Wednesday, October 18, 2017

In Memoriam AM Zulqornain Ch

Oleh Udo Z Karzi


AM Zulqornain Ch
SAYA lupa kapan terakhir bertemu dengan Bang Zul. Saat Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung (DKL) bekerja sama dengan Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni Universitas Lampung (UKMBS Unila) menggelar Lomba Baca Puisi Bahasa Lampung bertajuk "Hanggum Bubahasa Lampung", pertengahan Desember 2016; saya sempat mengusulkan nama Asaroedin Malik Zulqornain Choliq -- nama lengkap sastrawan AM Zulqornain Ch aka Amzuch -- untuk menjadi salah satu juri.

Saya ingat Bang Zul pernah juga menjadi juri bersama saya dan Ari Pahala Hutabarat untuk lomba baca puisi Lampung yang diambil dari buku puisi Lampung saya Mak Dawah Mak Dibingi yang diselenggarakan di Taman Budaya Lampung pada November 2010. Itulah sebabnya saya ingin mengajak Bang Zul.

Namun, Mas Hari Jayaningrat, Ketua Bidang I DKL mengatakan, "Jangan. Kesehatan Bang Zul tidak memungkinkan." Ya, saya paham.

Saya seperti juga sastrawan dan seniman Lampung lainnya, jelas tak mungkin lupa dengan sosok seniman nyentrik satu ini. Bicaranya keras dan tanpa tedeng aling-aling. Ia juga aktor watak, sehingga ia selalu tampil menarik saat naik panggung membaca puisi, menjadi pembicara dalam diskusi, bahkan saat sekadar menanggapi narasumber seminar dari kursi peserta.

Meskipun terlihat capek dan kurang fits, ia menjadi bintang saat tampil dalam Panggung Sastra Lampung pembacaan karya puisi dan cerpen di Taman Budaya Lampung, 24 Desember 2013. Ia tak kalah garang dan bikin gayeng dengan cerpen humor yang ia bacakan di antara para sastrawan lain seperti Isbedy Stiawan ZS, Syaeful Irba Tanpaka, Iswadi Pratama, Ahmad Yulden Erwin, Ari Pahala Hutabarat, Inggit Putria Marga, Fitri Yani, dan Iskandar GB, Edi Purwanto, dan Yulizar Fadli.

Pria kelahiran Jakarta, 15 November 1956 ini adalah sastrawan generasi 1980-an di Lampung bersama, antara lain Isbedy Stiawan ZS, Syaiful Irba Tanpaka, Iwan Nurdaya-Djafar, Achmad Rich, Sugandhi Putra, Naim Emel Prahana dan Djuhardi Basri setelah era Motinggo Busye, Aan Sarmani Adiel, dan BM Gutomo.

Meskipun lahir di Jakarta, Asaroeddin adalah putra Lampung. Ayahnya, Azzadi Abdul Chaliq Shahib, lahir di Menggala pada 1921 dan ibunya, Inci Siti Zuwaiyah, lahir di Telukbetung pada 1935. Sejak kelas lima SD, Asaroeddin harus berpisah dengan kedua orang tuanya dan tinggal bersama datuknya, Wan Abdul Rahman. Meski hanya dua tahun tinggal bersama datuknya yang pejuang Kemerdekaan RI dan namany diabadikan untuk Taman Hutan Rakyat (Tahura) Wan Abdul Rahman, Asaroeddin mendapat banyak bimbingan dan arahan tentang disiplin hidup.

Dengan berbagai nama pena, tulisan-tulisan Bang Zul sudah mulai menghiasi mading SMAN Telukbetung (sekarang: SMAN 4 Bandar Lampung). Setelah itu ia merambah ke berbagai media massa daerah dan Ibu Kota. Secara otodidak ia mendalami dunia sastra. Asaroeddin lahir sebagai sastrawan dari luar kampus dan karyanya banyak yang merambah media massa Jakarta. “Nomor 289 untuk 5 Menit” adalah karya pertama yang dimuat di harian Pelita, 20 Oktober 1978.

Tidak kurang dari 250 karya Asaroedin berupa cerpen, cerita anak, puisi, dan esai di Sinar Harapan, Pelita, Suara Karya, Simponi, Swadesi, Minggu Merdeka, Berita Buana, Mutiara, Harmonis, majalah Detektif Romantika, Senang, Humor, Bobo, Kharisma, Variasi, dan Nova. Termasuk yang di Lampung, Lampung Post, Radar Lampung, Lampung Ekpres, Sumatera Post, dan Trans Sumatra.

Meskipun ratusan cerpen pernah dipublikasikan, puluhan puisi pernah Asaroeddin ciptakan, dia memilih tidak dikenal oleh redaktur media mana pun selama menulis. Baginya, cap “penulis” bukanlah sesuatu yang istimewa karena yang dibutuhkan masyarakat bukanlah orangnya tetapi karyanya.

Dengan penekanan pada tema-tema kemanusiaan dalam berkarya, Asaroeddin mampu memberikan corak tersendiri bagi para pembacanya. Secara garis besar, kandungan yang terdapat dalam karya-karya Asaroeddin merupakan perpaduan antara unsur moral, estetis, heroisme, keagamaan, dan humor.

Kecintaan dan kepedulian Assroeddin terhadap perkembangan sastra di Lampung, khususnya di kota Bandarlampung, ditunjukkannya dengan mendirikan Sanggar Cakrawala Ide Anak Muda (CIA) pada tahun 1985. CIA didirikannya bersama Riswanto Umar dan Isbedy Stiawan ZS.
Untuk menampung dan mengabarkan tulisan-tulisan para pengurus dan anggota CIA sebagai bentuk luapan ekspresi yang dapat dinikmati oleh masyarakat, mereka membuat Buletin yang dilabeli dengan nama Sastra CIA.

Untuk membangkitkan semangat sastrawan muda, Asaroedin bersama Achmad Rich, Syaiful Irba Tanpaka, dan Isbedy Stiawan ZS melahirkan antologi puisi, Nyanyian Tanah Putih (1984).
Pengemar Asmaraman Kho Ping Hoo ini tidak pernah berhenti berjuang mencurahkan hidupnya untuk masyarakat Lampung. Bersama-sama seniman lampung lainnya, Asaroeddin turut membidani lahirnya Dewan Kesenian Lampung (DKL) pada 17 September 1993. Dia sempat menjadi DKL. Ia juga pernah menjadi Dewan Kehormatan DKL (2005--2008) dan anggota Dewan Pembina DKL sampai 2014.

Pensiunan pegawai negeri ini tak pernah menghentikan perhatiannya pada dunia sastra. Ia selalu mengobarkan semangat untuk mencintai budaya lokal. Para seniman Lampung mau mengembangkan kesenian Lampung. Dia menganggap kesenian khas Lampung cenderung diabaikan oleh masyarakat. Oleh sebab itu, Asaroeddin berharap kesenian Lampung yang notabene menjadi ciri khas sebuah daerah dilestarikan.
“Saya mau bikin Provinsi Krakatau saja. Bahasa dan budaya Lampung kok gak dipedulikan,” kata dia pada sebuah sebuah diskusi Bahasa Lampung di Lampung Post, Oktober 2013.

"Saya senang, bangga dan terharu sekali Lampung mendapat Hadiah Sastra Rancage," kata dia kepada saya ketika bertemu dengannya pada 2009, tak lama setelah saya kembali bertugas di Lampung setelah bekerja di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah (2006--2009). Ia pun berbicara panjang-lebar mengenai bahasa, sastra, dan budaya Lampung.

Dan nyatanya ia pun bikin puisi berbahasa Lampung seperti terlihat dalam judul-judul, "Lebon”, “Senggulan”, dan “Lohot Tandang Midang”.

Berkali-kali saya bilang ke Bang Zul, "Bang sini saya bukukan cerpen-cerpenmu. Kayaknya asyik-asyik..." Tapi, entahlah ia tak pernah menyerahkan naskahnya ke saya. Saya kurang tahu, apakah ada karyanya yang dibukukan sebelum ini.

Sutradara Teater Satu Iswadi Pratama dalam beberapa kali perbincangan dengan saya, mengaku banyak mendapat ide cerita bagi lakon-lakonnya seperti "Aruk Gugat". "Ini cerita dari atau tentang Bang Zul," kata Iswadi.

Saya suka gayamu, Bang Zul dan masih ingin bertemu dan melihat semangatmu yang dulu. Tapi, malam ini saya mendengar kabar duka: "Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Telah wafat AM Zulqornain pada pukul 18.05 di kediamannya di Sukamaju, Bandar Lampung. Beliau akan dimakamkan besok (Rabu, 18/10/2017) bakda Zuhur," tulis Afrizal Ar, staf DKL melalui WA, Selasa 17/10/2017 pukul 20.00.

Penyakit jantung ya Bang Zul derita sejak lama dan berkali-kali dirawat di rumah sakit tidak mampu lagi ia tahan. Selama ini, "Meskipun sakit, Bang Zul tetap bersemangat menyambangi teman-teman. Tapi, setelah Musda DKL tahun 2015, saya sudah jarang liat Bang Zul," kata Sekretaris DKL Bagus S Pribadi.

Maafkan saya kalau tak sempat menyambangi Abang sampai Izrail datang menjemputmu. Bahkan, ampun deh... besok pun kemungkinan saya tak bisa melayat dan mengantarmu ke tempat peristirahatan terakhir di TPU Sukamaju, Telukbetung Barat, Bandar Lampung.
Selamat jalan, Abang. Bang Zul inspirasi buat kami. Tabik.


Rabu, 18 Oktober 2017