Monday, July 17, 2017

Nama Lama, Nama Baru

Oleh Udo Z Karzi


DEMIKIANLAH, nama-nama tempat lama yang klasik -- tetapi dianggap "ndeso" dan ketinggalan -- berganti nama. Sebut saja, Umbullimau menjadi Sukarame, Renglaya Lawok menjadi Kampungbaru, Pekonkudan menjadi Jatimulyo, Negarabatin Liwa menjadi Pasarliwa, Pantau (sempat diusulkan!) menjadi Sumberrejeki, Ham Tebiu sempat vtenggelam di bawah nama Sukamenanti, ... dst.

Itu semua di Liwa. Di tempat lain, Way Awi menjadi Kaliawi, Batasmarga menjadi Mergorejo, Tanjungkarang-Telukbetung menjadi Bandarlampung, Way Andak menjadi Kalianda, Bambuseribu menjadi Pringsewu, Semaka menjadi Semangka, dst.

Saya cuma bertanya perlukah nama-nama "antik" dan asyik seperti Sabahbrak, Sabahpasuk, Sabahrenoh, Way Rubok, Way Hamalom, Tebakandis, Way Ais, Sungi, Sebidak, Seranggas, Selipas, Kidupan, Bedudu, Serungkuk, Canggu, dst diganti biar kelihatan modern atau minimal menunjukkan "kemajuan" karena sudah banyak yang datang ke situ dan karena itu perlu ganti nama?

***

Saya memang menggunakan nama Udo Z Karzi dan berbagai nama lain biar kelihatan keren -- sempat juga Joel K Enairy, dll. Nama lama aseli pemberian orang tua (meskipun sudah pada tahu, tetap dirahasiakan, hehee...) keren juga kok. Tapi, ini untuk keperluan publisitas saja. Ya, semacam merk dagang aja. Tadinya, biar tulisan laku dimuat koran dan saya tidak ketahuan sebagai tukang tulisnya. Bukan namanya, yang penting kan honorarium tulisannya. Hehee...

Namun, soal nama-nama tempat saya kok kurang sreg nama-nama bagus dan tidak ada duanya di dunia kok digenti-genti. Coba aja: Kemiling, Pekon Ampai, Kedamaian, Rajabasa, Negeriolok Gading, Gedongmeneng, Gedongpakuon, Hajimena, Way Balau, Pakiskawat, Kuripan, Way Huwi, ... kan nama-nama asyik punya.

***

Saya kurang mengerti apa sih manfaatnya mengganti nama lama menjadi nama baru? Saya ingat doeloe sekitar tahun 1985-an, bagaimana saya tersesat-sesat di Bandarlampung setelah sekian waktu tidak berkunjung ke kota ini ketika mencari sepotong jalan bernama Jalan Sekala Brak. Tak ketemu. Bagaimana mau ketemu kalau jalan itu sudah berubah menjadi Nusa Indah. Belakangan sebagian jalan dikembalikan menjadi Jalan Sekala Bekhak.

Lebih dari tujuh tahun saya tinggal di wilayah bernama Pakiskawat. Ada juga yang menyebut Pakistan (Pakiskawat Tanjanan) Hehee... Sekarang, saya kalau bilang Pakiskawat, ternyata jarang yang tahu Pakiskawat. Kira-kira jawabannya, "O, Sumurbatu atau Lungsir atau Enggal atau Rawalaut". Bukan Pakiskawat. Dan, memang secara administratif saat ini memang tidak ada nama (kelurahan, kecamatan, dll) Pakiskawat di Bandarlampung.

***

Kita ini memang suka ahistoris sih. Menghilangkan jejak (sejarah) lama. Dan, menggantinya dengan yang baru. Padahal, kita bikin nama baru karena kita malas bertanya saja kepada orang yang duluan memberi nama tempat yang kita baru kita tempati. KIta pikir, kitalah orang yang berhak kasih nama tanpa memikirkan perasaaan orang yang kasih nama duluan. :)

Setahu saya, orang-orang Lampung doeloe tak sembarang memberi nama orang, tempat, barang, dan lain-lain. Negerisakti, Halanganratu, Pakuonratu, Pagardewa, Ngaras, Ngambur, Padangcahya, Padangdalom, Kurungannyawa, ... apa tidak dahsyat nama-nama itu?

Nama (adok) apalagi... ada Suntan, Pengiran, Raja, Batin, Radin, Kimas, dan sebagainya. Masa nama-nama itu mau digenti juga? Kalau itu masih saja terjadi, terlalu deh.

***

Omong-omong, Udo Z Karzi (sempat) mau genti nama lagi. Hehee... Tapi, kadung pakai nama itu. Lagi pula ini nama hoki lo. Kalau gak percaya, coba aja genti nama Anda... sekarang juga. Agui...!! []


Fajar Sumatera, Senin, 17 Juli 2017 

No comments:

Post a Comment