Oleh Udo Z Karzi
HATI-HATI kalau ngomong ya! Kalau nggak, lu bisa dilaporin ke pelisi dengan pasal ujaran kebencian dan penistaan agama.
Waduh! Mamak Kenut langsung tepok jidat. Soalnya dia dan kawan-kawan memang suka ngomong semau-mau. Ya, namanya juga aseli tukang recok di Negarabatin.
Mat Puhit langsung sewot mendengar Kesang Pengarep dilaporkan ke pelisi gara-gara video blog atau vlog-nya. Putera bungsu Presiden Joko Widodo itu dianggap menyebarkan ujaran kebencian di dunia maya.
Mat Puhit sewot bukan karena yang dilaporkan itu anak Presiden. Tapi, setelah mendengarkan langsung nya vlog Kaesang di Youtube berjudul #BapakMintaProyek, ia merasa tidak ada masalah yang krusial. "Coba sebutkan bagian mana dari vlog itu yang mengandung ujaran kebencian dan penistaan agama!" kata Mat Puhit keras.
Muhammad Hidayat yang melaporkan Kesang ke Polresta Bekasi pada 2 Juli 2017 lalu berkata, "Ada dua yang mudah diingat, walaupun sebenarnya ada lebih dari dua lontaran yang patut diduga sebagai ujaran kebencian dan penodaan agama. Lontaran yang mudah diingat adalah kata “ndeso” merupakan ujaran kebencian. Bagi saya ndeso itu adalah sebuah golongan masyarakat desa, satu golongan masyarakat desa itu dikonotasikan sebagai masyarakat rendah, sehingga dia menjadi analogi mempersepsikan sesuatu yang negatif, 'dasar ndeso lo', 'dasar kampungan lo'. Maka masyarakat desa menjadi sebuah image masyarakat desa itu adalah rendah, apalagi setelah menjadi konsumsi publik,” kata Hidayat kediamannya di Bekasi, Rabu, 5/7/2017.
Hidayat yang mengaku awalnya tidak tahu kalau Kesang ia laporkan adalah putra Presiden melanjutkan, "Kata ndeso yang dilontarkan dalam akun tersebut menunjuk kepada subjek yang ada dalam video yang berisi anak-anak sedang berdemo, dan orang-orang yang berkuliah di luar negeri, tetapi saat kembali ke Indonesia bukan membangun negeri. Selain itu, kata-kata seperti, 'mengadu domba' , 'mengkafir-kafirkan', 'tidak mau menshalatkan karena perbedaan memilih pemimpin', juga dinilai MH mengandung ujaran kebencian. Ungkapan-ungkapan itu dalam pandangan saya diduga sebagai lontaran ujaran kebencian.”
Ini konyol! Kata Tina Toon, "Pelapornya lebay! Mengada-ada."
Wajar kalau kemudian Wakil Kepala Polri Komjen Syafruddin mengatakan, laporan tersebut tidak akan ditindaklanjuti karena tidak memenuhi unsur pidana. Ia bahkan menyebut laporan terhadap Kaesang itu mengada-ada.
Itu sudah, sekarang baiklah kita tinjau lagi "pasal karet" karya terbaru Orde Reformasi itu. Surat Edaran (SE) Kapolri Nomor 06/X/2015 terkait penanganan ujaran kebencian (hate speech) menyebutkan hate speech adalah tindak pidana yang berbentuk, penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, penyebaran berita bohong, dan semua tindakan di atas memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan atau konflik sosial. Aspeknya meliputi suku, agama, aliran keagamaan, keyakinan dan kepercayaan, ras, antar golongan, warna kulit, etnis, gender, kaum difabel, dan orientasi seksual.
Inilah perkara yang diatur Pasal 156, Pasal 157, Pasal 310, Pasal 311, kemudian Pasal 28 jis.Pasal 45 ayat (2) UU No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Ada yang bilang pasal ini sangat dibutuhkan di negara demokrasi yang menghormati kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi. Namun, bagi sebagian orang, peraturan hate speech ini dianggap sebagai pembungkaman suara publik untuk menyampaikan aspirasi. Terlebih lagi karena dapat menjerat pengguna jejaring media sosial.
Bagir Manan mengatakan, hate speech ini sebenarnya tidak perlu. Sebab, ukuran seseorang menyebarkan kebencian atau tidak sangat sulit diukur. "Aturan seperti itu, dapat digunakan seseorang, sekelompok orang, dan terutama penguasa, untuk menekan dan memenjarakan orang secara mudah. Di media sosial sekalipun tidak masalah. Orang kritik, hujat dan sebagainya, ya risiko pejabat publik. Sejauh masalah kebijakan yang dikoreksi. Kalau ada fitnah, ya tinggal pakai saja aturan yang ada,” tegas Bagir Manan.
Jadi, benarkah pasal hate speech itu dibutuhkan di negeri yang mengaku demokrasi ini?
"Induh, nyak mak pandai," kata Mamak Kenut. “Tapi, tetap hati-hati kalau ngomong!”
Fajar Sumatera, Jumat, 7 Juli 2017
HATI-HATI kalau ngomong ya! Kalau nggak, lu bisa dilaporin ke pelisi dengan pasal ujaran kebencian dan penistaan agama.
Waduh! Mamak Kenut langsung tepok jidat. Soalnya dia dan kawan-kawan memang suka ngomong semau-mau. Ya, namanya juga aseli tukang recok di Negarabatin.
Mat Puhit langsung sewot mendengar Kesang Pengarep dilaporkan ke pelisi gara-gara video blog atau vlog-nya. Putera bungsu Presiden Joko Widodo itu dianggap menyebarkan ujaran kebencian di dunia maya.
Mat Puhit sewot bukan karena yang dilaporkan itu anak Presiden. Tapi, setelah mendengarkan langsung nya vlog Kaesang di Youtube berjudul #BapakMintaProyek, ia merasa tidak ada masalah yang krusial. "Coba sebutkan bagian mana dari vlog itu yang mengandung ujaran kebencian dan penistaan agama!" kata Mat Puhit keras.
Muhammad Hidayat yang melaporkan Kesang ke Polresta Bekasi pada 2 Juli 2017 lalu berkata, "Ada dua yang mudah diingat, walaupun sebenarnya ada lebih dari dua lontaran yang patut diduga sebagai ujaran kebencian dan penodaan agama. Lontaran yang mudah diingat adalah kata “ndeso” merupakan ujaran kebencian. Bagi saya ndeso itu adalah sebuah golongan masyarakat desa, satu golongan masyarakat desa itu dikonotasikan sebagai masyarakat rendah, sehingga dia menjadi analogi mempersepsikan sesuatu yang negatif, 'dasar ndeso lo', 'dasar kampungan lo'. Maka masyarakat desa menjadi sebuah image masyarakat desa itu adalah rendah, apalagi setelah menjadi konsumsi publik,” kata Hidayat kediamannya di Bekasi, Rabu, 5/7/2017.
Hidayat yang mengaku awalnya tidak tahu kalau Kesang ia laporkan adalah putra Presiden melanjutkan, "Kata ndeso yang dilontarkan dalam akun tersebut menunjuk kepada subjek yang ada dalam video yang berisi anak-anak sedang berdemo, dan orang-orang yang berkuliah di luar negeri, tetapi saat kembali ke Indonesia bukan membangun negeri. Selain itu, kata-kata seperti, 'mengadu domba' , 'mengkafir-kafirkan', 'tidak mau menshalatkan karena perbedaan memilih pemimpin', juga dinilai MH mengandung ujaran kebencian. Ungkapan-ungkapan itu dalam pandangan saya diduga sebagai lontaran ujaran kebencian.”
Ini konyol! Kata Tina Toon, "Pelapornya lebay! Mengada-ada."
Wajar kalau kemudian Wakil Kepala Polri Komjen Syafruddin mengatakan, laporan tersebut tidak akan ditindaklanjuti karena tidak memenuhi unsur pidana. Ia bahkan menyebut laporan terhadap Kaesang itu mengada-ada.
Itu sudah, sekarang baiklah kita tinjau lagi "pasal karet" karya terbaru Orde Reformasi itu. Surat Edaran (SE) Kapolri Nomor 06/X/2015 terkait penanganan ujaran kebencian (hate speech) menyebutkan hate speech adalah tindak pidana yang berbentuk, penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, penyebaran berita bohong, dan semua tindakan di atas memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan atau konflik sosial. Aspeknya meliputi suku, agama, aliran keagamaan, keyakinan dan kepercayaan, ras, antar golongan, warna kulit, etnis, gender, kaum difabel, dan orientasi seksual.
Inilah perkara yang diatur Pasal 156, Pasal 157, Pasal 310, Pasal 311, kemudian Pasal 28 jis.Pasal 45 ayat (2) UU No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Ada yang bilang pasal ini sangat dibutuhkan di negara demokrasi yang menghormati kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi. Namun, bagi sebagian orang, peraturan hate speech ini dianggap sebagai pembungkaman suara publik untuk menyampaikan aspirasi. Terlebih lagi karena dapat menjerat pengguna jejaring media sosial.
Bagir Manan mengatakan, hate speech ini sebenarnya tidak perlu. Sebab, ukuran seseorang menyebarkan kebencian atau tidak sangat sulit diukur. "Aturan seperti itu, dapat digunakan seseorang, sekelompok orang, dan terutama penguasa, untuk menekan dan memenjarakan orang secara mudah. Di media sosial sekalipun tidak masalah. Orang kritik, hujat dan sebagainya, ya risiko pejabat publik. Sejauh masalah kebijakan yang dikoreksi. Kalau ada fitnah, ya tinggal pakai saja aturan yang ada,” tegas Bagir Manan.
Jadi, benarkah pasal hate speech itu dibutuhkan di negeri yang mengaku demokrasi ini?
"Induh, nyak mak pandai," kata Mamak Kenut. “Tapi, tetap hati-hati kalau ngomong!”
Fajar Sumatera, Jumat, 7 Juli 2017
No comments:
Post a Comment