Oleh Udo Z. Karzi
SEJARAH ialah kenangan dari tumpuan masa silam, kata Robert V. Daniel. Kenangan yang dimaksud adalah hal-hal yang ditangkap memori manusia terhadap peristiwa yang ia lihat. Apa yang ia lihat dapat menjadi tumpuan dalam mengetahui peristiwa masa lalu. Namun bagaimana pun, kenangan yang ditangkap sangat dibatasi oleh kamampuan manusia dalam mengingat. Kian lama kenangan itu, kian sukar sukar manusia mengingatnya.
Hakikat sejarah, menurut Sartono Kartodirdjo, dibatasi dua pengertian: sejarah objektif dan sejarah subjektif. Sejarah objektif, yaitu peristiwa atau kejadian masa lampau apa adanya. Sedangkan sejarah subjektif, yaitu hasil penafsiran (rekonstruksi) sejarawan atas peristiwa masa lampau.
Sejarah yang kita pelajari saat ini adalah hasil penafsiran para sejarawan atau sejarah subjektif, dan dari merekalah kita mengenal kehidupan manusia pada masa lampau. Sedangkan sejarah objektif adalah peristiwa nyata yang pernah terjadi di masa lampau. Meskipun demikian, penafsiran para sejarawan tentang peristiwa masa lampau (subjektif) diharapkan dapat menggambarkan peristiwa tersebut apa adanya (objektif).
Untuk mencapai objektivitas, sejarawan menggunakan metode ilmiah untuk menguji kesahihan bukti-bukti yang ada, mengecek kebenarannya, dan membandingkannya dengan temuan yang lain.
Ada tiga hal yang menghambat terwujudnya objektivitas sejarah. Pertama, penelitian sejarah melibatkan kepentingan tertentu, misalnya kepentingan politik, ekonomi, dan sosial budaya. Kedua, peneliti memasukan perasaan, nilai, selera, atau ideologi pribadinya kedalam proses penelitiannya. Ketiga, peneliti tidak menguasai bidang yang ditelitinya.
Karena sejarah itu hasil penafsiran sejarawan, bisa dibilang kebenaran dalam sejarah itu tidak statis, tetapi dinamis. Artinya, penafsiran sejarawan masih terbuka untuk diperdebatkan, digugat yang pada gilirannya akan melahirkan sudut pandang atau penafsiran yang baru lagi.
***
Lalu, bagaimana menulis sejarah? Hilmar Farid (2008) pun menulis: "Menulis sejarah bukan perkara mudah. Impian agar sejarawan bisa menghadirkan masa lalu wie es eigentlich gewesen ist (sebagaimana sesungguhnya terjadi) dewasa ini semakin jelas tidak mungkin terwujud. Seandainya ada mesin waktu yang bisa melontarkan kita ke masa lalu pun, sejarah tetap akan dilihat dari perspektif tertentu, dan tidak dapat dihadirkan kembali sepenuhnya. Sejarah, seperti kita tahu adalah representasi dari masa lalu dan bukan masa lalu itu sendiri. Sejarah selalu diceritakan, disusun kembali, berdasarkan informasi yang bisa diperoleh mengenai masa lalu, dan karena itu akan selalu kurang, tidak lengkap dan memerlukan perbaikan. Karena itu sejarawan umumnya mengatakan bahwa sejarah itu terbuka bagi interpretasi yang berbeda, dan selalu bisa ditulis ulang."
Yang jelas, tidak ada sejarah yang tunggal karena itu bisa berbahaya dan dapat membodohkan. Biarlah, orang-orang "menuliskan" sejarah (menurut versi) masing-masing, asalkan sesuai dengan metode yang berlaku. Tidak ditambah-tambahi maupun dikurangi. Dengan kata lain, upaya penulisan dengan berbagai versi justru memperkaya kita dalam memahami masa lalu. Jadi daripada ditutup untuk sementara, lebih baik biarlah "garis batas" itu dibuka sehingga masa lalu tak sekadar lewat begitu saja. Seperti diktum seorang sejarawan terkenal bahwa setiap generasi menuliskan sejarahnya.
***
“Tulisan jelek gini apa gak takut dicatet sama sejarah,” celetuk Mat Puhit.
"Kok nulis kayak ginian? Ini tulisan kering banget. Cuma mindahin catatan kuliah. Sudah gitu ngajarin pula kayak kita gak ngerti sejarah!" protes Minan Tunja.
"Jangan tersinggung gitu geh. Ini beneran saya lagi belajar apa itu sejarah. Anggap aja ini cuma sharing dan jangan dianggap ngajarin geh," kata Udien.
….
"Ah, bosan!" tiba-tiba ngomong Mamak Kenut sambil kabur.
Waduh...
Fajar Sumatera, Kamis, 15 Oktober 2015
SEJARAH ialah kenangan dari tumpuan masa silam, kata Robert V. Daniel. Kenangan yang dimaksud adalah hal-hal yang ditangkap memori manusia terhadap peristiwa yang ia lihat. Apa yang ia lihat dapat menjadi tumpuan dalam mengetahui peristiwa masa lalu. Namun bagaimana pun, kenangan yang ditangkap sangat dibatasi oleh kamampuan manusia dalam mengingat. Kian lama kenangan itu, kian sukar sukar manusia mengingatnya.
Hakikat sejarah, menurut Sartono Kartodirdjo, dibatasi dua pengertian: sejarah objektif dan sejarah subjektif. Sejarah objektif, yaitu peristiwa atau kejadian masa lampau apa adanya. Sedangkan sejarah subjektif, yaitu hasil penafsiran (rekonstruksi) sejarawan atas peristiwa masa lampau.
Sejarah yang kita pelajari saat ini adalah hasil penafsiran para sejarawan atau sejarah subjektif, dan dari merekalah kita mengenal kehidupan manusia pada masa lampau. Sedangkan sejarah objektif adalah peristiwa nyata yang pernah terjadi di masa lampau. Meskipun demikian, penafsiran para sejarawan tentang peristiwa masa lampau (subjektif) diharapkan dapat menggambarkan peristiwa tersebut apa adanya (objektif).
Untuk mencapai objektivitas, sejarawan menggunakan metode ilmiah untuk menguji kesahihan bukti-bukti yang ada, mengecek kebenarannya, dan membandingkannya dengan temuan yang lain.
Ada tiga hal yang menghambat terwujudnya objektivitas sejarah. Pertama, penelitian sejarah melibatkan kepentingan tertentu, misalnya kepentingan politik, ekonomi, dan sosial budaya. Kedua, peneliti memasukan perasaan, nilai, selera, atau ideologi pribadinya kedalam proses penelitiannya. Ketiga, peneliti tidak menguasai bidang yang ditelitinya.
Karena sejarah itu hasil penafsiran sejarawan, bisa dibilang kebenaran dalam sejarah itu tidak statis, tetapi dinamis. Artinya, penafsiran sejarawan masih terbuka untuk diperdebatkan, digugat yang pada gilirannya akan melahirkan sudut pandang atau penafsiran yang baru lagi.
***
Lalu, bagaimana menulis sejarah? Hilmar Farid (2008) pun menulis: "Menulis sejarah bukan perkara mudah. Impian agar sejarawan bisa menghadirkan masa lalu wie es eigentlich gewesen ist (sebagaimana sesungguhnya terjadi) dewasa ini semakin jelas tidak mungkin terwujud. Seandainya ada mesin waktu yang bisa melontarkan kita ke masa lalu pun, sejarah tetap akan dilihat dari perspektif tertentu, dan tidak dapat dihadirkan kembali sepenuhnya. Sejarah, seperti kita tahu adalah representasi dari masa lalu dan bukan masa lalu itu sendiri. Sejarah selalu diceritakan, disusun kembali, berdasarkan informasi yang bisa diperoleh mengenai masa lalu, dan karena itu akan selalu kurang, tidak lengkap dan memerlukan perbaikan. Karena itu sejarawan umumnya mengatakan bahwa sejarah itu terbuka bagi interpretasi yang berbeda, dan selalu bisa ditulis ulang."
Yang jelas, tidak ada sejarah yang tunggal karena itu bisa berbahaya dan dapat membodohkan. Biarlah, orang-orang "menuliskan" sejarah (menurut versi) masing-masing, asalkan sesuai dengan metode yang berlaku. Tidak ditambah-tambahi maupun dikurangi. Dengan kata lain, upaya penulisan dengan berbagai versi justru memperkaya kita dalam memahami masa lalu. Jadi daripada ditutup untuk sementara, lebih baik biarlah "garis batas" itu dibuka sehingga masa lalu tak sekadar lewat begitu saja. Seperti diktum seorang sejarawan terkenal bahwa setiap generasi menuliskan sejarahnya.
***
“Tulisan jelek gini apa gak takut dicatet sama sejarah,” celetuk Mat Puhit.
"Kok nulis kayak ginian? Ini tulisan kering banget. Cuma mindahin catatan kuliah. Sudah gitu ngajarin pula kayak kita gak ngerti sejarah!" protes Minan Tunja.
"Jangan tersinggung gitu geh. Ini beneran saya lagi belajar apa itu sejarah. Anggap aja ini cuma sharing dan jangan dianggap ngajarin geh," kata Udien.
….
"Ah, bosan!" tiba-tiba ngomong Mamak Kenut sambil kabur.
Waduh...
Fajar Sumatera, Kamis, 15 Oktober 2015
No comments:
Post a Comment