Monday, May 21, 2018

Konsumtivisme

Oleh Udo Z Karzi


SITUASI genting, hindarilah mal, pusat perbelanjaan, dan tempat-tempat keramaian.

“Gak segitunya kali…”

Ya, benarlah. Hari-hari ini begitu mengkhawatirkan.

“Ya, teror bom masih saja menghantui!”

Bukan kok.

“Jadi, apa kalau bukan?”

Bukan bom kok. Sungguh! Sekarang harga yang meneror. Tanggal 1 masih lama. THR apalagi, masih belum jelas … Apa gak stres kalau dekat mal atau tempat-tempat yang memaksa kita membuka dompet.

“Ai dah kidah niku inji…. Dasar!”

***

Demikianlah, sejumlah harga komoditas pangan di pasar tradisional mulai merangkak naik. Harga barang  pokok berpotensi  naik signifikan seiring dengan tingginya kebutuhan masyarakat saat bulan suci Ramadan.

Selain masalah pasokan, permintaan masyarakat semakin meningkat yang tak dibarengi ketersediaan stok juga dinilai menimbulkan kekhawatirkan.  Selain itu,  ketersediaan tenaga kerga  pekerja yang kemungkinan besar bakal berkurang karena libur Lebaran juga akan memicu kenaikan ongkos. Hal itu yang mendorong kenaikan harga.

Baca Juga:  Hiburan Malam di Bandar Lampung Buka Saat Ramadan
Pemicu lainnya,  kenaikan ongkos seiring dengan meningkatnya permintaan, serta tunjangan Hari Raya (THR) yang mesti diberikan kepada pekerja dan juga bonus. Kondisi ini membuat pedagang mesti ambil dari keuntungan tambahan jika ada kenaikan biaya seperti itu.

***

Di samping sisi spiritual, kehadiran Ramadan menjadi rutinitas yang tidak boleh dilewatkan begitu saja, termasuk untuk meraih keuntungan material sebanyak-banyaknya. Mungkin jauh sebelum datangnya bulan yang penuh rahmat ini, berbagai pusat perbelanjaan telah menyulap bangunan-bangunannya dengan nuansa-nuansa “Islami” yang seakan-akan memproklamirkan diri bahwa mal-mal tersebut juga sudah “meng-Islam-kan” diri menyongsong datangnya bulan Ramadhan.

Karena sudah sedemikian “Islami”-nya pusat-pusat perbelanjaan tersebut,  umat Islam pun merasa tidak perlu ragu lagi untuk lebih memilih berbondong-bondong melangkahkan kaki memasuki gedung-gedung tersebut dibandingkan dengan menenggelamkan diri dalam mesjid-mesjid atau surau-surau di kampung.

Baca Juga:  Pemkab Mesuji Sesuaikan Jam Kerja ASN Selama Ramadan
Akibatnya, sudah barang tentu shaf-shaf (barisan) sholat terawih yang pada awal datangnya bulan Ramadan seakan tidak tertampung menjadi semakin maju dan hanya menyisakan satu atau dua baris saja, itupun didominasi oleh orang-orang sepuh dan anak-anak yang masih bersemangat untuk mendapatkan tanda tangan dari imam maupun pemberi kultum sebagai bagian dari tugas sekolah.

Gambaran ini tentu saja menegaskan suatu ironi kemenangan mutlak budaya konsumerisme dalam menghadapi datangnya bulan Ramadhan yang pada hakekatnya mengajarkan kepada umat manusia untuk mampu mengendalikan diri, termasuk didalamnya perilaku konsumtif.

Lahirnya masyarakat konsumtif merupakan salah satu tantangan besar yang harus dihadapi oleh para pemegang otoritas keagamaan. Pencitraan diri (self-identity) yang selama ini seringkali dinisbahkan pada nilai-nilai agama, telah mengalami pergeseran yang luar biasa dalam masyarakat konsumtif.

Ancaman akan munculnya berbagai dampak negatif dari perilaku konsumtif pun bisa menimpa masyarakat kita. Maraknya industri periklanan, dengan berbagai kelihaiannya dalam membentuk opini publik, yang mendorong kita untuk berperilaku konsumtif tetap terasa lebih dahsyat dan mampu memperdaya konsumen.

Baca Juga:  Bersama Warga Negeri Sakti, Ridho Gelar Pengajian Songsong Ramadan
Upaya untuk menumbuhkan kesadaran akan bahaya perilaku konsumtif perlu segera ditanamkan oleh berbagai pihak. Momen kehadiran bulan Ramadan seharusnya bisa dimanfaatkan secara optimal untuk mencegah munculnya masyarakat konsumtif dengan berbagai dampak negatif yang akan ditimbulkannya.

Sebagai suatu bulan yang umat Islam diwajibkan untuk berpuasa, Ramadhan sejatinya mengajarkan kepada kita untuk tidak berlebihan dalam berperilaku konsumtif agar bisa muncul rasa empati dalam diri kita akan penderitaan saudara-saudara kita yang harus menahan lapar setiap hari karena ketiadaan pangan.

***

Selamat menjalankan ibadah puasa buat yang menjalankannya. Selamat berbuka pada saatnya nanti. Semoga kita masuk dalam golongan umat yang terberkati. Amiin.

Tabik. []



Fajar Sumatera, Senin, 21 Mei 2018 

Sunday, May 20, 2018

Istana Tapak Siring

Oleh Udo Z Karzi


TINGGALAN arkeologis Buay Nyerupa --salah satu kebuaian -- di Sukau, Lampung Barat. Tinggalan tersebut berupa lokasi bekas kampung lama dan beberapa benda regalia.

Bangunan istana (kraton) Buay Nyerupa di Sukau tidak dapat dilacak karena musnah akibat kebakaran. Sultan Buay Nyerupa saat ini adalah Sultan Salman Parsi, sultan ke-22. Regalia istana masih ada disimpan Suheb, adik Sultan Parsi.

Pusat istana Buay Nyerupa sebelum di Sukau berada di Tapak Siring. Di lokasi tersebut ditemukan batu telapak kerbau dan makam poyang Buay Nyerupa.

Pertama, Situs Tapak Siring di Bukit Katai, Dusun Kunyaian, Pekon Tapak Siring, Kecamatan Sukau. Pada puncak bukit terdapat areal yang dibatasi jurang dan parit. Di lokasi ini ditemukan dua batu yang disebut penduduk dengan Batu Batai.
Kedua, Makam Adipati Sebrak Bumi dan istri di lereng sebelah barat Bukit Katai. Adipati Sebrak Bumi adalah moyang Buay Nyerupa.

Ketiga, perangkat keratuan (regalia), yang diperlakukan khusus dan ditempatkan di tempat tertinggi, yaitu para istana. Benda-benda tersebut adalah pedang naga, piring benawa, tempat lilin, payan (tombak), keris, badik, pedang, panekuan, penginangan, tempat rokok, dan piring.

...
Sumber: Nanang Saptono, dkk. 2014. //Khasanah Budaya Lampung//. Serang: Balai Pelestarian Cagar Budaya Serang. Hlm 93--98.


20 Mei 2018