Wednesday, May 29, 2019

Kunyaian, Istana Tapak Siring, dan Novel 7 Manusia Harimau

Oleh Udo Z Karzi


SUDAH lama ingin menulis ini, tetapi baru kesempatan. Tak aktual tak apa...

Diberitakan, empat rumah warga Pemangku Kunyaian Tatai, Pekon Tapak Siring, Kecamatan Sukau, Kabupaten Lampung Barat ludes terbakar, Minggu, 19 Mei 2019 lalu. "Peristiwa yang terjadi sekira pukul 12.20 WIB itu menghanguskan rumah warga yakni Kausar, M Khotwah, Din Ayu, dan Rasim," kata Peratin Tapak Siring Yantom.

Tentu, saya ikut sedih dan prihatin membaca kabar dari tanah kelahiran ini. Tapi, lebih sedih lagi karena sampai sekian lama tidak ada yang menyinggung-nyinggung 'sejarah' yang disimpan rapi oleh Kunyaian atau Tapak Siring. Di balik musibah, ada hikmah. Mungkin, kebakaran yang terjadi ingin memberi tahu dunia bahwa ada sebuah tempat yang bernama Kunyaian dan Tapak Siring.

Dan, begitu mendengar dua nama ini saya langsung tersentak. Sebagai ulun Lampung yang sering mendapatkan cerita tumbai (tempo doeloe) dari orang-orang tua dan beberapa bacaan lama, saya merasakan getaran tersendiri tentang nama ini. Nama Kunyaian dan Tapak Siring setidaknya menghubungkan ingatan saya dengan dua hal:

Pertama, tentang keberadaan Istana (Kraton) Buay Nyerupa di Kunyaian, Tapak Siring, Sukau, Lampung Barat. (Lihat: Istana Tapak Siring)

Kedua, tentang novel, film, dan serial //7 Manusia Harimau// yang mengambil latar dusun Kumayan, yang mirip-mirip dengan Kunyaian dan memiliki kaitan dengan legenda di Lampung Barat. (Lihat: Sinetron, Harimau, Umpu Nyerupa.. )


Rabu, 29 Mei 2019

Sunday, May 19, 2019

Rancak Bana

Oleh Udo Z Karzi


LEBARAN-LEBARAN selalu mengingatkan saya pada kampung halaman. Lahir di tengah masyarakat petani kopi di Liwa, Lampung Barat, saya merasa betapa besarnya anugerah Sang Pencipta atas kesuburan tanah Bumi Sekala Brak ini.

Cerita tentang nasib baik dan nasib buruk petani kopi juga mewarnai keluarga kami turun-menurun bergenerasi-generasi puluhan tahun, bahkan ratusan tahun silam.

"Kopi inilah. Tak ada tanaman lain," kata Abdul Hakim, tamong (kakek) saya almarhum.

Bagi Tamong Hakim, bertani itu ya berkebun kopi. Yang lain-lain seperti bersawah, bertanam sayuran dan buah-buahan hanyalah tanaman selingan sebelum menanam dan berkebun kopi.

Kopi itu andalan untuk hidup lebih layak, membangun rumah, menyekolahkan anak, dan mewujudkan mimpi-mimpi di masa depan.

Kengeyelan poyang yang diwarisi orang semacam Tamong Hakim dalam berkebun kopi ternyata tak pernah sia-sia. Ada kala harga kopi melonjak tinggi membuat petaninya memetik keuntungan berlipat ganda. Di tengah krisis moneter yang menyebabkan nilai rupiah merosot hingga Rp25.000 per Dollar AS pada tahun 1997-1998, para petani kopi Lampung Barat justru mendadak mendapat keuntungan besar karena harga kopi per kg mengikuti nilai kurs Dollar.

***

Tahun 1970-an hingga awal 1980-an sebelum saya urban ke Tanjungkarang adalah masa-masa di mana kehidupan kami lekat dengan kopi, mulai dari mempersiapkan lahan, menanam, merawat, dan memanen, termasuk menjemur, mengolah biji kopi sampai siap dijual atau dinikmati.

Saya ingat betul pada saat musim petik kopi, saya dan adik-adik tidak akan diberi jajan. Kalau mau, ya harus memetik kopi sendiri, mengangkut sendiri dari kebun, menjemur, mengolahnya menjadi biji kopi sampai dijual.

"Kalau mau baju Lebaran, cari sendiri, ngunduh kahwa (memetik kopi) sendiri. Dijual untuk beli baju lebaran," kata Bak (ayah) yang saya ingat.

Kalau tidak sedang musim kopi, saya dan adik-adik tetap diwajibkan ke ladang, kebun atau sawah membantu mereka.

Begitulah menjelang Lebaran di bulan Ramadan di saat uang hasil penjualan kopi sudah terkumpul, kami anak-anak diajak Bak atau Mak ke Pekan Selasa (pasar setiap hari Selasa) tak jauh dari rumah. Di pekan ini, dijual berbagai kebutuhan, termasuk pakaian Lebaran.

Berjejer pedagang pakaian memenuhi lapak dan kios. Sementara calon pembeli memenuhi gang-gang di antara kios dan lapak.

Setiap pedagang bersaing merebut hati calon pembelinya. Harus pintar-pintar berbicara dan merayu konsumen.

"Ayu... Ayu... dijual... diobral murah... Yang jauh mendekat, yang dekat merapat... Ini model terbaru... Cocok untuk uyung... Cantik buat upik..." Dst.

Bahasa di pasar tercampur antara bahasa Indonesia dan bahasa Lampung.

Terdengar teriakkan, "Rancak bana" dari penjual pakaian yang memang mayoritas beretnis Minang.

Entah benar entah tidak, konon, ada peristiwa orang dari pekon yang sudah mencoba-coba dan mengepas-paskan gaun malah batal membeli hanya karena penjualnya bilang, "Amboi, rancak bana!"

Orang yang mau beli dan tampak antusias menjadi kehilangan minat. Sambil pergi, si ibu yang mengajak anak-anaknya mencari pakaian, berkata, "Ya, radu. Merancak, ani sai ngejual. Ija neram nyepok bareh (Ya, sudah. Kependekan, kata yang jual. Sini kita cari yang lain."

Induh, gaun helau, bang tiucakko 'rancak' kidah. (Entah, gaun bagus, kok dibilang kependekan). Hahaa...


Minggu, 19 Mei 2019


Sunday, May 12, 2019

Rendra, Anton, Ibu Maryunani

Oleh Udo Z Karzi


"RENDRA. Saya tidak suka membaca puisi-puisi Chairil Anwar dan Amir Hamzah karena menurut saya waktu itu puisi mereka sulit saya pahami. Tetapi, saat saya membaca buku puisi Rendra, //Balada Orang-orang Tercinta//, saya langsung tertarik. Karena puisi dia sederhana dan mudah dipahami," kata Sapardi Djoko Damono (//Majas// No. 3 Vol 1/Mei-Juli 2019 hlm 49).

Membaca ini, saya langsung membayangkan Anton Bahtiar Rifa'i (SCTV) yang "menggilai" puisi-puisi Rendra sejak dulu -- sampai sekarang (?)

Seingat saya, sebagai redaktur budaya Surat Kabar Mahasiswa //Teknokra// Universitas Teknokra 1990-an, beberapa puisi Anton pernah saya muat di lembar sastra koran kampus ini. Sampai kemudian dia bergabung di //Teknokra// dan sempat menjadi atasan saya sebagai pemimpin redaksi (1994--1996). Jadi, Anton ini penyair (juga) yang tak tercatat. Hehee...

Sehat terus ya, Ton.👍

Mundur jauh ke belakang, ternyata penyair yang paling berkesan ketika di SMP Liwa tahun 1984 diperkenalkan puisi oleh guru Bahasa dan Sastra Indonesia Ibu Maryunani dan Ibu Yetty Puspenda adalah Rendra. Ya, benar saya suka puisi-puisi balada Rendra.
Satu judul yang nempel dalam ingatan: "Balada Terbunuhnya Atmo Karpo". Karya Rendra ini tercantum utuh dalam buku pelajaran sastra untuk SMP karangan Abdullah Ambary. Sajak ini mirip-mirip dengan puisi "Jante Arkidam"-nya Ajip Rosidi.

Kebetulan di Lepau Buku, terdapat buku kumpulan sajak pertama Rendra, //Balada Orang-orang Tercinta// terbitan Pustaka Jaya, Bandung, cetakan keempatbelas, 2013 (cetakan pertama, Jakarta 1957).

Saya kutipkan sajak ini dari hlm 16--17:

BALLADA TERBUNUHNYA ATMO KARPO

Dengan kuku-kuku besi kuda menebah perut bumi
bulan berkhianat gosok-gosokkan tubuhnya
di pucuk-pucuk para
mengepit kuat-kuat lutut penunggang perampok
yang diburu
surai bau keringat basah, jenawi pun telanjang.

Segenap warga desa mengepung hutan itu
dalam satu pusaran pulang-balik Atmo Karpo
mengutuki bulan betina dan nasibnya yang malang
berpancaran bunga api, anak panah di bahu kiri.

Satu demi satu yang maju tersadap darahnya
penunggang baja dan kuda mengangkat kaki muka.

--- Nyawamu barang pasar, hai orang-orang bebal!
Tombakmu pucuk daun dan matiku jauh orang 
papa
Majulah Joko Pandan! Di mana ia?
Majulah ia kerna padanya seorang kukandung
dosa

Anak panah empat arah dan musuh silang tiga
Atmo Karpo masih tegak, luka tujuh liang.

--- Joko Pandan! Di mana ia!
Hanya padanya seorang kukandung dosa.

Bedah perutnya tapi masih setan ia
menggertak kuda, di tiap ayun menungging kepala.

--- Joko Pandan! Di mana ia!
Hanya padanya seorang kukandung dosa.

Berberita ringkik kuda muncullah Joko Pandan
segala menyibak bagi derapnya kuda hitam
ridla dada bagi derunya dendam yang tiba.

Pada langkah pertama keduanya sama baja
pada langkah ketiga rubuhlah Atmo Karpo
panas luka-luka, terbuka daging kelopak-kelopak
angsoka

Malam bagai kedok hutan bopeng oleh luka
pesta bulan, sorak-sorai, anggur darah.

Joko Pandan menegak, menjilat darah di pedang
Ia telah membunuh bapanya. 


Minggu, 12 Mei 2019

Saturday, May 11, 2019

Mau Ibadah Kok Dimintai Uang Parkir

Oleh Udo Z Karzi


KALAU mau dihitung-hitung, mungkin separuh lebih hidup saya berada di kendaraan mengadakan perjalanan. Tidak mengenal waktu!

Di sisi lain, seorang muslim wajib menjalankan salat lima waktu. Waktu-waktu salat yang sering datang saat dalam perjalanan biasanya Zuhur, Asyar, dan Magrib.

Sedianya, begitu azan berkumandang, kita harus segera bergegas ke masjid. Tapi, ampuni hamba ya Allah, saya tidak terlalu disiplin menunaikan tugas-Mu. Sering menunda-nunda salat. Bahkan tak jarang lupa salat.

Seharusnya, begitu azan, langsung menghentikan kendaraan di masjid wterdekat dan langsung ikut salat berjamaah. Tapi, tidak dengan saya.

Saya tidak bisa langsung berhenti di masjid terdekat.

Saya harus memilih masjid. Bukan karena menganut aliran tertentu (huss... Islam itu mestinya sama), melainkan saya takut kekhusukan salat saya terganggu.

Ini semua gegara tukang parkir!

Ya, tukang parkir di masjid yang mengganggu kekhusukan orang mau salat.
Benaran. Saya keberatan ada tukang parkir di masjid. Masa orang mau beribadah, kok dimintai duit.

Dan, si tukang parkir, tidak berpikir bahwa kehadirannya di masjid membuat orang enggan ke masjid.

Keterlaluan tukang parkir ini!

Kadang saya mampir ke masjid, cuma untuk numpang tidur. Kan --semestinya-- tidak dilarang karena masjid juga tempat peristirahan orang yang dalam perjalanan.
Masa musafir yang mampir istirahat ke masjid dimintai uang parkir pula.
Benar-benar terlalu si tukang parkir!


Sabtu, 11 Mei 2019

Friday, May 10, 2019

Kayak Hantu Saja

Oleh Udo Z Karzi


TUKANG parkir kayak hantu saja. Saat kita memarkirkan kendaraan, tidak ada sesiapa yang memperlihatkan gelagat sebagai tukang parkir. Tapi, begitu kita keluar dari toko atau gedung untuk suatu keperluan, eeh...nongol tuh orang yang pegang priwitan. Lalu, mulai kasih tangan mengatur lalu-lintas, seakan-akan kita tak akan bisa keluar dari tempat parkir ke jalan raya tanpa jasanya.

Keadaan ini terjadi berulang-ulang.

Terbaru, saat saya mampir ke Alfamart di bilangan Way Halim, Bandar Lampung, Jumat, 10/5/2019 Eit, bukan beli makanan atau minuman.😀 Cuma mau beli Go Pay pesanan orang rumah.

Sepi waktu saya memarkirkan kendaraan. Tapi, begitu keluar, sudah ada Pak Tua berkalung pluit duduk di kursi. Tak salah lagi, mesti dia tukang parkir.

Begitu saya mendekati kendaraan, Pak Tua berdiri dan berjalan ke arah saya.
Saya berkata pelan, entah didengar entah nggak olehnya, "Tadi gak ada. Dari manalah munculnya Bapak ini?"

Dia tak menjawab.

Saya sodorkan tiga keping uang logam kurang dari dua ribu rupiah. Tanpa kata tanpa senyum, dia terima. Keadaannya serupa dengan saya agaknya. Hehee...

Saya gak yakin saya ikhlas.

Astaghfirullah. Maafkan saya ya Pak. Tapi, Bapak bukan hantu kan?


Jumat, 10 Mei 2019

Thursday, May 9, 2019

Kalau Marah Batal Puasa Kan?

Oleh Udo Z Karzi


WAN Agung (9 tahun) lagi. Hari pertama masuk sekolah setelah dua hari libur awal Ramadan, Rabu, 8/5/2019.

Ceritanya, tentu saja versi Wan Agung, dia sedang menulis, seorang temannya usil. Wan Agung dicolek-colek, dijawil-jawil telinganya, disenggol-senggol, dan diganggu-ganggu.

"Agung kan kesel. Sebel. Itu anak nakal benar," ujarnya.

"Kok kamu diam saja?"

"Ya nggak. Agung marahin itu anak."

Diam.

"Tapi, kata mama, marah di bulan puasa bisa membatalkan puasa," kata Wan Agung lagi.

"Ya, nggaklah. Kan Agung dinakali."

"Kata mama batal..."

"Lah, terus?"

"Karena udah batal, Agung minumlah di sekolah tadi."

Saya terkesima jadinya. Hehee...

Di rumah, Wan Agung langsung berseru, "Ma, Agung minta makan."

Dasar sanak lunik.


Kamis, 9 Mei 2019

Tuesday, May 7, 2019

Teman Ayah Tidak Puasa

Oleh Udo Z Karzi


Kata mamanya, ajak Wan Agung jalan biar gak bosan dan gak sebentar-sebentar minta makan atau minum.

Makanya, saya ajak dia, "Ikut ayah, Gung."

"Ke mana?"

"Ke kantor."

Eh, Wan Agung malah bilang, "Nggak mau. Di kantor, teman Ayah pada gak puasa. Agung nanti minta makan minum juga..."

"Ya, gak ada yang jualan geh Gung."

"Gak ah."

"Udah, ikut aja..."

Alhasil, setelah lama dirayu-rayu, Agung pun ikut saya.

Tapi, sesampai di kantor, ternyata dugaan Wan Agung benar belaka. Di atas meja, ada kue dan kopi.

"Ini kue siapa?" tanyanya.

"Itu bekas sahur! Jangan dimakan."

Tapi, di kantor dia melihat orang-orang merokok, makan, dan bikin kopi.

Wan Agung mulai panas hatinya.

"Agung minum ya Yah..."

"Eh, puasa."

Diam sebentar.

"Yah, beli makan sih, Yah. Lapar..."

"Waduuh. Tahan sih Gung. Udah gede masa nggak kuat."

Aman sekejap. Tapi, tak lama. Agung datang membawa gelas akua dingin dari kulkas.

"Minum ya Yah."

"Jangaan!"

Untunglah, dia mengembalikan gelas ke kulkas.

Dalam perjalanan pulang, dia masih merengek minta beli minuman es cendol atau apa saja. Saya cuma menjawab, "Nggak!"

Sampai di rumah, Wan Agung mengadu ke mamanya mengenai kelakuan orang-orang di kantor. Mamanya cuma menahan ketawa sembari menguatkan Wan Agung agar tetap berpuasa.

"Agung batal puasa ya Mama."

"Sayang, Gung. Satu jam kurang lagi buka," kata mamanya.

Syukurlah puasa Wan Agung terselamatkan di hari kedua.


Selasa, 7 Mei 2019

Bertemu Mitchell Mollison

Oleh Udo Z Karzi


BERTEMU MITCHELL MOLLISON pertama kali di kediaman Sekretaris Umum Dewan Kesenian Lampung (DKL) Bagus A Pribadi, ia langsung meminta nomor WA saya begitu saya sebut nama Udo Z Karzi.

Mitch peneliti etnomusikologi yang melakukan riset di Lampung sejak 2016 di bawah supervIsi Prof Margaret Kartomi.
Keluar-masuk pelosok Lampung, berbicara dengan warga desa, membuat ia tertarik dengan bahasa Lampung dan mulai mempelajarinya.

"Cutik-cutik pandai cawa Lappung. Kidang pagun mesti lamon belajar lagi (Sedikit-sedikit bisa berbahasa Lampung, meskipun harus banyak belajar lagi)," kata Mitch.

Begitulah, keesokan harinya, Mitch me-WA meminta bertemu. Bersualah kami di Hotel Grand Anugerah, Bandar Lampung, 27 Agustus 2018.

Kepada saya, dia perlihatkan tesis dia berjudul "The Music of the Talo Balak Ensemble of Lampung, Sumatra", Monash University.

Ow, rupanya Mitch mengutip beberapa tulisan saya. Senang juga mengetahui tulisan saya menjadi referensi riset.
Saya meminta izin memfoto beberapa halaman dari tesis yang mencantumkan nama saya. Tapi, yaelah... hasil jepretan saya mengecewakan.

Pada pertemuan itu, saya berikan beberapa buku, termasuk yang berbahasa Lampung. Tadinya saya ragu. Tapi, dia bilang, "Nggak apa. Buat saya belajar bahasa Lampung."

Beberapa waktu, saya diingatkan lagi oleh Oyos Saroso HN melalui berita yang ia tautkan di FB berjudul, "Gamelan Lampung Jadi Koleksi Monash University" (Teras Lampung, 6/5/2019).

Berita ini mengutip unggahan foto Prof Dr Ariel Haryanto di FB, 5/5/2019, mengenai tari Lampung dan gamelan khas Lampung dipertunjukkan di universitas ini.

Saya melihat ada sosok Mitch dalam foto yang diunggah Ariel. Salah satunya, saya pinjam di sini.

Lalu, saya cek WA dari Mitch, alhamdulillah tidak saya hapus. Ketemulah gambar kutipan salah satu halaman dari tesis yang dia kirim per tanggal 27 Agustus 2018.

Terima kasih Mitch, Mas Oyos, Pak Ariel. Tabik.


Selasa, 7 Mei 2019

Monday, May 6, 2019

Sistem

Oleh Udo Z Karzi


SIAPA MELAKUKAN APA dan bagaimana? Bukankah itu lazim ditanyakan demi suksesnya sebuah hajatan -- termasuk untuk mencari siapa yang harus bertanggung jawab.

Tapi, tidaklah sesederhana itu ketika kita membicarakan sebuah sistem: sistem sosial, sistem budaya, sistem pendidikan, sistem politik, sistem kepartaian, sistem pemilu, dst.

Sebuah sistem yang terdiri dari sub-subsistem dan masing-masing subsistem itu memiliki subsistem lagi, dst; memiliki kompeksitas sebagai satu kesatuan. Setiap subsistem akan melengkapi subsistem yang lain. Salah satu subsistem 'sakit' akan merusak sistem secara keseluruhan.

Setidaknya, itu yang saya pahami dari Suleman B Taneko ketika kuliah Sistem Sosial Indonesia (SSI) yang ia ampu tahun 1990-an. Saya ingat salah satu buku pegangan mata kuliah berasal dari Pak Leman -- begitu ia sering disapa -- sendiri berjudul //Konsepsi Sistem Sosial dan Sistem Sosial Indonesia// (Fajar Agung, 1986).

Terus terang, saya tidak terlalu mudeng membaca buku ini. Tapi, sungguh teori sistem ini sangat membantu ketika saya juga terpaksa -- habis wajib -- belajar sistem politik, sistem kepartaian, sistem pemilu, sistem pemerintahan, dll.

Terima kasih, Pak Leman, saya belajar banyak dari Bapak untuk tidak terlalu gampang menyalahkan pihak lain atas masalah apa pun yang terjadi. Bukan berarti saya menoleransi kekeliruan; melainkan dalam banyak hal kekisruhan yang terjadi lazimnya diakibatkan banyak faktor dan banyak pihak.

Perbaikan harus dilakukan secara menyeluruh dan melibatkan semua komponen. Dengan begitu, sistem akan semakin baik dan sub-subsistem bersinergis saling menguatkan. Bukan sebaliknya, kerja sistem kian amburadul akibat saling melemahkan satu dengan yang lainnya.

Begitu kali ya Rilda A Oe Taneko?


Senin, 6 Mei 2019

Sunday, May 5, 2019

Tanda-tanda Mau Ramadan

Oleh Udo Z Karzi


"ADA lontong nggak, Bu?"
"Aduuh... habiss. Adik kesiangan. Tadi sih banyaak."
Salah satu tanda-tanda akan memasuki bulan Ramadan adalah pasar diserbu pembeli.
Demikian pula situasi di Pasar Tani, Kemiling, Bandar Lampung, yang hanya beberapa langkah dari rumah, Minggu, 5/5/2019 sekira pukul 11.00.
Jadi, Ramadan 1440 H tak urung datang.
Marhaban ya Ramadan. Mohon maaf lahir batin kepada minak muari seunyinni. Semoga kita khusuk menjalani ibadah puasa sebulan penuh dengan hati yang suci. Amiin.
Tabik.🙏👍

Minggu, 5 Mei 2019

Wednesday, May 1, 2019

In Memoriam Selamat Purwoko

Oleh Udo Z Karzi


Selamat Purwoko. (DOKPRI)
MENDENGAR dan melihat foto Selamat Purwoko, Rabu, 1/5/2019, siang tadi tentu saya kenal baik. Ada rasa bangga mengetahui kakak kelas satu tahun di SMPN 1 Liwa saya ini saat ini sudah menjadi pejabat.

Tapi, maafkan saya, saya tidak teliti membaca di medsos tadi. Baru malam ini saya tahu  bahwa Camat Bandar Negeri Suoh (BNS) ini ternyata telah mendahului kita menghadap Ilahi.

Innalilillahi wainna ilaihi rajiun. Entah kenapa orang baik lebih sering lebih cepat mendahului kita.

Selapur, panggilan akrabnya, meninggal dunia di RSUD Alimudin Umar sekitar pukul 13.15 WIB, Rabu (1/5) karena penyakit jantung yang dideritanya. Almarhum disemayamkan di rumah duka dan akan dikebumikan di TPU Kampungbaru, Pekon Kubuperahu, Kecamatan Balikbukit, Kamis, 2/5/2019.

Selapur orang baik, tentu saya tahu dan yakin itu. Wajar jika kepergian lelaki kelahiran Liwa, 15 November 1968 ini meninggalkan kesan yang mendalam bagi orang banyak. Ia dikenal sebagai sosok aparatur pemerintah yang cerdas, ramah, pekerja keras, dan mau turun ke bawah berbaur dengan masyarakat luas.

Bagi Bupati Lampung Barat Parosil Mabsus, Selapur merupakan salah satu pejuangnya saat pilkada 2017 lalu. “Saya bisa dipanggil pak bupati seperti sekarang ini, salah satunya kerja keras almarhum. Dia ikut berjuang menyukseskan langkah saya saat itu,” kenang Parosil.

Sebelumnya, Parosil sempat bertemu Selapur di RSUD Alimudin Umar saat menghadiri acara kebangsaan. Almarhun sempat mengaku banyak yang ingin disampaikan kepada dirinya. Namun karena padatnya agenda, Parosil tidak sempat menanggapi.

”Karena kedekatan saya dengan almarhum, setiap kesempatan dia selalu memanggil dengan sapaan Pak Cik. Tidak pernah beliau memanggil saya Pak Bupati,” ujar Parosil.

Saya juga membaca mantan Bupati Lampung Barat Mukhlis Basri mempunyai kesan terhadap almarhum. "Selamat Purwoko merupakan sosok yang loyal, disiplin dan familiar," ujarnya.

Almarhum Selamat Purwoko, kata Mukhlis, merupakan salah satu mantan stafnya yang patut menjadi panutan, karena merupakan sosok yang sangat loyal, disiplin dan familiar, selalu menjalankan tugas dengan sepenuh hati, termasuk saat diberikan tugas sebagai Camat Suoh sekitar empat tahun lalu.

“Memilih seorang PNS untuk ditempatkan sebagai Camat Suoh yang merupakan daerah terisolir saat itu, apalagi tidak ada listrik dari PLN, jalan yang rusak, maka siapa saja Camat yang ditempatkan jarang yang betah. Tetapi berbeda ketika Saya menunjuk Selamat Purwoko sebagai Camat Suoh, terbukti beliau sangat loyal, disiplin, familiar dan tanggung jawab dengan tugas yang diberikan,” puji Mukhlis.

Sebagai Camat BTN, yang mau menetap di Suoh,  bahkan membawa keluarga untuk menetap dan tinggal di daerah terpencil tersebut. Ia menjalankan tugas sebagai camat dengan sebaik-baiknya. Termasuk,  kegiatan PKK ikut jalan di kecamatan ia pimpin.

Camat Sukau Hadi Susanto mengaku  Selapur menjadi guru dan panutannya. “Saya masih komunikasi dengan almarhum melalui WA, maka Saya sangat terkejut mendengar kepergian orang yang sangat baik, dan sudah seperti kakak," kata dia.

Selamat Purwoko pernah menduduki beberapa jabatan di lingkungan Pemkab Lampung Barat seperti Camat Suoh dan BNS, Kabag Humas Sekretariat DPRD, Sekretaris BPMPP, dan Sekretaris Dispora.

Dan saya, astaga, ternyata saya belum pernah sempat ke Suoh atau Bandar Negeri Suoh yang katanya, bumi sepotong surga itu. Saya sudah cawe-cawe hendak ke sana dengan Pak Sekcam Basuki Rahmat. Undangan dari Donna Sorenty Moza sekali waktu untuk menjenguk sebuah bagian dari tanah yang telah membesarkan saya itu pun belum lagi saya penuhi.

Betapa memalukan! Seseorang yang lahir dan tumbuh di Bumi Sekala Brak seperti saya kok malah tidak mengenal dirinya sendiri.

Selamat jalan Bang Pur -- saya ingat nama panggilan itu ketika masih sekolah dulu. Engkau telah terbang jauh, sementara saya masih tersesat di sebuah kota.

Doa dari kami, anak-istri, sanak-famili, rekan-rekan, dan semua yang mengenalmu semoga engkau bahagia selalu di Alam Sana. Amin Allahumma amin. []


1 Mei 2019

Ibu Kota, Palangkaraya, Borneo News

Oleh Udo Z Karzi


SAYA sambut wacana pemindahan Ibu Kota dengan penuh gairah, terlepas apakah jadi terlaksana atau tidak.

Ini gagasan lama, tetapi baik kok untuk kemaslahatan negara-bangsa Endonesah. Jadi, gak usah langsung dikait-kaitkan dengan pilpres geh!

Kalau bisa sih ya di Lampung, dekat-dekat Tanjungkarang dan Liwa gitu. Biar bisa jalan kaki sambil olahraga pagi ke Ibu Kota.

Tapi, kalo gak bisa, ya saya kemarin setuju di Palangkaraya. Selain meneruskan gagasan Bung Karno, juga karena tahun 2007, saya sempat merekomendasikan Palangka menjadi Ibu Kota Endonesah di masa depan melalui Borneo News, koran tempat saya bekerja.

Nah, sejatinya inilah, inilah alasan utama saya perlu mengucapkan terima kasih kepada Presiden Joko Widodo yang kembali mewacanakan pemindahan Ibu Kota dalam rapat terbatas, Senin, 29/4/2019. Beliyouwan telah mengingatkan bahwa saya pernah bekerja di Pangkalan Bun, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah tahun 2006--2009 sebagai jurnalis Harian Borneo News.

Sebagai redaktur Mimbar (opini gak berbayar, hehee..) harian ini saya berkali-kali memuat tulisan dan surat pembaca yang membahas sejarah, kemungkinan, dan potensi Palangkaraya menjadi Ibu Kota RI.

Salah satu yang paling getol menggagas Palangkaraya Ibu Kota adalah anggota DPD RI asal Kalteng Hamdhani. Mulanya sih saya agak pesimis Palangka Ibu Kota, tetapi karena ide ini terus dibangun, saya pun berkata, "Boleh juga."

Posisi Palangka yang di tengah-tengah NKRI menjadikan kota ini sangat sentral untuk bisa menjangkau paling sudut utara-selatan-barat-timur negeri ini. Pembangunan Endonesah dalam segala bidang ipoleksosbudhankam bisa lebih komprehensif-terpadu.

Untuk meyakinkan asumsi ini, Mbak Ida Aryani dan Bang Heri Fauzi (bukan Fauzi Heri ya, hehee...) dari Borneo News Biro Palangkaraya sampai mengundang saya ke Ibu Kota Kalteng ini.

Palangkaraya ini keren. Saya berkesempatan menyaksikan Festival Isen Mulang dan pameran yang menampilkan kekayaan sumber daya Provinsi Kalteng.

Penari-penari putri yang tampil dalam festival itu putih-putih seperti muli Lampung. Tapi, untungnya saya sudah bawa anak-istri dari Lampung ke Pangkalan Bun, sehingga saya tak tergoda. Hehee...

Diajak Mbak Ida, saya juga berwisata ke tempat-tempat indah dan kuliner enak-enak di seputar Palangka.

Alhasil, saya rela Palangkaraya jadi Ibu Kota RI kelak seandainya Lampung gak kepilih. Dengan catatan, orang Borneo gak main-main asap dan bakar hutan lagi ya. Wakakak... kaakkk. []


Rabu, 1 Mei 2019