Oleh Udo Z Karzi
"RENDRA. Saya tidak suka membaca puisi-puisi Chairil Anwar dan Amir Hamzah karena menurut saya waktu itu puisi mereka sulit saya pahami. Tetapi, saat saya membaca buku puisi Rendra, //Balada Orang-orang Tercinta//, saya langsung tertarik. Karena puisi dia sederhana dan mudah dipahami," kata Sapardi Djoko Damono (//Majas// No. 3 Vol 1/Mei-Juli 2019 hlm 49).
Membaca ini, saya langsung membayangkan Anton Bahtiar Rifa'i (SCTV) yang "menggilai" puisi-puisi Rendra sejak dulu -- sampai sekarang (?)
Seingat saya, sebagai redaktur budaya Surat Kabar Mahasiswa //Teknokra// Universitas Teknokra 1990-an, beberapa puisi Anton pernah saya muat di lembar sastra koran kampus ini. Sampai kemudian dia bergabung di //Teknokra// dan sempat menjadi atasan saya sebagai pemimpin redaksi (1994--1996). Jadi, Anton ini penyair (juga) yang tak tercatat. Hehee...
Sehat terus ya, Ton.👍
Mundur jauh ke belakang, ternyata penyair yang paling berkesan ketika di SMP Liwa tahun 1984 diperkenalkan puisi oleh guru Bahasa dan Sastra Indonesia Ibu Maryunani dan Ibu Yetty Puspenda adalah Rendra. Ya, benar saya suka puisi-puisi balada Rendra.
Satu judul yang nempel dalam ingatan: "Balada Terbunuhnya Atmo Karpo". Karya Rendra ini tercantum utuh dalam buku pelajaran sastra untuk SMP karangan Abdullah Ambary. Sajak ini mirip-mirip dengan puisi "Jante Arkidam"-nya Ajip Rosidi.
Kebetulan di Lepau Buku, terdapat buku kumpulan sajak pertama Rendra, //Balada Orang-orang Tercinta// terbitan Pustaka Jaya, Bandung, cetakan keempatbelas, 2013 (cetakan pertama, Jakarta 1957).
Saya kutipkan sajak ini dari hlm 16--17:
BALLADA TERBUNUHNYA ATMO KARPO
Dengan kuku-kuku besi kuda menebah perut bumi
bulan berkhianat gosok-gosokkan tubuhnya
di pucuk-pucuk para
mengepit kuat-kuat lutut penunggang perampok
yang diburu
surai bau keringat basah, jenawi pun telanjang.
Segenap warga desa mengepung hutan itu
dalam satu pusaran pulang-balik Atmo Karpo
mengutuki bulan betina dan nasibnya yang malang
berpancaran bunga api, anak panah di bahu kiri.
Satu demi satu yang maju tersadap darahnya
penunggang baja dan kuda mengangkat kaki muka.
--- Nyawamu barang pasar, hai orang-orang bebal!
Tombakmu pucuk daun dan matiku jauh orang
papa
Majulah Joko Pandan! Di mana ia?
Majulah ia kerna padanya seorang kukandung
dosa
Anak panah empat arah dan musuh silang tiga
Atmo Karpo masih tegak, luka tujuh liang.
--- Joko Pandan! Di mana ia!
Hanya padanya seorang kukandung dosa.
Bedah perutnya tapi masih setan ia
menggertak kuda, di tiap ayun menungging kepala.
--- Joko Pandan! Di mana ia!
Hanya padanya seorang kukandung dosa.
Berberita ringkik kuda muncullah Joko Pandan
segala menyibak bagi derapnya kuda hitam
ridla dada bagi derunya dendam yang tiba.
Pada langkah pertama keduanya sama baja
pada langkah ketiga rubuhlah Atmo Karpo
panas luka-luka, terbuka daging kelopak-kelopak
angsoka
Malam bagai kedok hutan bopeng oleh luka
pesta bulan, sorak-sorai, anggur darah.
Joko Pandan menegak, menjilat darah di pedang
Ia telah membunuh bapanya.
Minggu, 12 Mei 2019
"RENDRA. Saya tidak suka membaca puisi-puisi Chairil Anwar dan Amir Hamzah karena menurut saya waktu itu puisi mereka sulit saya pahami. Tetapi, saat saya membaca buku puisi Rendra, //Balada Orang-orang Tercinta//, saya langsung tertarik. Karena puisi dia sederhana dan mudah dipahami," kata Sapardi Djoko Damono (//Majas// No. 3 Vol 1/Mei-Juli 2019 hlm 49).
Membaca ini, saya langsung membayangkan Anton Bahtiar Rifa'i (SCTV) yang "menggilai" puisi-puisi Rendra sejak dulu -- sampai sekarang (?)
Seingat saya, sebagai redaktur budaya Surat Kabar Mahasiswa //Teknokra// Universitas Teknokra 1990-an, beberapa puisi Anton pernah saya muat di lembar sastra koran kampus ini. Sampai kemudian dia bergabung di //Teknokra// dan sempat menjadi atasan saya sebagai pemimpin redaksi (1994--1996). Jadi, Anton ini penyair (juga) yang tak tercatat. Hehee...
Sehat terus ya, Ton.👍
Mundur jauh ke belakang, ternyata penyair yang paling berkesan ketika di SMP Liwa tahun 1984 diperkenalkan puisi oleh guru Bahasa dan Sastra Indonesia Ibu Maryunani dan Ibu Yetty Puspenda adalah Rendra. Ya, benar saya suka puisi-puisi balada Rendra.
Satu judul yang nempel dalam ingatan: "Balada Terbunuhnya Atmo Karpo". Karya Rendra ini tercantum utuh dalam buku pelajaran sastra untuk SMP karangan Abdullah Ambary. Sajak ini mirip-mirip dengan puisi "Jante Arkidam"-nya Ajip Rosidi.
Kebetulan di Lepau Buku, terdapat buku kumpulan sajak pertama Rendra, //Balada Orang-orang Tercinta// terbitan Pustaka Jaya, Bandung, cetakan keempatbelas, 2013 (cetakan pertama, Jakarta 1957).
Saya kutipkan sajak ini dari hlm 16--17:
BALLADA TERBUNUHNYA ATMO KARPO
Dengan kuku-kuku besi kuda menebah perut bumi
bulan berkhianat gosok-gosokkan tubuhnya
di pucuk-pucuk para
mengepit kuat-kuat lutut penunggang perampok
yang diburu
surai bau keringat basah, jenawi pun telanjang.
Segenap warga desa mengepung hutan itu
dalam satu pusaran pulang-balik Atmo Karpo
mengutuki bulan betina dan nasibnya yang malang
berpancaran bunga api, anak panah di bahu kiri.
Satu demi satu yang maju tersadap darahnya
penunggang baja dan kuda mengangkat kaki muka.
--- Nyawamu barang pasar, hai orang-orang bebal!
Tombakmu pucuk daun dan matiku jauh orang
papa
Majulah Joko Pandan! Di mana ia?
Majulah ia kerna padanya seorang kukandung
dosa
Anak panah empat arah dan musuh silang tiga
Atmo Karpo masih tegak, luka tujuh liang.
--- Joko Pandan! Di mana ia!
Hanya padanya seorang kukandung dosa.
Bedah perutnya tapi masih setan ia
menggertak kuda, di tiap ayun menungging kepala.
--- Joko Pandan! Di mana ia!
Hanya padanya seorang kukandung dosa.
Berberita ringkik kuda muncullah Joko Pandan
segala menyibak bagi derapnya kuda hitam
ridla dada bagi derunya dendam yang tiba.
Pada langkah pertama keduanya sama baja
pada langkah ketiga rubuhlah Atmo Karpo
panas luka-luka, terbuka daging kelopak-kelopak
angsoka
Malam bagai kedok hutan bopeng oleh luka
pesta bulan, sorak-sorai, anggur darah.
Joko Pandan menegak, menjilat darah di pedang
Ia telah membunuh bapanya.
Minggu, 12 Mei 2019
No comments:
Post a Comment