Monday, November 16, 2009

Etika Politik

Oleh Udo Z. Karzi

KITA boleh berbangga karena dipuji-puji sebagai negara demokrasi. Tapi, apa yang terjadi kemudian adalah bagaimana para politisi bertindak dan melakukan hal-hal yang semakin jauh dari nilai-nilai subtansi demokrasi. Yang terjadi justru perilaku menyimpang dan pengebirian etika politik.

Padahal, etika politik merupakan kristalisasi dari nalar (logika) politik warga bangsa itu sendiri. Ia merupakan muara sintesis dari logika-logika yang berkembang pada ranah publik demi terbangunnya kohesi sosial. Pelanggaran terhadap etika politik dengan sendirinya menandakan matinya nalar kebangsaan dan dapat mengancam integrasi sosial. Di tengah euforia kebebasan, kepentingan sempit sangat mungkin dirayakan.

Atas nama kebebasan, setiap kepentingan mendapat tempat aktualisasi tanpa peduli hak asasi orang lain. Aturan main diabaikan untuk mencapai puncak kekuasaan yang mereka pahami sebagai realitas yang inheren dalam politik. Karena itu, standar etika perlu ditegakkan melalui barometer yang dapat dipertanggungjawabkan secara empiris dan praksis. Dalam konteks itu, Paul Ricoeur (1990) mengukur etika politik secara teleologis.

Menurut Paul Ricoeur, ada tiga tujuan yang hendak dicapai dari etika politik, yaitu terciptanya kehidupan bersama dan untuk orang lain secara baik; memperluas ruang lingkup kebebasan; dan membangun institusi-institusi yang adil. Ketiga alat ukur etika politik ini dapat diimplementasikan melalui pembacaan terhadap perilaku politik seluruh warga negara, khususnya kaum elite.

Aspek kebersamaan ini berdiri sejajar dengan kebebasan. Kebersamaan mengandaikan adanya ruang kebebasan yang luas sehingga pluralitas warga bangsa tetap terawat. Semua ini akan terjadi apabila ditopang oleh eksistensi institusi, termasuk lembaga hukum yang adil.

Ungkapan Lord Acton bahwa power tends to corrupt dapat menjadi gambaran yang tepat untuk menuntun kita pada realitas politik, bahwa kekuasaan (yang dihasilkan dari proses politik) cenderung diselewengkan, disalahgunakan, dan dimanfaatkan untuk kepentingan politik dan golongan tertentu.

Mempertimbangkan kecenderungan penyelewengan yang begitu besar di pundak politisi sebagai pemegang kekuasaan, diperlukan suatu upaya untuk mengembalikan ruh moralitas ke dalam pribadi politisi. Di sinilah urgensi etika politik.

Menurut Haryatmoko (2003), tujuan etika politik adalah mengarahkan ke hidup yang baik, bersama dan untuk orang lain, untuk memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil.


Lampung Post
, Senin, 16 November 2009

Monday, October 12, 2009

Kleptokrasi Birokrasi

Oleh Udo Z. Karzi

BIASALAH kalau seorang pejabat menganggap sepele hal-hal yang merugikan masyarakat. Birokrat terlalu acap menunda pelayanannya terhadap warga. Mana bisa amtenar merasionalisasikan objektivitas kepentingan publik dalam konstruksi kinerjanya. Padahal masyarakat yang menuntut layanan berbasis kebenaran, kecermatan, dan kecepatan.

Kultur birokrasi kita sampai hari ini ternyata belum menunjukkan kinerja dan hasil yang optimal. Ini dapat dilihat dari masih tingginya kasus penyalahgunaan wewenang dalam bentuk korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Demikian pula, tidak efisiennya organisasi pemerintah baik pusat maupun daerah, rendahnya kualitas pelayanan publik, serta lemahnya fungsi pengawasan.

Kepekaan birokrasi untuk mengantisipasi tuntutan perkembangan masyarakat masih sangat kurang, sehingga kedudukan birokrasi yang seharusnya sebagai pelayan masyarakat cenderung bersifat vertical top down (dari atas) daripada horizontal participatif (partisipasi horizontal).

Sebagian besar kegagalan implementasi pembangunan bukan akibat kelangkaan konsep kebijakan, melainkan kegagapan birokrasi untuk mengawal kebijakan tersebut. Di luar masalah sistem rekruitmen yang kacau dan political interest yang tinggi, di tubuh birokrasi juga tersembul patologi model patron yang sangat kuat.

Implikasinya, setiap kebijakan yang disorong oleh satu kelompok tertentu dapat dipastikan akan dijegal oleh kelompok yang lain. Tidak bisa dihindari, hal yang sama juga terjadi dalam birokrasi di Jatim, bahkan dapat disaksikan secara kasat mata.

Mental birokrat di negeri ini kita masih "pandai main terabas dan mengebiri etika kerja" atau mengabaikan profesionalisme. Pelaku birokrasi pemerintan masih memosisikan dirinya sebagai pemain yang sebatas bisa membaca dan mengambil untung ke mana angin kepentingan akan bertiup.

Jika ada lubang yang bisa dimasuki untuk mengail keuntungan, birokrat ini cepat-cepat beradaptasi untuk mewujudkan mental buruknya bermodus menerabas pagar moral, agama, sumpah jabatan, dan hak-hak rakyat demi tercapainya kepentingan pribadi keluarga, partai, dan kroni-kroninya.

Birokrasi pemerintahan di Indonesia mengidap penyakit kleptokrasi birokrasi, suatu mental dan kultur menerabas tatanan birokrasi supaya setiap tatanan di dalam birokrasi menjadi distorsi dan anomi sehingga masing-masing birokrat saling dan sibuk bersaing untuk "membantai" kebenaran, kejujuran, dan keterbukaan.

Tingginya angka korupsi, baik di pusat maupun daerah, salah satu faktor kriminonogen utamanya terletak pada penyakit kleptomania birokrasi yang masih dipertahankan dan dipuja-puja birokratnya. Birokrat sering melakukan praktik simbisosis mutualisme, yang mengakibatkan runtuhnya ideologi kebenaran dan kesederajatan dalam konstruksi etis birokrasi.


Lampung Post, Senin, 12 Oktober 2009

Thursday, October 8, 2009

Gempa Terpaksa Diundur...

Oleh Udo Z. Karzi

PENGUMUMAN-PENGUMUMAN... Berhubung semua orang sudah pada siap-siap menghadapi kemungkinan gempa, Rabu, 7 Oktober 2009 tepat pukul 14.00 WIB, maka gempa diundur Kamis, 8 Oktober 2009 pukul 02.00 WIB. Tapi, kalau ada yang malah tidur enak-enakan malamnya, ya gempa nggak jadi deh.

Demikian Mamak Kenut.

"Jangan begitu. Jangan meremehkan rasa khawatir orang. Kayak bom, aparat bilang sudah aman... e... bom malah meledak. Kita kan perlu antisipasi," kata Udien.

"Ya, siapa sih yang tidak takut..." sahut Minan Tunja.

"Kita trauma sih...," tambah Radin Mak Iwoh.

Tapi, Mamak Kenut malah tertawa berderai. Mat Puhit diam aja. Pithagiras belum mau komentar.

Memang, luar biasa dahsyatnya rumor bakal terjadi gempa berkekuatan 8,3 pada skala Richter di Lampung. Konon, kabar burung ini beredar di seluruh pelosok Tanah Air.

Beberapa sekolah mempercepat siswanya pulang karena takut gempa. Orang-orang menghindari pusat perbelanjaan dan gedung-gedung bertingkat untuk mengantisipasi kemungkinan terjadi gempa.

Suasana terasa mencekam. Terutama menjelang pukul 14.00 WIB. Tidak semua memang. Ada segelintir orang yang sama sekali tak peduli atau malah tak tahu-menahu ya biasa saja...

Namun, tepat pukul 14.00 WIB gempa tak terjadi. Ya, iyalah. Ketua Badan Meteorologi Klimotologi dan Geofisika (BMKG) Kotabumi Chrismanto dua hari sebelumnya toh sudah mengeluarkan pernyataan bahwa akan terjadi gempa 8,3 skala Richter di Lampung adalah tidak benar.

Tapi, kabar burung lebih kuat mengalahkan pengetahuan, rasionalitas, informasi yang benar tentang gempa. Tetap saja sebagian besar warga diliputi ketakutan luar biasa akan terjadi gempa. Entahlah masyarakat kita terlampau gampang diombang-ambing oleh sesuatu yang tidak jelas seperti itu. Padahal, menurut ilmu pengetahuan (sains), berbeda dengan bencana alam seperti kekeringan, asap, banjir, dan tanah longsor yang relatif bisa ditelusuri kapan terjadinya dan apa penyebabnya (karena ulah manusia yang merusak lingkungan); gempa termasuk bencana yang hanya bisa diteliti sebagai gejala alam, tetapi sampai hari ini belum ada orang yang bisa memprediksi kapan terjadinya.

"Kita seperti tak ber-Tuhan saja. Gempa (kiamat kecil) itu termasuk rahasia Allah swt. yang tidak dikasih tahu kapan terjadinya," kata Mat Puhit.

"Kita kok seperti nggak rida menjalani kehidupan ini," Pithagiras entah kenapa kok jadi filosofis dikit, "Kita mesti siap menghadapi kematian, kapan pun dia menjemputnya."

Sebagai makhluk yang beriman, kita memang harus memercayai bahwa kiamat, kecil atau besar pasti terjadi. Maksudnya, agar kita lebih ikhlas menjalani kehidupan dan tak perlu takut ajal menjemput.


Lampung Post, Kamis, 8 Oktober 2009

Tuesday, October 6, 2009

Aklamasi, Kita Semua Pemerintah

Oleh Udo Z. Karzi

ANGGOTA Fraksi PDIP MPR Taufik Kiemas terpilih secara aklamasi menjadi ketua MPR periode 2009--2014 dalam sidang paripurna MPR, Sabtu (3-10) malam. Mat Puhit tidak hendak mengutak-atik kenyataan PKS yang merasa dikhianati PKB yang berubah haluan di saat-saat akhir.

Mamak Kenut (kali) memang beloon hanya mau mencatat kejadian ini sebagai "kematian" demokrasi di negeri tercinta. Ada dua hal dalam peristiwa ini. Pertama, kata-kata "aklamasi" untuk memilih seorang ketua dari sejumlah 692 orang anggota MPR (terdiri dari 560 orang anggota DPR dan 132 orang anggota DPD) sungguh sebuah tontonan yang sangat tidak menarik. Mamak Kenut seperti terlempar kembali beberapa tahun lalu di masa Orde Baru yang ngetop istilah "musyawarah-mufakat" dan koor "setuju!".

Ada 692 kepala. Sebanyak itulah cukup diseragamkan dengan kata "aklamasi". Bagaimana mungkin tidak ada perbedaan, walau satu pikiran sekalipun dalam sebuah perhimpunan sekian banyak orang. Semua orang distel untuk berkata, "Setujuu...."

Ah, demokrasi Indonesia mulai membosankan. Masa beda pendapat nggak boleh. Mulai saat ini--setidaknya sampai lima tahun ke depan--tidak ada perdebatan sengit di legislatif, tidak ada voting (?) karena semua "diupayaken" agar musyawarah-mufakat (baca: aklamasi), tidak ada perbedaan pendapat.

Kalaupun ada, semua tidak lebih dari kepura-puraan belaka. Yah, pura-pura kritis, pura-pura pintar, pura-pura punya gagasan alternatif, pura-pura tidak sepaham, pura-pura... Karena parlemen dan lembaga negara lah sudah disetel untuk berkata: Pemerintah benar, pemerintahlah yang paling tahu.

Catatan kedua, peristiwa terpilihnya secara aklamasi Taufik Kiemas adalah menandai keberhasilan Partai Demokrat (Susilo Bambang Yudhoyono) merangkul semua pihak untuk bersama-sama mengendalikan jalannya pemerintahan. Hasil lobi (baca: persekongkolan di kalangan elite politik) menunjukkan kesuksesan yang gemilang.

"Apa boleh buat hasil Pemilu 2009 tidak lebih bagus dari penyelenggaraannya yang penuh karut-marut," kata Minan Tunja.

"He, jangan omong sembarang," ujar Udien.

"Ya, gimana... masak mau menang, mau kalah pemilu ya tetap saja... menjadi pemerintah," sambar Pithagiras.

"Tak ada oposisi. Semua kebagian jabatan dalam pemerintahan," sahut Mat Puhit.

"Lo, kan bagus...," kata Udien dengan begonya.

"Bagus dengkulmu. Kalau semua orang--maksudnya para elite pelitik--jadi penguasa, siapa yang mengoreksi?"

"DPR?"

"DPR, sesuai bunyi persekongkolan untuk mengegolkan Taufik Kiemas menjadi ketua MPR, sama saja sudah menjelma jadi tukang stempel pemerintah."

Semua (mendukung) pemerintah. Tak ada kritik. Tak ada oposisi. Tak ada check and balance.

Ya sudah, kalau begitu... aklamasi saja, kita semua jadi pemerintah.


Lampung Post, Selasa, 6 Oktober 2009

Thursday, September 24, 2009

Tentang Lebaran

Oleh Udo Z. Karzi

NUANSA perayaan Idulfitri masih terasa di awal bulan Syawal ini. Secara harfiah, Idulfitri bermakna hari suci, sering diartikan hari kembali sucinya jiwa-jiwa umat muslim setelah menjalankan puasa dan berbagai rangkaian ibadah sebulan penuh selama Ramadan.

Perayaan Idulfitri di negara kita memiliki kekhasan tersendiri. Idulfitri yang sering diistilahkan dengan "Lebaran" ini tidak saja menjadi milik umat muslim secara eksklusif, tetapi telah menjadi kultur bangsa yang unik.

Kita lebih suka menyebut Hari Raya ini dengan istilah "Lebaran", sebuah istilah yang khas bangsa Indonesia. Bukan saja secara istilah, rangkaian tradisi menyambut Hari Raya di Indonesia juga unik, sebut saja misalnya tradisi mudik, mengunjungi kampung halaman, dan bersilaturahmi kepada orang tua, sanak famili, guru, serta handaitolan.

Menurut J.J. Rizal (2006), istilah Lebaran tidak saja berdimensi religi, tetapi sekaligus sosial-budaya-politik. Istilah yang dipopulerkan oleh orang Betawi ini--sepadan dengan istilah Jawa Syawalan atau Bada direproduksi terus dalam kultur bangsa lebih dari 80 tahun sejak waktu itu. Sejarah mencatat, sejak tahun 1927 istilah tersebut telah dipakai.

Pada tahun 1929, Lebaran dijadikan momentum politik yang penting, Java Bode untuk pertama kalinya mempelopori sembahyang Idulfitri di lapangan terbuka Konengslein (sekarang Gambir), Jakarta. Para tokoh pergerakan nasional menjadikannya ajang pertemuan dan menguatkan semangat rakyat, sekaligus menghayati penderitaannya.

Di awal masa Revolusi Kemerdekaan, Belanda datang lagi, keadaan negeri ini sangat terancam. Sementara itu, terjadi polarisasi dan perpecahan yang sangat hebat di antara bangsa Indonesia sendiri. Keadaan memprihatikan dan rakyat terjepit. "Sejumlah tokoh di bulan puasa 1946 menghubungi Soekarno. Mereka minta agar ia bersedia di hari raya yang jatuh pada Agustus itu mengadakan perayaan "Lebaran" dengan mengundang seluruh komponen revolusi yang pendirian politiknya beraneka macam, dan kedudukannya dalam masyarakat pun berbeda-beda. Biar Lebaran menjadi ajang saling memaafkan dan memaklumi serta menerima keragaman.

Selamat Lebaran.


Lampung Post, Kamis, 24 September 2009

Friday, September 18, 2009

Lebaran Sebentar Lagi

Oleh Udo Z. Karzi

LEBARAN sebentar lagi. Dua tersangka begal tewas dihakimi massa di Kampung Payungmulya, Kecamatan Padangratu, Lampung Tengah, Rabu (16-9) pagi. Satuan Lalu Lintas (Satlantas) Poltabes Bandar Lampung meringkus empat tersangka begal motor, Selasa (15-9) malam; seorang di antaranya dikeroyok massa karena masuk ke rumah warga.

Tiga awak bus jurusan Ranau--Rajabasa memerkosa seorang penumpang yang mudik di pencucian mobil Sebarus, Liwa, Lampung Barat, Senin (14-9), sekitar pukul 01.30. Seorang warga Dusun Ganjaran, Pekon Fajar Agung, Pringsewu, dirampas tasnya di jalan tikungan dekat Tugu Pancasila, Rabu (16-9) siang. Jajaran Polres Polres Tulangbawang mengungkap jaringan pengedar uang palsu di wilayah Kabupaten Tulangbawang Barat (Tuba Barat), Selasa (15-9).

Lebaran sebentar lagi. Katanya puncak mudik Sabtu (19-9). Ini terjadi di jalinsum, Pelabuhan Penyeberangan Bakauheni, Lampung Selatan, dan Terminal Rajabasa. Katanya Rajabasa dijamin aman. Semua personel Polri telah menempati posnya masing-masing. Katanya 22 sopir bus AKAP lulus uji kesehatan.

Katanya tiga kapal boat mengawal pelayaran feri. Katanya stok beras di Lampung relatif aman. Stok yang dimiliki Lampung menjelang Idulfitri 1430 H ini sebanyak 60.121 ton yang tersebar di di kabupaten/kota se-Provinis Lampung.

Katanya RS Kalianda menyiapkan empat dokter jaga dan delapan perawat. Katanya posko kesehatan di Pelabuhan Bakauheni membagikan masker kepada pemudik untuk menekan penyebaran virus A-H1N1 (flu babi). Pemerintah menarik draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Rahasia Negara. Nilai tukar rupiah menguat tajam 115 poin, pada perdagangan, Rabu (16-9).

Lebaran sebentar lagi. Tapi, pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tarahan batal dioperasikan pada Maret 2011. Jadwal molor hingga 2011. Tapi, Persatuan Pedagang Kaki Lima (PKL) tetap akan berdagang selama Ramadan dengan segala risikonya. Mereka menilai penertiban PKL selama Ramadan yang dilaksanakan Pemkot Bandar Lampung melanggar hak asasi manusia (HAM).

Tapi, puluhan nelayan di Laut Kuala, Desa Margasari, Labuhan Maringgai, Lampung Timur, sudah dua pekan tidak melaut akibat cuaca tidak menentu. Tapi, enam rumah terbakar, tiga di antaranya rata dengan tanah di Pekon Sukaraja, Kecamatan Pesisir Tengah, Lampung Barat, Rabu (16-9), pukul 01.30.

Tapi, mantan anggota DPRD Tulangbawang 2004--2009 belum juga memulangkan kendaraan dinas yang dipinjamkan Pemkab. Tapi, dua warga negara Indonesia (WNI) divonis mati di Malaysia karena terbukti memiliki ganja dan menjadi pengedar.

Lebaran sebentar lagi. Jadinya, semua pada sibuk. Jadinya, pasar dan pusat-pusat perbelanjaan jangan ditanya ramainya. Jadinya, kita mulai mengumbar nafsu mengejar Idulfitri dengan perilaku konsumtif. Jadinya, jangan-jangan kita lupa kita masih puasa. Atau jadinya, memang kita tak paham hakikat dari puasa. Jadinya, apa pun... Lebaran sebentar lagi.


Lampung Post, Jumat, 18 September 2009

Saturday, August 22, 2009

Siangnya Puasa, Kalau Malam...

Oleh Udo Z. Karzi

SETIAP menjelang Ramadan dan saat puasa, harga-harga naik. Inflasi meningkat sehingga bulan Ramadan dianggap sebagai penyebab inflasi. Jadi, puasa justru meningkatkan daya beli. Padahal puasa sesungguhnya bagaimana agar orang bisa merasakan tingkat konsumsi orang miskin, kaum duafa, dan kaum teraniaya dalam kehidupan sehari-hari.

Puasa itu memang menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa seperti makan-minum di siang hari. Yang terjadi sekarang, orang puasa merasakan seperti orang miskin pada siang hari. Tapi malamnya, berubah menjadi orang yang serakah karena semua makanan dibeli. Konsumsi meningkat dibandingkan biasanya. Ini tercermin permintaan di masyarakat yang dilihat dari angka inflasi yang naik.

***

Puasa menjadi cara untuk mendidik individu dan masyarakat untuk tetap mengontrol keinginan dan kesenangan dalam dirinya walaupun diperbolehkan. Dengan berpuasa seseorang dengan sadar akan meninggalkan makan dan minum sehingga lebih dapat menahan segala nafsu dan lebih bersabar untuk menahan emosi.

Puasa juga kewajiban yang konkret sebagai pembina suatu kebersamaan dan kasih sayang antarsesama. Semua akan merasakan lapar, haus, kenyang, dan sulitnya menahan emosi dan amarah diri. Puasa dalam satu bulan, seharusnya dapat membawa dampak positif berupa rasa solidaritas dan kepedulian antarsaudara, rasa kemanusiaan yang mendalam atas penderitaan sesama manusia.

Perasaan sama-sama lapar, haus, kesabaran yang lebih, dan kesucian pikiran juga kata-kata, mampu membuat manusia memiliki rasa kebersamaan dalam masyarakat, dan menghasilkan cinta kasih antarsesama tanpa memandang latar belakang, warna kulit, dan agama.

***

Kalau kita menghayati makna puasa dan kemudian menjadi orang yang tattaquun, insya Allah kejahatan-korupsi, kolusi, mark up, kemaksiatan, membohongi rakyat, menebar janji kosong dan perbuatan lain yang melawan aturan Allah sirna.

Pascapuasa, rakyat Indonesia akan mulai hidup dalam kemakmuran dan ketenteraman. Polisi, hakim, dan pengadilan akan banyak kehilangan pekerjaan karena kejahatan turun drastis. Tak lama kemudian, Indonesia akan dikenal menjadi negara muslim terbesar dengan kemakmuran terbaik di seluruh dunia. Itu kalau rakyat dan pemimpin Indonesia bisa berpuasa dengan benar.

Sayangnya, bukan hanya manfaat pascapuasa yang raib dari masyarakat kita, tetapi prosesi selama Ramadan pun mulai mendera masyarakat. Budaya puasa kita yang mementingkan hidangan berbuka telah memaksa para ibu rumah tangga untuk membelanjakan uangnya jauh lebih boros ketimbang bulan lainnya.

Budaya berpuasa oleh kita sudah dijadikan rekreasi kuliner tahunan yang mahal dan tidak mendidik. Ruh puasa menahan diri hanya ada di siang hari dalam kondisi lapar dan haus semata. Kalau malam, lupa tuh...


Lampung Post, Sabtu, 22 Agustus 2009

Wednesday, August 19, 2009

Merdeka Kok Belum 'Ngopi'

Oleh Udo Z. Karzi

APALAH arti merdeka kalau di kantong tak ada uang sekadar buat beli bensin atau sekadar buat ngopi di warung. Sebab, merdeka berarti kita bebas dari kemiskinan, antibokek, dan bebas membeli yang kita butuhkan.

Walah, merdeka kok malah dimintai uang sumbangan untuk tujuh belasan. Ada yang jualan stiker sampai Rp20 ribu. Katanya sukarela. Tapi kok main paksa. Gimana mau merdeka kalau uang hana-hana ni malah harus melayang ke tangan reman.

Katanya sih merdeka. Tapi di mana-mana orang-orang kok main paksa. Kalau nggak ya risikonya nggak kecil. Minimal benjut atau terjadi pertumpahan ludah di jalan-jalan. Harusnya merdeka ya ada yang kasih kita rezeki tak disangka-sangka ya cukuplah buat beli permen atau sekadar ngopi di warung.

Merdeka! Biasanya yang paling kenceng teriaknya para politisi. Merdeka itu sip mantap. Enak to... ya iyalah bagi para anggota Dewan yang dilantik kemarin. Kemerdekaan bagi legislator ya bebas mengatur anggaran dan menggunakannya sebesar-besarnya untuk kepentingan (wakil) rakyat.

(Ah, itu kan anggota Dewan yang dulu. Anggota Dewan yang akan datang sih... mungkin lebih parah).

Merdeka bagi sopir angkot adalah kalau bisa sukses mengejar setoran dan lolos dari palakan preman. Penjual gorengan bilang merdeka kalau pisang, tahu, tempe, singkong, ubi, bakwan ludas. Polisi teriak merdeka kala beri tanda tabek untuk kemudian memasukkan tangan ke saku hasil nego dengan pengemudi yang sedang sial.

Guru-guru pun ikut berdoa merdeka saat pemerintah mengumumkan kenaikan gaji dan siswa-siswa telah membayar uang komite sekolah tanpa banyak protes. Sekolah bagus memang mahal.

Akhirnya, anak putus sekolah merdeka karena berbagai biaya melambung tinggi berbanding terbalik dengan penghasilan bapaknya yang petani, terlepas dari segala beban penjajahan pendidikan.

Dulu sih merdeka itu bebas dari penjajah. Preambul UUD 1945 bilang begini: Kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Oleh sebab itu, penjajahan di atas dunia harus dihapuskan... dst.

Merdeka! Eh, masak ada yang ingin merdeka dengan mengabaikan kemerdekaan orang lain. Masak ada merdeka memeras, merdeka mencuri, merdeka mengambil hak orang lain, merdeka korupsi, merdeka menginjak-injak orang kecil. Merdeka apa itu?

Masak merdeka kok malah buat kita-kita susah. Masak merdeka kok buat kita miskin. Merdeka buat kita tambah bodoh. Merdeka kok buat kita tambah nggak bebas.

"Merdeka kok belum ngopi?" kata Mamak Kenut.


Lampung Post, Rabu, 19 Agustus 2009

Sunday, August 9, 2009

Sudah Miskin Bodoh Pula

Oleh Udo Z. Karzi

SEKULA mak aga, ngaji mak aga, aga jadi api? (Sekolah tak mau, mengaji tak mau, hendak jadi apa?) Ini cerita tentang si Pinyut kecil yang serbasusah diatur. Sekolah bolos melulu. Ngaji juga nggak betah.

Ah, tapi itu dulu. Sekarang bukannya tidak mau sekolah, tetapi betapa mahal bersekolah. Pemerintah sih tukang boong aja. Ada program Wajib Belajar Sembilan Tahun. Masak di tivi dibilang sekolah gratis, tapi dalam kenyataanya... Waduh, alangkah mahalnya untuk bersekolah secara benar dalam arti tersedianya sarana-prasarana yang memadai untuk terlaksananya proses belajar-mengajar yang sewajarnya.

Membaca Hadi Aspirin (Lampung Post, 5 Juli 2009), Mamak Kenut cukup lama tepekur. Ada empat jenis anak di dunia: kaya-pintar, miskin tapi pintar, bodoh tapi kaya, dan yang terakhir sudah miskin bodoh pula.

Dengan berbagai cara--di tengah giatnya pemerintah kita melakukan liberalisasi pendidikan atawa komersialisasi sekolah--sungguh relatif tidak ada persoalan bagi tiga golongan pertama. Namun, betapa malangnya nasib anak golongan terakhir: miskin-bodoh.

"Sungguh kau sebetulnya tidak berhak hidup di negeri ini. Ya, habis mau bagaimana? Kalian itu hanya membuat susah saja. Sekolah kalau mau bermutu ya mahal. Lagi pula, kalau bodoh mana boleh masuk sekolah bagus. Sekolah bagus untuk anak pintar. Kalau nggak pintar, ya harus berani bayar mahal...."

Barangkali, untuk anak yang bodoh sekaligus miskin, bisa sekolah apa adanya di sekolah-sekolah dalam kasta yang terendah di kampung-kampung atau paling tidak pinggiran kota. (Pemerintah telah membuat stratifikasi atawa kastanisasi pendidikan dengan membagi-bagi golongan sekolah. Mulai dari kasta tertinggi sekolah bertaraf internasional (SBI), berikutnya rintisan SBI, sekolah standar nasional (SSN), dan kasta terendah sekolah reguler).

Dan, bertanyalah Pinyut kecil yang bodoh lagi miskin: "Tempat saya di mana?"

Tahukah pemerintah bahwa jumlah anak seperti Pinyut itu tidak sedikit. Data Susenas 2003 menyebutkan dari 42 juta anak usia sekolah (7--18 tahun) 64,5% yang berpendidikan tingginya hanya SD, sedangkan 35,5% dapat menyelesaikan SMP-nya, tetapi hanya 16,8% dari yang menamatkan SMP dapat melanjutkan SMA.

Betapa sulitnya anak-anak para petani, anak-anak buruh, anak-anak nelayan yang berada di daerah terpencil, pinggiran kota mengakses pendidikan.

Pemerintah kita ini memang nggak konsisten. Wajib belajar, sekolah gratis, ... dan seterusnya, kok gombal bener ya. Apanya yang wajib? Apanya yang gratis? Kenyataannya sekolah makin mahal. Rasanya capek mendengar alasan, pendidikan bermutu ya mahal.

"Sudah miskin, bodoh kali kau!" Ini makian yang sungguh menyakitkan. Tapi, negaralah yang seharusnya membuat kita-kita tidak miskin dan tidak bodoh. Ngerti nggak sih?


Lampung Post, Kamis, 6 Agustus 2009

Thursday, July 30, 2009

Capek Deh!

Oleh Udo Z. Karzi

"LAMUN gehenow caramu, niku ngajak nyak belagow," kata Wakil Wali Kota Bandar Lampung Kherlani, Senin (27-7). Dan, sepatu pun jadi alat untuk memukul Sekretaris Kota Sudarno Eddi.

Ini berita terheboh minggu-minggu ini. Sebelumnya kita mendapat suguhan berita penembakan di Freeport, maraknya begal di Lampung Utara, dan bom meledak di Jakarta.

Capek deh!

Mengapa ya kekerasan demi kekerasan terus terjadi di sekitar kita. Di segala tempat segala bidang. Tak siang tak malam. Rupanya bahasa kekerasan telah merasuki banyak segi kehidupan, mulai dari keluarga, lingkungan, hotel, pasar, terminal, pendidikan, dan kasus terakhir masuk dalam tubuh pemerintahan (daerah).

Parah! Bagaimana mungkin seorang pemimpin sampai perlu menggunakan tangan untuk memukul dalam arti yang sebenarnya? Apa pun alasannya sulit untuk diterima nalar seorang wakil wali kota sampai melakukan hal-hal yang jauh dari tatakrama kehidupan yang beradab (beradat?)?

Capek deh!

Dalam keseharian kita yang berjangka waktu 24 jam, selalu saja ada info kekerasan yang muncul dari media massa (cetak maupun audio-visual). Lihatlah bagaimana aksi-aksi kekerasan dengan modus pemerkosaan, pencurian, penjambretan, ataupun perampokan menghiasi berita-berita di koran dan televisi.

Di televisi, adegan-adegan kekerasan justru menjadi "menu andalan" yang disuguhkan kepada para pemirsa baik dalam bentuk film, sinetron, ataupun berita-berita kriminal.

Capek deh!

Sekian ribu tahun generasi, sejak Nabi Adam sampai detik ini, ternyata kita manusia masih susah untuk berusaha meminimalkan sebuah budaya kekerasan. Banyak orang yang dengan sadar berkata bahwa bahasa kekerasan adalah sebuah bahasa yang seharusnya tidak dilakukan tapi justru mereka sendiri yang mempraktekan hal-hal tersebut.

Banyak orang yang mengenyam pendidikan yang begitu tinggi dan sudah dipredikati sebagai sosok pemimpin yang bijaksana, ternyata masih juga dalam beberapa situasi menyahihkan keputusan untuk melakukan hal-hal yang menjurus kepada kekerasan dan anarkistis.

Capek deh!

Kita, generasi kita tumbuh di dalam masa hukum tidak sepenuhnya ditegakkan. Kita besar dalam penglihatan bagaimana "kalau nggak lulus boleh kasih suap", kita tumbuh dalam didikan yang diisi ketakutan-ketakutan: "Awas banyak garong!" Lalu, kita akan merasa dihargai bila kita bisa menciptakan ketakutan untuk orang lain. Itulah bahasa kekerasan.

Capek deh!

Padahal kita manusia makluk beradab yang dilengkapi otak kiri dan otak kanan yang bisa berkombinasi untuk berpikir dan menggagas sebuah pertimbangan.


Lampung Post, Kamis, 30 Juli 2009

Wednesday, July 22, 2009

Masyarakat Anomi

Oleh Udo Z. Karzi

KEPEMIMPINAN nasional telah silih berganti setelah Reformasi. Tapi, semuanya seolah belum (kalau tidak boleh dikatakan tidak berhasil) menunjukkan hasil seperti yang kita harapkan. Kita masih saja berada dalam keterpurukan, terimpit dalam keadaan yang serbatidak jelas, berkubang dalam lubang ketidakpastian. Cita-cita gemah ripah loh jinawi agaknya tetap menggantung di atas langit tanpa sedikit pun kita bisa mendekapnya.

Konflik, baik horizontal maupun vertikal dapat kita baca dari suguhan media massa setiap hari. Kita masih menyaksikan keribuatan di sana-sini. Di Lampung Utara, begal marak di jalan-jalan. Di Jakarta, bom meledak lagi.

Ada apa? Sebuah analisis menyebutkan masyarakat negeri ini tengah mengalami gegar budaya. Anomi!

Emile Durkheim menyebutkan anomi adalah keterasingan yang dialami individu dari lingkungan masyarakatnya. Hal ini terjadi karena penjungkirbalikan status dan peran sosial sebagai akibat perubahan dan pembagian pekerjaan dalam masyarakat.

Suatu ketika misalnya, terjadi revolusi industri di Prancis. Emile Durkheim menemukan gejala anomi pada masyarakat Prancis pada abad ke-19. Tekanan berat dialami seorang individu karena runtuhnya norma-norma sosial yang selama ini dijadikan panutan atau pegangan hidupnya.

Perubahan sosial yang sangat mendasar telah menempatkan pada suatu keadaan anomi atau situasi yang sama sekali tidak dipahaminya. Keadaan semacam ini yang menurut Durkheim sebagai salah satu sebab seseorang melakukan bunuh diri atau yang disebut anomi suicide.

Berbeda dengan Emile, Robert K. Merton lebih menelaah gejala anomi dalam hubungan antarindividu dengan struktur sosial. Robert lebih melihat kaitan antara anomi dan struktur sosial serta struktur budaya.

Anomi tumbuh karena rusaknya sistem nilai budaya, ini terutama terjadi ketika seorang individu dengan kapasitasnya yang ditentukan struktur sosial tiba-tiba kehilangan kemampuan mengendalikan tindakannya dengan norma-norma dan tujuan budaya.

Anomi terjadi bila struktur budaya tidak berjalan seiring dan didukung struktur sosial yang berlaku. Pada dasarnya struktur budaya yang hidup bersifat umum seperti nilai-nilai keadilan dan kejujuran. Di sisi lain cerminan pola prilaku masyarakat ditentukan struktur sosialnya.

Andaikan ia seorang pejabat, seyogianya memberi teladan bagi warganya. Bila di seorang penegak hukum, ia adalah penjaga gerbang keadilan. Kalau ia guru atau dosen, ia adalah pengawal nilai-nilai moralitas.

Nah, anomi terjadi ketika warga mengakui bahwa hukum itu ada, tetapi hukum tidak memberikan rasa keadilan yang didambakan. Masyarakat memahami bahwa proses hukum tidak bisa menjanjikan kepastian, hukum hanya ada dalam kitab undang-undang mereka mencari dan menyelesaikan hukum sendiri-sendiri sesuai dengan kamus dan kepentingan sendiri-sendiri.


Lampung Post, Rabu, 22 Juli 2009

Monday, July 13, 2009

Oposisi sebagai Pengingat

Oleh Udo Z. Karzi

NAMANYA Demokrat (baca: demokrasi). Tapi, belum apa-apa kok ngomong, barisan oposisi di parleman tidak akan bermanfaat untuk kemajuan bangsa dan kesejahteraan rakyat.

Lebih kacau lagi karena logika yang dipakai: Sistem presidensial di Indonesia bertumpu pada musyawarah dan mufakat sebagaimana digariskan para pendiri bangsa. Kalau ada oposisi, program pemerintah yang mengutamakan rakyat akan berjalan lamban. Oposisi bisa menjerumuskan bangsa pada jatuh bangunnya kabinet seperti terjadi di zaman Presiden Soekarno.

Kalau pandangan ini yang akan dipakai, negara kita segera saja akan kembali ke zaman Orde Baru. Kata kuncinya ada pada kata "musyawarah-mufakat" dan "oposisi bukan budaya Indonesia". Karena itu, legislatif kembali menjadi lembaga stempel dan berteriak secara mayoritas, "setuju" untuk berbagai hal yang hendak diputuskan.

Sementara itu, masyarakat Indonesia akan kembali bertemu, mendengar, dan melihat betapa "manis-manis"-nya wajah wakil rakyat. Tak ada perdebatan sengit di parlemen. Yang ada selalu dukungan penuh untuk sang penguasa (eksekutif). Nyaris tak ada suara berbeda. Kalaupun ada, segera saja kalah--termasuk voting sekalipun--oleh suara kebanyakan.

Itu yang terjadi pada PDI-P dalam periode 2004--2009 lalu.

Memang, mengambil posisi sebagai partai oposisi sesungguhnya belum memiliki riwayat kelembagaan yang panjang di negeri ini. Partai oposisi pernah hidup di zaman liberal, di era kabinet parlementer, tetapi menyebabkan ketidakstabilan yang luar biasa hebat. Kabinet jatuh bangun dengan cepat dan gampang.

Sistem politik kemudian berubah menjadi otoriter, baik di zaman Orde Lama di bawah Presiden Soekarno maupun di zaman Orde Baru di bawah Presiden Soeharto. Praktis selama 39 tahun (1959--1998), yaitu sejak Dekrit Presiden hingga pecahnya reformasi yang menumbangkan Pak Harto, Indonesia tidak mengenal partai oposisi.

Dari perspektif sejarah politik Indonesia modern itu, demokrasi yang sekarang dinikmati bangsa ini sudah seharusnya diimbangi pula dengan tumbuh dan menguatnya partai oposisi. Ada yang memenangi pemilu presiden dan karena itu berkuasa dan menentukan kabinet, tetapi ada yang sepenuhnya berada di luar kabinet sebagai oposisi. Maka, selalu ada yang dengan sadar dan sehat mengoreksi kekuasaan agar setidaknya tetap ingat janji-janjinya di kala kampanye.

Di situlah arti penting dan arti strategis partai oposisi. Lagi pula, merupakan keniscayaan demokrasi bahwa kekuasaan dapat datang dan pergi setiap lima tahun sekali. Yang kemarin berkuasa sekarang menjadi oposisi, seperti yang sekarang berkuasa terbuka kemungkinan tidak terpilih lagi dan kemudian menjadi oposisi. n


Lampung Post, Senin, 13 Juli 2009

Monday, June 29, 2009

Kritiklah Daku, Kau Kucueki

Oleh Udo Z. Karzi

BACALAH koran, tontonlah televisi, dengarlah radio, atau ngobrollah dengan siapa saja, ngerumpi juga boleh; maka segera saja kita akan mendapatkan suguhan kritik dan analisis atas berbagai kejadian.

Orang yang memang memiliki latar belakang paralel dengan topik yang dikritik atau dianalis, pengamat, atau malah orang yang hanya sebatas "tahu" (kadang-kadang sok tahu) memang suku mengkritik.

Tak perlu heran. Kritik memang sudah menjadi tradisi sejak zaman waw. Bergunakah kritik? Ada kritik atas kritikus (komentator) sepak bola.

Sehebat-hebatnya komentator sepak bola, tetap tak akan bisa mengubah skor sebuah pertandingan sepak bola. Sebuah pertandingan tetap tidak bisa diprediksi. Selalu saja yang tidak sesuai harapan dan kejutan.

Masalahnya, kita selalu saja butuh komentator sepak bola.

Hari-hari ini menjelang pemilihan presiden, 8 Juli 2009. Kritik dan analisis (sebuah analisis terkadang sulit menghindari kritik) semakin banyak memenuhi media massa, bahkan hingga ruang-ruang publik di berbagai tempat, berbagai berbagai kesempatan.

Ya, kritik atas kebobrokan negara-bangsa bernama Indonesia semakin banyak. Tapi, semakin banyak kritik, semakin banyak bahan yang harus dikritik. Walau sebuah kritik tak mesti disertai solusi, tak urung banyak tawaran penyelesaian diajukan demi perbaikan. Tapi, kebobrokan tetap kebobrokan, keburukan tetap keburukan, kesalahan tetap kesalahan. Terlampau sedikit upaya pembenahan.

Kritik dan solusi tak ubahnya kritik atas sepak bola dari ruang berbeda. Tidak jelas entah di mana kelirunya penawar, sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, sangat sedikit sekali (untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali) bekerja di wilayah kebobrokan tersebut. Tidak ada efek jera atas kebobrokan yang sudah diketahui, dikritisi, dan diberikan solusi oleh khalayak dunia.

Padahal, dalam sebuah peradaban, bagaimanapun, kritik adalah sebuah jalan keluar yang dikenal ampuh untuk pencerahan. Banyak perubahan telah terjadi sebagai efek langsung dari kritik. Pada tingkat yang paling sederhana, kritik orang tua terhadap anaknya yang tidak pada aturan agama dan moral lalu disertai dengan solusi dalam bentuk pengajaran dan nasihat-nasihat kebaikan, adalah sebuah bangunan awal yang kokoh untuk membentuk kepribadian anak di masa yang akan datang. Kritik pada berpotensi signifikan memanusiakan kemanusiaan anak. Pada mulanya adalah kritik. Ia berperan sebagai sebuah entitas penggerak perubahan untuk menuju sebuah kelebih-baikan dan kelebih-beradaban.

Parahnya, pembuat kebijakan seperti kebal (mudah-mudahan tidak bebal) kritik. Kritik hadir di depan muka, tetapi pejabat malah memalingkan muka atau pura-pura mendengar tapi sesungguhnya menolak.

(Memang nggak enak ya, kalo kita dikritik orang. Rasanya dunia begitu kejam bagi seorang yang sedang dikritik dan dipojokkan. Makanya, kerja yang bener!)


Lampung Post, Senin, 29 Juni 2009

Monday, June 22, 2009

Kreativitas

Oleh Udo Z. Karzi

BAND-BAND indie Lampung mempunyai kualitas, power, dan karakter yang sangat khas, kata Dide, vokalis Hijau Daun. "Band-band indie Lampung berpotensi besar karena style-nya sangat beda," ujarnya lagi.

Yah, itulah kreativitas. Rupanya, diam-diam dunia anak muda Lampung kini memang sedang panen kreativitas. Seperti ditulis Bambang Eka Wijaya dalam Buras, setelah kepenyairan, kini dunia musik. Dan, sebenarnya tidak hanya di dua bidang itu saja.

Kalau pemerintah gembar-gembor tentang industri kreatif, maka kini Lampung sebenarnya sudah mulai masuk ke sana. Sebuah situasi yang hampir-hampir tidak kita sadari. Sebut saja prestasi siswa SMKN 5 Bandar Lampung yang baru-baru ini berhasil menang dalam lomba film dokumenter.

Kreativitas adalah proses mental yang melibatkan pemunculan gagasan atau konsep baru atau hubungan baru antara gagasan dan konsep yang sudah ada.

Sebenarnya, kreativitas dimiliki setiap orang dan merupakan hal penting untuk dapat memperoleh hasil kerja yang lebih baik. Setiap orang dengan taraf kecerdasan normal mampu berkreasi, melakukan pekerjaan secara kreatif. Kreativitas ditentukan dari banyak hal, seperti pengalaman, pengetahuan dan keterampilan teknis, serta kemampuan untuk berpikir dengan cara-cara baru.

Boleh jadi, uang merupakan motivator bagi munculnya kreativitas. Uang terkadang memang dapat memacu seseorang untuk bekerja lebih giat. Namun, tidak ada kaitan di antara keduanya. Malah orang-orang yang bekerja dengan begitu mengharapkan komisi atau bonus sering memiliki tingkat kreativitas yang lebih rendah.

Kreativitas akan semakin tumbuh jika lingkungan memberikan dorongan, serta menghargai ide-ide baru yang dihasilkan. Seseorang pun menjadi lebih kreatif bila ia menyenangi pekerjaannya, serta berupaya mengembangkan keterampilan yang dimiliki.

Dengan lapangan kerja semakin banyak tantangannya. Seseorang dituntut untuk dapat bertahan dalam perubahan yang kompleks, multitransisi, sehingga untuk dapat bekerja. Maka seseorang dituntut bekerja secara profesional dan kreatif. Untuk dapat profesional, seseorang harus menyadari dengan penuh bahwa Islam mendorong umat berlatih untuk bekerja dengan profesional dan kreatif.

Industri kreatif, di beberapa negara telah menjadi idola dan menyumbangkan pendapatan negara secara signifikan. Begitu pula di Indonesia. Sejak 2007, industri kreatif menjadi perhatian serius pemerintah. Bertepatan dengan Hari Ibu tahun lalu, tahun 2009 dicanangkan sebagai Tahun Industri Kreatif dengan becermin pada kontribusi yang mencapai Rp104 triliun dan terus meningkat.


Lampung Post
, Senin, 22 Juni 2009

Tuesday, June 16, 2009

Nilai, Etika, dan Estetika

Oleh Udo Z. Karzi

SEJUMLAH ahli ilmu pengetahuan yang tertarik dengan tingkah laku manusia, sejak lama telah tertarik dengan konsep nilai. Isu penting yang menurut Zavalloni (1975) perlu diperhatikan dalam pemahaman tentang nilai adalah nilai seseorang dapat sama seperti nilai semua orang lainnya, sama dengan sebagian orang, atau tidak sama dengan semua orang lain.

Nilai adalah suatu keyakinan mengenai cara bertingkah laku dan tujuan akhir yang diinginkan individu, dan digunakan sebagai prinsip atau standar dalam hidupnya. Pemahaman tentang nilai tidak terlepas dari pemahaman tentang bagaimana nilai itu terbentuk.

Dalam membentuk tipologi dari nilai-nilai, Schwartz mengemukakan teori bahwa nilai berasal dari tuntutan manusia yang universal sifatnya yang direfleksikan dalam kebutuhan organisme, motif sosial (interaksi), dan tuntutan institusi sosial (Schwartz dan Bilsky, 1987). Ketiga hal tersebut membawa implikasi terhadap nilai sebagai sesuatu yang diinginkan.

Teori nilai membahas dua masalah, etika dan estetika. Etika membahas tentang baik buruknya tingkah laku manusia sedangkan estetika membahas mengenai keindahan. Ringkasnya dalam pembahasan teori nilai ini bukanlah membahas tentang nilai kebenaran walaupun kebenaran itu adalah nilai juga. Pengertian nilai itu adalah harga dimana sesuatu mempunyai nilai karena dia mempunyai harga atau sesuatu itu mempunyai harga karena ia mempunyai nilai.

Karena itu, nilai sesuatu yang sama belum tentu mempunyai harga yang sama pula karena penilaian seseorang terhadap sesuatu yang sama itu biasanya berlainan. Bahkan ada yang tidak memberikan nilai terhadap sesuatu itu karena ia tidak berharga baginya tetapi mungkin bagi orang lain malah mempunyai nilai yang sangat tinggi karena itu sangatlah berharga baginya.

Perbedaan antara nilai sesuatu itu disebabkan sifat nilai itu sendiri. Nilai bersifat ide atau abstrak (tidak nyata). Nilai bukanlah suatu fakta yang dapat ditangkap oleh indra. Tingkah laku perbuatan manusia atau sesuatu yang mempunyai nilai itulah yang dapat ditangkap oleh indra karena ia bukan fakta yang nyata. Jika kita kembali kepada ilmu pengetahuan, maka kita akan membahas masalah benar dan tidak benar. Kebenaran adalah persoalan logika di mana persoalan nilai adalah persoalan penghayatan, perasaan, dan kepuasan. Ringkasan persoalan nilai bukanlah membahas kebenaran dan kesalahan (benar dan salah) akan tetapi masalahnya ialah soal baik dan buruk, senang atau tidak senang. Masalah kebenaran memang tidak terlepas dari nilai, tetapi nilai adalah menurut nilai logika. Tugas teori nilai adalah menyelesaikan masalah etika dan estetika dimana pembahasan tentang nilai ini banyak teori yang dikemukakan oleh beberapa golongan dan mempunyai pandangan yang tidak sama terhadap nilai itu.


Lampung Post
, Selasa, 16 Juni 2009

Monday, June 1, 2009

Sejarah

Oleh Udo Z. Karzi

SEJARAH yang kita "buat" hari ini sangat mungkin akan menjadi sejarah "hitam" atau sejarah "putih" di masa nanti tergantung bagaimana kita menyikapinya. Meminjam ungkapan Taufik Abdullah, ada berbagai cara dalam mencapai tujuan (yang sama).

"Membuat" sejarah memang lebih mudah dibandingkan "menulis" sejarah karena setiap orang mampu melakukannya. Walaupun itu belum tentu penting atau menarik untuk dituliskan.

Sebab, "menulis" sejarah bukan sekadar menulis sesuai ide yang ada di kepala karena itu bukan fiksi dan rekaan. Ada metode-metode yang harus dipatuhi serta diarahkan dengan teori-teori yang telah ada. Belum lagi penelusuran terhadap sumber-sumber sejarah itu sendiri. Lalu menelitinya apakah sumber-sumber itu valid dan bisa dipercaya. Karena sumber-sumber itu sebenarnya tidak dimaksudkan untuk menjadi sumber sejarah.

Upaya rekonstruksi sejarah ini harus dilakukan dengan penuh ketelitian agar kita bisa menggambarkan situasi masa lalu sedekat mungkin. Lain halnya jika kita sekarang berhati-hati dalam melangkah dan berbuat. Segala sesuatu dilakukan dengan cermat dan teliti kalau perlu dicatat. Dengan niat, kelak sengaja akan dijadikan sumber sejarah. Kalau begini, kita perlu tempat penyimpanan segala macam sumber sejarah (arsip, barang cetakan, rekaman, gambar, film, dsb.) yang baik. Itu pun kalau generasi kini sadar sejarah dan tak abai dengan semua hal yang kita anggap penting dalam kehidupan kita.

Tapi, tidak ada sejarah yang tunggal karena itu bisa berbahaya dan dapat membodohkan. Biarlah, orang-orang "menuliskan" sejarah (menurut versi) masing-masing, asalkan sesuai dengan metode yang berlaku. Tidak ditambah-tambahi maupun dikurangi. Dengan kata lain, upaya penulisan dengan berbagai versi justru memperkaya kita dalam memahami masa lalu. Jadi daripada ditutup untuk sementara, lebih baik biarlah "garis batas" itu dibuka sehingga masa lalu tak sekedar lewat begitu saja. Seperti diktum seorang sejarawan terkenal bahwa setiap generasi menuliskan sejarahnya.

Setiap upaya mengungkap misteri sejarah hampir selalu mengundang kontroversi. Sebab, misteri sejarah itu sendiri meninggalkan sikap ambivalen. Di satu sisi ada hasrat yang menggebu untuk ingin tahu; tetapi di sisi lain ada keraguan apakah hasrat ingin tahu itu bisa terpuaskan.

Para politisi tengah membuat sejarah. Masalahnya, rakyat hampir bosan dengan kelakuan para politisi. Sebab, kebanyakan para politisi sibuk membuat sejarah hitam melulu. Para elite lebih acap "membuat" sejarah yang akan dikenang rakyat sepanjang hayat sebagai sejarah membodohi dan menipu rakyat.


Lampung Post, Senin, 1 Juni 2009

Monday, May 25, 2009

Machiavelli

Oleh Udo Z. Karzi

NICCOLO Machiavelli (1469-1527)--sadar atau tidak--menjadi inspirasi bagi setiap sosok politisi yang ada hingga hari ini. Ada yang beranggapan bahwa ia adalah sosok pemikir atau guru yang "jahat", tetapi sebaliknya ada juga yang melihat ia sebagai "orang baik". Walaupun Machiavelli sering dipandang secara negatif, sesungguhnya Machiavelli "bekerja" dengan penuh kebajikan menelanjangi selubung kebohongan yang menutupi manusia abad pertengahan.

Il Principe adalah buku petunjuk untuk berkuasa yang dipersembahkan Machiavelli kepada penguasa Florence: Lorenzo de Medici. Il Principe adalah sebuah manual tentang bagaimana mempertahankan kekuasaan. Di dalam buku itu, Machiavelli mencampakkan jauh-jauh aspek moral dan etika, sehingga namanya identik dengan pemerintahan yang korup dan totaliter. Orang juga selalu mengaitkan namanya dengan cara-cara mempertahankan kekuasaan secara brutal, licik, amoral, dan penuh tipu daya. Tak heran jika pada 1559, Paus melarang peredaran buku Il Principe. Prinsip-prinsip yang Machiavelli paparkan dalam Il Principe kemudian dikenal sebagai machiavellianisme dan orang yang mengikutinya disebut machiavellian.

Namun, tidak sedikit orang yang membela Machiavelli. Mereka mengatakan bahwa Machiavelli sering disalahpahami karena bukunya yang banyak dibaca orang hanyalah II Principe, sedikit sekali yang membaca buku-bukunya yang lain, misalnya Discorsi Sopra la Prima Deca di Tito Livio. Akibatnya, penilaian orang terhadap Machiavelli tidaklah utuh. Menurut para pembelanya, apabila kita telah cukup mengenal Machiavelli, kita akan tahu bahwa sebenarnya dia adalah orang religius dan bermoral.

Sebagai penulis, karya Machiavelli cukup banyak dan beragam. Buku-buku karyanya selain Il Principe adalah Dell'arte Della Guerra (Seni Perang), Discorsi Sopra la Prima Deca di Tito Livio (Diskursus tentang Sepuluh Buku Titus Livius), Istorie Fiorentine (Sejarah Florence), dan Vita di Castruccio Castracani (Biografi Castruccio Castracani). Machiavelli juga menulis karya sastra, antara lain La Mandragola (naskah drama komedi) dan L'asino d'Oro (satire), Andria dan Clizia (puisi), dan Belfagor Arcidiavolo (novel). Sebagian besar karya ini dia tulis di San Casciano ketika dikucilkan dari pemerintahan keluarga Medici.

Betapa pun kontroversial, II Principe adalah sebuah buku yang populer dan berpengaruh. Buku ini masuk ke dalam daftar merupakan Books that Changed the World, yang dirumuskan oleh Robert Downs, bersama-sama Wealth of Nations (Adam Smith), Essay on the Principle of Population (Thomas Malthus), Das Kapital (Karl Marx), Mein Kampf (Adolf Hitler), Principia Mathematica (Sir Issac Newton), Origin of Species (Charles Darwin), dan buku-buku hebat lainnya.

Teori-teori politik Machiavelli banyak dipraktekkan di berbagai negara. Pada abad XX, machiavellianisme sangat menonjol. Konon Napoleon Bonaparte, sang diktator Prancis itu, senantiasa menyelipkan buku Il Principe di bawah bantal tidurnya. Kepemimpinan Stalin, Hitler, dan Mussolini sangat dipengaruhi olehnya. Namun, hanya Benito Mussolini yang pernah menyatakan kekagumannya atas ajaran Machiavelli secara terang-terangan di depan publik. Para pemimpin lainnya enggan berterus terang.


Lampung Post, Senin, 25 Mei 2009

Thursday, April 23, 2009

'Iii... Takuuut'!

Oleh Udo Z. Karzi

III, takut. Rupanya pendidikan nasional telah menciptakan ketakutan nasional setiap tahunnya sejak 1999. Hari-hari ini minggu ini dan hari-hari ini beberapa minggu nanti, "hantu-hantu" telah, sedang, dan akan bergentayangan mulai dari sekolah dasar, SMP sederajat, hingga SMA sederajat.

Betapa menakutkan "teror mental" yang harus dihadapi anak-anak Indonesia di berbagai penjuru angin, di kota-kota hingga pelosok-pelosok perdesaan. Semua serbamengkhawatirkan, semua harap-harap cemas, semua tengah menunggu-nunggu kapankah "siksaan" itu berakhir.

Hantu itu bernama ujian nasional. Betapa menyeramkan sosok ini. Tak cuma siswa, orang tua, guru, sekolah, institusi pendidikan, bahkan kepala daerah pun seperti ketakutan.

***

Mamak Kenut membaca ada ada siswa dicomot pelisi karena curang saat UN. Guru pun bisa menjadi tersangka "kejahatan pendidikan". Di Kabupatan Bengkulu Selatan, 15 kepala sekolah ditangkap karena diduga membocorkan soal ujian.

Lengkap sudah penderitaan. Pendidikan (baca: UN) hanya mengajarkan kejahatan, kebohongan, dan mentalitas menerabas. Tak ada kejujuran. Penyelewengan dan penyimpangan menjadi sah dengan syarat tidak ketahuan. Lihatlah contoh nyata: Siswa, guru, dan kepala sekolah tertangkap melakukan kecurangan.

Padahal, pelajaran korupsi dimulai dari ketidakjujuran. Dan sekarang, sekolah, dari yang paling dasar hingga yang paling tinggi justru mengajarkan cara-cara yang jauh dari nilai-nilai kejujuran itu.

***

Mat Puhit menerawang puluhan tahun lalu. Rasanya, waktu sekolah dulu, tak setegang anak sekolah sekarang-sekarang ini. Sepintar-pintarnya (baca: bloon!) Pinyut, menjelang ujian atau ulangan malah lebih senang keluyuran. Yang belenyon ya Mamak Kenut, besok mau ujian dia malah baca novel Senopati Pamungkas berjilid-jilid karya Arswendo Atmowiloto. Deket-deket ujian, Minan Tunja makin rajin ngerumpi. Yang sedikit serius meski nggak sampai stres paling si Pithagiras.

Tapi, Pithagiras asyik, nggak pelit mau bagi-bagi jawaban saat ujian. Itu yang penting. Hehehee...

***

Sekarang? Semua kok serbaketakutan.

Mat Puhit bertanya, "Ada apa dengan pendidikan kita?"

Minan Tunja: "Mengapa pendidikan hanya menciptakan ketakutan?"

Udien: "Mengapa pendidikan melahirkan kepalsuan-kepalsuan?"

Pithagiras: "Eh, sudah. Pendidikan buat kita pinter, tahu!"

Mamak Kenut: "Hahahaa...."


Lampung Post, Kamis, 23 April 2009

Tuesday, April 14, 2009

Hidup 'Aja' dengan Baik

Oleh Udo Z. Karzi

PEMIMPIN Libia Muammar Qadafi mengingatkan Presiden AS Barack Obama untuk berhati-hati karena Obama besar kemungkinan menjadi target pembunuhan seperti yang dialami presiden AS sebelumnya, seperti John F. Kennedy dan Abraham Lincoln.

Qadhafi mengatakan Obama ibarat setitik harapan di tengah kegelapan para imperialis. Tapi kekuatan-kekuatan gelap itu, tidak akan membiarkan Obama merealisasikan rencana-rencana pemerintahannya.

"Ada kekhawatiran bahwa kekuatan-kekuatan itu akan melikuidasi Obama, seperti mereka melikuidasi Kennedy, Martin Luther King, dan Abraham Lincoln," ujar Qadhafi.

Raja Lu Ai Gong bertanya pada Konfusius, "Apakah benar nasib dari suatu bangsa ditentukan dari langit dan bukannya dari tindakan-tindakan pemimpinnya?"

Konfusius menjawab, "Nasib negara Anda akan tergantung pada tindakan-tindakanmu sendiri. Dalam kasus tertentu tindakan Anda itu tidak dapat mengubah nasib bangsa Anda."

Kehidupan tidaklah terjadi pada kita secara acak (sembarangan), tetapi kita menentukan nasib-nasib kita sendiri melalui keputusan-keputusan yang kita buat. Kita memutuskan apa yang hendak kita perhatikan dan apa yang kita abaikan, kapan kita bangun dan kapan kita tidur, mau seberapa keras bekerja dan seberapa banyak bermain, seberapa banyak menikmati saat itu, seberapa banyak menabung untuk esok hari, seberapa mau dibagikan kepada orang-orang lain, dan mana yang disimpan untuk diri sendiri, kapan bertahan dan kapan mengalah. Watak itu sebuah program yang menentukan jenis-jenis pilihan apa yang akan kita buat dalam berbagai macam situasi.

Nasib--ngetop dengan suratan nasib, suratan tangan atau suratan takdir --telah tertulis di lauh mahfudz sebagai takdir dan manusia tak berdaya mengubahnya. Meski demikian, dia tidak hitam-putih. Sebab, Allah Maha Berkehendak dan Mahatahu. Sedangkan, manusia memiliki daya pilih dan daya upaya, bebas menentukan perbuatannya dan mampu mempengaruhi masa depan dan nasibnya dan dapat pula mengubahnya sendiri.

Nasib ya nasib. Tapi, hidup tak menunggu nasib. Jadi, hidup aja dengan baik! Kayak apa, entahlah.


Lampung Post, Selasa, 14 April 2009

Monday, March 23, 2009

Bahasa Inlander

Oleh Udo Z. Karzi

NASIB negara-bangsa Indonesia memang mengenaskan. Jauh sebelum merdeka, kita dengan bangga berkata... menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia (satu dari tiga butir Sumpah Pemuda). Karena sumpah itu, dalam perkembangan selanjutnya, bahasa Indonesia kita pun melesat maju menjadi bahasa resmi, bahasa persatuan, bahasa budaya, bahasa sains yang dipakai dalam pengajaran di sekolah-sekolah hingga perguruan tinggi.

Malaysia pun iri dengan bahasa Indonesia. Kita bisa berdialog, berdiskusi, dan berdebat dengan bahasa Indonesia. Berbeda dengan orang Malaysia harus berbahasa Inggris ketika harus berdiskusi karena merasa ada hambatan ketika berdiskusi dengan bahasa Melayu. Orang Malaysia pun berkata, "Bahasa Indonesia itu indah. Orang Indonesia seperti berpuisi ketika berbicara."

Pengakuan betapa bahasa Indonesia (bahasa Melayu modern) bukan hanya dari negara tetangga kita. Peneliti-peneliti lingustik pun mengakui bahwa bahasa Melayu (bahasa Indonesia) adalah salah satu dari bahasa di dunia yang indah.

Wajar saja kalau Indonesia banyak penyair, cerpenis, novelis, dan sastrawan. Teks Sumpah Pemuda saja ditulis dengan puisi berbahasa Indonesia. Pembukaan UUD 1945 saja dirumuskan dengan bahasa Indonesia yang baik, sistematis, dan tentu saja nyeni.

Tapi, kebanyakan kita, terutama para pemimpin negeri ini (mungkin tidak semua) masih tidak percaya diri dengan kemampuan bahasa Indonesia menjadi bahasa yang terhormat, menjadi bahasa kebudayaan, menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi.

Sebuah pendapat mengemuka: untuk menguasai sains (ilmu pengetahuan dan teknologi), orang harus mengusai bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya. Orang-orang tidak percaya sains bisa diajarkan dengan bahasa Indonesia. Maka, sekolah-sekolah mengubah bahasa pengantarnya dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris. Biar lebih mudah belajarnya!

Benarkah? Ternyata, hasil penelitian menunjukkan gara-gara pengajarannya menggunakan bahasa Inggris, minat pelajar Malaysia kepada sains terutama IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) dan Matematika menurun.

Direktur Eksekutif Pembina (Permuafakatan Badan Ilmiah Nasional) Malaysia, Abdul Raof Hussin, mengatakan suatu kajian yang dilakukan Pembina, penyampaian bahasa Inggris dalam pelajaran IPA dan Matematika sejak 2003 hanya mampu meningkatkan kemampuan bahasa Inggris sebesar empat persen saja.

Ternyata... masalahnya, kita tidak pede saja dengan yang kita punya. Padahal orang lain malah cemburu dengan kita. Sobron Aidit dalam Melawan dengan Restoran (2007), bertutur ternyata bule atau tamu non-Indonesia yang mengunjungi Restorant Indonesia di Paris, Prancis, banyak yang bisa berbahasa Indonesia dengan baik. Bahasa Indonesia dipelajari, paling tidak di 73 negara.

Ah, kaum inlander, ternyata kita lebih banyak mindernya. Itu baru dari soal bahasa. Belum lagi dalam soal lain


Lampung Post, Senin, 23 Maret 2009

Thursday, March 5, 2009

Bahaya Laten Narsisme!

Oleh Udo Z. Karzi


JANGAN harap jadi orang besar kalau tidak narsis. Maksudnya jadi orang ya jadi pemimpin, jadi pejabat, atau kalau musim Visit Caleg Year 2009--pinjam istilahnya Meza Swastika--sekarang ini... jadi legislator. Penelitian menyebutkan pengidap narsisme suka sekali mengemban tugas, senang menjadi pemimpin, dan bahkan cenderung menjadi politisi.

Nah bener kan kalau tak narsis... caleg-caleg itu tak bakal jadi legislator. Berenti sampai jadi calon aja. Hahaa... tapi celaka juga ya kalau sudah narsis habis-habisan, tetap saja tak jadi.

Tapi lebih celaka lagi karena kita selalu memilih orang yang kelewat narsis. Sebab--hasil penelitian pula--orang narsis sebenarnya tidak mempunyai kelebihan lain dalam bidang kepemimpinan. Orang narsis suka melebih-lebihkan kemampuan dan bakatnya, serta egois. Dia tidak peduli dengan perasaan orang lain. Dia suka kekuatan, kekuasaan, mampu tampil menarik, dan sangat terbuka. Jelas, orang kayak gini bukanlah pemimpin yang baik.

Orang narsis itu awalnya saja keliatan hebat, tetapi tak lama kemudian segera kelihatan belangnya. Ternyata narsis sebenarnya tak bisa apa-apa; bisanya cuma berlagak saja. Lagak-lagak kerupuk kena angin kemiut. (Tak perlu diterjemahkan ya biar cari sendiri artinya).

***

Masalahnya, kalau tak narsis, siapa yang mau memilih. Logikanya, sudah narsis saja, belum tentu kepilih, apalagi tidak. Maka, jangan heran jika jalan raya, gedung-gedung, gang, tanah lapang, persimpangan, ... di mana pun sudut kota dan pelosok perdesaan bulan-bulan ini penuh dengan gambar, foto, moto, slogan, iklan, pamflet, orat-oret-... entah apa lagi...

Tidak ada iklan caleg yang mencoba berendah hati. Semua mengaku terbaik. Semua nomor satu. Iklan-iklan politik adalah bentuk/sikap narsisme para calon pemimpin. Sikap narsis para calon pemimpin menjadi cermin bagi kita betapa "mahalnya" sikap merendah diri di kalangan para calon pemimpin.

Dengan iklan-iklan politiknya, mereka seolah lihai dalam mempermainkan kemampuannya di depan publik. Berbagai slogan telah digembar-gemborkan untuk menghipnosis hati masyarakat. Namun sayang, masyarakat Indonesia sekarang, seolah telah bosan dan jenuh dengan sikap para calon pemimpin kita yang semakin lama bak tukang calo.

Tidak mengherankan jika diprediksikan dalam pemilu tahun ini, tingkat volume golput (golongan putih) akan tinggi. Masyarakat kecewa terhadap pemerintah, korupsi, RUU dan UU yang tidak berpihak pada rakyat kecil.  Golput bukan berarti mengabaikan untuk memilih calon pemimpin, melainkan bentuk kritik mereka guna menuju proses pendewasaan demokrasi. Daripada memilih pemimpin narsis!

Ya, kalau tetap memilih, jangan pilih pemimpin narsis! Waspadalah... waspadalah terhadap bahaya laten pemimpin narsis.

Lampung Post, Kamis, 5 Maret 2009

Monday, February 16, 2009

Para Calon Pemimpi(n)

Oleh Udo Z. Karzi


SIAPA bilang wakil rakyat bukan pemimpin. Jelas kok melalui pemilu, kita (kita? lu aja kali, gua kagak!), memilih orang yang mewakili kita, rakyat untuk memperjuangkan apa yang menjadi aspirasi rakyat. orang yang mewakili kita itu sama saja... disebut pemimpin. Seorang anggota legislatif menjadi pemimpin--paling tidak--yang menjadi konstituen dia, yang memilih dia saat pemilu.

Seorang pemimpin adalah pribadi yang sangat menentukan bagi suatu umat atau bangsa. Jika pemimpin lebih memihak kepada kepentingan dirinya, rakyat mesti telantar.

Pemimpin adalah nahkoda bagi sebuah kapal. Para penumpang seringkali tidak tahu apa-apa. Maka selamat tidaknya sebuah kapal tergantung nakkodanya.

Ibarat kepala bagi sebuah badan, pemimpin adalah otak yang mengatur semua gerakan anggotanya. Karena itu pemimpin harus cerdas, jujur, dan adil. Ketiga-tiganya harus melekat dalam diri pemimpin. Sebab, para pemimpin korup sering menggunakan kecerdasannya untuk menipu rakyat.

Hati-hati memilih pemimpin! Jangan pilih politisi busuk! Jangan conteng (kalau dulu nyoblos) calon legislatif (caleg) bermasalah. Pesan itu sudah berkali-kali bergaung dan digaungkan banyak pihak. Bukan apa-apa bagaimana mungkin kita memilih pemimpin yang bau, jarang mandi, dan jorok lagi. Gimana kalau wakil rakyat yang memimpin rapat mulutnya bau. Peserta rapat bisa-bisa satu per satu bubar jalan.

Makanya pilih pemimpin (wakil rakyat) yang pantas-pantas saja. Yang pintar tapi tak minterin. Enggak terlalu kaya, tetapi nggak miskin-miskin amat. Logikanya sederhananya saja, belum jadi pemimpin saja, dia sudah membuat susah orang lain, apalagi kalau sudah jadi. Memang, tidak salah mendaftar caleg untuk meningkatkan kesejahteraan, tetapi jangan sampai tujuan substansi dari pemilu (memilih wakil rakyat) menjadi tersingkirkan.

Susah memang. Sebab, kenyataannya demikianlah yang terjadi. Itulah yang diharapkan para caleg jauh-jauh hari sebelum pencalegan: kursi, kewenangan, fasilitas, sumber dana, dan seterusnya. Semua untuk mengembalikan modal yang dikeluarkan untuk meraih kursi tadi.

Maka, segala daya, segala upaya dikerahkan untuk meraih mimpi menjadi pemimpin. Jalanan kota hingga desa penuh spanduk, umbul-umbul, atribut, dan lain-lain demi sebuah perjuangan meraih simpati para pemilih.

Tapi, ini zaman banyak partai dan karena itu banyak caleg. Karena banyak caleg, ya jelas bakal banyak yang bertumbangan. Dan para calon pemimpin itu terpaksa gigit jari: cuma jadi pemimpi!


Lampung Post, Senin, 16 Februari 2009

Thursday, February 12, 2009

Kebenaran Sejati?

Oleh Udo Z. Karzi

"BERAT, berat...," gumam Udien sendirian.

"Kenapa kau, Dien? Stres?" celetuk Mat Puhit.

"Kalau stres sana ke Kurungan Nyawa," tambah Minan Tunja.

"Iya, jangan-jangan kau termasuk satu dari setiap lima orang di Negarabatin yang terganggu sarafnya," Pithagira ikut-ikutan.

Hahahaa....

Kontan Udien melotot. "Lawang! Kalian yang lawang," balasnya.

"Iya Dien, ada apa geh?" kata Mamak Kenut.

"Kalian ini.... Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ngomong pers harus memperhatikan kebenaran sejati demi kehidupan bangsa dan negara yang baik. Nah, kata 'kebenaran sejati' itu yang saya bilang berat."

"Lo, kan wartawan kan memang harus menuliskan kebenaran. Apanya yang salah?"

"Dalam pikiran saya sih kebenaran sejati itu kan hanya kebenaran berdasar pada ajaran agama. Kebenaran Alquran dan Hadis. Kalau itu sih nggak bisa dibantah-bantah. Kalau pers kan buatan manusia juga, bisa aja salah."

"Ah, lu aja yang cuma cari-cari masalah. Omongan Presiden aja lu bantah-bantah."

"Bukan kayak gitu. Beban pers kan sudah berat. Ancaman terhadap kemerdekaan pers juga semakin besar. Kok masih harus diwanti-wanti seperti itu. Kan nggak fair?"

Pemerintah (oknum?) memang nggak suka dengan keterbukaan, transparansi.... Makanya, dicari-cari lagi istilah baru untuk mengatakan pers kita belum dewasa. Pers kebablasanlah, pers yang bertanggung jawablah atau apa.... Sekarang ditambah lagi, pers yang memperhatikan kebenaran sejati demi kehidupan bangsa dan negara yang baik.

Coba perhatikan. Kebenaran sejati dan demi kehidupan bangsa dan negara yang baik. Dua hal yang bisa multitafsir. Kebenaran sejati kayak apa? Lalu, berita seperti apa yang harus ditulis demi kehidupan bangsa dan negara yang baik? Wah, sangat bergantung pada siapa yang menginterpretasikan maknanya. Bisa-bisa mirip dengan jargon "kebebasan pers yang bertanggung jawab" di masa lalu.

Goenawan Mohamad jauh-jauh hari pada zaman represif dulu sudah mengingatkan, pers memang bukan kebenaran mutlak, melainkan pers mengupayakan kebenaran. Jadi, pers bisa salah. Di sinilah peran publik untuk mengkritisi pers.

Sudahlah, tak perlu membuat istilah-istilah atau konsep-konsep baru yang serbatidak jelas. Kebenaran sejati...susah kita dibuatnya. Kita hanya mengupayakan kebenaran itu. Maksudnya, agar pers tak besar kepala dan publik tidak menelan bulat-bulat kebenaran yang ditulis pers. Pers bukan kitab suci.


Lampung Post, Kamis, 12 Februari 2009

Saturday, February 7, 2009

Zoon Politicon

Oleh Udo Z. Karzi

MANUSIA adalah zoon politicon, kata Aristoteles dalam bukunya Republica. Sebagai bagian dari zoon politicon, manusia secara individual merupakan elemen terkecil dari sebuah negara.

Kumpulan individu-individu yang menempati daerah tertentu membentuk kesatuan masyarakat. Himpunan masyarakat yang menempati daerah atau wilayah yang lebih luas membentuk sebuah negara. Sebagai makhluk politik, eksistensi manusia tidak terpisahkan dengan konsepsi negara.

Bagi Aristoteles, kumpulan individu yang membentuk masyarakat dan akhirnya memunculkan entitas negara adalah tujuan sempurna zoon politicon sehingga mencapai kebaikan bersama. Politik, dalam arti kata kesalinghubungan (interrelation) antarmanusia merupakan salah satu dimensi terpenting dari manusia.

Dalam pandangan Aristoteles, politik adalah kenyataan tak terelakkan dari kehidupan manusia. Kenyataan ini terlihat dari berbagai aktivitas manusia, misalnya, ketika manusia berusaha menduduki suatu jabatan tertentu, seseorang mencoba meraih kesejahteraan bagi dirinya atau golongannya dengan berbagai sumber daya yang ada, atau juga seseorang atau institusi yang berusaha memengaruhi seorang yang lain atau institusi lain. Beberapa contoh tersebut adalah kenyataan politik dalam pemahaman seluas-luasnya.

Politik dalam pengertian yang ideal berusaha memanifestasikan nilai-nilai luhur yang ada dalam masyarakat. Pandangan ideal ini secara logik berangkat dari logika berpikir sederhana dengan dikotomi hitam-putih; benar-salah. Aktivis politik yang berusaha mencapai impian menciptakan tatanan masyarakat yang baik akan menempuh jalan atau cara yang menurut kategorinya baik. Namun dalam riil politik, logika berpikir demikian sungguh kenyataan yang sukar untuk diterapkan. Ini disebabkan realitas yang terjadi di masyarakat yang sangat kompleks. Selain kita yang punya paramater tertentu tentang kebaikan, pihak lain juga memiliki hal yang sama. Alih-alih parameter itu sama, malah yang sering ada adalah perbedaan. Perbedaan ini dalam kapasitas yang lebih jauh akan sangat berpengaruh pada pola kepentingan yang berkembang. Keanekaragaman kepentingan pada tahap tertentu menimbulkan konflik nyata yang tidak terhindarkan. Kepentingan yang menimbulkan konflik menjadi dasar tindakan yang kadangkala membenarkan segala cara.

Dalam perjuangan kepentingan inilah kekuasaan dikejar. Perjuangan yang kadang dijalankan dengan cara-cara tidak terpuji dan dilakukan hampir oleh sebagian besar politisi menimbulkan steotip bahwa politik itu kotor, keji, culas dan amoral. Politik secara simplistik dipahami dengan kekuasaan. Dalam pemahaman ini kekuasaan merupakan konsep yang selalu menjadi acuan untuk memahami arti politik. Orang melihat bahwa politik merupakan cara meraih dan mempertahankan kekuasaan.

Pada realitasnya kekuasaan adalah hanya salah satu aspek nilai yang terdapat dalam politik. Dalam politik sendiri terdapat nilai-nilai lain, antara lain, kekayaan, pendidikan, kesehatan, keahlian, penghormatan, penghargaan, afeksi, dan kebajikan. Dengan melihat sisi lain nilai intrinsik yang terdapat dalam politik inilah etika, fatsun dan moralitas politik perlu ditegakkan.


Lampung Post, Sabtu, 7 Februari 2009

Tuesday, January 20, 2009

Negarabatin

Oleh Udo Z. Karzi

NEGARABATIN masih seperti dahulu. Musim caleg. Rebutan kursi. Naluri berkuasa tetap besar. Cari lokak juga iya. Konflik kepentingan. Sengketa tidak henti. Korupsi masih menghiasi halaman depan koran. Hukum carut-marut. Lingkungan rusak. Masalah sosial....

Ah, semua juga masih kacau. Semua tetap menyimpan sengkarut. Semua masih menyisakan soal. Banyak hal tidak tuntas. Solusi jangka pendek. Sebentar saja, ada lagi pasal yang diutak-atik. Masalah lama diungkit. Masalah baru bertambah-tambah.

Negarabatin masih seperti dahulu. Ramai dengan segala. Move, gerakan, dialog, diskusi, debat, sosialisasi, kampanye, demo, unjuk rasa, ...semua bergerak. Siapa cepat dia dapat. Diam-diam ya tidak dapat. Masih mending tidak kelibas.

Denyut kehidupan tidak pernah berhenti. Mak dawah mak dibingi. Kita selalu saja.... Apa geh?

Negarabatin masih seperti dahulu. Sai batin masih tetap batin. Malah tambah batin kalau tidak beperkara. Sai jereh ya miskin namanya. Masih begitu juga. Hidup memang harus pinter bersiasat. Kalau nggak ya begitu-begitu saja, begini-begini saja.

Negarabatin masih seperti dahulu. Banyak masalah. Tapi, karena itu Negarabatin hidup. Soalnya hidup memang segudang masalah. Tidak ada masalah berarti tidak hidup. Asal hidup tidak jadi masalah. Tapi, jangan hidup hobi cari masalah.

Masalah ya kita atasi. Maunya. Tapi kalau tidak mampu mengatasi ya cukuplah jadi tukang kritik--bahasa aslinya sih tukang recok. Ya mau apa lagi. Kalau tidak direcoki, kebobrokan tambah bobrok. Maka, bicaralah, bilang segala yang jelek-jelek. Yang jelek jangan marah biar tidak tambah jelek.

Negarabatin masih seperti dahulu. Kini, Mamak Kenut si tukang recok kembali pulang. Di Negarabatin!

Kangen teman-teman, Mamak Kenut segera beranjang sana, beranjing sini.

"Weh, belum apa-apa Mamak Kenut sudah beranjing-anjing," kata Minan Tunja.

"Bukan gitu, Nan. Itukan cuma padanan aja. Sana-sini. Putra-putri. Teman-temin. Anjang-anjing...," sahut Mamak Kenut sekenanya.

Suka usil Mamak Kenut memang tidak lekang.

Negarabatin masih seperti dahulu. sudah lama berdiam. Kini, Mamak Kenut hadir lagi. Bersama lagi sekadar jadi tukang recok, membahas yang mungkin (tidak) perlu dibahas, membicarakan yang dianggap (tidak) penting, membincang yang boleh jadi (tidak) perlu dibincang...ya apa saja. Mungkin hanya omong-kosong. Tapi, tidak kosong-kosong amat.

Kita tertawa, mungkin lucu tapi ada hal krusial di balik yang menggelikan. Sekali waktu kita berkerut-kerut. Serius banget sampai kita terbahak. Habis lucu jadinya.

Negarabatin masih seperti dahulu. Mamak Kenut, Mat Puhit, Minan Tunja, Udien, Pinyut, dan Radin Mak Iwoh masih di Negarabatin. Zaman mungkin berubah. Tapi, keadaan tetap saja: Banyak masalah, banyak kasus, banyak hal.... Tetap perlu disentil-sentil.

Ya, kini mereka kembali. Di Negarabatin yang penuh warna.


Lampung Post
, Selasa, 20 Januari 2009