Oleh Udo Z Karzi
"NIKU ngehaman yu," ucap Rafathar Malik Ahmad, anak pasangan selebriti Raffi Ahmad dan Nagita Slavina (Tribun Lampung, 3/8/2018).
Tapi, saya tak diminta menanggapi Rafathar yang belajar bahasa Lampung dengan pengasuhnya, Shella Lala, yang warga Waykanan, Lampung. Jadi, saya ngomong apa adanya -- dan cenderung oon, hehee... -- tentang kondisi bahasa Lampung terkini ketika ditanya wartawan Tribun Lampung, 2/8/2018. Petikannya:
"Menurut Udo bagaimana perkembangan bahasa Lampung saat ini?"
Bahasa dan sastra Lampung hidup segan mati tak mau. Antara ada dan tiada.
"Kenapa begitu?"
Dari komposisi penduduk di Lampung berdasarkan etnis, suku Lampung itu minoritas. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Lampung, 2010, menyebutkan, dari total 7.608.405 jiwa,
etnis Jawa 63,84%
Lampung 13,51%
Sunda 9,58%
Banten 2,27%
etnis asal Sumatera Selatan 5,47%
Bali 1,38%
Minangkabau 0,92%
Tionghoa 0,53%
Bugis 0,28%
Batak 0,69%
Lain-lain 1,21%
13,51% suku Lampung itu pun tidak semua penutur bahasa Lampung. Dalam kondisi seperti itu, bahasa Lampung secara alami termarginalkan.
Apalagi kebijakan pemda untuk membina bahasa dan sastra Lampung hanya sporadis.
Pihak perguruan tinggi di Lampung yang diharapkan bisa mendorong kemajuan bahasa lampung juga masih jauh panggang dari api.
"Dari yang sedikit ini, apakah mereka melestarikan bahasa Lampung? Atau, justru juga sudah tergerus?"
Ya, ada sebagian masrakakat Lampung di beberapa daerah yang tetap mempertahankan bahasa dan sastra sejalan dengan mereka juga mempertahankan adat-istiadat.
"Bagaimana dengan pendidikan bahasa Lampung selama ini?"
Karena kesalahan paradiigma, pendidikan bahasa Lampung yang diajarkan di sekolah, dari tingkat sekolah dasar hingga SLTA tidak membuat siswa bisa berbahasa Lampung. Alih-alih menambah jumlah penutur bahasa Lampung, yang terjadi justru kebingungan dari siswa, guru, dan orang tua.
"Mengapa menimbulkan kebingungan?"
Dua dialek, A (api) dan O (nyo) diajarkan sekaligus. Bahasa mana di dunia yang diajarkan seperti bahasa Lampung? Misalnya, belajar bahasa Inggris, kita bisa memilih Inggris Amerka, Inggris British, Inggris Australia, atau Inggris mana.
Saya bisa mengajari anak saya dialek api karena pengalaman berbahasa Lampung saya dialek api. Tapi, di sekolah anak saya diajari (dan harus!) juga bahasa Lampung dialek nyo.
Ya, anak saya bingung dan saya juga :)
Bahasa Lampung yang diajarkan juga tidak praktis: bukan bahasa Lampung percakapan.
"Bukankah ada pergub dan perbup soal bahasa Lampung ini. Apakah itu sudah ada pengaruhnya terhadap pengembangan bahasa Lampung?"
Ya, ada Peraturan Gubernur Lampung Nomor 39 Tahun 2014 tentang Mata Pelajaran Bahasa dan Aksara Lampung sebagai Muatan Lokal Wajib pada Jenjang Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
Kalau Perbupnya saya kurang tahu ada tidak bupati yang melahirkan Perbup sebagai turunan Pergub ini.
Saya menduga Pergub ini tidak tersosialisasi dengan baik hingga ke daerah.
Akibatnya, pengembangan bahasa Lampung di daerah-daerah pun karut-marut. Misalnya, banyak SMA yang tidak mengajarkan bahasa Lampung.
"Kalau tidak salah, pelajaran bahasa Lampung ini masuk di kurikulum SD, SMP dan SMA ya?"
Lampung ini aneh sih. Pendikan bahasa Lampung ada di SD, SMP, dan S2. Sedangkan SMA dan S1 blank... :)
Ya, berdasarkan Pergub 39/2014, bahasa dan aksara Lampung wajib dari SD, SMP hingga SMA. Tapi Pergub ini suka diabaikan di tingkat SMA/sederajat.
Masalahnya juga, pelajaran bahasa Lampung di sekolah itu tidak melatih siswa bisa berbahasa Lampung (berbicara, mendengar, membaca, dan menulis).
"Intinya, belum ada upaya yang signifikan ya untuk mendorong tutur bahasa Lampung ini?"
Pertanyaannya, pihak manakah yang mendorong perkembangan bahasa Lampung? Terus apa saja kerjanya? Kan tidak terdengar...
Cuma sesekali tiba-tiba ada yang menang lomba pidato bahasa Lampung atau meraih Hadiah Sastra Rancage. :) Begitu saja. Sangat sporadis. tidak sistematis, tidak intensif, dan tidak sinambung. []
Sabtu, 4 Agustus 2018
"NIKU ngehaman yu," ucap Rafathar Malik Ahmad, anak pasangan selebriti Raffi Ahmad dan Nagita Slavina (Tribun Lampung, 3/8/2018).
Tapi, saya tak diminta menanggapi Rafathar yang belajar bahasa Lampung dengan pengasuhnya, Shella Lala, yang warga Waykanan, Lampung. Jadi, saya ngomong apa adanya -- dan cenderung oon, hehee... -- tentang kondisi bahasa Lampung terkini ketika ditanya wartawan Tribun Lampung, 2/8/2018. Petikannya:
"Menurut Udo bagaimana perkembangan bahasa Lampung saat ini?"
Bahasa dan sastra Lampung hidup segan mati tak mau. Antara ada dan tiada.
"Kenapa begitu?"
Dari komposisi penduduk di Lampung berdasarkan etnis, suku Lampung itu minoritas. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Lampung, 2010, menyebutkan, dari total 7.608.405 jiwa,
etnis Jawa 63,84%
Lampung 13,51%
Sunda 9,58%
Banten 2,27%
etnis asal Sumatera Selatan 5,47%
Bali 1,38%
Minangkabau 0,92%
Tionghoa 0,53%
Bugis 0,28%
Batak 0,69%
Lain-lain 1,21%
13,51% suku Lampung itu pun tidak semua penutur bahasa Lampung. Dalam kondisi seperti itu, bahasa Lampung secara alami termarginalkan.
Apalagi kebijakan pemda untuk membina bahasa dan sastra Lampung hanya sporadis.
Pihak perguruan tinggi di Lampung yang diharapkan bisa mendorong kemajuan bahasa lampung juga masih jauh panggang dari api.
"Dari yang sedikit ini, apakah mereka melestarikan bahasa Lampung? Atau, justru juga sudah tergerus?"
Ya, ada sebagian masrakakat Lampung di beberapa daerah yang tetap mempertahankan bahasa dan sastra sejalan dengan mereka juga mempertahankan adat-istiadat.
"Bagaimana dengan pendidikan bahasa Lampung selama ini?"
Karena kesalahan paradiigma, pendidikan bahasa Lampung yang diajarkan di sekolah, dari tingkat sekolah dasar hingga SLTA tidak membuat siswa bisa berbahasa Lampung. Alih-alih menambah jumlah penutur bahasa Lampung, yang terjadi justru kebingungan dari siswa, guru, dan orang tua.
"Mengapa menimbulkan kebingungan?"
Dua dialek, A (api) dan O (nyo) diajarkan sekaligus. Bahasa mana di dunia yang diajarkan seperti bahasa Lampung? Misalnya, belajar bahasa Inggris, kita bisa memilih Inggris Amerka, Inggris British, Inggris Australia, atau Inggris mana.
Saya bisa mengajari anak saya dialek api karena pengalaman berbahasa Lampung saya dialek api. Tapi, di sekolah anak saya diajari (dan harus!) juga bahasa Lampung dialek nyo.
Ya, anak saya bingung dan saya juga :)
Bahasa Lampung yang diajarkan juga tidak praktis: bukan bahasa Lampung percakapan.
"Bukankah ada pergub dan perbup soal bahasa Lampung ini. Apakah itu sudah ada pengaruhnya terhadap pengembangan bahasa Lampung?"
Ya, ada Peraturan Gubernur Lampung Nomor 39 Tahun 2014 tentang Mata Pelajaran Bahasa dan Aksara Lampung sebagai Muatan Lokal Wajib pada Jenjang Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
Kalau Perbupnya saya kurang tahu ada tidak bupati yang melahirkan Perbup sebagai turunan Pergub ini.
Saya menduga Pergub ini tidak tersosialisasi dengan baik hingga ke daerah.
Akibatnya, pengembangan bahasa Lampung di daerah-daerah pun karut-marut. Misalnya, banyak SMA yang tidak mengajarkan bahasa Lampung.
"Kalau tidak salah, pelajaran bahasa Lampung ini masuk di kurikulum SD, SMP dan SMA ya?"
Lampung ini aneh sih. Pendikan bahasa Lampung ada di SD, SMP, dan S2. Sedangkan SMA dan S1 blank... :)
Ya, berdasarkan Pergub 39/2014, bahasa dan aksara Lampung wajib dari SD, SMP hingga SMA. Tapi Pergub ini suka diabaikan di tingkat SMA/sederajat.
Masalahnya juga, pelajaran bahasa Lampung di sekolah itu tidak melatih siswa bisa berbahasa Lampung (berbicara, mendengar, membaca, dan menulis).
"Intinya, belum ada upaya yang signifikan ya untuk mendorong tutur bahasa Lampung ini?"
Pertanyaannya, pihak manakah yang mendorong perkembangan bahasa Lampung? Terus apa saja kerjanya? Kan tidak terdengar...
Cuma sesekali tiba-tiba ada yang menang lomba pidato bahasa Lampung atau meraih Hadiah Sastra Rancage. :) Begitu saja. Sangat sporadis. tidak sistematis, tidak intensif, dan tidak sinambung. []
Sabtu, 4 Agustus 2018
No comments:
Post a Comment