Thursday, September 3, 2015

Absolutisme Hobbes

Oleh Udo Z Karzi


PEMIKIRAN politik Thomas Hobbes (1588-1679) memberikan pandangan tentang negara lebih modern dari pandangan-pandangan sebelumnya. Yang menitik beratkan pada negara monarki dengan pimpinan seorang raja. Pandangannya mengenai negara berakar jauh kepada keberadaan manusia secara natural.

Pemikir-pemikiran politiknya yang dituangkan dalam Leviathan, secara garis besar adalah membahas tentang bentuk kerajaan pada masa itu. Dia juga menerbitkan terjemahan karya Thucydides yang berisi tentang keburukan-keburukan demokrasi. Kemudian Hobbes menulis lagi bukunya, De Vice yang di tulis pada tahun 1647. Yang garis besar hampir sama dengan Leviathan.

Menurut Hobbes segala manusia adalah sama. Dalam keadaannya yang alamiah tiap manusia ingin mempertahankan kebebasannya dan menguasai orang lain. Pada dasarnya manusia cenderung untuk mempertahankan dirinya sendirinya. Untuk membuat stabil keadaan, orang membuat perjanjian tentang kekuasaan yang akan ditaati dan terikat kepada warga negara itu sendiri. Maka tidak ada hak warga negara untuk memberontak. Orang yang dipersatukan seperti itu disebut Commonwealth. Dan commonwealth disebut Leviathan.

Commonwealth
yang dipentingkan ialah perdamaian yang awet dan tahan lama. Oleh karena itu pemerintah harus diberi kuasa mutlak, tanpa batas. Sumber segala hak dan hukum serta hukum moral adalah kuasa yang memerintah. Baik dan jahat perbuatannya manusia diukur menurut peraturan dan larangan negara dan juga negara berhak memberi hukum-hukum untuk mengatur warga negara seperti hukuman mati bagi warga negaranya yang dianggap melanggar. Pemerintah tidak mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap rakyatnya, kecuali mengusahakan kepentingan dan keselamatan tiap orang.

Thomas Hobbes berpikir harus ada kekuasaan mutlak yang mengatur warganegara agar tercipta perdamaian. Hal-hal ini yang sangat bertolak belakang antara pemikiran Thomas Hobbes dan Pemikiran Aristoteles yang berkembang saat itu. Pada zaman itu, banyak sekali yang mengharapkan adanya hak kebebasan bukannya monarki yang absolut. Dan, monarki absolut ini adalah dianggap tirani oleh Aristoteles. Bahwa menurut Aristoteles warga negara boleh berpartispasi, ini berarti menyetujui adalah parlemen itu sendiri.

Hobbes tidak begitu setuju dengan adanya pembagian kekuasaan. Dengan membagi kekuasaan berarti resiko kesalahan yang diambil lebih besar. Dan juga adanya pengaruh dari Francis Bacon yang memang saat itu menjadi politisi dan parlemen. Ini juga mempengaruhi perkembangan filsafat masa itu. Memang Francis Bacon ini juga tidak menyetujui ajaran dari Aristoteles, dan juga pengaruh Machiavelli, yang memang menentang sekali ajaran Aristoteles tentang negara yang demokratis.

Ajaran sosial Hobbes mengarah pada absolutisme negara dan peran instrumental agama dan ia mendukung monarkisme. Hobbes mendukung bahwa Raja harus memiliki kekuasaan mutlak atas rakyatnya. Baginya, demokrasi itu lemah, keropos, dan hanya bisa dilakukan di negara-negara kecil. Dalam negara yang besar pemerintahan haruslah absolut agar tidak terjadi kekacauan dan ketidakstabilan politis. Raja haruslah seorang yang kuat dan memaksakan kehendak-kehendaknya secara efektif.

Dewasa ini, secara sia-sia orang mengecam teori absolutisme Hobbes itu. Banyak negara menggembar-gemborkan demokrasi dan menolak absolutisme. Namun, dalam kenyataan dan prakteknya, diam-diam atau secara kasar malah mewujudkan teori Hobbes itu di berbagai bidang kehidupan sosial.

Ah, semoga pemimpin kita tidak seperti itu.


Fajar Sumatera, Kamis, 3 September 2015

No comments:

Post a Comment