Oleh Udo Z. Karzi
SECARA fisik saya memang jarang mulang pekon (pulang kampung), walaupun cuma butuh 5-6 jam untuk sampai di pekon saya itu. Tapi, untung ada ada telepon seluler, media sosial, dan pers. Untuk mengembalikan ingatan saya pada kampung halaman, cukup saya tuliskan beberapa patah kata bahasa Lampung, maka kami yang jauh dari pekon, di Kotabumi, Metro, Lubuklinggau, Jakarta, Bogor, Bandung, Bogor, Cianjur, Purwokerto, Palembang, Batam, Medan, Papua, berbagai pelosok tanah air, bahkan dari luar negeri bisa cawa-cawa seakan sedang berada di pekon.
Pekon saya itu memang unik. Ya, itu sih minimal kata saya. Hehee...
Sekarang pekon saya itu bernama (Kelurahan) Pasar Liwa. Tempat lahir saya (di ijazah): Liwa. Di rapor SD saya tertulis: SDN 1 Negarabatin Liwa. Suatu kali saat ketemu ulun tuha di tempat-tempat lain, ada juga yang menyebutnya dengan Sukanegeri. Secara adat, di Pasar Liwa ada dua kampung: Kampung Bumi Agung dan Serbaya dengan dua suntan masing-masing.
Nama-nama tempat di kampung saya ini aseli khas Lampung: Seranggas, Sebidak, Teba Kandis, Selipas, Pantau, Way Setiwang, Halian Rubok, Sabah Pasuk, Sabah Renoh, Pekon Uncuk, Pekon Kudan, Way Ais, Sindalapai, Ham Tebiu, dan lain-lain.
Nama-nama ini memang bikin kangen. Beberapa waktu lalu saat berkunjung ke Jatimulyo, Kecamatan Jatiagung, Lampung Selatan, saya bikin status: "PEKON KUDAN. Kik Budi Hutasuhut tebinta jama lambanni ulun Lampung Pesisir di Pekon Maja, Kecamatan Marga Punduh, Pesawaran; sekam terok muneh maleh mit lamban di Pekon Kudan. Sejaran nihan kintu dapok nanom sanini gulai rik nyani bidok. Hehee..." (PEKON KUDAN. Jika Budi Hutasuhut jatuh cinta pada rumah orang Lampung Pesisir di Desa Maja, Kecamatan Punduh Pidada, Pesawaran; kami kepengen juga pindah rumah ke Pekon Kudan. Lumayan kalau-kalau bisa menanam sayuran dan bikin kolam ikan. Hehee...)
Kalau tidak bisa berbahasa Lampung dan bukan orang Liwa, mungkin tidak akan tahu konteks status Facebook saya ini. Ya, Pekon Kudan di Pasar Liwa itu berganti nama dengan Jati Mulyo. Hadeuh...
"Kalau jadi tinggal di Jatimulyo, boleh gak ya desanya saya genti jadi Pekon Kudan," kata saya ke Novan Saliwa yang mengomentari status saya itu.
***
Itu sudah, dalam sepekan ini setidaknya ada tiga peristiwa yang memaksa saya mulang pekon. Pertama, hati melonjak ikut berbangga setelah Festival Kopi Liwa (Liwa Coffee Festival) di Kecamatan Air Hitam cukup mengangkat nama Kabupaten Lampung Barat. Acara yang diselenggarakan Dinas Perkebunan setempat dalam rangkaian peringatan HUT Ke-24 Kabupaten Lampung Barat ini tercatat di Museum Rekor-Dunia Indonesi (MURI) sebagai rekor ke-7.084 untuk kategori sangrai kopi terbanyak.
Dalam catatan MURI (http://www.muri.org), setidaknya ada empat kabupaten yang pernah memegang rekor menyangrai kopi terbanyak. Tahun 2011 rekor ini dipegang Kabupaten Banyuwangi (270 tungku oleh 300 peserta), tahun 2012 dipegang Kabupaten Malang (561 peserta), tahun 2014 dipegang Kabupaten Tabanan (735 peserta), dan tahun 2015 dipegang Kabupaten Lampung Barat (1.049 tungku). Bangga sih boleh, tetapi setelah ini apa, what next gitu loh.
Kejadian kedua, saya mendapatkan kiriman buak tat. Tapi, berbeda dengan buak tat yang selama ini saya kenal. Sudah ada kreasi baru dengan bentuk dan tambahan rasa yang bikin tambah enak. Buak (kue) ini tadinya kue khas untuk lebaran, penayuhan (pesta perkawinan), atau upacara adat lain di Lampung Barat (termasuk Pesisir Barat kini). Untunglah sudah ada yang memodifikasi kue ini utk dijual kepada pengunjung. Sebuah potensi kuliner. Cuma belum begitu dikenal.
Nah, yang ketiga, musibah yang terjadi di pekon saya itu. Innalillahi, kebakaran menghanguskan lima rumah di Pasar Liwa (dulu: Negarabatin Liwa), Sabtu, 19 September 2015.
"Rumah Wan Kusai, salah satunya," lapor Eka Fendiaspara.
Dan, saya pun segera membayangkan jejeran rumah dimaksud. Semoga yang mendapat cobaan dapat menghadapinya dengan tabah dan sabar.
Alhasil, sepekan ini saya mulang pekon dengan hati nano-namo. Pekonku jauh di mata, tapi dekat di hati. n
Fajar Sumatera, Senin, 21 September 2015
SECARA fisik saya memang jarang mulang pekon (pulang kampung), walaupun cuma butuh 5-6 jam untuk sampai di pekon saya itu. Tapi, untung ada ada telepon seluler, media sosial, dan pers. Untuk mengembalikan ingatan saya pada kampung halaman, cukup saya tuliskan beberapa patah kata bahasa Lampung, maka kami yang jauh dari pekon, di Kotabumi, Metro, Lubuklinggau, Jakarta, Bogor, Bandung, Bogor, Cianjur, Purwokerto, Palembang, Batam, Medan, Papua, berbagai pelosok tanah air, bahkan dari luar negeri bisa cawa-cawa seakan sedang berada di pekon.
Pekon saya itu memang unik. Ya, itu sih minimal kata saya. Hehee...
Sekarang pekon saya itu bernama (Kelurahan) Pasar Liwa. Tempat lahir saya (di ijazah): Liwa. Di rapor SD saya tertulis: SDN 1 Negarabatin Liwa. Suatu kali saat ketemu ulun tuha di tempat-tempat lain, ada juga yang menyebutnya dengan Sukanegeri. Secara adat, di Pasar Liwa ada dua kampung: Kampung Bumi Agung dan Serbaya dengan dua suntan masing-masing.
Nama-nama tempat di kampung saya ini aseli khas Lampung: Seranggas, Sebidak, Teba Kandis, Selipas, Pantau, Way Setiwang, Halian Rubok, Sabah Pasuk, Sabah Renoh, Pekon Uncuk, Pekon Kudan, Way Ais, Sindalapai, Ham Tebiu, dan lain-lain.
Nama-nama ini memang bikin kangen. Beberapa waktu lalu saat berkunjung ke Jatimulyo, Kecamatan Jatiagung, Lampung Selatan, saya bikin status: "PEKON KUDAN. Kik Budi Hutasuhut tebinta jama lambanni ulun Lampung Pesisir di Pekon Maja, Kecamatan Marga Punduh, Pesawaran; sekam terok muneh maleh mit lamban di Pekon Kudan. Sejaran nihan kintu dapok nanom sanini gulai rik nyani bidok. Hehee..." (PEKON KUDAN. Jika Budi Hutasuhut jatuh cinta pada rumah orang Lampung Pesisir di Desa Maja, Kecamatan Punduh Pidada, Pesawaran; kami kepengen juga pindah rumah ke Pekon Kudan. Lumayan kalau-kalau bisa menanam sayuran dan bikin kolam ikan. Hehee...)
Kalau tidak bisa berbahasa Lampung dan bukan orang Liwa, mungkin tidak akan tahu konteks status Facebook saya ini. Ya, Pekon Kudan di Pasar Liwa itu berganti nama dengan Jati Mulyo. Hadeuh...
"Kalau jadi tinggal di Jatimulyo, boleh gak ya desanya saya genti jadi Pekon Kudan," kata saya ke Novan Saliwa yang mengomentari status saya itu.
***
Itu sudah, dalam sepekan ini setidaknya ada tiga peristiwa yang memaksa saya mulang pekon. Pertama, hati melonjak ikut berbangga setelah Festival Kopi Liwa (Liwa Coffee Festival) di Kecamatan Air Hitam cukup mengangkat nama Kabupaten Lampung Barat. Acara yang diselenggarakan Dinas Perkebunan setempat dalam rangkaian peringatan HUT Ke-24 Kabupaten Lampung Barat ini tercatat di Museum Rekor-Dunia Indonesi (MURI) sebagai rekor ke-7.084 untuk kategori sangrai kopi terbanyak.
Dalam catatan MURI (http://www.muri.org), setidaknya ada empat kabupaten yang pernah memegang rekor menyangrai kopi terbanyak. Tahun 2011 rekor ini dipegang Kabupaten Banyuwangi (270 tungku oleh 300 peserta), tahun 2012 dipegang Kabupaten Malang (561 peserta), tahun 2014 dipegang Kabupaten Tabanan (735 peserta), dan tahun 2015 dipegang Kabupaten Lampung Barat (1.049 tungku). Bangga sih boleh, tetapi setelah ini apa, what next gitu loh.
Kejadian kedua, saya mendapatkan kiriman buak tat. Tapi, berbeda dengan buak tat yang selama ini saya kenal. Sudah ada kreasi baru dengan bentuk dan tambahan rasa yang bikin tambah enak. Buak (kue) ini tadinya kue khas untuk lebaran, penayuhan (pesta perkawinan), atau upacara adat lain di Lampung Barat (termasuk Pesisir Barat kini). Untunglah sudah ada yang memodifikasi kue ini utk dijual kepada pengunjung. Sebuah potensi kuliner. Cuma belum begitu dikenal.
Nah, yang ketiga, musibah yang terjadi di pekon saya itu. Innalillahi, kebakaran menghanguskan lima rumah di Pasar Liwa (dulu: Negarabatin Liwa), Sabtu, 19 September 2015.
"Rumah Wan Kusai, salah satunya," lapor Eka Fendiaspara.
Dan, saya pun segera membayangkan jejeran rumah dimaksud. Semoga yang mendapat cobaan dapat menghadapinya dengan tabah dan sabar.
Alhasil, sepekan ini saya mulang pekon dengan hati nano-namo. Pekonku jauh di mata, tapi dekat di hati. n
Fajar Sumatera, Senin, 21 September 2015
No comments:
Post a Comment