Monday, July 13, 2009

Oposisi sebagai Pengingat

Oleh Udo Z. Karzi

NAMANYA Demokrat (baca: demokrasi). Tapi, belum apa-apa kok ngomong, barisan oposisi di parleman tidak akan bermanfaat untuk kemajuan bangsa dan kesejahteraan rakyat.

Lebih kacau lagi karena logika yang dipakai: Sistem presidensial di Indonesia bertumpu pada musyawarah dan mufakat sebagaimana digariskan para pendiri bangsa. Kalau ada oposisi, program pemerintah yang mengutamakan rakyat akan berjalan lamban. Oposisi bisa menjerumuskan bangsa pada jatuh bangunnya kabinet seperti terjadi di zaman Presiden Soekarno.

Kalau pandangan ini yang akan dipakai, negara kita segera saja akan kembali ke zaman Orde Baru. Kata kuncinya ada pada kata "musyawarah-mufakat" dan "oposisi bukan budaya Indonesia". Karena itu, legislatif kembali menjadi lembaga stempel dan berteriak secara mayoritas, "setuju" untuk berbagai hal yang hendak diputuskan.

Sementara itu, masyarakat Indonesia akan kembali bertemu, mendengar, dan melihat betapa "manis-manis"-nya wajah wakil rakyat. Tak ada perdebatan sengit di parlemen. Yang ada selalu dukungan penuh untuk sang penguasa (eksekutif). Nyaris tak ada suara berbeda. Kalaupun ada, segera saja kalah--termasuk voting sekalipun--oleh suara kebanyakan.

Itu yang terjadi pada PDI-P dalam periode 2004--2009 lalu.

Memang, mengambil posisi sebagai partai oposisi sesungguhnya belum memiliki riwayat kelembagaan yang panjang di negeri ini. Partai oposisi pernah hidup di zaman liberal, di era kabinet parlementer, tetapi menyebabkan ketidakstabilan yang luar biasa hebat. Kabinet jatuh bangun dengan cepat dan gampang.

Sistem politik kemudian berubah menjadi otoriter, baik di zaman Orde Lama di bawah Presiden Soekarno maupun di zaman Orde Baru di bawah Presiden Soeharto. Praktis selama 39 tahun (1959--1998), yaitu sejak Dekrit Presiden hingga pecahnya reformasi yang menumbangkan Pak Harto, Indonesia tidak mengenal partai oposisi.

Dari perspektif sejarah politik Indonesia modern itu, demokrasi yang sekarang dinikmati bangsa ini sudah seharusnya diimbangi pula dengan tumbuh dan menguatnya partai oposisi. Ada yang memenangi pemilu presiden dan karena itu berkuasa dan menentukan kabinet, tetapi ada yang sepenuhnya berada di luar kabinet sebagai oposisi. Maka, selalu ada yang dengan sadar dan sehat mengoreksi kekuasaan agar setidaknya tetap ingat janji-janjinya di kala kampanye.

Di situlah arti penting dan arti strategis partai oposisi. Lagi pula, merupakan keniscayaan demokrasi bahwa kekuasaan dapat datang dan pergi setiap lima tahun sekali. Yang kemarin berkuasa sekarang menjadi oposisi, seperti yang sekarang berkuasa terbuka kemungkinan tidak terpilih lagi dan kemudian menjadi oposisi. n


Lampung Post, Senin, 13 Juli 2009

No comments:

Post a Comment