Oleh Udo Z. Karzi
BANYAK pengamat politik berpandangan sinis: "Berbicara etika politik itu seperti berteriak di padang gurun”, ”Etika politik itu nonsens". Realitas politik adalah pertarungan kekuatan dan kepentingan. Politik dibangun bukan dari yang ideal, tidak tunduk kepada apa yang seharusnya. Dalam politik, kecenderungan umum adalah tujuan menghalalkan segala cara.
Dalam konteks inilah etika politik bisa berbicara. Kalau orang menuntut keadilan, berpihak pada korban, memberdayakan masyarakat melalui civil society, membangun demokrasi, bukankah semua itu merupakan upaya mewujudkan etika politik? Dalam situasi kacau, bukankah etika politik menjadi makin relevan?
Tujuan etika politik adalah mengarahkan kepada hidup baik, bersama dan untuk orang lain, dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil (Paul Ricoeur, 1990).
Pengertian etika politik dalam perspektif Ricoeur mengandung tiga tuntutan: upaya hidup baik bersama dan untuk orang lain, upaya memperluas lingkup kebebasan, dan membangun institusi-institusi yang adil. Tiga tuntutan itu saling terkait. "Hidup baik bersama dan untuk orang lain" tidak mungkin terwujud kecuali bila menerima pluralitas dan dalam kerangka institusi-institusi yang adil.
Hidup baik tidak lain adalah cita-cita kebebasan: kesempurnaan eksistensi atau pencapaian keutamaan. Institusi-institusi yang adil memungkinkan perwujudan kebebasan dengan menghindarkan warga negara atau kelompok-kelompok dari saling merugikan. Sebaliknya, kebebasan warga negara mendorong inisiatif dan sikap kritis terhadap institusi-institusi yang tidak adil.
Pengertian kebebasan yang terakhir ini yang dimaksud adalah syarat fisik, sosial, dan politik yang perlu demi pelaksanaan kongkret kebebassan atau disebut democratic liberties: kebebasan pers, kebebasan berserikat dan berkumpul, kebebasan mengeluarkan pendapat, dan sebagainya.
Dalam definisi Ricoeur, etika politik tidak hanya menyangkut perilaku individual, tetapi terkait dengan tindakan kolektif (etika sosial). Dalam etika individual, kalau orang mempunyai pandangan tertentu, bisa langsung diwujudkan dalam tindakan. Sedangkan dalam etika politik, yang merupakan etika sosial, untuk dapat mewujudkan pandangannya dibutuhkan persetujuan dari sebanyak mungkin warga negara karena menyangkut tindakan kolektif.
Oleh sebab itu, hubungan antara pandangan hidup seseorang dan tindakan kolektif tidak langsung membutuhkan perantara. Perantara ini berfungsi menjembatani pandangan pribadi dengan tindakan kolektif.
Barang kali kita memang perlu mengingat lagi Aristoteles, yang sering disebut sebagai perintis ilmu politik. Aristoteles berkata politik merupakan ilmu yang paling tinggi kedudukannya dibanding ilmu-ilmu lain. Sebab, ilmu politik mengatur bagaimana masyarakat bisa hidup tenteram, hak-haknya dilindungi, dan hidup saling menghargai dalam sebuah tatanan masyarakat berbangsa dan bernegara. Atas dasar logika tersebut, ilmu-ilmu yang lain dianggap bersifat komplementer. Tanpa bermaksud merendahkan, keberadaan ilmu-ilmu yang lain tetap penting. Begitu!
No comments:
Post a Comment