Thursday, April 14, 2011

Melawan Kekerasan

Oleh Udo Z. Karzi


CAPEK juga ya kalau setiap baca koran, kita menjumpai banyak banar berita seputar tindak kekerasan. Setiap nonton televisi, tidak sedikit program yang mempertontonkan adegan kekerasan.

Untuk menyelesaikan masalah pun, orang ternyata lebih memilih kekerasan fisik seperti memukuli penjahat yang tertangkap, membunuh orang yang dibenci, menganiaya orang lain untuk menunjukkan kekuatannya, merusak milik orang lain karena ketidaksukaan, dan lain-lain. Tapi, benar-benar selesaikah masalahnya?

Ternyata tidak. Kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan berikutnya. Apalagi kekerasan tidak hanya dimonopoli orang secara pribadi, tetapi juga dilakukan segerombolan orang yang merasa kekerasan bisa menyelesaikan masalah.

Pengguna kekerasan yang paling dahsyat adalah negara. Sebab, negara punya kekuasaan dan kekuatan untuk bertindak secara luas dan secara hukum untuk menggerakkan rakyatnya, misalnya, melakukan perang.

Kekerasan adalah kekuatan dan tindakan secara fisik dan psikis, yang menghancurkan kehidupan, mengabaikan HAM, dan merusak lingkungan. Kekerasan tidak hanya fisik, tetapi juga psikis seperti ancaman dan teror. Tak cuma ditujukan ke manusia, tetapi juga ke lingkungan hidup. Di antaranya penebangan hutan atau penambangan tak terkendali, pencemaran lingkungan, hingga yang paling kecil kalau kita membuang sampah di sembarang tempat.

Sigmund Freud mengatakan setiap individu memang cenderung berperilaku menghancurkan objek. Camara dalam bukunya, Spiral Kekerasan, mengatakan ketidakadilan adalah akar pertama kekerasan.

Orang yang mengalami ketidakadilan melawan dengan segala cara, termasuk kekerasan. Selanjutnya, pihak yang berkuasa meredamnya dengan kekerasan juga. Akhirnya, kekerasan tak pernah berakhir. Cara-cara kekerasan lebih banyak dipilih orang, terutama karena lebih mudah dan enggak memerlukan pemikiran mendalam.

Sulit memang menghentikan siklus kekerasan. Tetapi tetap bisa ditekan seminimal mungkin. Caranya, melawan kekerasan tanpa kekerasan. Soalnya kebenaran itu relatif. Setiap orang yang melakukan tindakan, pasti punya dasar yang dianggapnya benar. Ini pasti terjadi dalam setiap konflik.

Kalau kita paham orang lain mungkin bisa benar, kenapa kita harus berbuat kekerasan yang tidak bakal menyelesaikan masalah? Dengan kekerasan tidak ada lagi ruang untuk saling mengerti.


Lampung Post, Kamis, 14 April 2011

No comments:

Post a Comment