajin bayar pajak dan ditarik retribusi sana-sini selama ini ya?" timpal Pithagiras.

"Benar-benar enggak rasional, benar-benar enggak masuk akal!" Minan Tunja ikut-ikutan linglung.

"La, itu realitas keuangan Negarabatin kok. Masa enggak percaya sama kepala Biro Keuangan," Radin Mak Iwoh mencoba menjelaskan.

"Wah, parah. Jangan kata membiayai pilgub yang Rp200 miliar, jalan di mana-mana pada rusak. Enggak ada dana untuk perbaikan jalan, begitu alasannya selalu," kata Pinyut.

"Okehlah, berarti benar kita pailit. Lalu, siapa yang harus bertanggung jawab atas kebangkrutan Negarabatin kita?" Udien esmosi.

"Ya, enggak begitu. Menurut Pak Bos, duit sih ada, tapi dana itu buat program pembangunan, enggak bisa dialihkan karena tender dan pembangunan sudah berjalan. Masa harus ngutang untuk pilgub," kata Radin Mak Iwoh mencoba memahami pemikiran Pak Bos.

Tapi, Mamak Kenut hanya membisu. Akibatnya, Udien, Minan Tunja, Pithagiras, Mat Puhit, Pinyut, Radin Mak Iwoh, dan lain-lain ikut diam. Diskusi pun mandek! Tetap saja dalam benak masing-masing berpusing-pusing pertanyaan, "Benarkah Negarabatin bangkrut sampai-sampai membiayai pilgub dan memperbaiki jalan yang rusak pun tak sanggup lagi?" n


Lampung Post, Jumat, 23 Agustus 2013

Monday, August 5, 2013

Hidup adalah Puasa

Oleh Udo Z. Karzi


HIDUP adalah puasa. Puasa itu menahan diri, menjaga nafsu, dan menuju ketakwaan. Karena itu, kaum muslim menyambut Ramadan dengan senang hati, perbuatan baik, dan dengan hati yang penuh khusyuk.

Ramadan menjadi waktu yang paling tepat untuk kita melakukan refleksi atas apa yang telah kita lakukan selama ini. Semua ibadah yang kita lakukan dalam Ramadan menjadi sarana paling ampuh untuk mengingatkan kita, bahwa kita, selain seorang individu dengan sifat individual, memiliki hak asasi, dan kepentingan pribadi; juga merupakan makhluk sosial yang wajib peduli dengan hak, kebutuhan, dan kepentingan orang lain.

Kita senang, seharusnya teman kita senang. Kita bahagia, semestinya tetangga kita ikut bahagia. Kita gembira, sepatutnya orang lain tidak merasa terpinggirkan.

Ramadan mengajak kita bersabar. Menahan diri dari makan-minum, serta perkataan dan perbuatan yang mengumbar hawa nafsu adalah bentuk dari konkrit dari hakikat dari puasa. Melalui puasa, kita diingatkan untuk selalu mengendalikan emosi. Hidup memang penuh tantangan, tetapi tantangan tidak mengharuskan kita lemah. Hidup terkadang membuat kita sedih, tetapi kesedihan tidak boleh membuat kita cengeng.

Hidup butuh perjuangan, tetapi perjuangan tidak bisa membuat kita frustasi. Hidup penuh kekerasan, tetapi kekerasan tidak mesti dilawan kekerasan. Hidup bisa saja membuat kita marah, tetapi kemarahan tidak menyelesaikan masalah.

Hidup boleh saja membuat kita jengkel, tetapi kejengkelan tidak mampu membuat kita lupa diri. Hidup silakan saja membuat kita pesimistis, tetapi kita tidak mungkin bunuh diri.

Ya, hidup adalah puasa. Puasa adalah pengendalian diri. Dengan mengendalikan diri, kita mampu memandang segala sesuatu secara jernih. Dengan mengendalikan diri, kita bisa berbuat kebajikan bagi sesama.

Puasa mengingatkan kita tentang nilai-nilai kemanusiaan. Nilai ini begitu penting. Sebab, jika kita telah kehilangan kemanusiaan, maka kita tidak ubahnya seperti hewan, atau bahkan setan. Kemuliaan manusia terletak pada hati yang terasah dan kemampuan berpikir jernih.


Lampung Post, Senin, 5 Agustus 2013

Monday, July 29, 2013

Demokrasi Tanpa Demos

Oleh Udo Z. Karzi


APA yang terjadi di Negarabatin saat ini: kisruh yang tak kunjung  berakhrir -- adalah menjadi bukti nyata dari demokrasi yang kehilangan esensi. Demokrasi yang tak melibatkan rakyat (demos).

"Kok bisa begitu?" tanya Radin Mak Iwoh.

"Lihatlah siapa yang bersitegang, lihatlah siapa yang paling bersuara keras, lihatlah siapa yang terus-menerus mencari-cari kesalahan pihak yang dianggap lawannya, lihatlah siapa yang paling ngotot... semuanya itu kaum elite politik saja," kata Minan Tunja.

"Lo itu kan rakyat juga," sambut Radin Mak Iwoh.

"Ya, tapi bukan rakyat pada umumnya," sambar Pithagiras.

"Isu-isu yang bertebaran hanya menjadi milik para pihak yang merasa punya kepentingan belaka," keluh Mat Puhit.

"Betul, rakyat kebanyakan yang menjadi pemilik sah kekuasaan justru lebih banyak diam menonton. Wait and see saja!" lapor Udien.

"Citra partai politik yang menjadi institusi utama pembangunan politik (demokrasi) malah semakin redup," sambung Mamak Kenut.

"Kepercayaan masyarakat terhadap partai hanya 42,6%. Tingkat kepercayaan kepada parpol jauh di bawah kepercayaan terhadap lembaga survei 69,3%, terhadap media massa 65,1%, LSM 58,8%, dan ormas 57,5%. Parpol dinilai bukan lagi corong aspirasi masyarakat, melainkan wadah mereguk keuntungan pribadi," Udien hasil survei (Lampost, 27/7).

Agaknya, demokrasi dan politik telah menggeser ruang publik ke ruang domestik. Demokrasi tanpa publik, demokrasi tanpa demos. Konsolidasi politik dalam pemilu selalu menempatkan tokoh-tokoh primordial sebagai identitas pertama dan utama yang harus didekati saat mencari suara dalam pemilu.

Publik dengan demikian hanya merupakan perluasan jejaring privat. Demokrasi tidak lagi merupakan arena dan metode kontestasi demos dan kratos tetapi berubah wajah menjadi arena dan metode kontestasi jejaring privat dalam raut keluarga, etnis, agama, koneksi, pertemanan, dan sejenis lainnya. Di luar bentuk politik primordial ini hanyalah politik transaksional.

Ketika jejaring privat ini tidak dimiliki aktor dan parpol dalam kontestasi politik, maka politik transaksional menjadi keniscayaan. Demos kehilangan tempat dalam pemilu dan demokrasi. Ini sesungguhnya raut lain dari pemilu tanpa demokrasi.

Lalu, demokrasi dan pemilu pun hanya akan berubah menjadi alat paling ampuh bagi mereka yang kuat, kaya, dan berkuasa untuk mendominasi dan menguasai panggung, serta proses politik. n


Lampung Post, Senin, 29 Juli 2013



Monday, July 22, 2013

Ganteng-ganteng Kok Beloon

Oleh Udo Z. Karzi


BARANGKALI tampang Rustoni (34) yang menjadi tokoh cerita kita ini  yang kumal bin dekil tidak terlalu meyakinkan penjaga keamanan. Mana bisa orang kek gini bisa membeli pakaian bagus di mal, itu mungkin yang ada di benak si satpam.

Ceritanya, Kamis malam, 18 Juli 2013, Rustoni menyambangi ke Ramayana Mal Lampung. Ah, ada diskon 50%, dia pikir. Lumayanlah.

Maka, ia pun memilih-milih celana panjang. Hep, dapet nih celana jins bagus merek Excell. Ia izin kepada pramuniaga dan satpam untuk mencoba celana di ruang ganti.

Cocok, Rustoni pikir. Lalu, ia bergerak menuju ke kasir hendak membayar. Namun, belum lagi ke kasir, satpam sok cihuy menghadang. Aduh, ia digiring ke pos satpam di lantai II.

Astaga, kok satpam curiga ia hendak mencuri. Sakunya digeledah. Uang Rp100 ribu yang mungkin ia kumpulkan berhari-hari dari jualan koran dirampas satpam. Dia lalu diusir.

"Baru jadi satpam dah sok kuasa," celetuk Pithagiras geregetan.

Ah, terusin dulu ceritanya. Rustoni mana terima. Ia harus membayar celana ke kasir. Karena itu, ia meminta uangnya dikembalikan. Namun, satpam itu berkeras tidak mau mengembalikannya. Terjadi perselisihan.

Kasihan Rustono kok dipukuli di dalam pos satpam. Di luar pos kedua tangannya diangkat lalu pipi kirinya diadu dengan kepala seorang satpam. Akibatnya, pipi kirinya bengkak.

Sampai di sini, Minan Tunja tak bisa menahan diri. "Dasar satpam belagu!" kata dia.

"Itulah. Liat orang dari luarnya aja sih. Satpam itu kali nggak tahu kalau copet itu malah necis-necis. Soalnya kalau nggak, langsung ketahuan mau maling," sahut Mat Puhit.

"Tampang orang kadang menipu. Makanya ada juga yang bilang, 'ganteng-ganteng kok beloon' atawa 'biar jelek tapi hatinya baek'," tambah Udien.

Jangan gitu, Pak Satpam! n


Lampung Post, Senin, 22 Juli 2013



Wednesday, July 3, 2013

Warisan Pemikiran

Oleh Udo Z. Karzi


WARTAWAN bisa mewariskan pemikiran, tak hanya pada anak-cucunya, tetapi juga kepada generasi bangsa. Begitu kira-kira ucapan ustad dalam sebuah acara.

Bukannya mendengarkan ceramah, di belakang malah ada diskusi yang lebih seru.

"Ya nggak harus wartawanlah yang mampu mewariskan pemikiran. Orang-orang biasa bisa pula mentranfer pemikirannya kepada anak-anaknya dan kepada orang lain," Radin Mak Iwoh protes.

"Pemikiran apa, Radin?" sambah Mat Puhit.

"Ya, apa saja. Asal pemikiran itu benar dan baik," kata Radin Mak Iwoh. 

"Hehee... kalau itu sih semua orang, Radin," kata Mat Puhit lagi. "Yang dimaksudkan adalah pemikiran besar, pemikiran tentang negara-bangsa, pemikiran yang jauh melampaui zamannya, serta mampu menginspirasi anak bangsa."

"Nah, itulah kelebihan wartawan. Mereka mampu menuliskan segala sesuatu agar bisa memberikan manfaatnya kepada masyarakat banyak. Pena wartawan menjadi cermin kehidupan masyarakat, pemerintah, dan berbagai pihak," Udien bersemangat.

"Ala, Dien. Wartawan kayak kau memang pemikiran macam apa pula yang kau dapat kau wariskan," ledek Minan Tunja.

"Ya, banyak...," jawaban Udien mengambang. Soalnya dia sendiri tidak yakin bisa mengawetkan gagasan-gagasan briliannya.

"Ah, berlebihan. Emang pemikiran apa yang disumbangkan wartawan kalau jurnalisme yang dianut adalah jurnalisme cipratan ludah, jurnalisme yang hanya mengutip-ngutip omongan pejabat belaka tetapi jauh dari realitas yang berlaku di ranah realitas?" Pithagoras tak mau kalah.

"Ini saya baca judul-judul berita: 'Guru harus disiplin', 'Parpol akan Tindak Lanjuti Laporan Masyarakat', 'Sikap antikorupsi perlu ditanamkan sejak dini', dst. Kenyataannya, (semoga tidak!) kinerja guru-guru makin payah, parpol mana mau meneruskan aspirasi rakyat kalau merugikan partai, korupsi semakin merajalela meski diberitakan koran," kata Mat Puhit.

"Pemikiran apa itu. Pemikiran cara menjadi maling besar? Maling mana bisa mengajarkan kejujuran."

Semua pada diam.

Mamak Kenut yang dari tadi diam saja cuma bilang,"Pemikiran -- mau besar mau kecil -- hanya bisa diwariskan wartawan yang berpikir, yang punya pemikiran, dan kemudian menuliskan pemikirannya itu!"

Wah, tidak gampang ternyata. n


Lampung Post, Rabu, 3 Juli 2013

Friday, June 21, 2013

(Sem)purna

Oleh Udo Z. Karzi


21 JUNI 2013. Sempurna, Mang Cek. Betul itu, hari ini Mang Cek bukan mengakhiri, melainkan menyempurnakan tugas kewartawanan.

Memang dalam bahasa formalnya, Mang Cek resmi pensiun sebagai karyawan/wartawan Lampung Post. Tapi sesungguhnya Mang Cek justru memulai sebuah tugas baru dari profesi kewartawanan itu.

***

"TIDAK pernah ada kata pensiun untuk seorang wartawan. Tetapi, apakah di sini nanti (tugas) saya yang terakhir... hanya Allah yang mengetahui," kata Djafar Assegaff (1956-2013) menjawab pertanyaan, "Apakah ini terminal terakhir?"

Prestasi Djafar dalam hal beralih tempat tugas memang luar biasa: Redaktur Politik Harian Indonesia Raya (1956-1959), Wakil Pemimpin Redaksi Harian Abadi (1959-1960), Managing Editor Indonesia Raya (1968-1972), Pemimpin Redaksi Suara Karya (1972), Pemimpin Redaksi Majalah Warta Ekonomi (1990-1993), dan  Pemimpin Redaksi Harian Media Indonesia (1997-2001), Wakil Pemimpin Umum Media Indonesia (2002).

Tidak tidak hanya wartawan, alumnus angkatan pertama jurusan publisistik Universitas Indonesia ini sejak 1964 menjadi dosen di almamaternya. Dia kemudian diperbantukan di seksi penerangan Komando Operasi Tertinggi (Koti) 1964-1968. Pernah juga menjadi Dubes Republik Indonesia di Vietnam (1993--1997). Ia masih Ketua Dewan Pembina Partai NasDem ketika ia dipanggil Allah swt. ke "terminal terakhir"-nya pada 12 Juni 2013.

***

ANGKA 21 itu hanya 12 yang di balik, Mang Cek. Di dua tanggal itu pada bulan yang sama, Juni 2013, ada yang menyempurnakan kehidupan, ada pula yang menyempurnakan tugas.

Heru Zulkarnain, kelahiran Telukbetung, Bandar Lampung, 21 Juni 1957. Ia mengawali karier jurnalistik di Lampung Post 1980-an. Kemudian menjadi koresponden Harian Prioritas, 1983 sebelum dibreidel pada 1987. Lalu berturut-turut menjadi jurnalis Media Indonesia, Lampung Post, Harian Neraca, Suara Bangsa, dan kembali ke Lampung Post sejak 1999.

Pernah coba-coba memasuki ranah politik, tetapi rupanya itu bukan jalannya, sehingga memutuskan tetap di jalur pers hingga purna tugas pada 21 Juni 2013 ini. Meskipun purnakarya, Mang Cek memutuskan tetap menjadi wartawan dengan menjadi koresponden Lampung Post di Kabupaten Pesawaran.

Ketika Mang Cek -- demikian Heru lebih dikenal di kantor -- berkata, "Saya masih pengen menjadi wartawan karena saya tidak punya kebisaan lain," sesungguhnya Mang Cek hanya berendah hati saja. Sebab, benar adanya wartawan adalah profesi yang tak pernah pensiun.

Untuk kesetiaan Mang Cek pada jurnalisme, Mamak Kenut cuma mau bilang, "Sempurna!" n


Lampung Post, Jumat, 21 Juni 2013

Tuesday, June 18, 2013

Wartawan-Cendekiawan (2)

Oleh Udo Z. Karzi


SEBENARNYA, buku Heri Wardoyo, Acropolis, Kerajaan Nalar (2013) adalah buku kumpulan kolom kelima yang lahir dari rahim koran tertua di Lampung ini.

Secara kronologis Lampung Post telah menelurkan buku kumpulan kolom Buras (2004) yang ditulis Bambang Eka Wijaya, penerima penghargaan Museum Rekor-Dunia Indonesia (MURI) sebagai penulis kolom paling produktif tanpa jeda dari 20 Mei 1998 hingga kini.

"Rupanya, kolom Nuansa yang berada di Halaman Opini Lampung Post telah menjadi ruang kreatif-imajinatif bagi jurnalisnya yang menulis di sini secara bergiliran," ujar Mat Puhit. 

Iya benar. Setidaknya, empat buku telah lahir dari penulis di kolom ini. Hesma Eryani mengumpulkan Nuansanya dalam buku Watak Itu Bernama Amplop (2007). Sudarmono menyusul dengan Jujur Saya Tidak Jujur (2010). Lalu, Mamak Kenut: Orang Lampung Punya Coleteh (2012) adalah hasil modifikasi dari nuansa-nuansa Udo Z. Karzi. Dan yang terbaru dan terheboh, Acropolis dari Pak Wabup.

Dalam waktu dekat insya Allah segera lahir pula kumpulan nuansa M. Ikhwanuddin dan Lukman Hakim. Dan, yang paling ditunggu… kolom-kolom cerdas menggigit dari Wakil Pemimpin Umum Lampung Post Djadjat Sudradjat yang rutin menulis Refleksi di Lampung Post Minggu.

"Lampost ini memang komplit. Selain straight news, feature, artikel, dan tajuk; pembaca cerdas juga butuh tulisan esai dan kolom, yang reflektif dan nyeni. Dan itu ada di Lampost," puji Radin Mak Iwoh.

"Sayangnya tulisan di Nuansa itu pendek-pendek," kritik Minan Tunja.

"Jangan salah. Di situlah letak tantangannya, bagaimana menulis pendek dan bagus. Nggak kayak Udien, nulis sih panjang, tetapi jelek...," sahut Pithagoras.

"Bukan begitu...," Alesan Udien yang tak pinter-pinter nulis tak usahlah didenger. Hahaa... 

Menulis esai, menulis kolom itu memadukan ketangkasan nalar dan kepekaan sukma. Dengan ketangkasan nalar, tulisan kita menjadi logis dan dengan kepekaan sukma, tulisan kita menjadi estetis. Kecanggihan nalar itu milik filsuf atau minimal intelektual, sedangkan menulis estetis (baca: nyeni) itu lazim dilakukan pujangga, sastrawan.

Menyatukan kedua hal ini tidak gampang. Maka, rajin-rajinlah menulis Nuansa. Hehee... n


Lampung Post, Selasa, 18 Juni 2013



Monday, June 17, 2013

Wartawan-Cendekiawan (1)

Oleh Udo Z. Karzi


WAKIL Bupati Tulangbawang Heri Wardoyo meluncurkan kumpulan kolomnya Acropolis, Kerajaan Nalar (2013).

Radin Mak Iwoh berkomentar, "Luar biasa. Ini hasil perenungan beberapa bulan di Way Tulangbawang."

Tapi, Mat Puhit langsung menyambar, "Bukan begitu! Buku ini seharusnya terbit lima tahun lalu. Ini kan kumpulan Nuansa HRW (panggilan Heri Wardoyo) tahun 2000-2009). Saat itu kan HRW belum dilantik jadi wabup, bahkan belum nyalon. Ia wartawan!"

Udien melaporkan launcing buku mantan Wakil Pemimpin Redaksi Lampung Post ini  berlangsung dengan semangat kerakyatan di Gedung Serba Guna (GSG) Pemkab Tulangbawang di Menggala, Minggu malam, 2 Juni 2013 lalu.

Mencoba menghadirkan semangat Acropolis di Menggala, acara ini dibuat sesantai mungkin dengan menghadirkan sastrawan-kolumnis beken Emha Ainun Nadjib bersama Kiyai Kanjeng-nya dan budayawan Iwan Nurdaya-Djafar dengan moderator penyair Iswadi Pratama.

Jadilah acara peluncuran buku ini pertemuan antara praktisi dan pemikir. Hadir di antaranya Bupati Tulangbawang Hanan A. Razak, Rektor Unila Sugeng P. Harianto, Ketua Perguruan Tinggi Teknokrat Nasrullah Yusuf, dan Pemimpin Umum Lampung Post Bambang Eka Wijaya.

"Wadoh… kok jadi serius banget, Dien?" sela Minan Tunja.

"Ya sudah cukup sekian laporan peluncuran buku Acropolis dari Menggala," tutup Udien.

Walaupun acara ini diselenggarakan Pemkab Tulangbawang, sesungguhnya yang tengah merayakan akal (nalar) adalah Lampung Post yang — syukur alhamdulillah — masih merawat pergulatan intelektual dan kreativitas para penulis melalui Halaman Opini, Tajuk, Buras, Refleksi, Nuansa, Sastra, Apresiasi, Gagas, dan lain-lain yang menjadi persemaian kecendekiawanan dari berbagai pihak, baik dari jurnalisnya sendiri maupun dari esais, kolumnis, sastrawan, dan para penulis umumnya.

Mamak Kenut bilang, "Saya tak hendak membahas buku HRW. Tapi, sekarang kalau ada yang bertanya bagaimana sih menulis kolom atau esai yang baik, saya tinggal bilang, 'Baca aja Acropolis-nya Heri Wardoyo', " (sembari menambahkan, “Tentu, baca juga Mamak Kenut dkk. Hehee... dan buku-buku kumpulan kolom lainnya.”) n

Monday, May 13, 2013

[Bukan] Tips Mengarang

Oleh Udo Z. Karzi


NGARANG kamu! Mana ada orang bisa terbang,” kata Pinyut doeloe sekali.

Maka, Jules Verne (1828-1905) banyak ngarang tentang jalan-jalan di bulan, main-main ke dalam perut bumi, atau keliling dunia dalam 80 hari dalam fiksi-fiksi ilmiahnya. Dan, benar saja,  apa yang disebut-sebut Verne sebagai kapal selam, pesawat terbang, gedung bertingkat, dan pendaratan manusia di bulan benar terjadi.

Maka ngaranglah. Dan, benar saja, sekarang banyak orang ngarang. Meski kemudian apa yang dikarang itu belum tentu benar-benar terjadi. Atau, dibuatlah karangan seolah-olah hal tersebut benar-benar terjadi.

Orang-orang pintar ngarang sekarang. Dan benar saja, apa-apa dikarang. Sehingga, susah dibedakan mana yang benar, mana yang salah, mana yang abu-abu. Atau, dibuatlah karangan agar yang benar menjadi salah dan yang salah menjadi benar.

Buat yang belum bisa ngarang, berlatihlah main sulap, main petak umpet, atau bersilat lidah dengan benar. Sehingga, putih bisa berubah hitam, sebaliknya yang hitam bisa jadi putih.

***

Sekarang pertanyaannya, siapakah pengarang paling canggih di Indonesia saat ini?

Si pengarang tetralogi Laskar Pelangi, Andre Hirata boleh merasa paling heibat sepenjuru negeri. Sampe-sampe Andre lupa kalo masih ada karya-karya Pramoedya Ananta Toer, Nh. Dini, dll. yang duluan mendunia ketimbang dia.

Tapi, si Andre, bahkan Pram, Nh Dini, dll sastrawan besar yang dimiliki bangsa ini; masih kalah jauh dengan pengarang paling canggih di Indonesia sekarang ini.  Karangan-karangan di pengarang canggih ini nyaris tak terbantahkan; karena “benar” belaka. Nyaris tak ada yang berani protes (karangannya dikritik). Soalnya nggak ada yang berani. Bahkan, jika ada kejanggalan ato nggak logis sekalipun, nyaris tanpa koreksi.

Luar biasa canggih karangan-karangan itu. Alurnya sangat memikat, penokohan sangat kuat, konflik, klimaks, antiklimaks, suspense,  … sangat menarik. Wajar jika media-media, cetak dan elektronik menjadikannya hl berulang-ulang, dibahas, dianalisis… betapa heibatnya si pengarang.

Contoh judul karangan itu adalah: “4 Teroris Lampung Ditangkap”. Waw…

Pokoknya pengarang tiada tanding!

Siapakah? Ada yang bisa jawab? n


Lampung Post, Senin, 13 Mei 2013

Tuesday, February 12, 2013

Main Sunat

Oleh Udo Z. Karzi


"SUNGGUH teganya dirimu teganya teganya teganya teganya.... Pada diriku....," Udien menyanyikan lagu Meggi Z., Senyum Membawa Luka dengan penuh penghayatan.

"Hui, lagi cadang hati tah? Udahlah jangan terlalu dipikir. Entar senewen, kan saya juga yang susah," komentar Pithagiras menghentikan senandung dan bikin Udien esmosi.

"Sapa muneh sai cadang hati. Saya ini lagi kesel ngedenger orang yang memancing di air keruh, menari-nari di atas penderitaan orang lain, cari untung di tengah kesulitan orang banyak....," Udien berapi-api.

"Sabar-sabar Dien, jangan kesurupan," kata Mat Puhit malah bikin Udien tambah berang.

"Orang-orang itu memang tak tahu diri. Sibuk dengan kepentingan sendiri. Inilah yang membuat kita nggak maju-maju. Apa-apa dipotong, apa disunat, apa-apa diambil meski bukan bukan miliknya...." Udien tambah ngos-ngosan.

"Ana kidah, coba tenang dulu, Dien. Apa pasal?" Minan Tunja ikut nimbrung.

Mendengar suara lembut (caelah hehee...) Minan Tunja, Udien mulai mengatur nafasnya dan mulai bercerita. Sejumlah warga mengaku dana bantuan banjir yang disalurkan Pemerintah Kota Bandar Lampung tidak utuh mereka terima.

Warga menerima Rp500 ribu sebagaimana dijanjikan Pemkot, tetapi kemudaian ada pengurus RT yang mendatanginya dan meminta biaya administrasi antara Rp50 ribu hingga Rp100 ribu per keluarga.  "Waktu di kelurahan memang belum dipotong. Sampai di rumah baru diminta seratus ribu," kata Minah, warga RT 04 Kelurahan Gunungmas, Telukbetung Selatan, Minggu (10-2).

"Kelewatan. Mana rasa kemanusiaan mereka. Itu kan jelas-jelas bantuan kepada korban banjir. Kok tega-teganya main sunat. Benar-benar nggak punya hati nurani. Benar-benar tak punya perikemanusiaan. Benar-benar tak beradab. Benar-benar...," giliran Mat Puhit yang geram.

"Induh api aga cawa (entah apa yang harus dikatakan). Kok masih saja ada tak punya perasaan seperti itu...." ucap Minan Tunja. n


Lampung Post, Selasa, 12 Februari 2013

Wednesday, January 23, 2013

Jimmy dan Khomeini Punya Cerita

Oleh Udo Z. Karzi


JIMMY Alibaba. Jangan macam-macam ini orang penting di kantor Udien. "Saya nggak pernah takut kalau ada serangan. Soalnya ada Jimmy yang bertindak sebagai pengaman dan pendamai," kata Udien tentang komputer jangkriknya yang suka hang, error, atau ngadat.

Bukan Jimmy ini yang dimaksud, melainkan Jimmy Carter Presiden Amerika Serikat (AS) ke-39 (1977-1981) dari Partai Demokrat. Lahir sebagai James Earl Carter, Jr. di Plains, Georgia, 1 Oktober 1924, Jimmy Carter adalah penerima Nobel Perdamaian 2002. Sebelum menjadi presiden, Carter selama dua periode menjabat Senat Georgia dan Gubernur Georgia yang ke-76 (1971 - 1975).

Salah satu kejadian kontroversial semasa ia menjabat presiden adalah penyanderaan warga Amerika selama kurang lebih 450 hari di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Teheran, Iran dan berakhirnya perselisihan antara Mesir dan Israel.

***

Ayatullah Khomeini yang bernama lengkap Sayyid Ayatollah Ruhollah Khomeini lahir di Khomein, Provinsi Markazi, 24 September 1902 – meninggal di Teheran, Iran, 3 Juni 1989. Ia adalah tokoh Revolusi Iran dan merupakan Pemimpin Agung Iran pertama (1979-1989). Ia belajar teologi di Arak dan kemudian di kota suci Qom. Di sinilah ia mengambil tempat tinggal permanen dan mulai membangun dasar politik untuk melawan keluarga kerajaan Iran, khususnya Shah Mohammed Reza Pahlavi. Dibuang ke Turki, pindah ke Irak, lalu ke Paris sembari terus menggelorakan perlawanan sampai kemudian menjadi Pemimpin Spiritual Iran pada 1979.

***

Nah, M. Jimmy Khomeini Erchan, anggota DPRD Bandar Lampung (2009-2014) dari Partai Gerindra menggabungkan dua nama dahsyat ini. "Orang tua saya ingin saya seperti Jimmy Carter dan Ayatullah Khomeini," kata Jimmy Khomeini kepada wartawan suatu kali.

Pria kelahiran Bandar Lampung, 7 April 1980 ini pekan-pekan terakhir ini bikin cerita seru. Tidak ada kaitannya dengan fungsi dan perannya sebagai legislator, tetapi sisi lain yang membuatnya layiknya selebrintik.

Seperti dilaporkan Udien, Satuan Reserse Narkoba menangkapnya anggota Komisi A bersama tiga orang lainya tengah pesta narkoba di sebuah tempat, Jumat, 11 Januari 2013.

Kisahnya bertambah menarik karena sehari setelah ditangkap, Polresta Bandar Lampung melepas tiga (salah satunya Jimmy) dari empat tersangka pengguna narkoba. Badan Kehormatan (BK) DPRD Bandar Lampung pun bersikap ragu-ragu terhadap kasus ini.    

Lalu, pelisi menyatakan hasil tes urine Jimmy positif mengandung narkoba. Tapi Jimmy bilang, "Saya tidak pakai sabu!" Itu ditegaskannya berkali-kali.

Konon,  tes urine terhadap empat orang itu dinyatakan positif mengandung narkoba, tetapi polisi hanya menetapkan Yan Petot sebagai tersangka.

Dan benar -- dari gelar perkara di Mapolres Bandar Lampung, Jumat, 18 Januari 2013 -- Jimmy  dan dua rekannya yang terbukti mengonsumsi narkoba tak dapat dipidana dengan alasan tak cukup bukti.

***

Bagaimana kisah selanjutnya? Biarlah Jimmy dan Khomeini yang punya cerita yang meneruskannya... n


Lampung Post, Rabu, 23 Januari 2013

Wednesday, January 16, 2013

Ungkolan Award

Oleh Udo Z. Karzi

MAT Puhit gondok luar biasa melihat reaksi banyak pihak yang masih saja mengagung-agungkan RSBI dan menyesal dunia akherat begitu Mahkamah Konstitusi (MK) membubarkan RSBI/SBI.

"Sebenarnya bagaimana kekuatan hukum keputusan MK itu," tanya Pithagiras.

"Hai, masa iya MK mau dilawan," kata Udien esmosi.

"Tapi kenyataannya kok masih banyak yang justru menyalahkan keputusan MK itu," kata Minan Tunja.  

"Ya biar aja. Keputusan MK itu jelas: mengabulkan uji materi terhadap Pasal 50 Ayat 3 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang mengatur pembentukan sekolah bertaraf internasional. Alasannya pun jelas: Majelis hakim konstitusi menilai pembentukan SBI berpotensi mengikis rasa bangga dan karakter nasional. Hal ini bertentangan dengan konstitusi yang menganjurkan pemerintah untuk semakin meningkatkan rasa bangga dan membina karater bangsa," jelas Udien.

"Pembubaran RSBI itu kemunduran bagi dunia pendidikan. Di era global, kok kita kembali ke zaman tradisional," kata Radin Mak Iwoh.

"Ai, Radin kalo udah ngomong kek gitu kayak Pak Nuh (Mendikbud Mohammad Nuh) aja lo," ledek Udien.

"Lo, kan memang benar RSBI itu sekolah bermutu...," sahut Radin Mak Iwoh lagi.

"Ai, Radin sih enak. Banyak duit. Kerjanya duduk di belakang meja aja. Sekali-kali blusukan geh ke sekolah-sekolah biar tahu keadaan yang sebenarnya. RSBI itu nggak adil, udah dikasih sumbangan dari pusat, pemprov, pemkot/pemkab, kok masih mungut uang dari orang tua siswa...," sambar Mat Puhit.

"Eh, sekolah berkualitas itu ya memang mahal...," kata Radin lagi.

"Ah, udah ah. Kita nggak usah ungkolan (ngeyel). Sudah diputuskan MK: RSBI bubar. Mau apa lagi?"

"Ungkolan gimana, maksudnya?"

"Begini, sudah nyata-nyata pasal yang mengatur RSBI di-delete, e.. Mendikbud Mohammad Nuh ngomong, 'RSBI bukan ideologi haram. Sampai saat ini RSBI berjalan seperti biasa' atau 'RSBI akan diganti dengan menyelenggarakan sekolah berkategori mandiri' (Minggu, 13 Januari 2013)."

"Gegoh gawoh, sudah tahu MK membubarkan RSBI,  Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini, menyatakan akan tetap mempertahankan RSBI di kotanya, meskipun kemudian diralatnya sendiri."

"Soal ungkolan, memang Kemendikbud memang juaranya. UN dah diminta dihentikan oleh MA, tetapi jalan terus. Begitu juga dengan BHPT dibubarkan MK, oleh Kemendikbud dibuat lagi lembaga serupa tapi tak sama."

Setelah lama diam, Mamak Kenut bersabda (hehhee...), "Memang, Kemendikbud beserta jajaran di bawahnya dengan komandan pucuknya Mohammad Nur layak mendapat Ungkolan Award. Tahu inkonstitusional, kok masih aja...."

Hahaaa....  n


Lampung Post, Rabu, 16 Januari 2013



Saturday, January 5, 2013

Daftar Penderitaan Rakyat

Oleh Udo Z. Karzi

BARU tiga hari dalam kalender baru 2013. Mamak Kenut mulai melihat sejumlah penderitaan rakyat  terpampang jelas bagi warga Negarabatin.

Membuka lembar pertama kalender, kita disodorkan kenyataan bagaimana pemerintah menaikkan tarif dasar listrik 15% yang didistribusikan secara bertahap per triwulan. PT PLN (Persero) menaikkan tarif dengan besaran penaikan yang berbeda untuk tiap-tiap golongan listrik.

Sementara infrastruktur jalan hancur di mana-mana, angka kemiskinan dan angka putus sekolah yang masih tinggi; kualitas pelayanan publik oleh aparat pemerintah yang hampir tidak pernah memuaskan.

Pertumbuhan ekonomi boleh tinggi, tetapi ketimpangan sosial kian menganga. Berikutnya ada trend peningkatan kejahatan dan aksi main hakim sendiri di kalangan masyarakat.

Pada gilirannya, ada kecenderungan menipisnya soliditas warga, hilangnya kepercayaan pada nilai-nilai budaya, dan mudahnya terjadi letupan konflik, kekerasan, dan kerusuhan.  

Mengiring musim penghujan, bencana alam mulai mengancam. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memprediksi akan terjadi bencana hidrometeorologi yang lebih dominan ketimbang bencana geologis, seperti gempa bumi dan gunung meletus, pada tahun ini.

Bencana yang sifatnya hidrometeorologi, seperti banjir, tanah longsor, puting beliung, kekeringan, kebakaran lahan, dan hutan, serta gelombang pasang mendominasi sampai 80% dari total bencana bila dibandingkan bencana geologi, sosial, serta biologis.

Rumah, sekolah, jalan, sawah, dan infrastruktur lain yang rusak akibat bencana alam mengakibatkan terganggunya aktivitas masyarakat, mengurangi produktivitas, dan ancaman gagal panen bagi petani. Sempat pula berjangkit wabah flu burung.

Berikutnya, korban demam berdarah dengue (DBD) terus berjatuhan di Kecamatan Ketapang, Lampung Selatan. Setelah dua bocah di Desa Sripendowo meninggal dunia, tiga bocah di Desa Legundi mengalami nasib sama.

Daftar penderitaan rakyat ini boleh jadi akan bertambah-tambah manakala kaum pelitisi mulai turun dan mulai jualan kecap dengan menjadikan "kususahan rakyat" sebagai komoditas. Sementara pemerintah (daerah) sulit diharapkan untuk meringankan beban rakyat karena justru minta dilayani. Tinggal Minan Tunja bersama rakyat yang bersenandung, "Ya nasib, ya nasib..."  


Lampung Post, Sabtu, 5 Januari 2013

Thursday, January 3, 2013

Idiot-logi

Oleh Udo Z. Karzi

SIAP-SIAP, 2013 adalah tahun pelitik. Orang-orang tambah mabuk kuasa. Kalau tahun-tahun sebelumnya sudah banyak pelitikus kagetan -- pinjam omongannya Garin Nugroho -- maka tahun ini semakin banyak pelitikus kagetan.

Ciri-ciri pelitikus kagetan, menurut Garin, adalah pelitikus yang tidak siap menghidupi negara besar ini. Pelitikus ini hanya menghidupi kepentingan kecil kekuasaan itu sendiri untuk dirinya sendiri sehingga pekerjaan rumah mereka hanya sibuk dengan politik menyelamatkan kekuasaan mereka.

"Itulah kalau ber-pelitik tanpa ideologi," kata Jum'an Farozi.

"Ah, nggak juga. Ideologi mereka jelas kok," bela Radin Mak Iwoh.

"Apa? Duit?" sahut Minan Tunja sinis.

"Adalah Daniel Bell yang menyatakan "kematian ideologi" (the end of ideology) pada 1060-an," kata Mat Puhit.

"Sok pandai niku. Memang, apa kata Daniel," sambar Pithagiras.

"Mamak Daniel bilang, kapitalisme saat ini telah menggurita dan menghegemoni. Artinya, ideologi lain telah dianggapnya mati dan tak berdaya."

"Tu kan, apa saya bilang, pelitikus-pelitikus kagetan ini mestilah berhitungnya untung rugi melulu," kata Minan Tunja.

"Cilaka betul. Masa main pelitik kok cuma cari sumber daya belaka," sambar Udien.

"Tapi, itu kan faktanya. Mana mungkin orang rebutan jadi pemimpin kalau nggak soal duit. Buat ngerebut juga pakai duit juga. Kalau jadi, ya harus bisa mengembalikan dana yang sudah dikeluarkan," terang Radin Mak Iwoh.

"Akibatnya pelitik-nya kotor."

"Namanya juga pelitik. Mana bisa main lurus..."

"Kalau ber-pelitik yang sopanlah, kalau bertindak pakai etikalah, kalau berdemo yang tertiblah..."

"Dasar idiot!" maki Mat Puhit.

"Nah, itu... Pelitikus kebanyakan pakai idiot-logi," kata Mamak Kenut.

Agui kidah!


Lampung Post, Kamis, 3 Januari 2013