Monday, March 3, 2014

Pasar

Oleh Udo Z. Karzi


DI manakah letak para seniman, teaterawan, rupawan, sastrawan, penulis, budayawan, dan seterusnya di negeri ini manakala profesi mereka harus dihadapkan pada pasar? Boleh jadi tak ada. Mereka adalah orang-orang yang harus disingkirkan dari peradaban negeri yang makin matre dan tak butuh segala jenis pemuasan yang hanya bersifat mental spiritual atau memperkaya intelektualitas dan rohani belaka.

Tidak ada tempat buat mereka. Barangkali saja dalam benak para pemimpin atau penggede-penggede, bahkan cerdik-cendekia kampus kebutuhan riil manusia modern Indonesia atau daerah ini adalah pekerjaan, uang, dan pemenuhan kebutuhan pokok yang terasa semakin mahal. Ilmuwan sosial, budayawan, dan lagi pekerja seni tidak mampu mampu menjawab tantangan zaman.

Maka, wajar jika kemudian pendidikan (termasuk perguruan tinggi) hanya dimaknai sekadar untuk memperkuat aset masa depan. Pendidikan hanya dimaknai sebagai melestarikan sebuah status sosial dan ekonomi. Kalau begitu, tak ada yang salah jika orientasi pendidikan adalah materialistik.

Apa boleh buat pendidikan kita pun tak lepas dari jerat kapitalis global. Kapitalisme global menyaratkan privatisasi berbagai lembaga milik negara untuk dipersaingkan di tengah pasar bebas. Secara nyata kapitalisme melahirkan arena yang disebut pasar bebas dan ia berfungsi sebagai sarana untuk adu kuat. Mana yang paling laris! 

***

Pinyut lalu membuka-buka pelajaran ilmu ekonomi untuk SMP. Ketemulah pengertian pasar. Pasar adalah tempat bertemunya pembeli dan penjual. Itu pengertian konkrit pasar. Dalam ilmu ekonomi, pengertian pasar tidak dikaitkan dengan masalah tempat, tetapi lebih dititikberatkan pada kegiatan. Jika ada kegiatan jual-beli disebut pasar dan jika tidak ada kegiatan jual-beli disebut bukan pasar. Pasar dapat terbentuk di mana saja dan kapan saja, di dalam bis, di terminal, di halte, dan lain-lain. Bahkan, transaksi jual-beli  juga bisa terjadi lewat surat, radio, internet, dan lain-lain. Pengertian pasar menurut ilmu ekonomi tersebut disebut pasar abstrak.

***

Maka, ketika sekelompok orang punya wacana untuk mendirikan fakultas ilmu budaya (kurang lebih sama dengan jurusan bahasa Lampung), pertanyaannya yang paling pertama dan utama adalah soal pasar!

"Yang jadi masalah mungkin ke mana lulusan FIB itu nanti akan disalurkan. PNS jarang ada lowongan untuk lulusan FIB. Swasta apalagi. Kalau mau wiraswasta, ilmunya enggak mendukung pula. Mau jadi budayawan takut madesu (masa depan suram)..."

Sok pede Mat Puhit langsung nyeletuk, "Yang jelas enggak usahlah jadi PNS! Tak perlu pula jadi pion kaum kapitalis. Bukankah, kalau mau dikait-kaitkan dengan materi, ekonomi kreatif dan industri kreatif yang potensial berkembang, sangat butuh alumni fakultas ilmu budaya (sastrawan, seniman, penulis, budayawan, dll.)."

Induh kidah. n


Lampung Post, Senin, 3 Maret 2014

No comments:

Post a Comment