Friday, April 15, 2011

Empati, ke Mana Engkau Pergi?

Oleh Udo Z. Karzi


"Maut bukanlah kehilangan terbesar dalam hidup. Yang terbesar adalah apa yang mati dalam sanubari sementara kita masih hidup."
(Norman Cousins)

COBALAH simak omongan "orang besar" ini: "Kita jangan aneh-aneh membandingkan dengan rakyat yang susah. Itu jelas berbeda. Apa kita harus tinggal di gubuk reot juga, becek-becekan, kita harus realistis."

Benar-benar tidak memiliki perasaan. Padahal yang bilang begitu itu bernama wakil rakyat yang tetap ngotot ingin membangun "istana" baru buat mereka sendiri. Wakil rakyat yang justru melukai hati orang-orang yang diwakilinya: rakyat!

Kejadian lain, pedagang di Jalan Ikan Bawal dan Jalan Ikan Simba kebingungan mencari lokasi tempat untuk melanjutkan usaha mereka setelah ruko mereka dibongkar Pemkot Bandar Lampung.

Benar-benar enggak punya belas kasihan. Kok tega-teganya mengusir orang yang mencari nafkah di tempat itu tanpa memberikan solusi terbaik sebelum tempat mereka dibongkar. Alih-alih meningkatkan kesejahteraan rakyat, pemerintah (baca: pemimpin) malah menciptakan kemiskinan baru setelah mata pencarian mereka dihilangkan.

Bung Hatta yang kita kenal sebagai "bapak koperasi" kita kenang selain karena intelektualitasnya, juga karena kesederhanaan dan kejujurannya. Lalu, pemimpin karismatik India Mahatma Gandhi yang menjadi inspirasi gerakan kemerdekaan di Asia pada era 1940—1950-an, misalnya, yang memilih berpakaian hanya selembar kain gandum karena seperti itulah rakyat kebanyakan.

Itulah empati! Semua bentuk empati dan simpati itulah yang membuat mereka menjadi jauh lebih paham seperti apa rakyat yang dipimpinnya ketimbang mereka-mereka yang memilih gaya borjuis saat menjadi elite politik.

Kini, di negeri ini rasa itu semakin jauh—bahkan mungkin telah mati dari hati kita. Padahal, empati adalah fondasi dari semua interaksi hubungan antarmanusia. Mampu merasakan kondisi emosional orang lain, kita bisa membina relationship yang akrab dengan orang lain.

Konon pendidikan yang hanya menekankan pada peningkatan kemampuan matematis semata telah melahirkan masyarakat intelektual global yang mahir berbahasa asing dan memahami berbagai disiplin dan teori. Namun, berjurang jarak dari realitas persoalan yang dihadapi bangsanya sendiri.

Akibatnya—salah satunya—adalah tersingkirnya rasa empati dan tidak juga merdekanya cara berpikir mereka dari penjajahan pada diri sendiri. n

Lampung Post, Jumat, 15 April 2011

No comments:

Post a Comment