Oleh Udo Z. Karzi
RENTETAN kekerasan dan amuk massa terjadi dalam pekan-pekan ini, mulai dari kasus Mesuji di Lampung dan Sumatera Selatan, Sidomulyo di Lampung Selatan, Gedungaji di Tulangbawang, Lampung, Bima di NTB, area pertambangan PT Freeport di Papua, hingga aksi blokir tol buruh di Bekasi.
Lalu, kekerasan semakin merajalela. Di Jakarta terjadi pemerkosaan di angkutan kota dan tawur antarkampung, di Semarang beberapa polisi menghajar anak sekolah, dan di Tugumuda delapan pemuda tiba-tiba mengamuk melukai beberapa orang. Bali yang menjadi daerah tujuan wisata favorit juga tak lepas dari tawur antarkampung. Beberapa kota yang selama ini terkenal sebagai daerah yang tenang dan nyaman sekarang ini dihantui berbagai macam tindak kekerasan.
Tradisi tawuran antarkampung mulai meluas dan menular ke barbagai daerah. Beberapa daerah yang tadinya aman tenteram tiba-tiba menyeruak dalam pemberitaan; terjadi kerusuhan. Bentrokan dan kericuhan yang melibatkan warga dan warga, warga dan aparat, serta warga dan pengamanan perusahaan semakin sering terjadi dan meluas eskalasinya.
Ada apa? Dari sisi ekonomi, ternyata pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati segelintir elite. Sebaliknya, kehidupan rakyat umumnya semakin sulit karena tidak mendapatkan akses dari pertumbuhan ekonomi itu. Kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan sosial boleh jadi menjadi bahan bakar terjadinya amuk. Ketidakmampuan aparat hukum memberikan keadilan yang substantif dan ketiadaan keteladanan dari elite politik juga semakin menumbuhkan rasa ketidakpercayaan publik kepada penegakan hukum dan pemimpin. Terjadilah frustrasi sosial yang memuncak.
Tidak gampang menyalahkan masyarakat atau mengutuk aparat yang tidak becus mencegah terjadi kekerasan atau kerusuhan. Upaya penegakan hukum jelas memang sangat diperlukan. Namun, tidak cukup hanya itu, sebab akar masalahnya adalah frustrasi sosial yang meluas.
Frustrasi sosial yang melanda sebagian rakyat itu juga disebabkan menurunnya kualitas pendidikan kemanusiaan, baik di keluarga, sekolah, maupun di masyarakat.
Ya, frustrasi sosiallah yang menyuburkan kekerasan, bahkan terorisme. Disadari atau tidak, mereka memanifestasikan rasa frustrasinya itu dengan cara-cara yang emosional. Misalnya merusak, membakar, melempar, memukul, bentrok antarpelajar, bentrok antarmahasiswa, bentrok antardesa, bentrok antarkelompok, bentrok antara masyarakat dan aparat penegak hukum, bentrok antara masyarakat dan pamswakarsa perusahaan, dan sebagainya.
Jelas, faktor sosial ekonomi tak bisa diabaikan dalam penanggulangan frustrasi sosial yang dapat memicu kekerasan massa. Perbaikan sosial ekonomi masyarakat tidak boleh hanya sebatas konsep dan wacana di kalangan elite pemerintahan maupun politisi, tetapi harus dirumuskan dalam bentuk tindakan yang dapat diterapkan di lapangan.
Lampung Post, Senin, 30 Januari 2012
No comments:
Post a Comment