Oleh Udo Z. Karzi
SEBENARNYA, buku Heri Wardoyo, Acropolis, Kerajaan Nalar (2013) adalah buku kumpulan kolom kelima yang lahir dari rahim koran tertua di Lampung ini.
Secara kronologis Lampung Post telah menelurkan buku kumpulan kolom Buras (2004) yang ditulis Bambang Eka Wijaya, penerima penghargaan Museum Rekor-Dunia Indonesia (MURI) sebagai penulis kolom paling produktif tanpa jeda dari 20 Mei 1998 hingga kini.
"Rupanya, kolom Nuansa yang berada di Halaman Opini Lampung Post telah menjadi ruang kreatif-imajinatif bagi jurnalisnya yang menulis di sini secara bergiliran," ujar Mat Puhit.
Iya benar. Setidaknya, empat buku telah lahir dari penulis di kolom ini. Hesma Eryani mengumpulkan Nuansanya dalam buku Watak Itu Bernama Amplop (2007). Sudarmono menyusul dengan Jujur Saya Tidak Jujur (2010). Lalu, Mamak Kenut: Orang Lampung Punya Coleteh (2012) adalah hasil modifikasi dari nuansa-nuansa Udo Z. Karzi. Dan yang terbaru dan terheboh, Acropolis dari Pak Wabup.
Dalam waktu dekat insya Allah segera lahir pula kumpulan nuansa M. Ikhwanuddin dan Lukman Hakim. Dan, yang paling ditunggu… kolom-kolom cerdas menggigit dari Wakil Pemimpin Umum Lampung Post Djadjat Sudradjat yang rutin menulis Refleksi di Lampung Post Minggu.
"Lampost ini memang komplit. Selain straight news, feature, artikel, dan tajuk; pembaca cerdas juga butuh tulisan esai dan kolom, yang reflektif dan nyeni. Dan itu ada di Lampost," puji Radin Mak Iwoh.
"Sayangnya tulisan di Nuansa itu pendek-pendek," kritik Minan Tunja.
"Jangan salah. Di situlah letak tantangannya, bagaimana menulis pendek dan bagus. Nggak kayak Udien, nulis sih panjang, tetapi jelek...," sahut Pithagoras.
"Bukan begitu...," Alesan Udien yang tak pinter-pinter nulis tak usahlah didenger. Hahaa...
Menulis esai, menulis kolom itu memadukan ketangkasan nalar dan kepekaan sukma. Dengan ketangkasan nalar, tulisan kita menjadi logis dan dengan kepekaan sukma, tulisan kita menjadi estetis. Kecanggihan nalar itu milik filsuf atau minimal intelektual, sedangkan menulis estetis (baca: nyeni) itu lazim dilakukan pujangga, sastrawan.
Menyatukan kedua hal ini tidak gampang. Maka, rajin-rajinlah menulis Nuansa. Hehee... n
Lampung Post, Selasa, 18 Juni 2013
SEBENARNYA, buku Heri Wardoyo, Acropolis, Kerajaan Nalar (2013) adalah buku kumpulan kolom kelima yang lahir dari rahim koran tertua di Lampung ini.
Secara kronologis Lampung Post telah menelurkan buku kumpulan kolom Buras (2004) yang ditulis Bambang Eka Wijaya, penerima penghargaan Museum Rekor-Dunia Indonesia (MURI) sebagai penulis kolom paling produktif tanpa jeda dari 20 Mei 1998 hingga kini.
"Rupanya, kolom Nuansa yang berada di Halaman Opini Lampung Post telah menjadi ruang kreatif-imajinatif bagi jurnalisnya yang menulis di sini secara bergiliran," ujar Mat Puhit.
Iya benar. Setidaknya, empat buku telah lahir dari penulis di kolom ini. Hesma Eryani mengumpulkan Nuansanya dalam buku Watak Itu Bernama Amplop (2007). Sudarmono menyusul dengan Jujur Saya Tidak Jujur (2010). Lalu, Mamak Kenut: Orang Lampung Punya Coleteh (2012) adalah hasil modifikasi dari nuansa-nuansa Udo Z. Karzi. Dan yang terbaru dan terheboh, Acropolis dari Pak Wabup.
Dalam waktu dekat insya Allah segera lahir pula kumpulan nuansa M. Ikhwanuddin dan Lukman Hakim. Dan, yang paling ditunggu… kolom-kolom cerdas menggigit dari Wakil Pemimpin Umum Lampung Post Djadjat Sudradjat yang rutin menulis Refleksi di Lampung Post Minggu.
"Lampost ini memang komplit. Selain straight news, feature, artikel, dan tajuk; pembaca cerdas juga butuh tulisan esai dan kolom, yang reflektif dan nyeni. Dan itu ada di Lampost," puji Radin Mak Iwoh.
"Sayangnya tulisan di Nuansa itu pendek-pendek," kritik Minan Tunja.
"Jangan salah. Di situlah letak tantangannya, bagaimana menulis pendek dan bagus. Nggak kayak Udien, nulis sih panjang, tetapi jelek...," sahut Pithagoras.
"Bukan begitu...," Alesan Udien yang tak pinter-pinter nulis tak usahlah didenger. Hahaa...
Menulis esai, menulis kolom itu memadukan ketangkasan nalar dan kepekaan sukma. Dengan ketangkasan nalar, tulisan kita menjadi logis dan dengan kepekaan sukma, tulisan kita menjadi estetis. Kecanggihan nalar itu milik filsuf atau minimal intelektual, sedangkan menulis estetis (baca: nyeni) itu lazim dilakukan pujangga, sastrawan.
Menyatukan kedua hal ini tidak gampang. Maka, rajin-rajinlah menulis Nuansa. Hehee... n
Lampung Post, Selasa, 18 Juni 2013
No comments:
Post a Comment