Oleh Udo Z. Karzi
BACALAH koran, tontonlah televisi, dengarlah radio, atau ngobrollah dengan siapa saja, ngerumpi juga boleh; maka segera saja kita akan mendapatkan suguhan kritik dan analisis atas berbagai kejadian.
Orang yang memang memiliki latar belakang paralel dengan topik yang dikritik atau dianalis, pengamat, atau malah orang yang hanya sebatas "tahu" (kadang-kadang sok tahu) memang suku mengkritik.
Tak perlu heran. Kritik memang sudah menjadi tradisi sejak zaman waw. Bergunakah kritik? Ada kritik atas kritikus (komentator) sepak bola.
Sehebat-hebatnya komentator sepak bola, tetap tak akan bisa mengubah skor sebuah pertandingan sepak bola. Sebuah pertandingan tetap tidak bisa diprediksi. Selalu saja yang tidak sesuai harapan dan kejutan.
Masalahnya, kita selalu saja butuh komentator sepak bola.
Hari-hari ini menjelang pemilihan presiden, 8 Juli 2009. Kritik dan analisis (sebuah analisis terkadang sulit menghindari kritik) semakin banyak memenuhi media massa, bahkan hingga ruang-ruang publik di berbagai tempat, berbagai berbagai kesempatan.
Ya, kritik atas kebobrokan negara-bangsa bernama Indonesia semakin banyak. Tapi, semakin banyak kritik, semakin banyak bahan yang harus dikritik. Walau sebuah kritik tak mesti disertai solusi, tak urung banyak tawaran penyelesaian diajukan demi perbaikan. Tapi, kebobrokan tetap kebobrokan, keburukan tetap keburukan, kesalahan tetap kesalahan. Terlampau sedikit upaya pembenahan.
Kritik dan solusi tak ubahnya kritik atas sepak bola dari ruang berbeda. Tidak jelas entah di mana kelirunya penawar, sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, sangat sedikit sekali (untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali) bekerja di wilayah kebobrokan tersebut. Tidak ada efek jera atas kebobrokan yang sudah diketahui, dikritisi, dan diberikan solusi oleh khalayak dunia.
Padahal, dalam sebuah peradaban, bagaimanapun, kritik adalah sebuah jalan keluar yang dikenal ampuh untuk pencerahan. Banyak perubahan telah terjadi sebagai efek langsung dari kritik. Pada tingkat yang paling sederhana, kritik orang tua terhadap anaknya yang tidak pada aturan agama dan moral lalu disertai dengan solusi dalam bentuk pengajaran dan nasihat-nasihat kebaikan, adalah sebuah bangunan awal yang kokoh untuk membentuk kepribadian anak di masa yang akan datang. Kritik pada berpotensi signifikan memanusiakan kemanusiaan anak. Pada mulanya adalah kritik. Ia berperan sebagai sebuah entitas penggerak perubahan untuk menuju sebuah kelebih-baikan dan kelebih-beradaban.
Parahnya, pembuat kebijakan seperti kebal (mudah-mudahan tidak bebal) kritik. Kritik hadir di depan muka, tetapi pejabat malah memalingkan muka atau pura-pura mendengar tapi sesungguhnya menolak.
(Memang nggak enak ya, kalo kita dikritik orang. Rasanya dunia begitu kejam bagi seorang yang sedang dikritik dan dipojokkan. Makanya, kerja yang bener!)
Lampung Post, Senin, 29 Juni 2009
No comments:
Post a Comment