Friday, April 8, 2011

Kolonisasi Kekuasaan

Oleh Udo Z. Karzi


SECARA ontologis, kekuasaan itu adalah kemampuan seseorang untuk memaksakan kehendaknya atas pihak lain. Sebab itu, kekuasaan umumnya dimengerti sebagai seni membuat orang lain tunduk pada keinginan pemilik kekuasaan. Dalam arti ini, kekuasaan dipercayai dapat menawarkan rasa puas, kebanggaan, dan bahkan kehormatan diri. Boleh dibilang, dengan kekuasaan di tangan, seseorang atau sekelompok orang tidak lagi menjadi manusia umum. Pokoknya kekuasaan itu asyik punya.

Itu sebabnya kekuasaan bisa saja membuat orang terlena dan terseret ke dalam nafsu dominasi. Kekuasaan lalu menjadi tujuan dan bukan sekadar alat demi kebaikan umum. Motif-motif moral mulia yang semula dijadikan pesona menarik suara publik tak jarang kandas di jalan, tergilas oleh nafsu berkuasa.

Kolonisasi kekuasaan membuat para pemburu kekuasaan semakin percaya, bahkan terjebak dalam logika Machiavellian bahwa martabat dan harga diri hanya bisa dibangun di atas fondasi kekuasaan. Yang utama bagi pemburu kekuasaan adalah teknik merebut dan melanggengkan kekuasaan. Penampilan publik lalu ditata, janji-janji ditebar dengan penuh rasa percaya diri, kemampuan dan keunggulan pribadi diekspos tanpa rasa sungkan, bahkan sering dengan gaya hiperbolis seakan percaya bahwa audiensi sudah kehilangan daya kritis dalam menyerapnya.

Tak cukup dengan keunggulan pribadi, perselingkuhan politik pun tak ragu dihalalkan. Musuh digandeng. Kekikukan, apalagi hambatan moral tak punya tempat. Garis demarkasi yang sebelumnya tegas mempertajam jurang pemisah antarkubu dapat dengan mudah pupus oleh pesona kekuasaan.

Lilitan pragmatisme membuat nilai-nilai yang oleh publik dipandang unggul, seperti kejujuran, fairness, kepentingan bersama (bomun commune), kehormatan diri (self-dignity) dan sejenisnya, tak lagi cukup punya tempat dalam medan perebutan kekuasaan. Di sini patut dipersoalkan tidak saja integritas (calon) pemimpin, tetapi juga mutu tanggung jawab moral para pendukung.

Kecenderungan pragmatis yang berujung pada sikap Machiavellian sebetulnya dapat ditekan. Di sini nilai-nilai utama, khususnya kesejahteraan umum (sebagai tujuan utama kekuasaan), dan kehormatan diri (sebagai nilai pokok bagi siapa saja, termasuk pemimpin) patut mendapat perhatian. Dan, yang paling penting adalah kemampuan melepaskan diri dari kolonisasi kekuasaan!

Lampung Post, Jumat, 8 April 2011

No comments:

Post a Comment