Monday, July 31, 2017

Menggugat Universitas!

Oleh Udo Z Karzi


YUYUN Sapto (35) ditemukan tewas gantung diri di sebuah pohon di lereng bukit di Jalan Tirtayasa, Kelurahan Campang Jaya, Kecamatan Sukabumi, Bandar Lampung, Selasa, 25/7/2017, sekitar pukul 17.00 WIB. Alumnus D3 Jurusan Pusat Dokumentasi dan Informasi (Pusdokinfo) FISIP Universitas Lampung ini diduga frustasi karena tidak mendapatkan pekerjaan.

Berita ini menjadi viral karena judulnya luar biasa menggoda, "Frustasi Tak Dapat Kerja, Alumni Unila Yuyun Sapto Gantung Diri" (duajurai.com, 26/7/2017).

Tanpa mendalami lebih detil mengenai fakta-fakta seputar kematian Yuyun, lantas siapa saja bisa berpendapat macam-macam. Boleh berkata, sarjana (muda) kok pendek akal mengakhiri hidup dengan cara yang di luar nalar. Orang juga bisa beranggapan, Unila ternyata hanya menghasilkan banyak pengangguran.

Lebih jauh lagi, berkembang pikiran agar Unila tidak gampang-gampang membuka jurusan atau program studi yang hanya tidak jelas pasar kerjanya bagi lulusannya. Kebetulan Unila baru saja membuka program studi Strata 1 Pendidikan Seni Musik. Kebetulan pula bertahun-tahun digagas-gagas dan didorong-dorong agar Unila segera membuka Prodi S1 Pendidikan Bahasa Lampung, bahkan Fakultas Ilmu Budaya yang menjadi induk bagi ilmu-ilmu sejarah, bahasa, sastra, budaya, arkeologi, dan lain-lain.

Kenapa S1 Bahasa Lampung tak kunjung dibuka di Unila? Ternyata, masih saja ada anggapan bahwa S1 Bahasa Lampung ini bakal melahirkan banyak pengangguran. Soalnya, belum ada jaminan dari pemda-pemda se-Lampung bakal merekrut para sarjana bahasa Lampung ini.

"Kalau para sarjana bahasa Lampung itu menganggur dan kemudian bunuh diri kayak Yuyun Sapto, bagaimana coba?" Kira-kira begitu pertanyaannya. Dengan "logika" ini, lebih baik S1 Bahasa Lampung ditunda dulu.

Pandangan pesimisme ini juga berangggapan, pendirian Fakultas Ilmu Budaya (FIB) bukan solusi, ia malah akan menimbulkan masalah lebih besar lagi. Unila akan semakin banyak melahirkan pengangguran dan otomatis semakin banyak alumninya yang bunuh diri.

Waduh, ini dramatis sekali atau lebih tepatnya, dramatisasi sebuah kasus untuk dijadikan alibi dari sebuah 'kegagalan' sistem.

Saya terus terang gemas sekali. Saya agak sulit menulis dengan jernih mengenai persoalan ini. Saya kutip saja komentar saya di Facebook, "Peristiwa bunuh alumni Unila jangan didramatisirlah. Ini hanya satu contoh kasus. Motif bunuh dirinya pun masih dugaan. Jangan sampai pula karena ada yang menganggur, ada yang bunuh diri, Unila sebagai pusat kebudayaan (bisa juga pengembang sains) melupakan fungsinya. Saya gak setuju unila cuma dijadikan mesin pencipta tenaga kerja. Kalau cuma itu orientasinya (menciptakan pekerja/tukang) memang Unila tak perlu bikin fakultas filsafat, ilmu budaya, dan semacamnya. Dan, karena masih harus menunggu MoA Unila dangan pemda-pemda se-Lampung yang entah kapan bisa direalisasikan, nasib guru bahasa Lampung masih akan terkatung2. :) Ya masih dibutuhkan kesabaran bertahun-tahun lagi untuk menunggu..."

Saya, terus terang seharusnya menggugat universitas karena apa yang saya kerjakan -- saya tak kuat menyebutnya profesi -- tidak sesuai dengan disiplin ilmu yang saya miliki yang ditandai dengan ijazah sarjana yang saya simpan. Ya, iyalah saya gak bisa jadi lurah, camat, kepala dinas atau jabatan apalah di pemerintahan. :)

Tapi tidak. Saya tidak boleh menggugat universitas. Sebab, universitas tempat saya kuliah -- agak lamaan sih, hehee -- telah memberi saya ilmu pengetahuan (sains). Tadinya, saya mau bersikap vatalis dengan mengatakan apalah gunanya ilmu yang saya peroleh dari universitas kalau dalam kenyataannya ilmu saya itu tidak terlalu menolong saya dalam dunia kerja.

Awal masuk kuliah, terus terang saya masih beranggapan bahwa saya kuliah biar gampang dapat pekerjaan. Tapi, berkali-kali saya diingatkan bahwa "Kamu disekolahkan bukan agar kamu mudah kerja. Kamu disekolahkan biar kamu dapat ilmu. Ilmu ini yang akan menjadi bekalmu dalam mengarungi kehidupan ini. Jelas dalam Alquran, orang yang (beriman dan) berilmu akan ditinggikan Allah swt derajatnya."

Baiklah kita kembali ke tujuan pendidikan, termasuk universitas diselenggarakan. Di sepanjang sejarah, beberapa tokoh penting telah merumuskan sasaran pendidikan. Tokoh pertama adalah Plato. Di dalam bukunya, Republic, ia sangat menekankan pendidikan untuk mewujudkan negara idealnya. Plato mengatakan bahwa tugas pendidikan adalah membebaskan dan memperbarui; ada pembebasan dari belenggu ketidaktahuan dan ketidakbenaran. Pembebasan dan pembaruan itu akan membentuk manusia yang utuh, yaitu manusia yang berhasil menggapai segala keutamaan dan moralitas jiwa, yang akan mengantarnya ke ide yang tertinggi yaitu kebajikan, kebaikan, dan keadilan.

Namun, Aristoteles mengaitkannya dengan tujuan negara. Ia mengatakan bahwa tujuan pendidikan haruslah sama dengan tujuan akhir dari pembentukan negara.

Di Eropa, sejak abad ke-14, tujuan universitas adalah mencari kebenaran. Mencari kebenaran-- itulah citra yang dapat kita pelajari dari tujuan pendirian universitas-universitas itu. Di kemudian hari, khususnya universitas-unversitas di Amerika Serikat, mata kuliah engineering (rekayasa) dimasukkan ke dalam kurikulum, tetapi citra bahwa universitas untuk mencari kebenaran tetap dipelihara.

Aduh... kenapa universitas yang saya kenal kok sibuk benar memikirkan bagaimana alumninya bisa bekerja ya? Universitas yang saya kenal ini masih tidak percaya bahwa ilmu yang mereka berikan kepada mahasiswa tidak cukup menjadi bekal mereka dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara? Univertas yang sibuk bertanya, "Lapangan pekerjaannya sudah tersedia belum untuk jurusan/prodi yang akan kami buka?"

Mohan maaf. Ocehan saya mungkin lebih banyak kelirunya. Tabik. []


Fajar Sumatera, Senin, 31 Juli 2017 

Monday, July 17, 2017

Nama Lama, Nama Baru

Oleh Udo Z Karzi


DEMIKIANLAH, nama-nama tempat lama yang klasik -- tetapi dianggap "ndeso" dan ketinggalan -- berganti nama. Sebut saja, Umbullimau menjadi Sukarame, Renglaya Lawok menjadi Kampungbaru, Pekonkudan menjadi Jatimulyo, Negarabatin Liwa menjadi Pasarliwa, Pantau (sempat diusulkan!) menjadi Sumberrejeki, Ham Tebiu sempat vtenggelam di bawah nama Sukamenanti, ... dst.

Itu semua di Liwa. Di tempat lain, Way Awi menjadi Kaliawi, Batasmarga menjadi Mergorejo, Tanjungkarang-Telukbetung menjadi Bandarlampung, Way Andak menjadi Kalianda, Bambuseribu menjadi Pringsewu, Semaka menjadi Semangka, dst.

Saya cuma bertanya perlukah nama-nama "antik" dan asyik seperti Sabahbrak, Sabahpasuk, Sabahrenoh, Way Rubok, Way Hamalom, Tebakandis, Way Ais, Sungi, Sebidak, Seranggas, Selipas, Kidupan, Bedudu, Serungkuk, Canggu, dst diganti biar kelihatan modern atau minimal menunjukkan "kemajuan" karena sudah banyak yang datang ke situ dan karena itu perlu ganti nama?

***

Saya memang menggunakan nama Udo Z Karzi dan berbagai nama lain biar kelihatan keren -- sempat juga Joel K Enairy, dll. Nama lama aseli pemberian orang tua (meskipun sudah pada tahu, tetap dirahasiakan, hehee...) keren juga kok. Tapi, ini untuk keperluan publisitas saja. Ya, semacam merk dagang aja. Tadinya, biar tulisan laku dimuat koran dan saya tidak ketahuan sebagai tukang tulisnya. Bukan namanya, yang penting kan honorarium tulisannya. Hehee...

Namun, soal nama-nama tempat saya kok kurang sreg nama-nama bagus dan tidak ada duanya di dunia kok digenti-genti. Coba aja: Kemiling, Pekon Ampai, Kedamaian, Rajabasa, Negeriolok Gading, Gedongmeneng, Gedongpakuon, Hajimena, Way Balau, Pakiskawat, Kuripan, Way Huwi, ... kan nama-nama asyik punya.

***

Saya kurang mengerti apa sih manfaatnya mengganti nama lama menjadi nama baru? Saya ingat doeloe sekitar tahun 1985-an, bagaimana saya tersesat-sesat di Bandarlampung setelah sekian waktu tidak berkunjung ke kota ini ketika mencari sepotong jalan bernama Jalan Sekala Brak. Tak ketemu. Bagaimana mau ketemu kalau jalan itu sudah berubah menjadi Nusa Indah. Belakangan sebagian jalan dikembalikan menjadi Jalan Sekala Bekhak.

Lebih dari tujuh tahun saya tinggal di wilayah bernama Pakiskawat. Ada juga yang menyebut Pakistan (Pakiskawat Tanjanan) Hehee... Sekarang, saya kalau bilang Pakiskawat, ternyata jarang yang tahu Pakiskawat. Kira-kira jawabannya, "O, Sumurbatu atau Lungsir atau Enggal atau Rawalaut". Bukan Pakiskawat. Dan, memang secara administratif saat ini memang tidak ada nama (kelurahan, kecamatan, dll) Pakiskawat di Bandarlampung.

***

Kita ini memang suka ahistoris sih. Menghilangkan jejak (sejarah) lama. Dan, menggantinya dengan yang baru. Padahal, kita bikin nama baru karena kita malas bertanya saja kepada orang yang duluan memberi nama tempat yang kita baru kita tempati. KIta pikir, kitalah orang yang berhak kasih nama tanpa memikirkan perasaaan orang yang kasih nama duluan. :)

Setahu saya, orang-orang Lampung doeloe tak sembarang memberi nama orang, tempat, barang, dan lain-lain. Negerisakti, Halanganratu, Pakuonratu, Pagardewa, Ngaras, Ngambur, Padangcahya, Padangdalom, Kurungannyawa, ... apa tidak dahsyat nama-nama itu?

Nama (adok) apalagi... ada Suntan, Pengiran, Raja, Batin, Radin, Kimas, dan sebagainya. Masa nama-nama itu mau digenti juga? Kalau itu masih saja terjadi, terlalu deh.

***

Omong-omong, Udo Z Karzi (sempat) mau genti nama lagi. Hehee... Tapi, kadung pakai nama itu. Lagi pula ini nama hoki lo. Kalau gak percaya, coba aja genti nama Anda... sekarang juga. Agui...!! []


Fajar Sumatera, Senin, 17 Juli 2017 

Thursday, July 6, 2017

Hati-Hati Kalau Ngomong!

Oleh Udo Z Karzi


HATI-HATI kalau ngomong ya! Kalau nggak, lu bisa dilaporin ke pelisi dengan pasal ujaran kebencian dan penistaan agama.

Waduh! Mamak Kenut langsung tepok jidat. Soalnya dia dan kawan-kawan memang suka ngomong semau-mau. Ya, namanya juga aseli tukang recok di Negarabatin.

Mat Puhit langsung sewot mendengar Kesang Pengarep dilaporkan ke pelisi gara-gara video blog atau vlog-nya. Putera bungsu Presiden Joko Widodo itu dianggap menyebarkan ujaran kebencian di dunia maya.

Mat Puhit sewot bukan karena yang dilaporkan itu anak Presiden. Tapi, setelah mendengarkan langsung nya vlog Kaesang di Youtube berjudul #BapakMintaProyek, ia merasa tidak ada masalah yang krusial. "Coba sebutkan bagian mana dari vlog itu yang mengandung ujaran kebencian dan penistaan agama!" kata Mat Puhit keras.

Muhammad Hidayat yang melaporkan Kesang ke Polresta Bekasi pada 2 Juli 2017 lalu berkata, "Ada dua yang mudah diingat, walaupun sebenarnya ada lebih dari dua lontaran yang patut diduga sebagai ujaran kebencian dan penodaan agama. Lontaran yang mudah diingat adalah kata “ndeso” merupakan ujaran kebencian. Bagi saya ndeso itu adalah sebuah golongan masyarakat desa, satu golongan masyarakat desa itu dikonotasikan sebagai masyarakat rendah, sehingga dia menjadi analogi mempersepsikan sesuatu yang negatif, 'dasar ndeso lo', 'dasar kampungan lo'. Maka masyarakat desa menjadi sebuah image masyarakat desa itu adalah rendah, apalagi setelah menjadi konsumsi publik,” kata Hidayat kediamannya di Bekasi, Rabu, 5/7/2017.

Hidayat yang mengaku awalnya tidak tahu kalau Kesang ia laporkan adalah putra Presiden melanjutkan, "Kata ndeso yang dilontarkan dalam akun tersebut menunjuk kepada subjek yang ada dalam video yang berisi anak-anak sedang berdemo, dan orang-orang yang berkuliah di luar negeri, tetapi saat kembali ke Indonesia bukan membangun negeri. Selain itu,  kata-kata seperti, 'mengadu domba' , 'mengkafir-kafirkan', 'tidak mau menshalatkan karena perbedaan memilih pemimpin', juga dinilai MH mengandung ujaran kebencian. Ungkapan-ungkapan itu dalam pandangan saya diduga sebagai lontaran ujaran kebencian.”

Ini konyol! Kata Tina Toon, "Pelapornya lebay! Mengada-ada."

Wajar kalau kemudian Wakil Kepala Polri Komjen Syafruddin mengatakan, laporan tersebut tidak akan ditindaklanjuti karena tidak memenuhi unsur pidana. Ia bahkan menyebut laporan terhadap Kaesang itu mengada-ada.

Itu sudah, sekarang baiklah kita tinjau lagi "pasal karet" karya terbaru Orde Reformasi itu. Surat Edaran (SE) Kapolri Nomor 06/X/2015 terkait penanganan ujaran kebencian (hate speech) menyebutkan hate speech adalah tindak pidana yang berbentuk, penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, penyebaran berita bohong, dan semua tindakan di atas memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan atau konflik sosial. Aspeknya meliputi suku, agama, aliran keagamaan, keyakinan dan kepercayaan, ras, antar golongan, warna kulit, etnis, gender, kaum difabel, dan orientasi seksual.

Inilah perkara yang diatur  Pasal 156, Pasal 157, Pasal 310, Pasal 311, kemudian Pasal 28 jis.Pasal 45 ayat (2) UU No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. 

Ada yang bilang pasal ini sangat dibutuhkan di negara demokrasi yang menghormati kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi. Namun, bagi sebagian orang, peraturan hate speech ini dianggap sebagai pembungkaman suara publik untuk menyampaikan aspirasi. Terlebih lagi karena dapat menjerat pengguna jejaring media sosial.

Bagir Manan mengatakan, hate speech ini sebenarnya tidak perlu. Sebab, ukuran seseorang menyebarkan kebencian atau tidak sangat sulit diukur. "Aturan seperti itu, dapat digunakan seseorang, sekelompok orang, dan terutama penguasa, untuk menekan dan memenjarakan orang secara mudah. Di media sosial sekalipun tidak masalah. Orang kritik, hujat dan sebagainya, ya risiko pejabat publik. Sejauh masalah kebijakan yang dikoreksi. Kalau ada fitnah, ya tinggal pakai saja aturan yang ada,” tegas Bagir Manan.

Jadi, benarkah pasal hate speech itu dibutuhkan di negeri yang mengaku demokrasi ini?

"Induh, nyak mak pandai," kata Mamak Kenut.  “Tapi, tetap hati-hati kalau ngomong!”


Fajar Sumatera, Jumat, 7 Juli 2017