Wednesday, October 18, 2017

In Memoriam AM Zulqornain Ch

Oleh Udo Z Karzi


AM Zulqornain Ch
SAYA lupa kapan terakhir bertemu dengan Bang Zul. Saat Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung (DKL) bekerja sama dengan Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni Universitas Lampung (UKMBS Unila) menggelar Lomba Baca Puisi Bahasa Lampung bertajuk "Hanggum Bubahasa Lampung", pertengahan Desember 2016; saya sempat mengusulkan nama Asaroedin Malik Zulqornain Choliq -- nama lengkap sastrawan AM Zulqornain Ch aka Amzuch -- untuk menjadi salah satu juri.

Saya ingat Bang Zul pernah juga menjadi juri bersama saya dan Ari Pahala Hutabarat untuk lomba baca puisi Lampung yang diambil dari buku puisi Lampung saya Mak Dawah Mak Dibingi yang diselenggarakan di Taman Budaya Lampung pada November 2010. Itulah sebabnya saya ingin mengajak Bang Zul.

Namun, Mas Hari Jayaningrat, Ketua Bidang I DKL mengatakan, "Jangan. Kesehatan Bang Zul tidak memungkinkan." Ya, saya paham.

Saya seperti juga sastrawan dan seniman Lampung lainnya, jelas tak mungkin lupa dengan sosok seniman nyentrik satu ini. Bicaranya keras dan tanpa tedeng aling-aling. Ia juga aktor watak, sehingga ia selalu tampil menarik saat naik panggung membaca puisi, menjadi pembicara dalam diskusi, bahkan saat sekadar menanggapi narasumber seminar dari kursi peserta.

Meskipun terlihat capek dan kurang fits, ia menjadi bintang saat tampil dalam Panggung Sastra Lampung pembacaan karya puisi dan cerpen di Taman Budaya Lampung, 24 Desember 2013. Ia tak kalah garang dan bikin gayeng dengan cerpen humor yang ia bacakan di antara para sastrawan lain seperti Isbedy Stiawan ZS, Syaeful Irba Tanpaka, Iswadi Pratama, Ahmad Yulden Erwin, Ari Pahala Hutabarat, Inggit Putria Marga, Fitri Yani, dan Iskandar GB, Edi Purwanto, dan Yulizar Fadli.

Pria kelahiran Jakarta, 15 November 1956 ini adalah sastrawan generasi 1980-an di Lampung bersama, antara lain Isbedy Stiawan ZS, Syaiful Irba Tanpaka, Iwan Nurdaya-Djafar, Achmad Rich, Sugandhi Putra, Naim Emel Prahana dan Djuhardi Basri setelah era Motinggo Busye, Aan Sarmani Adiel, dan BM Gutomo.

Meskipun lahir di Jakarta, Asaroeddin adalah putra Lampung. Ayahnya, Azzadi Abdul Chaliq Shahib, lahir di Menggala pada 1921 dan ibunya, Inci Siti Zuwaiyah, lahir di Telukbetung pada 1935. Sejak kelas lima SD, Asaroeddin harus berpisah dengan kedua orang tuanya dan tinggal bersama datuknya, Wan Abdul Rahman. Meski hanya dua tahun tinggal bersama datuknya yang pejuang Kemerdekaan RI dan namany diabadikan untuk Taman Hutan Rakyat (Tahura) Wan Abdul Rahman, Asaroeddin mendapat banyak bimbingan dan arahan tentang disiplin hidup.

Dengan berbagai nama pena, tulisan-tulisan Bang Zul sudah mulai menghiasi mading SMAN Telukbetung (sekarang: SMAN 4 Bandar Lampung). Setelah itu ia merambah ke berbagai media massa daerah dan Ibu Kota. Secara otodidak ia mendalami dunia sastra. Asaroeddin lahir sebagai sastrawan dari luar kampus dan karyanya banyak yang merambah media massa Jakarta. “Nomor 289 untuk 5 Menit” adalah karya pertama yang dimuat di harian Pelita, 20 Oktober 1978.

Tidak kurang dari 250 karya Asaroedin berupa cerpen, cerita anak, puisi, dan esai di Sinar Harapan, Pelita, Suara Karya, Simponi, Swadesi, Minggu Merdeka, Berita Buana, Mutiara, Harmonis, majalah Detektif Romantika, Senang, Humor, Bobo, Kharisma, Variasi, dan Nova. Termasuk yang di Lampung, Lampung Post, Radar Lampung, Lampung Ekpres, Sumatera Post, dan Trans Sumatra.

Meskipun ratusan cerpen pernah dipublikasikan, puluhan puisi pernah Asaroeddin ciptakan, dia memilih tidak dikenal oleh redaktur media mana pun selama menulis. Baginya, cap “penulis” bukanlah sesuatu yang istimewa karena yang dibutuhkan masyarakat bukanlah orangnya tetapi karyanya.

Dengan penekanan pada tema-tema kemanusiaan dalam berkarya, Asaroeddin mampu memberikan corak tersendiri bagi para pembacanya. Secara garis besar, kandungan yang terdapat dalam karya-karya Asaroeddin merupakan perpaduan antara unsur moral, estetis, heroisme, keagamaan, dan humor.

Kecintaan dan kepedulian Assroeddin terhadap perkembangan sastra di Lampung, khususnya di kota Bandarlampung, ditunjukkannya dengan mendirikan Sanggar Cakrawala Ide Anak Muda (CIA) pada tahun 1985. CIA didirikannya bersama Riswanto Umar dan Isbedy Stiawan ZS.
Untuk menampung dan mengabarkan tulisan-tulisan para pengurus dan anggota CIA sebagai bentuk luapan ekspresi yang dapat dinikmati oleh masyarakat, mereka membuat Buletin yang dilabeli dengan nama Sastra CIA.

Untuk membangkitkan semangat sastrawan muda, Asaroedin bersama Achmad Rich, Syaiful Irba Tanpaka, dan Isbedy Stiawan ZS melahirkan antologi puisi, Nyanyian Tanah Putih (1984).
Pengemar Asmaraman Kho Ping Hoo ini tidak pernah berhenti berjuang mencurahkan hidupnya untuk masyarakat Lampung. Bersama-sama seniman lampung lainnya, Asaroeddin turut membidani lahirnya Dewan Kesenian Lampung (DKL) pada 17 September 1993. Dia sempat menjadi DKL. Ia juga pernah menjadi Dewan Kehormatan DKL (2005--2008) dan anggota Dewan Pembina DKL sampai 2014.

Pensiunan pegawai negeri ini tak pernah menghentikan perhatiannya pada dunia sastra. Ia selalu mengobarkan semangat untuk mencintai budaya lokal. Para seniman Lampung mau mengembangkan kesenian Lampung. Dia menganggap kesenian khas Lampung cenderung diabaikan oleh masyarakat. Oleh sebab itu, Asaroeddin berharap kesenian Lampung yang notabene menjadi ciri khas sebuah daerah dilestarikan.
“Saya mau bikin Provinsi Krakatau saja. Bahasa dan budaya Lampung kok gak dipedulikan,” kata dia pada sebuah sebuah diskusi Bahasa Lampung di Lampung Post, Oktober 2013.

"Saya senang, bangga dan terharu sekali Lampung mendapat Hadiah Sastra Rancage," kata dia kepada saya ketika bertemu dengannya pada 2009, tak lama setelah saya kembali bertugas di Lampung setelah bekerja di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah (2006--2009). Ia pun berbicara panjang-lebar mengenai bahasa, sastra, dan budaya Lampung.

Dan nyatanya ia pun bikin puisi berbahasa Lampung seperti terlihat dalam judul-judul, "Lebon”, “Senggulan”, dan “Lohot Tandang Midang”.

Berkali-kali saya bilang ke Bang Zul, "Bang sini saya bukukan cerpen-cerpenmu. Kayaknya asyik-asyik..." Tapi, entahlah ia tak pernah menyerahkan naskahnya ke saya. Saya kurang tahu, apakah ada karyanya yang dibukukan sebelum ini.

Sutradara Teater Satu Iswadi Pratama dalam beberapa kali perbincangan dengan saya, mengaku banyak mendapat ide cerita bagi lakon-lakonnya seperti "Aruk Gugat". "Ini cerita dari atau tentang Bang Zul," kata Iswadi.

Saya suka gayamu, Bang Zul dan masih ingin bertemu dan melihat semangatmu yang dulu. Tapi, malam ini saya mendengar kabar duka: "Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Telah wafat AM Zulqornain pada pukul 18.05 di kediamannya di Sukamaju, Bandar Lampung. Beliau akan dimakamkan besok (Rabu, 18/10/2017) bakda Zuhur," tulis Afrizal Ar, staf DKL melalui WA, Selasa 17/10/2017 pukul 20.00.

Penyakit jantung ya Bang Zul derita sejak lama dan berkali-kali dirawat di rumah sakit tidak mampu lagi ia tahan. Selama ini, "Meskipun sakit, Bang Zul tetap bersemangat menyambangi teman-teman. Tapi, setelah Musda DKL tahun 2015, saya sudah jarang liat Bang Zul," kata Sekretaris DKL Bagus S Pribadi.

Maafkan saya kalau tak sempat menyambangi Abang sampai Izrail datang menjemputmu. Bahkan, ampun deh... besok pun kemungkinan saya tak bisa melayat dan mengantarmu ke tempat peristirahatan terakhir di TPU Sukamaju, Telukbetung Barat, Bandar Lampung.
Selamat jalan, Abang. Bang Zul inspirasi buat kami. Tabik.


Rabu, 18 Oktober 2017

Monday, July 31, 2017

Menggugat Universitas!

Oleh Udo Z Karzi


YUYUN Sapto (35) ditemukan tewas gantung diri di sebuah pohon di lereng bukit di Jalan Tirtayasa, Kelurahan Campang Jaya, Kecamatan Sukabumi, Bandar Lampung, Selasa, 25/7/2017, sekitar pukul 17.00 WIB. Alumnus D3 Jurusan Pusat Dokumentasi dan Informasi (Pusdokinfo) FISIP Universitas Lampung ini diduga frustasi karena tidak mendapatkan pekerjaan.

Berita ini menjadi viral karena judulnya luar biasa menggoda, "Frustasi Tak Dapat Kerja, Alumni Unila Yuyun Sapto Gantung Diri" (duajurai.com, 26/7/2017).

Tanpa mendalami lebih detil mengenai fakta-fakta seputar kematian Yuyun, lantas siapa saja bisa berpendapat macam-macam. Boleh berkata, sarjana (muda) kok pendek akal mengakhiri hidup dengan cara yang di luar nalar. Orang juga bisa beranggapan, Unila ternyata hanya menghasilkan banyak pengangguran.

Lebih jauh lagi, berkembang pikiran agar Unila tidak gampang-gampang membuka jurusan atau program studi yang hanya tidak jelas pasar kerjanya bagi lulusannya. Kebetulan Unila baru saja membuka program studi Strata 1 Pendidikan Seni Musik. Kebetulan pula bertahun-tahun digagas-gagas dan didorong-dorong agar Unila segera membuka Prodi S1 Pendidikan Bahasa Lampung, bahkan Fakultas Ilmu Budaya yang menjadi induk bagi ilmu-ilmu sejarah, bahasa, sastra, budaya, arkeologi, dan lain-lain.

Kenapa S1 Bahasa Lampung tak kunjung dibuka di Unila? Ternyata, masih saja ada anggapan bahwa S1 Bahasa Lampung ini bakal melahirkan banyak pengangguran. Soalnya, belum ada jaminan dari pemda-pemda se-Lampung bakal merekrut para sarjana bahasa Lampung ini.

"Kalau para sarjana bahasa Lampung itu menganggur dan kemudian bunuh diri kayak Yuyun Sapto, bagaimana coba?" Kira-kira begitu pertanyaannya. Dengan "logika" ini, lebih baik S1 Bahasa Lampung ditunda dulu.

Pandangan pesimisme ini juga berangggapan, pendirian Fakultas Ilmu Budaya (FIB) bukan solusi, ia malah akan menimbulkan masalah lebih besar lagi. Unila akan semakin banyak melahirkan pengangguran dan otomatis semakin banyak alumninya yang bunuh diri.

Waduh, ini dramatis sekali atau lebih tepatnya, dramatisasi sebuah kasus untuk dijadikan alibi dari sebuah 'kegagalan' sistem.

Saya terus terang gemas sekali. Saya agak sulit menulis dengan jernih mengenai persoalan ini. Saya kutip saja komentar saya di Facebook, "Peristiwa bunuh alumni Unila jangan didramatisirlah. Ini hanya satu contoh kasus. Motif bunuh dirinya pun masih dugaan. Jangan sampai pula karena ada yang menganggur, ada yang bunuh diri, Unila sebagai pusat kebudayaan (bisa juga pengembang sains) melupakan fungsinya. Saya gak setuju unila cuma dijadikan mesin pencipta tenaga kerja. Kalau cuma itu orientasinya (menciptakan pekerja/tukang) memang Unila tak perlu bikin fakultas filsafat, ilmu budaya, dan semacamnya. Dan, karena masih harus menunggu MoA Unila dangan pemda-pemda se-Lampung yang entah kapan bisa direalisasikan, nasib guru bahasa Lampung masih akan terkatung2. :) Ya masih dibutuhkan kesabaran bertahun-tahun lagi untuk menunggu..."

Saya, terus terang seharusnya menggugat universitas karena apa yang saya kerjakan -- saya tak kuat menyebutnya profesi -- tidak sesuai dengan disiplin ilmu yang saya miliki yang ditandai dengan ijazah sarjana yang saya simpan. Ya, iyalah saya gak bisa jadi lurah, camat, kepala dinas atau jabatan apalah di pemerintahan. :)

Tapi tidak. Saya tidak boleh menggugat universitas. Sebab, universitas tempat saya kuliah -- agak lamaan sih, hehee -- telah memberi saya ilmu pengetahuan (sains). Tadinya, saya mau bersikap vatalis dengan mengatakan apalah gunanya ilmu yang saya peroleh dari universitas kalau dalam kenyataannya ilmu saya itu tidak terlalu menolong saya dalam dunia kerja.

Awal masuk kuliah, terus terang saya masih beranggapan bahwa saya kuliah biar gampang dapat pekerjaan. Tapi, berkali-kali saya diingatkan bahwa "Kamu disekolahkan bukan agar kamu mudah kerja. Kamu disekolahkan biar kamu dapat ilmu. Ilmu ini yang akan menjadi bekalmu dalam mengarungi kehidupan ini. Jelas dalam Alquran, orang yang (beriman dan) berilmu akan ditinggikan Allah swt derajatnya."

Baiklah kita kembali ke tujuan pendidikan, termasuk universitas diselenggarakan. Di sepanjang sejarah, beberapa tokoh penting telah merumuskan sasaran pendidikan. Tokoh pertama adalah Plato. Di dalam bukunya, Republic, ia sangat menekankan pendidikan untuk mewujudkan negara idealnya. Plato mengatakan bahwa tugas pendidikan adalah membebaskan dan memperbarui; ada pembebasan dari belenggu ketidaktahuan dan ketidakbenaran. Pembebasan dan pembaruan itu akan membentuk manusia yang utuh, yaitu manusia yang berhasil menggapai segala keutamaan dan moralitas jiwa, yang akan mengantarnya ke ide yang tertinggi yaitu kebajikan, kebaikan, dan keadilan.

Namun, Aristoteles mengaitkannya dengan tujuan negara. Ia mengatakan bahwa tujuan pendidikan haruslah sama dengan tujuan akhir dari pembentukan negara.

Di Eropa, sejak abad ke-14, tujuan universitas adalah mencari kebenaran. Mencari kebenaran-- itulah citra yang dapat kita pelajari dari tujuan pendirian universitas-universitas itu. Di kemudian hari, khususnya universitas-unversitas di Amerika Serikat, mata kuliah engineering (rekayasa) dimasukkan ke dalam kurikulum, tetapi citra bahwa universitas untuk mencari kebenaran tetap dipelihara.

Aduh... kenapa universitas yang saya kenal kok sibuk benar memikirkan bagaimana alumninya bisa bekerja ya? Universitas yang saya kenal ini masih tidak percaya bahwa ilmu yang mereka berikan kepada mahasiswa tidak cukup menjadi bekal mereka dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara? Univertas yang sibuk bertanya, "Lapangan pekerjaannya sudah tersedia belum untuk jurusan/prodi yang akan kami buka?"

Mohan maaf. Ocehan saya mungkin lebih banyak kelirunya. Tabik. []


Fajar Sumatera, Senin, 31 Juli 2017 

Monday, July 17, 2017

Nama Lama, Nama Baru

Oleh Udo Z Karzi


DEMIKIANLAH, nama-nama tempat lama yang klasik -- tetapi dianggap "ndeso" dan ketinggalan -- berganti nama. Sebut saja, Umbullimau menjadi Sukarame, Renglaya Lawok menjadi Kampungbaru, Pekonkudan menjadi Jatimulyo, Negarabatin Liwa menjadi Pasarliwa, Pantau (sempat diusulkan!) menjadi Sumberrejeki, Ham Tebiu sempat vtenggelam di bawah nama Sukamenanti, ... dst.

Itu semua di Liwa. Di tempat lain, Way Awi menjadi Kaliawi, Batasmarga menjadi Mergorejo, Tanjungkarang-Telukbetung menjadi Bandarlampung, Way Andak menjadi Kalianda, Bambuseribu menjadi Pringsewu, Semaka menjadi Semangka, dst.

Saya cuma bertanya perlukah nama-nama "antik" dan asyik seperti Sabahbrak, Sabahpasuk, Sabahrenoh, Way Rubok, Way Hamalom, Tebakandis, Way Ais, Sungi, Sebidak, Seranggas, Selipas, Kidupan, Bedudu, Serungkuk, Canggu, dst diganti biar kelihatan modern atau minimal menunjukkan "kemajuan" karena sudah banyak yang datang ke situ dan karena itu perlu ganti nama?

***

Saya memang menggunakan nama Udo Z Karzi dan berbagai nama lain biar kelihatan keren -- sempat juga Joel K Enairy, dll. Nama lama aseli pemberian orang tua (meskipun sudah pada tahu, tetap dirahasiakan, hehee...) keren juga kok. Tapi, ini untuk keperluan publisitas saja. Ya, semacam merk dagang aja. Tadinya, biar tulisan laku dimuat koran dan saya tidak ketahuan sebagai tukang tulisnya. Bukan namanya, yang penting kan honorarium tulisannya. Hehee...

Namun, soal nama-nama tempat saya kok kurang sreg nama-nama bagus dan tidak ada duanya di dunia kok digenti-genti. Coba aja: Kemiling, Pekon Ampai, Kedamaian, Rajabasa, Negeriolok Gading, Gedongmeneng, Gedongpakuon, Hajimena, Way Balau, Pakiskawat, Kuripan, Way Huwi, ... kan nama-nama asyik punya.

***

Saya kurang mengerti apa sih manfaatnya mengganti nama lama menjadi nama baru? Saya ingat doeloe sekitar tahun 1985-an, bagaimana saya tersesat-sesat di Bandarlampung setelah sekian waktu tidak berkunjung ke kota ini ketika mencari sepotong jalan bernama Jalan Sekala Brak. Tak ketemu. Bagaimana mau ketemu kalau jalan itu sudah berubah menjadi Nusa Indah. Belakangan sebagian jalan dikembalikan menjadi Jalan Sekala Bekhak.

Lebih dari tujuh tahun saya tinggal di wilayah bernama Pakiskawat. Ada juga yang menyebut Pakistan (Pakiskawat Tanjanan) Hehee... Sekarang, saya kalau bilang Pakiskawat, ternyata jarang yang tahu Pakiskawat. Kira-kira jawabannya, "O, Sumurbatu atau Lungsir atau Enggal atau Rawalaut". Bukan Pakiskawat. Dan, memang secara administratif saat ini memang tidak ada nama (kelurahan, kecamatan, dll) Pakiskawat di Bandarlampung.

***

Kita ini memang suka ahistoris sih. Menghilangkan jejak (sejarah) lama. Dan, menggantinya dengan yang baru. Padahal, kita bikin nama baru karena kita malas bertanya saja kepada orang yang duluan memberi nama tempat yang kita baru kita tempati. KIta pikir, kitalah orang yang berhak kasih nama tanpa memikirkan perasaaan orang yang kasih nama duluan. :)

Setahu saya, orang-orang Lampung doeloe tak sembarang memberi nama orang, tempat, barang, dan lain-lain. Negerisakti, Halanganratu, Pakuonratu, Pagardewa, Ngaras, Ngambur, Padangcahya, Padangdalom, Kurungannyawa, ... apa tidak dahsyat nama-nama itu?

Nama (adok) apalagi... ada Suntan, Pengiran, Raja, Batin, Radin, Kimas, dan sebagainya. Masa nama-nama itu mau digenti juga? Kalau itu masih saja terjadi, terlalu deh.

***

Omong-omong, Udo Z Karzi (sempat) mau genti nama lagi. Hehee... Tapi, kadung pakai nama itu. Lagi pula ini nama hoki lo. Kalau gak percaya, coba aja genti nama Anda... sekarang juga. Agui...!! []


Fajar Sumatera, Senin, 17 Juli 2017 

Thursday, July 6, 2017

Hati-Hati Kalau Ngomong!

Oleh Udo Z Karzi


HATI-HATI kalau ngomong ya! Kalau nggak, lu bisa dilaporin ke pelisi dengan pasal ujaran kebencian dan penistaan agama.

Waduh! Mamak Kenut langsung tepok jidat. Soalnya dia dan kawan-kawan memang suka ngomong semau-mau. Ya, namanya juga aseli tukang recok di Negarabatin.

Mat Puhit langsung sewot mendengar Kesang Pengarep dilaporkan ke pelisi gara-gara video blog atau vlog-nya. Putera bungsu Presiden Joko Widodo itu dianggap menyebarkan ujaran kebencian di dunia maya.

Mat Puhit sewot bukan karena yang dilaporkan itu anak Presiden. Tapi, setelah mendengarkan langsung nya vlog Kaesang di Youtube berjudul #BapakMintaProyek, ia merasa tidak ada masalah yang krusial. "Coba sebutkan bagian mana dari vlog itu yang mengandung ujaran kebencian dan penistaan agama!" kata Mat Puhit keras.

Muhammad Hidayat yang melaporkan Kesang ke Polresta Bekasi pada 2 Juli 2017 lalu berkata, "Ada dua yang mudah diingat, walaupun sebenarnya ada lebih dari dua lontaran yang patut diduga sebagai ujaran kebencian dan penodaan agama. Lontaran yang mudah diingat adalah kata “ndeso” merupakan ujaran kebencian. Bagi saya ndeso itu adalah sebuah golongan masyarakat desa, satu golongan masyarakat desa itu dikonotasikan sebagai masyarakat rendah, sehingga dia menjadi analogi mempersepsikan sesuatu yang negatif, 'dasar ndeso lo', 'dasar kampungan lo'. Maka masyarakat desa menjadi sebuah image masyarakat desa itu adalah rendah, apalagi setelah menjadi konsumsi publik,” kata Hidayat kediamannya di Bekasi, Rabu, 5/7/2017.

Hidayat yang mengaku awalnya tidak tahu kalau Kesang ia laporkan adalah putra Presiden melanjutkan, "Kata ndeso yang dilontarkan dalam akun tersebut menunjuk kepada subjek yang ada dalam video yang berisi anak-anak sedang berdemo, dan orang-orang yang berkuliah di luar negeri, tetapi saat kembali ke Indonesia bukan membangun negeri. Selain itu,  kata-kata seperti, 'mengadu domba' , 'mengkafir-kafirkan', 'tidak mau menshalatkan karena perbedaan memilih pemimpin', juga dinilai MH mengandung ujaran kebencian. Ungkapan-ungkapan itu dalam pandangan saya diduga sebagai lontaran ujaran kebencian.”

Ini konyol! Kata Tina Toon, "Pelapornya lebay! Mengada-ada."

Wajar kalau kemudian Wakil Kepala Polri Komjen Syafruddin mengatakan, laporan tersebut tidak akan ditindaklanjuti karena tidak memenuhi unsur pidana. Ia bahkan menyebut laporan terhadap Kaesang itu mengada-ada.

Itu sudah, sekarang baiklah kita tinjau lagi "pasal karet" karya terbaru Orde Reformasi itu. Surat Edaran (SE) Kapolri Nomor 06/X/2015 terkait penanganan ujaran kebencian (hate speech) menyebutkan hate speech adalah tindak pidana yang berbentuk, penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, penyebaran berita bohong, dan semua tindakan di atas memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan atau konflik sosial. Aspeknya meliputi suku, agama, aliran keagamaan, keyakinan dan kepercayaan, ras, antar golongan, warna kulit, etnis, gender, kaum difabel, dan orientasi seksual.

Inilah perkara yang diatur  Pasal 156, Pasal 157, Pasal 310, Pasal 311, kemudian Pasal 28 jis.Pasal 45 ayat (2) UU No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. 

Ada yang bilang pasal ini sangat dibutuhkan di negara demokrasi yang menghormati kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi. Namun, bagi sebagian orang, peraturan hate speech ini dianggap sebagai pembungkaman suara publik untuk menyampaikan aspirasi. Terlebih lagi karena dapat menjerat pengguna jejaring media sosial.

Bagir Manan mengatakan, hate speech ini sebenarnya tidak perlu. Sebab, ukuran seseorang menyebarkan kebencian atau tidak sangat sulit diukur. "Aturan seperti itu, dapat digunakan seseorang, sekelompok orang, dan terutama penguasa, untuk menekan dan memenjarakan orang secara mudah. Di media sosial sekalipun tidak masalah. Orang kritik, hujat dan sebagainya, ya risiko pejabat publik. Sejauh masalah kebijakan yang dikoreksi. Kalau ada fitnah, ya tinggal pakai saja aturan yang ada,” tegas Bagir Manan.

Jadi, benarkah pasal hate speech itu dibutuhkan di negeri yang mengaku demokrasi ini?

"Induh, nyak mak pandai," kata Mamak Kenut.  “Tapi, tetap hati-hati kalau ngomong!”


Fajar Sumatera, Jumat, 7 Juli 2017

Tuesday, June 6, 2017

Sesuatu yang Mengancam dari Mercon

Oleh Udo Z Karzi


SUDAH saya bilang berkali-kali. "Jangan main mercon!" Eh, tetap saja orang-orang pada suka dengannya.

Sorak-sorai dan suasana penuh kegembiraan bermain petasan segera berubah duka saat mengetahui Zahra Nabila (9), warga Jalan Ir Sutami, Kampung Sukajadi, Kelurahan Way Laga, Kecamatan Sukabumi, Bandar Lampung, tewas akibat terkena petasan di punggungnya, Jumat (2/6/2017).

Zahra yang yatim ketika itu sedang bermain petasan di dekat kediamannya. Korban tinggal bersama ibunya, Nita, dan keempat saudara perempuannya. Namun, saat kejadian korban hanya seorang diri tanpa adanya pengawasan ketika memaikan mercon tersebut.

Kabarnya, Nabila kemungkinan menyalakan petasan dan ingin melemparnya. Namun, petasan tersebut malah masuk ke dalam baju bagian belakang korban.

Waktu petasan itu masuk ke dalam bajunya, dia berlari meminta tolong ke arah ibunya dengan kondisi baju terbakar. Ibunya berusaha menyelamatkan anaknya dengan cara menyiramkan air ke korban.

Ia langsung langsung dilarikan ke Rumah Sakit Graha Husada, Bandarlampung Kamis (1/6/2017) untuk menjalani perawatan. Namun, setelah menjalani perawatan beberapa jam korban meninggal dunia paginya.

Sehari kemudian, Sabtu (3/6/2017) Ridho Romdhon meninggal di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Abdul Moeloek. Ia terkena luka bakar akibat bermain petasan di kediamannya, Kelurahan Maros, Kotaagung, Kabupaten Tanggamus.

Ceritanya, mercon yang ia nyalakan menyambar bensin yang sedang dituangkan ibunya. Ridho mengalami luka bakar di sekujur tubuhnya. Sedangkan ibunya mengalami luka bakar dan tengah dirawat di rumah sakit daerah.

Sebelumnya, diduga akibat terkena ledakan mercon dua anak balita di Dusun Sumber Gunung, Desa Ambender, Kecamatan Pegantenan, Kabupaten pamekasan, Jawa Timur, meninggal, setelah rumah mereka meledak, Rabu (31/5/2017). Kedua balita tersebut, yakni Alga (3) dan Anas (4). Satu korban selamat, yakni Dani (13) sedang dirawat di Puskesmas Pegantenan.

Kapolsek Pegantenan AKP Puryanto mengatakan, ledakan mercon terjadi sekitar pukul 11.30 WIB. “Dugaan sementara, rumah mereka meledak akibat Mercon yang disimpan di dalamnya, namun kami akan selidiki untuk mengetahui apa penyebab pasti kejadian ini,” jelasnya.

Jadi, saya mau bilang apa, kalau sudah kejadian. Semoga segala ucapan keprihatinan dan ungkapan penyesalan saya bukan sekadar basa-basi.

Dan, yang paling penting adalah menghentikan kesukaan main petasan. Sebab, bagaimana pun petasan adalah bom mini, yang tetap berbahaya bagi sesiapa pun. Disimpan pun tetap berbahaya karena sewaktu-waktu bisa meledak.

Masihkah kita tidak menyadari sesuatu yang mengancam dari mainan bernama mercon atau petasan? []


Fajar Sumatera, Senin, 6 Juni 2017 

Tuesday, January 31, 2017

Kopi dan Literasi

Oleh Udo Z Karzi


ENTAH benar-entah tidak saya bilang saja: "Memang mesti banyak-banyak ngupi -- utamanya kupi lampung -- untuk jadi penulis keren. Beneran ini! Coba cek daerah penghasil kopi, mesti banyak menghasilkan penulis."

Saya menjadi pembicara bersama pustakawan SMAN 2 Metro Luckty Giyan Sukarno di Sesi IV Literasi dan Kopi: Belajar Pengalaman dari Kota Lain dalam Konferensi Kedai Kopi di Pojok Topten, Metro, Minggu, 29/1/2017 pagi.

Pengalaman pribadi saya, memang ketika membaca dan menulis yang menjadi inti dari literasi, saya memerlukan kafein yang cukup untuk sekadar meningkatkan konsentrasi dan meransang bekerjanya otak saya.

Maka, saya pernah protes keras begitu ada peraturan dilarang membawa makanan dan minuman ke ruang kerja. "Ngggak bisa. Saya nggak bisa mikir di depan komputer kalau tak ada kopi di dekat saya," kata saya.

Satu lagi: saya tak pakai gula. Ya, kopi pahit. Tak perlu banyak-banyak. Satu gelas di depan saya itu tidak langsung habis, berjam-jam kemudian baru tandas. Sering malah kelupaan meminumnya sampai dingin.

Walau sudah habis dan isi gelas tinggal ampasnya, biasanya gelas itu dibiarkan saja menemamani saya bekerja. Entahlah kopi dan gelas itu seperti mensugesti saya untuk terus memencet-mencet keyboard.

Pekerjaan rampung dan saya pulang, sementara gelas berisi ampas kopi itu masih saja setia menunggui meja dan komputer yang sudah dimatikan.

Antara kopi dan literasi, barangkali tak ada hubungannya. Tapi, saya tetap menganjurkan ngupi, ngebaca, dan nulis (3N) -- saya tak suruh ngudut karena saya tidak merokok -- dilakukan dalam waktu yang hampir bersamaan. Sebab, tiga kegiatan ini sangat bermanfaat bagi yang melakukannya.

Ada yang bilang, "Jangan banyak-banyak ngupi, nanti mabuk."

Saya sahuti, "Mabuk kupi tambah seru karena tambah kreatif!"

Kabar terakhir sekarang sudah berhasil diciptakan wine yang terbikin dari kopi. Na, benar kan bisa mabuk kupi. Tapi, tak berbahaya bagi tubuh. Itu yang penting.

Jangan percaya sakit karena kopi. Yang salah bukan kopinya, melainkan cara ngupinya yang keliru. Saya juga baru dengar dari pemilik Kedai Pojok Topten Rahmatul Ummah yang mengatakan, "Kopi ternyata bagus untuk meningkatkan kualitas sperma laki-laki."

Makanya, ia dan teman-teman bikin kedai kopi yang memadukan aktivitas ngupi, ngudut, nganik, ngebaca, dan nulis ... nah malah jadi 5N.

Kesimpulannya, mari membangun tradisi ngupi sekaligus mengembangkan dunia literasi! []


Fajar Sumatera, Selasa, 31 Januari 2017